“Granny kenapa?” Mata Claire seketika membulat pada Rainer.Bukannya perhatian pada teleponnya yang hilang, Claire justru memikirkan perkataan Rainer tentang Granny. Lelaki itu tersenyum melihat kekhawatiran istrinya.Perlahan, Rainer menceritakan peristiwa tersebut. Claire tampak termangu. Berusaha mengingat namun kemudian kepalanya menggeleng lemah.“Aku tidak ingat,” ucap Claire sedih.“Tak apa, My Lady. Nanti juga kamu akan ingat semuanya.”“Bagaimana caranya agar ingatanku kembali seperti dulu?” Claire berbicara sambil termenung sendiri.“Sepertinya … kamu harus mengatasi traumamu dulu.”Kepala Claire menoleh menatap wajah Rainer.“Coba ceritakan padaku bagaimana aku bisa memiliki trauma itu?”Dengan senyum miris, Rainer mencerita persis seperti apa yang pernah Claire ceritakan padanya. Wanita di samping Rainer spontan merapatkan dirinya pada tubuh sang suami.“Sudah. Hentikan. Aku ingat peristiwa itu.” Claire melirih.Rainer mengelus halus rambut Claire. Mengecup dahi dan mengus
“Tidak ada yang bisa menjamin itu. Yang jelas, orang-orangku mengatakan penduduk Conrad taunya Stella adalah calon istrimu. Mereka sama sekali tidak menganggap Claire.” Brandon mencebikkan bibirnya.“Keluarga Conrad sudah membuat pesta pengumaman tentang pernikahanku dan Claire, Tuan. Jadi, siapa pun yang tidak menganggap Claire bukan istriku artinya ia juga merendahkan nama baik kami,” balas Rainer dengan tegas.Brandon membuang napasnya. Ia berjalan ke depan jendela lalu memandang hamparan rumput di halaman luas di luar. Suasana sangat sepi di sana.“Aku harus kembali dan menjalankan perusahaan. Claire sakit, aku yakin ia belum mampu bekerja sekarang.” Brandon menggumam pelan.Rainer menghampiri mertuanya dan berkata, “Aku bisa membantu dari sini, Tuan. Katakan saja apa yang bisa aku bantu.”“Fokus saja pada pemulihan Claire.”“Baik, Tuan.”Setelahnya mereka berdua terdiam. Hingga Brandon mengatakan ia ingin melanjutkan pekerjaan yang artinya ingin Rainer keluar dari kamar. Rainer m
Claire memandang Brandon dengan mata berbinar.“Aku memiliki adik? Siapa? Kenapa dia tidak ikut?” cecarnya kemudian.Brandon tersenyum miris. Antusias Claire saat mendengar ia memiliki adik sangat berbeda.“Adik tiri. Lima tahun setelah Mommy meninggal, Daddy menikah lagi dengan seorang janda beranak satu,” jelas Brandon.“Laki-laki atau perempuan?”“Lunar. Perempuan.”“Waah senangnya aku punya adik.”Tentu saja Brandon tidak dapat jujur berkata bahwa Claire sangat tidak akrab dengan ibu dan adik tirinya. Bahkan Claire selalu menghindar bertemu dengan mereka. Wanita itu menganggap Mommy-nya tidak pantas digantikan oleh siapa pun.“Kamu sempat marah saat tau Daddy akan menikah lagi.” Brandon memancing ingatan Claire.“Oh ya? Kenapa begitu?”“Intinya kamu tidak ingin memiliki ibu lain selain Mommy.”Tidak ada komentar dari Claire. Dahinya berkerut tanda ia sedang berpikir. Lalu, kepalanya menggeleng tanda ia tidak mengerti.“Sudah lah. Jangan terlalu berpikir keras. Nanti kepalamu sakit
Claire tidak menjawab. Ia hanya termangu menatap lemon di rak. Tidak, ia tidak mengingat apa pun.“Entahlah. Tetapi, selalu saja ketika aku melihat lemon seperti ada sesuatu yang menarik,” guman Claire.“Ya, sudah. Nanti kamu ceritakan saja pada terapis, ya.” Raine rmengusap punggung Claire.Mereka berdua berjalan keluar gudang. Menyusuri jalan setapak. Hingga kemudian sampai di perkebunan.“Lahannya sudah kosong?”“Semua sayuran sudah dipanen karena sudah masuk musim dingin.”“Jadi, petani tidak menanam lagi?”“Mereka akan menanam di rumah kaca.” Rainer menunjuk sebuah bangunan besar yang seluruhnya terbuat dari kaca.Claire mengikuti arah telunjuk Rainer. Matanya memicing agar lebih fokus. Kepalanya menggeleng samar.“Aku tidak ingat di sini ada rumah kaca.”Rainer terkekeh. “Kamu memang belum pernah ke sana, My Lady.”“Oh.” Claire tersenyum. “Kenapa aku tidak pernah ke sana?”“Karena di sana masih banyak pekerja. Aku tidak ingin kamu menjadi pusat perhatian dan mengganggu fokus mer
Serentak, mata Rainer dan Maya menatap Claire. Wanita cantik itu sedang berpikir. Netranya berotasi menatap sekeliling."Apa yang kamu ingat, My Lady?" tanya Rainer penasaran.Kepala Claire menggeleng tak yakin. "Hanya bayangan-bayangan samar. Aku tidak dapat melihat jelas sedang apa di sini.""Sama seperti saat aku di gudang penyimpanan. Aku hanya tau pernah berada di sana," imbuhnya lagi."Itu sudah merupakan suatu kemajuan, Claire. Semakin kamu melihat tempat-tempat yang kamu kunjungi, kamu akan terlatih untuk mengingatnya. Begitu kata terapis, bukan?"Claire tersenyum lalu mengangguk setuju pada pernyataan Maya. Mereka melanjutkan makan. Rainer tampak termenung.Jika Claire mulai ingat siapa dirinya, apa perilakunya masih akan manis seperti ini? Lalu, artinya, Claire akan sadar bahwa mereka adalah pasangan pura-pura?Lelaki itu kembali termenung. Claire dan Maya masih berbincang tentang apa yang biasa mereka lakukan di rumah ini. Memasak hingga menemani Granny."Akh, iya. Granny s
Rainer mendelik sewot, sebaliknya, wajah Stella tampak merah jambu karena malu. Adam yang melihat perbedaan itu tampak mengangkat alisnya. Sementara Dion langsung membungkam mulut.Pertemuan singkat itu selesai. Rainer menatap layar laptopnya. Ada yang aneh. Ia merasa panen baik-baik saja. Tetapi, pendapatan yang mereka terima tidak sebesar bayangannya."Mungkin perasaanmu saja, King. Para pekerja kita memang kurang karena kita memperluas lahan perkebunan," ucap Adam saat Rainer mengungkapkan keanehannya.Mereka hanya berdua di ruang rapat. Stella dan Dion sudah kembali ke ruangan masing-masing.Rainer mengangguk. Ia memang belum paham situasi yang akhir-akhir ini terjadi karena hampir dua tahun ia meninggalkan perkebunan.Lelaki tampan itu lalu berjalan ke ruang kerja pribadinya. Setengah perjalanan ia kembali bertemu Dion yang sedang berbincang dengan sekertaris perusahaan.Tangan Rainer melambai pada Dion. Ia memberi kode pada sahabatnya untuk masuk ke ruang kerja."Ada apa? Aku b
Claire memejamkan mata. Indra pendengarnya menangkap melodi yang mengalun pelan. Membuatnya mengantuk dan akhirnya bernapas teratur.Seorang wanita berusia lebih dari empat puluh tahun menatap penuh perhatian. Edelwies, terapis yang khusus dikirim Brandon merupakan tenaga profesional di bidang kesehatan mental.Terapis itu sedang berusaha membawa Claire pada alam bawah sadarnya."Hai, Claire," sapa Edel."Hmmm ... hai, Edel.""Kamu terlihat lebih sehat sekarang. Sebenarnya, bagaimana keadaanmu?""Mmmm," Claire bergumam. "Tidak tau.""Apa yang membuatmu ragu?"Claire mengembuskan napas panjang. Dahinya mulai berkerut. Matanya yang terpejam berkedut-kedut.Edel memberi Claire sedikit waktu. Ia menuliskan catatan pada berkas kesehatan pasiennya."Ada apa, Claire?""Hari ini aku melihat banyak bayangan. Aku bingung.""Ceritakan padaku tentang bayangan-bayangan itu."Claire bercerita tentang apa yang dilihatnya hari ini. Saat mengungkapkan perasaannya, bibir wanita cantik itu mulai bergeta
Rainer menatap mobil yang membawa Edelweis pergi. Terapis itu menyempatkan diri melambai pada Claire yang masih berbincang dengan telepon. Rainer menyimpulkan bahwa Claire tidak menyukai pernikahan mereka karena wanita itu tidak mengingatnya.Tentu saja. Mereka menikah karena satu tujuan, bukan atas dasar cinta. Padahal sementara ini, Claire baru mengingat hal yang ia sukai saja.“Sudah?” Rainer menyambut Claire yang menghampiri.Kepala Claire mengangguk. Bergandengan tangan mereka masuk ke dalam manor. Dengan nada ceria, Claire mengungkapkan hasil terapinya hari ini.“Aku sudah bisa mengingat banyak hal,” ucap Claire.“Terutama hal yang kamu sukai.”“Hehe … iya. Lalu, aku jadi sadar sekarang. Bahwa ternyata kita sangat berbeda.”Lelaki di sebelah Claire terdiam. Tidak mengiyakan tidak juga menyanggah pernyataan tersebut.“Aku jadi heran, kenapa akhirnya kita bisa menikah? Ternyata benar bahwa cinta bisa membutakan,” celoteh Claire.Rainer tidak bisa berkomentar. Ia hanya tersenyum, m