Alfian diam seolah berpikir sambil menatap wajah Jihan, memang selama mereka berteman, Danu lebih suka cewek bar-bar ketimbang cewek pendiam seperti Hanum. Bahkan Danu sendiri pernah mengatakan pada Alfian perempuan seperti Hanum bukanlah tipenya.
Mata Jihan yang bulat menatap Alfian sambil tersenyum, wanita sangat ingin membantu Alfian untuk mendapatkan cintanya."Ji, benar juga katamu. Aku harus selidiki semua ini," ucap Alfian setelah beberapa saat terdiam."Nah, sekarang yang harus kamu tahu dulu, kenapa Hanum mau menikah dengan Danu? Sedangkan hubungan kalian sudah bertahun-tahun lamanya, bahkan sudah ada rencana mau menikah 'kan?" Tanya Jihan.Alfian mengangguk-anggukkan kepala, pikirannya saat ini sangat kacau. Di sisi lain sebenarnya dia sudah tidak mau tahu dengan urusan Hanum karena wanita itu sudah milik orang lain. Tapi di sisi lain dia juga harus tahu karena semua ini berjalan dengan tiba-tiba.Alfian menghidupkan mesin motor, dengan perlahan motornya meninggalkan area gubuk menuju perumahan."Ji, tapi biarlah. Mungkin Hanum menikah dengan Alfian itu sudah keputusan terbaik yang di ambil oleh Hanum," ucap Alfian seolah tak ambil pusing lagi soal Hanum. Bahkan otaknya sudah tak mampu berpikir lagi."Al! Coba deh kamu berpikir sekali lagi. Andai Danu menikahi Hanum dengan terpaksa supaya mendapatkan status menikah, terus dia enggak sayang sama Hanum, apa enggak kasihan Hanum?""Ji! Kalau Danu enggak sayang sama Hanum, pastinya Hanum juga enggak bakal mau di nikahi 'kan?"Keduanya berdebat di atas motor, mereka masih saja menerka-nerka apa yang sebenarnya sudah terjadi di antara Hanum dan Danu.Jihan mengingat sesuatu tentang Almera. Ya, hanya Almera yang mengerti tentang semua ini. Tapi bagaimana dia bisa bertemu dengan Almera sedangkan rumah Almera pun belum tahu di mana letaknya."Al, aku penasaran deh dengan cerita Almera," ucap Jihan memecahkan keheningan."Maksudnya?" Tanya Alfian yang memang tidak terpikir olehnya."Al, kok bisa Almera itu seperti marah ketika mendengar kamu sudah menikah denganku? Terus kenapa dia itu seperti wanita yang mencintaimu?"Alfian menarik rem dengan tiba-tiba sehingga Jihan terkejut sampai menepuk pundak Alfian."Ada apa ih?" Tanya Jihan kesal."Aku baru ingat dengan Almera, dialah yang selalu berbicara denganku," ucap Alfian."Maksudnya?""Aku juga enggak tahu kenapa Hanum tiba-tiba enggak mau bicara denganku, yang tadinya hubungan kami itu baik-baik saja. Bahkan sekalipun Hanum tidak pernah mengangkat telepon dariku setelah hari itu, di setiap aku nelpon Hanum, pasti yang angkat itu Almera.""Fix semua ini yang aneh itu Almera," tebak Jihan.Alfian memandang jauh ke depan, pikirannya kembali ke belakang.Flashback ..."Al! Kamu kapan pulang? Aku kangeeeen," ucap Hanum dengan suara manja dari seberang."Masih lama, sayang, baru juga sampai. Kerjaan belum juga di cari ada atau tidak," jawab Alfian sambil cekikikan.Dua sejoli yang baru saja terpisah tengah merasakan rindu yang sangat luar biasa, padahal baru beberapa jam saja mereka berpisah. Namun, rasa rindu terasa menggebu-gebu.Alfian dan Hanum, dua sejoli yang semua pasang mata menyaksikan, betapa romantisnya mereka, akrabnya mereka, bahkan kasih sayang yang mereka jalani sering tampak di mata semua orang."Kamu hati-hati di sana, sayang. Jaga mata, jaga hati, jaga perasaanku dan jangan lupa jaga hatiku," ucap Hanum dengan nada lirih."Iya, ibu negara. Aku di sini untukmu, aku di sini memperjuangkan cinta kita supaya bisa menyatu," Alfian merebahkan tubuhnya di ranjang.Setelah dua hari berlalu, Alfian menemukan pekerjaan yang sesuai dengan ijazah miliknya. Ya, dia bekerja di salah satu pabrik sepatu, di bagian keuangan. Pemuda itu memiliki IQ yang tinggi, namun sayang, dia tidak bisa melanjutkan kuliah kendala ekonomi.Di sela-sela kesibukan Alfian, pemuda itu tidak pernah lupa meluangkan waktu untuk kekasihnya. Walaupun hanya bertanya di mana dan sedang apa, pemuda itu selalu menghubungi di sela-sela kesibukannya.Beberapa bulan kemudian ...Alfian melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan, jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Pemuda itu mengambil gawai yang ada di saku celana untuk melepas rindu hari ini kepada sang pujaan hati.Tuuutt ...Tuuutt ..."Halo, Mas," jawab wanita dari seberang."Almera? Ini kamu?" Tanya Alfian yang sudah hafal betul dengan suara cempreng itu."Iya, Mas. Ini aku," jawabnya dengan nada santai."Al, di mana Hanum?" Tanya Alfian dengan nada menekan.Dengan jantung berdebar, Almera mendehem untuk menetralkan tubuh supaya tidak tampak gugup untuk berbicara. Alfian merasa ada yang aneh, namun lelaki itu mampu menunggu jawaban dari Almera demi mendapat kabar tentang kekasihnya."Mas Al, entah kenapa Hanum enggak mau lagi pegang gawai ini setelah aku—""Kamu kenapa Almera?" Potong Alfian berasa tak sabar menunggu jawaban dari Almera yang kian melambat."Beberapa hari lalu aku lihat Danu datang ke rumah Hanum, terus karena sudah beberapa kali juga aku mendapatkan mereka sedang bersama, di situlah Hanum memberikan gawai ini padaku," ucap Almera.Bagai masuk ke lembah bara api yang menyala-nyala, rasa panas di dada Alfian mampu membakar sebongkah hati yang selama ini di jaga dengan baik olehnya.Bara api itu mampu membuat kening serta tubuh Alfian basah kuyup di banjiri oleh keringat dingin. Tidak ada angin tidak ada hujan, Hanum begitu tega melepaskan bahkan membuang hati Alfian begitu saja."Almera. Jangan macam-macam sama aku!" Bentak Alfian dengan rasa penuh emosi."Mas Al! Aku enggak akan bicara kalau semua ini enggak ada faktanya. Kamu boleh kok tanya sama Dadung, bahkan Hanum memberi gawai ini di depan Dadung kemarin," ucap Almera mencoba menjelaskan.Alfian menghempaskan tubuhnya di sandaran kursi, tangan kirinya meremas rambut untuk melampiaskan kekesalan. Pemuda itu menghentakkan tangan kirinya ke atas meja.Hancur sudah harapannya, musnah sudah impiannya, beberapa kali Alfian membayangkan hal yang di ucapkan Almera, namun semua itu seperti di luar nalar."Mas! Mas!" Suara Almera memanggil Alfian. Namun lelaki itu membiarkan gawai nya tergeletak di atas meja.Rasa geram tergambar di wajah Alfian. Safitri, wanita yang semala ini diam-diam memperhatikan dan memiliki rasa pada Alfian, hanya bisa meliriknya dan terus memperhatikan."Aaarrggghhh!" Alfian menggeram. Teriakannya membuat Safitri yang duduk di sampingnya terkejut."Al, kenapa?" Tanya Safitri.Pertanyaan itu sudah tidak mampu lagi di jawab oleh Alfian, lelaki berkumis tipis itu hanya mampu menggelengkan kepala.Alfian melihat jam yang melingkar di tangannya masih menunjukkan pukul tiga sore sedangkan jam pulang kerja masih satu jam lagi. Namun, pemuda itu tak mampu lagi berpikir bahkan duduk sekalipun."Al! Mau ke mana?" Tanya Safitri yang memandang pergerakan Alfian tengah berkemas."Aku mau pulang. Kalau ada yang tanya aku ke mana, jawab aku pulang," ujar Alfian sambil memasukkan gawai ke dalam saku celana."Tapi jam pulang masih satu jam lagi, Al," ucap Safitri mengingatkan."Iya. Aku tahu, aku enggak enak badan. Daripada kalian nanti susah payah bawa aku ke rumah sakit, biar aku ke sana sendiri," ujar Alfian sambil meninggalkan Safitri yang masih memandangnya.Alfian tidak peduli lagi dengan jam pulang, otaknya sudah tidak mampu berpikir bahkan jiwanya berasa tak mampu mengikuti raga yang harus menempuh perjalanan agak jauh untuk sampai ke rumah kost.Di perjalanan pulang, Alfian masih tidak dapat berpikir. Pemuda itu hanya mampu menarik gas motor sampai full hingga motor melaju sangat kencang. Perjalanan yang harusnya di tempuh dengan waktu enam puluh menit, pemuda itu mampu sampai ke kost hanya dengan waktu lima belas menit."Aaarrgghh! Dasar wanita!" Teriaknya ketika sampai di kamar kost, pemuda itu mencampakkan tas ransel yang baru saja di lepas dari pundaknya."Apa mau kamu Hanum? Apa kurangnya aku? Aku memilih kost yang jauh dari kata wah, yang jauh dari tempat kerja, bahkan yang jauh dari keramaian, supaya bisa menghemat. Supaya uang yang aku hasilkan lebih banyak, apa kurangnya aku? Apa?" Teriaknya lagi.Alfian tak lagi mampu berdiri, pemuda itu duduk dengan kedua tangan meremas rambut cepak nya.Dreett ...Dreett ...Sebuah panggilan dari kontak bertuliskan kesayangan, secepatnya Alfian mengambil gawai lalu menjawab telepon."Halo, sayang, sayang," panggilan Alfian untuk sang kekasih. Besar harapan Alfian untuk bisa kembali berbicara dengan Hanum."Maas, ini aku, Almera," jawab wanita itu dari seberang.Lemas sudah tubuh Alfian, bagai tak mampu bergerak lagi. Jantungnya tak ingin memompa lagi, nafasnya tak ingin menghembus kembali. Namun, pemuda itu mencoba sabar dan tawakal."Mas! Dengarkan aku dulu!" Ujar Almera dengan nada berteriak hingga Alfian memandang gawai nya. Perlahan Alfian meraih gawai dengan tangan kirinya."Ada apa, Almera? Apa yang mau kamu jelaskan. Semua sudah di atas normal dan semua berasa tidak mungkin. Almera, please! Jika ini permainan, tolong sudahi, aku tidak sanggup harus menahan rasa sakit ini," ujar Alfian dengan nada lirih.Sangat besar harapan Alfian semua ini adalah akal-akalan Hanum untuk membuat Alfian terpuruk, namun, semua yang di katakan Almera memang benar adanya.Almera memegang gawai yang di tempelkan di telinga untuk mendengarkan suara Alfian, namun Alfian masih saja tetap diam dan membisu."Mas, Al!" Panggilnya. Lagi-lagi, Alfian tetap diam."Aaarrgghh!" Alfian mencampakkan gawai yang ada di tangannya.Sudut benda pipih itu menatap dinding sehingga mengakibatkan keretakan parah pada layarnya. Pemuda itu kembali meremas rambut lalu merebahkan tubuhnya begitu saja di lantai.Hati yang menangis karena hati yang teriris membuat Alfian tak berdaya. Beberapa jam berlalu namun pemuda itu masih tetap dengan posisi yang sama."Hanum, apa aku bisa hidup tanpamu?" ucap Alfian dengan nada lirih.Alfian hanya bisa meratapi nasib yang sedang menimpanya. Hati yang sakit membuat tubuhnya lemah tak berdaya, jiwanya tak ingin hidup walau raganya masih ingin bergerak.Hari terus berganti, pemuda itu masih berusaha untuk terus berjalan walau hanya bisa diam. Beban yang harus dia pikul membuat raganya harus tetap bekerja.* * *"Al! Kantin, yuk." Lamunan Alfian buyar ketika mendengar suara wanita yang menyebut namanya."Enggak ah. Enggak lapar aku," jawabnya setelah dia memandang wanita itu adalah Safitri.Jam istirahat kantor telah tiba, namun, Alfian masih saja seperti biasanya yang hanya duduk di kursi miliknya tanpa melakukan aktivitas apapun kecuali melamun.Safitri memutarkan kursinya menghadap Alfian, wanita itu sejak lama memperhatikan teman sekantornya itu tapi baru kali ini dia memberanikan diri untuk mengajaknya berbicara."Al, coba cerita sama aku. Sebenarnya kamu ini ada apa? Apa akan selamanya kamu seperti ini?" Tanya Safitri dengan nada lirih."Sa, aku enggak tahu harus
Alfian tersenyum sambil menggelengkan kepala, tangan kanannya sudah memegang tali ransel sebelah kanan yang menempel di dada. "Tidaklah. Aku sudah tidak punya harapan lagi," jawab Alfian sambil berbisik."Yakin? Terus rencana kita bagaimana?""Nanti kita bicarakan di sana.""Jihan. Masuk!" Cetus Brahma dengan nada sedikit sinis.Seketika Jihan memandang sang papa dengan mata membelalak, jantungnya berdegup kencang seolah takut sifat asli sang papa kembali lagi seperti sebelumnya.Tanpa pikir panjang Jihan melangkah ke sisi mobil sambil memegang lengan Alfian."Aku naik motor saja, Ji," ucap Alfian setelah Jihan duduk di dalam mobil."Kenapa?" Tanya Jihan memandang Alfian."Naik mobil saja. Di rumah kami tidak terbiasa memajang motor," timpal Brahma yang hendak naik di bagian depan.Alfian memandang Brahma sambil masuk dan duduk di samping Jihan. Pemuda itu masih saja berpikir positif pada Brahma, namun, sang nenek sudah memiliki firasat tak enak sehingga wanita tua itu memandang sang
"Bisa. Pasti bisa," ucap Jihan meyakinkan."Sekarang istirahat lah di kamar, sayang," ucap Brahma sambil terisak.Jihan mengangguk, wanita itu melangkah ke kamar di ikuti Alfian di belakangnya. Semua orang yang ada di di sana masih fokus dengan pulih nya sang ratu dalam rumah.Bruk!Jihan menghempaskan tubuhnya di ranjang, tubuhnya menggeliat untuk melepaskan rasa lelah yang sangat luar biasa. Kelegaan dalam hati dan pikiran membuatnya terasa kantuk."Ji, besar banget kamar kamu," ucap Alfian sambil duduk di tepi ranjang."Biasa saja," jawab Jihan dengan mata terpejam."Kamu kan punya adik, kok tadi adik kamu tidak ada?" Tanya Alfian sambil melepaskan ransel yang masih di gendong sedari tadi."Mungkin dia lagi keluar. Al, sekarang apa yang akan kamu lakukan?""Maksudnya?""Almera. Kamu tidak cari tahu di mana dia?"Alfian tersenyum sambil menghela nafas, "Biarlah, biar semua berjalan dulu. Siapa tau suatu saat nanti ada jalan terbaik," ucap Alfian sambil tersenyum.Jihan beranjak dari
Mata Jihan membulat memandang sang mama yang saat ini tersenyum padanya, wanita itu sekilas melirik ke arah Alfian namun Alfian masih sibuk dengan gawainya."Tanya Alfian, Ma. Kalau aku belum siap," jawab Jihan sambil mengambil air mineral yang sedari tadi ada di samping piring miliknya."Loh, kenapa belum siap?" Tanya Sandra."Nanti keburu tua," cetus Tasya."Untuk apa cepat-cepat punya anak yang akhirnya bukan dia sendiri yang urus," timpal Jihan kesal.Alfian mematikan gawai yang ada di tangannya, pesan yang baru saja masuk ternyata dari Safitri. Wanita itu memberi kabar oleh Alfian kalau bos pemilik perusahaan itu memintanya untuk kembali bekerja di sana.Alfian bingung dengan sifat mereka yang diam, sementara dia benar-benar tidak mendengar obrolan apa yang baru saja di bahas oleh mereka."Al, di tanya mama tuh," jawab Jihan."Ada apa, Ma?" Tanya Alfian memandang Sandra."Kapan kalian berencana punya anak? Mama pengen gendong cucu dari kalian," ucap Sandra.Alfian menelan ludah,
Mata Tasya fokus memandang papa karena lelaki berkumis tebal itulah yang merespon ceritanya dari antara mereka yang ada di sana. Tasya lebih terlihat ceria di hari-hari biasanya, seperti telah melepaskan beban yang selama ini dia pikul sendiri.Tasya terus menyuap nasi sambil sesekali melirik ke arah Alfian. Wanita itu tidak segan-segan tersenyum lebar di depan kakaknya, dalam hatinya dia telah menemukan sahabat baru dalam hidupnya."Memangnya selama ini kamu enggak pernah jalan sama suami kamu? Sampai-sampai mereka kepikiran kalau kamu sudah menikah lagi. Kapan terakhir kamu jalan dengan suami kamu? Lima bulan kah atau setahun?" Tanya Jihan dengan nada datar tanpa memandang Tasya."Jangan pernah tanyakan hal itu padaku," ucap Tasya sedikit ketus."Kenapa? Kalau suami istri jalan bareng itu hal yang wajar 'kan?" Jihan meraih segelas air mineral lalu meneguknya.Kedua orang tuanya hanya bisa diam dan saling tatap, mereka sekarang mengerti kalau putri sulungnya tidak suka suaminya jalan
"Enggak. Enggak apa-apa kok, emang hawanya malam ini panas aja mungkin," jawab Jihan gugup. Wanita itu mengibaskan beberapa kali telapak tangannya di dekat bagian leher.Alfian percaya begitu saja, pemuda itu mengambil bantal dan selimut miliknya yang ada di dekat Jihan tanpa curiga sedikitpun.Jihan membenahi bantal miliknya lalu merebahkan tubuhnya, seperti biasanya Alfian tidur di sofa sedangkan Jihan tidur di ranjang.Jihan tidak bisa tidur, pikirnya jauh pergi entah kemana setelah membaca pesan dari Safitri yang ada di gawai Alfian, sesekali wanita itu merubah posisi untuk mendapatkan posisi ternyaman. Namun, sampai jam menunjukkan pukul satu dini hari pun matanya belum juga terpejam."Ih, ada apa sih dengan pikiranku ini?" Bisiknya kesal sambil menghela nafas panjang. Matanya terbuka dengan wajah yang menghadap meja rias. Ingin rasanya mencari tahu apa maksudnya tapi wanita itu mengerti kalau dia tidak boleh gegabah."Sebenarnya ini ada apa sih? Apa bener Safitri hamil karena Al
Sandra masih duduk di kursi roda di ambang pintu sedangkan Tasya masih berdiri menghadap ke arah luar. Jihan melangkah mendekati mereka sambil mendengarkan sang adik yang masih merengek kepada mama."Tasya, kamu kenapa? Mau nomornya Alfian?" Tanya Jihan sambil menggeser-geser layar gawai, "Nih, catat," lanjutnya sambil melangkah mendekati mereka.Dengan sigap Tasya menghidupkan layar gawai lalu mencatat beberapa angka yang di sebutkan oleh kakaknya. Wanita itu tidak menyadari bahwa sang mama memandangnya dengan tatapan tak suka.Wajah Tasya tampak semringah setelah selesai mencatat nomor itu, dalam hati Jihan, Alfian bukanlah miliknya sehingga dia tidak seharusnya melarang siapapun yang ingin dekat dengannya."Sudah," ucap Tasya sambil tersenyum."Sudah? Lain waktu kamu jangan bohongi mama lagi, ya," ucap Jihan sambil tersenyum sinis."Bohongi mama? Maksudnya kamu apa sih, Mbak?" Tanya Jihan sekilas memandang sang mama yang masih memandang Jihan."Jadwal posyandu Zaky besok, bukan sek
Jihan tertawa lepas sambil menutup mulutnya, wanita itu sangat terlihat bahagia sampai-sampai dia tidak menghiraukan beberapa pasang mata menyaksikan mereka.Jihan memegang tangan Alfian lalu berjalan ke arah pintu masuk, gedung yang tinggi di penuhi dengan pengunjung untuk berbelanja yang mereka perlukan."Eh, Al! Itu," ucap Jihan menghentikan langkahnya sambil memandang ke arah jalan yang ramai pengunjung."Ada apa?" "Itu, anu. Ih, siapa itu, suami Hanum," ucap Jihan sambil menarik lengan Alfian dengan langkah panjang dan suara terbata."Mana ih? Jangan suudzon, ngapain suami Hanum sampai sini," ucap Alfian sambil terus mengikuti langkah Jihan.Jihan terus memantau lelaki berjaket kulit serta celana jeans yang sedang menggandeng seorang wanita, wanita itu celingukan karena pandangannya terhalang oleh beberapa pengunjung lain.Entah kenapa langkah mereka kalah sehingga mereka kehilangan jejak, Jihan menghentikan langkah sambil menoleh ke arah kanan dan kirinya."Ji, yang bener aja i
Tidak berselang lama, Jihan kembali dengan membawa tiga gelas jus jeruk. Wanita itu duduk di sebelah kanan Alfian sedangkan Safitri duduk di seberangnya."Ada. Aku ada fotonya," ucap Safitri sambil menggeser-geserkan layar gawai miliknya."Foto siapa, Al?" Bisik Jihan pada suaminya."Danu," sahut Alfian.Mata Alfian dan Jihan sama-sama melotot ketika Safitri menyodorkan gawainya yang terpajang foto Danu di sana. Ya, benar. Di sana ada Danu suami dari Hanum.Alfian menghela nafas panjang sambil menyandarkan punggungnya di dinding. Pemuda itu ingin marah kepada Danu tapi apa untungnya? Toh lelaki itu pilihan Hanum sendiri."Jadi rencana kamu gimana, Sa?" Tanya Alfian."Ya, kami akan menikah," sahut Safitri sambil tersenyum.Alfian hanya bisa mengangguk-anggukan kepala, pemuda itu tak dapat berkata apa-apa. "Terus aku di undang ke sini untuk apa, Al?" Tanya Safitri yang masih penasaran."Danu itu—""Eh, Al, ada sesuatu yang mau aku beli. Ini penting, ayo kita pergi." Jihan memotong pemb
Sejenak Jihan akan memanggil wanita itu namun dia mengurungkan niatnya dengan membalik badan. Wanita itu masuk ke dalam rumahnya dan tidak lama keluar kembali.Jihan mentransfer uang untuk ibu kost setelah meminta nomor rekening beliau tadi, untungnya aplikasi untuk mentransfer masih ada di gawainya. Dia sudah nyaman untuk tinggal di sana maka dia tidak keberatan untuk membayar langsung selama setahun. "Mbak Jihan, mau ke mana?" Tanya tetangga sebelah rumah yang kemarin sudah berkenalan dengannya."Mau ke kantor, Al, Bu. Ada urusan dadakan," sahut Jihan sambil mengunci pintu."Oh, baru juga sebentar di tinggal, Mbak. Kangen, ya?" Ucap wanita itu dengan nada menggoda.Jihan tersenyum lebar sambil menggelengkan kepala, ada-ada saja tingkah wanita itu. Tapi sebenarnya jauh di lubuk hati Jihan memang merasa senang dia akan bertemu dengan Alfian, padahal baru beberapa jam saja dia di tinggal.Jihan menghentikan langkah ketika melihat seorang wanita muda tengah menjemur pakaian yang ada di
Jihan meletakkan kembali gawai yang ada di tangannya dengan mata berkaca-kaca, kepalanya mendongak dengan memandang langit-langit rumah sembari menghela nafas panjang.Usahanya untuk menahan air mata yang hendak jatuh tak berhasil, air mata itu tetap jatuh membasahi area pipi. Wanita itu mengambil kembali gawai bukan untuk menjawab telepon melainkan mematikan daya gawai."Ma, maafin aku, Ma. Lebih baik aku pergi daripada aku harus tinggal sama papa."Jihan kembali beres-beres rumah dengan air mata yang sesekali masih menetes. Namun, sekuat hati wanita itu mencoba mengalihkan pikirannya ketika melihat isi dapur masih terlihat kosong..."Al, apa sebaiknya aku cari rumah kost sendiri, ya?" Tanya Jihan di saat mereka tengah makan malam yang baru di beli Alfian."Loh, kenapa? Kamu masih belum percaya sama aku kalau aku bakal menjaga—""Bukan itu maksudku, Al.""Lantas?" Tanya Alfian sambil memandang Jihan.Jihan dan Alfian duduk di lantai beralaskan tikar plastik, mereka tampak seperti p
Ayu tersenyum sinis memandang Jihan, sayangnya Brahma Utama tidak memperhatikannya. Lelaki paruh baya itu fokus memandang sang putri dengan sangat marah."Pa—""Jihan! Sudah papa peringatkan kamu, kalau kamu tidak bisa terima dengan keputusan papa ini sebaiknya kamu pergi!" Ucap Brahma Utama dengan nada lantang.Rasa emosi Jihan tidak bisa di bendung lagi, tanpa pikir panjang wanita itu menutup dengan kuat daun pintu sehingga menyebabkan suara sangat keras.Jihan mengambil sebuah koper dari atas almarinya, wanita itu menyusun beberapa baju miliknya dan juga peralatan serta perlengkapan dirinya.Tidak menunggu waktu lama, wanita itu menuruni anak tangga dengan menarik gagang koper berwana hitam. Langkahnya sejenak berhenti ketika melihat sang papa dan wanitanya duduk berdua di kursi makan."Eh, mau ke mana kamu, Mbak?" Tanya Tasya terkejut, wanita yang masih duduk di kursi yang ada di teras itu beranjak sambil meletakkan gawai di atas meja."Aku mau pergi, Tasya. Enggak ada lagi sainga
Jihan yang tengah duduk di lantai dengan kedua tangan melipat di atas lutut, kini berdiri tegap sambil memandang sang adik."Tasya, sampai kapan kamu anggap aku ini musuh? Hah?" Tanya Jihan sambil melangkah ke arah Tasya."Aku bukan menganggap, tapi kamu memang musuhku," ucap Tasya dengan ketus."Apa salahku? Apa?" Teriak Jihan."Kamu enggak sadar? Semua kasih sayang mama kamu ambil, Mbak. Mama lebih sayang sama kamu dan mama lebih perhatian sama kamu, mama enggak pernah memberi perhatian yang sama sepertimu," ucap Tasya dengan rasa geram.Unek-unek di dalam hati kini telah keluar dari mulut Tasya, selama ini wanita itu hanya bisa memendam karena tiada tempat mengadu. Jika mengadu kepada sahabatnya, hal inilah yang dapat merendahkan dirinya karena dia selalu bercerita dialah yang terbaik di rumah ini."Kamu enggak pergi saja ikut suamimu? Ngapain lagi kamu di sini, mau jadi janda?" Ucap Tasya dengan nada ketus dan wajah sinis."Aku di sini untuk mama, bukan untuk hidupku," jawab Jihan
Secepatnya Jihan menjawab telepon, "Halo, Pa," sapa wanita itu setelah menggeser layar gawai ke arah kanan."Jihan, kamu kenapa belum sampai?" Tanya Brahma Utama dari seberang."Pa, Jihan mendadak tidak enak badan," jawab Jihan dengan nada lirih. Jantungnya berdegup kencang setelah mengingat wanita yang di bawa sang papa telah di usir olehnya."Ya, sudah. Papa cari pengganti saja," jawab Brahma Utama lalu mengakhiri panggilan.Jihan menghela nafas panjang sambil memandang Alfian yang masih duduk di tepi ranjang tengah memandangnya."Al, kamu enggak ke kantor?" Tanya Jihan."Enggaklah, besok saja," jawab Alfian sambil membuka sepatu yang dia kenakan."Berangkat saja, aku enggak kenapa-kenapa kok," ujar Jihan sambil menyeka poni ke belakang telinga.Alfian menggelengkan kepala, pemuda itu tahu kalau masalah yang sedang di hadapi istrinya sangat rumit. Setelah membuka sepatu pemuda itu masuk ke dalam kamar mandi."Al, aku ke kamar mama dulu, ya," ucap Jihan sambil memandang Alfian yang t
"Ih, ngaco kamu," ucap Jihan dengan bibir manyun.Gelak tawa Alfian menggelegar, tak pernah di bayangkan pemuda itu bisa berkenalan dengan wanita secantik dan sebaik Jihan. Sungguh beruntung hidupnya setelah bertemu Jihan, kini dia tidak lagi pusing memikirkan keperluan nenek dan kakeknya yang ada di kampung karena semua fasilitas dan kebutuhan sudah di penuhi oleh Jihan, bahkan setiap bulannya Jihan mampu mengirimkan uang yang lebih dari yang sebelumnya di kirimkan oleh Alfian untuk nenek dan kakeknya..."Sayang, nanti kalau kamu sudah pulang, telpon aku, ya. Jangan naik angkot," ujar Alfian sambil mengunyah."Memangnya kamu mau pulang jam berapa?" Tanya Jihan sambil memandang suaminya yang ada di samping."Ya, seperti biasanya," jawab Alfian sambil menelan makanan yang baru di kunyah.Sarapan pagi ini tampak ada yang kurang, di mana kursi milik Sandra masih kosong. Sedari tadi Jihan sesekali memandang ke arah kamar sang mama namun kamar itu masih tetap tenang dengan posisi tertutu
"Aku boleh tanya sesuatu?" Tanya Jihan sambil memandang Alfian yang masih memandang cermin.Alfian menoleh, "Tanya?" Pemuda itu duduk di tepi ranjang menatap wajah Jihan yang tampak serius, "Tanya apa?""Safitri belum menikah 'kan?" "Belum.""Dia belum menikah tapi kenapa dia sudah ha—""Kamu tahu Safitri hamil? Dari siapa?" Potong Alfian dengan mata membelalak.Jihan menghela nafas panjang sambil mengalihkan pandangan ke arah lain, pertanyaan yang selama ini dia pendam kini sudah keluar dari mulutnya. Wanita itu terus saja di hantui rasa takut akan suami pura-pura nya lah lelaki jalang itu.Rasa panas dingin di rasakan olehnya ketika menunggu jawaban dari Alfian, perlahan matanya memandang Alfian yang kini masih duduk di depannya."Aku, aku enggak sengaja buka chat kamu kemarin. Kepo aja nomor kakek dan nenek," jawab Jihan beralasan."Jadi kamu buka aplikasi hijau milikku? Bukannya penyimpanan nomor itu di kontak telepon?" Tanya Alfian kesal.Alfian beranjak dari duduknya, pemuda it
Jihan tertawa lepas sambil menutup mulutnya, wanita itu sangat terlihat bahagia sampai-sampai dia tidak menghiraukan beberapa pasang mata menyaksikan mereka.Jihan memegang tangan Alfian lalu berjalan ke arah pintu masuk, gedung yang tinggi di penuhi dengan pengunjung untuk berbelanja yang mereka perlukan."Eh, Al! Itu," ucap Jihan menghentikan langkahnya sambil memandang ke arah jalan yang ramai pengunjung."Ada apa?" "Itu, anu. Ih, siapa itu, suami Hanum," ucap Jihan sambil menarik lengan Alfian dengan langkah panjang dan suara terbata."Mana ih? Jangan suudzon, ngapain suami Hanum sampai sini," ucap Alfian sambil terus mengikuti langkah Jihan.Jihan terus memantau lelaki berjaket kulit serta celana jeans yang sedang menggandeng seorang wanita, wanita itu celingukan karena pandangannya terhalang oleh beberapa pengunjung lain.Entah kenapa langkah mereka kalah sehingga mereka kehilangan jejak, Jihan menghentikan langkah sambil menoleh ke arah kanan dan kirinya."Ji, yang bener aja i