Entah mengapa tidak ada yang protes Stella selalu hadir di antara keluarga Conrad. Lagipula, apa wanita ini tidak memiliki keluarga yang mencarinya? Bahkan dengan santainya, ia menginap dan tidur di kamar tamu seolah-olah kamar tersebut sudah menjadi tempat permanennya.Tentu saja Claire tidak bisa mengungkapkan rasa keberatan. Meskipun aneh, tetapi ia berusaha bersikap biasa saja. Ia hanya berpikir, mungkin selama ini karena Rainer di luar negeri, Stella juga membantu menjaga orang tua dan Granny Rainer.“Makan malamnya selalu lezat. Terima kasih, Mama,” puji Rainer.“Kebetulan tadi Mama hanya masak satu menu. Untung saja Stella datang dan memasak makanan lain. Jadi, ucapan terima kasihnya untuk Stella saja.”Dengan manis, Rainer mengucapkan terima kasih pada teman dekatnya. Claire mau tak mau mengikuti. Terlihat wajah Stella sumringah.“Kamu memang pandai sekali memasak, Stella.” Adam memuji masakan Stella.“Ah, biasa saja, Pa. Banyak kok, wanita-wanita lain yang lebih pintar memasa
Sambil menganggukkan kepala, Rainer menjawab perintah Maya. “Tanpa Mama suruh, aku akan pergi.”Lalu, Rainer mengambil senter dan segera melesat keluar.Stella hanya bisa tertegun. Sebenarnya ia bisa saja mengatakan bahwa Claire tadi pergi mengambil lemon di gudang penyimpanan. Tetapi, ia sangat takut keluarga Conrad akan menyalahkannya. Wanita itu memilih pura-pura tidak tau keberadaan Claire.Adam juga akhirnya pergi. Ia mengatakan akan berkordinasi dengan tim pencari orang hilang. Sebagai kepala rumah tangga akhirnya ia menyadari bahwa Claire sesungguhnya adalah tamu yang sama sekali belum mengenal betul daerah Conrad.Rainer berjalan di dera angin kencang. Pelindung mata yang ia gunakan hampir tidak berfungsi. Gemuruh angin dan petir bersahutan. Kilat memancar ke segala arah.“Claireee!” Rainer berteriak kencang.Lampu senternya ditujukan ke segala arah. Tak ada siapa pun kecuali pepohonan yang bergoyang-goyang kencang ditiup angin.“Clairee … ini aku, Rainer”! Rainer kembali bert
Rainer bergumam pelan sambil menatap dalam wajah Claire. Tubuh lemah itu sudah tidak bergetar, namun masih terasa sangat dingin. Seolah pembuluh darah di tubuhnya tidak mengalir semestinya.Dokter Westly baru datang setelah satu jam Claire ditemukan. Lelaki yang merupakan dokter keluarga itu memeriksa Claire dengan seksama. Kini, matanya menatap wajah Claire yang pucat pasi.“Bagaimana ceritanya bisa sampai begini, King?” tanya Dokter Westly.Terbata, Rainer bercerita. Sangat detail hingga pengalaman traumatis yang dimiliki istrinya.Sambil mendengarkan, Dokter memasang alat infus. Dua kantong obat kini mengalir di tubuh Claire.“Kita harus terus-menerus mengecek suhu tubuhnya. Saat ini masih jauh di bawah normal.”Rainer mengangguk, kemudian bertanya, “Kenapa istriku tidak sadar-sadar?”“Sepertinya trauma itu kembali. Claire pasti sangat ketakutan hingga memilih tidak bangun.”“Apa maksudnya ia memilih tidak bangun?” sentak Rainer yang kembali diserang rasa panik.Dokter menjelaskan
Dengan hati pedih, Rainer mendekap Claire. Selama beberapa saat wanita itu masih terisak hingga kemudian tertidur kembali.Perasaan Rainer hancur. Ia dapat merasakan jiwanya seperti tenggelam. Giarah hidupnya merosot, menciut dan hilang.Meskipun Claire tidur, Rainer banyak bercerita. Tentang perusahaan Rischmont, tempat di mana pertama kali mereka bertemu. Tentang pekerjaan mereka yang banyak.Tidak ada yang Rainer lakukan selain duduk di samping Claire. Memegangi tangannya dan sesekali menciumnya dalam-dalam. Mengucapkan kata maaf beribu-ribu kali karena terlambat menemukannya dalam badai.Suatu ketika, Claire terbangun. Rainer yang sedang menatap istrinya spontan tersenyum.“Hai, My Lady.”“A-Aku mau ke kamar mandi.”“Baik. Aku bantu.”Rainer memegangi lekuk pinggang Claire saat mereka berjalan ke kamar mandi. Sampai di depan pintu, Claire berhenti dan menoleh menatap Rainer.“Sampai sini, aku bisa sendiri.”Wanita itu melangkah masuk ke kamar mandi seorang diri. Mengunci pintu dar
Bentakan pelan itu membuat Brandon menatap asal suara. Seorang wanita berwajah bijaksana, dengan penampilan sederhana pun menatapnya. Brandon melirik Rainer.“Apa ini orang tuamu?”“Rainer mengangguk, lalu berdiri di samping Adam. “Kenalkan Adam dan Maya, Papa dan Mama saya, Tuan Brandon.”Tanpa membalas perkenalan, Brandon menjawab, “Di mana kita bisa bicara?”Rainer tidak langsung menjawab. Mata lelaki itu menatap Claire yang masih tertidur. Ia enggan meninggalkan istrinya.“Orang-orang kepercayaanku akan menjaga, Claire.” Brandon berkata seolah mengerti keberatan Rainer.Kini, Rainer menatap orang tuanya. Adam mengangguk memberikan kode. Ia dan Maya berjalan lebih dulu keluar.“Silahkan, Tuan.” Rainer mengarahkan jalan menuju ruang keluarga.Ruangan itu besar, dengan jendela lebar menghadap bukit yang di bawahnya terdapat sungai. Suasana yang asri ini tidak membuat Brandon tenang. Ia bahkan tidak duduk walaupun telah dipersilahkan.Sambil berdiri, Brandon menatap ketiga orang di de
Stella menggeleng panik. “Aku tidak tau apa-apa.”“Kami juga tidak. Tetapi, saran saya, bersiap lah, Nona. Saya yakin, Tuan Brandon akan mengusut tuntas tragedi ini secara putri kesayangannya terluka cukup parah.”Setelah mengucapkan pendapatnya, Indy berjalan menjauh. Wanita itu meninggalkan Stella yang terpaku di tempat. Hingga akhirnya teman dekat Rainer itu memilih pergi dari manor.Di dalam ruang keluarga, Brandon masih berkeras untuk membawa Claire pulang. Ia tidak ingin putrinya dirawat bersama keluarga yang tidak ia percaya.Mendengar pernyataan tersebut, tentu saja Maya dan Adam merasa tersinggung.“Tuan Brandon, tolong beri aku kesempatan,” mohon Rainer.Brandon terdiam, lalu menatap Adam dan Maya.“Kalian juga pernah memiliki anak perempuan satu-satunya. Aku tau cerita itu dari Claire. Bagaimana rasanya saat ia sakit? Seharusnya kalian paham apa yang aku rasakan sekarang.” Brandon melirih sedih.Jika tadi Brandon terlihat angkuh, kini mereka melihat Brandon yang rapuh.Lela
“Siapa dia?” Brandon bertanya seraya menatap Stella.“Stella. Dia adalah teman Rainer dan mendiang adiknya Nita. Wanita ini lah yang terakhir kali bersama Claire sebelum putrimu pergi keluar dari rumah.” Adam menjelaskan.Brandon memang tidak pernah main-main. Saat ia mengatakan ingin mengusut tuntas kenapa putrinya bisa keluar rumah saat akan ada badai, ia benar-benar menyelidikinya.“Mmm … apa yang ia lakukan di rumahmu?” Brandon menoleh pada Adam.“Stella memang sudah kami anggap sebagai kerabat dekat. Ia diterima dengan baik di rumah kami. Stella juga merupakan asisten Rainer di kantor.” Maya kini ikut menjelaskan.Sementara itu, Stella menundukkan kepala. Ia sangat sungkan dengan Brandon. Lelaki itu terlihat sekali aura kekuasaannya.Ayah kandung Claire itu kini menatap Stella. Mengamatinya dengan seksama. Wanita di depannya, cantik dan sederhana.“Ceritakan bagaimana saat terakhir Claire bersamamu?” titah Brandon tanpa basa-basi.Wanita itu melirik Maya. Ibu yang melahirkan Rai
“Granny kenapa?” Mata Claire seketika membulat pada Rainer.Bukannya perhatian pada teleponnya yang hilang, Claire justru memikirkan perkataan Rainer tentang Granny. Lelaki itu tersenyum melihat kekhawatiran istrinya.Perlahan, Rainer menceritakan peristiwa tersebut. Claire tampak termangu. Berusaha mengingat namun kemudian kepalanya menggeleng lemah.“Aku tidak ingat,” ucap Claire sedih.“Tak apa, My Lady. Nanti juga kamu akan ingat semuanya.”“Bagaimana caranya agar ingatanku kembali seperti dulu?” Claire berbicara sambil termenung sendiri.“Sepertinya … kamu harus mengatasi traumamu dulu.”Kepala Claire menoleh menatap wajah Rainer.“Coba ceritakan padaku bagaimana aku bisa memiliki trauma itu?”Dengan senyum miris, Rainer mencerita persis seperti apa yang pernah Claire ceritakan padanya. Wanita di samping Rainer spontan merapatkan dirinya pada tubuh sang suami.“Sudah. Hentikan. Aku ingat peristiwa itu.” Claire melirih.Rainer mengelus halus rambut Claire. Mengecup dahi dan mengus
Mansion ramai dengan tamu-tamu kecil. Mereka berlarian di taman yang di sulap menjadi halaman playground anak-anak. Berbagai macam mainan dan hidangan tersedia di sana.Karakter-karakter dari berbagai film anak-anak muncul di taman. Mahluk-mahluk kecil itu menjerit senang. Kelakuan mereka tentu saja membuat senyum tak hentinya terukir dari wajah para orang tua.Begitu pula dengan Claire dan Rainer. Pasangan suami istri itu duduk bersama Brandon, Adam, Maya dan Granny. Meskipun ramai, mata mereka tak pernah lepas dari empat sosok tak jauh dari mereka.Rinna dan Linda sedang menemani adik-adiknya. Xavian dan Azran, anak lelaki kembar yang tampan itu kini sedang merayakan ulang tahun pertama mereka."Ternyata Rinna dan Linda sangat telaten menemani adik-adik mereka, ya." Maya menatap bangga pada cucu-cucunya yang rupawan."Kalian mendidik mereka dengan tepat. Kami bangga sekali." Adam menimpali ucapan istrinya."Betul. Aku pun sangat bangga pada cucu-cucuku. Aku senang sekali pamer merek
Rinna dan Linda terlihat saling menatap. Ditunggu beberapa saat pun, tetap saja keduanya diam sambil menundukkan kepala. Hingga akhirnya Rainer berjongkok di depan putri-putrinya.“Papi tau sebenarnya kalian belum mengerti bagaimana memiliki adik. Kalian hanya merasa telah memiliki satu sama lain hingga tidak memerlukan adik.” Rainer mengungkapkan pikirannya.Lelaki itu lalu menjulurkan tangan kepada sang istri. Claire segera menggenggam tangan Rainer. Mereka saling bertatapan dengan senyum di wajah masing-masing.Tangan Rainer lalu mengusap lembut perut Claire. Rinna dan Linda memperhatikan apa yang dilakukan Papi mereka.“Tetapi, di dalam perut Mommy ini sudah ada bayi. Adik kalian. Tuhan yang memberikannya kepada kita, seperti kalian.”“Kita tidak boleh menolaknya karena ini merupakan anugrah,” imbuh Rainer lagi.Lalu, Claire pun ikut berjongkok dan menatap kedua putrinya.“Jadi, jangan membenci sesuatu yang diberikan Tuhan. Apalagi kalian belum melihat dan merasakan bagaimana menj
“Mommy dan Papi ‘kan setiap hari bertemu dengan kalian. Jika kalian mau berlibur sebentar bersama Grandpa, Kakek, Nenek dan Gangan, pasti kami izinkan,” ucap Rainer pada putri-putrinya.“Memangnya Mommy dan Papi tidak kangen kami nanti?” Rinna bertanya dan menatap kedua orang tuanya.“Iya. Kami saja baru berpisah sebentar, kangen,” timpal Linda sambil memeluk saudara kembarnya.Claire mengamati putri kembarnya yang kini berpelukan. Sungguh sulit memisahkan mereka berdua. Padahal psikolog anak sudah mengingatkan bahwa mereka harus paham bahwa mereka adalah dua individu.Selama ini, Rinna dan Linda bertindak layaknya mereka adalah satu orang. Semua harus sama. Pakaian, mainan, juga berkegiatan.Pernah suatu ketika Claire dan Rainer membawa masing-masing satu anak. Hebatnya, keduanya tetap melakukan kegiatan yang sama meski berbeda jarak.Saat Rinna makan spaghetti, ternyata Linda pun meminta makanan yang sama. Saat Linda tidur, termyata Rinna pun tidur. Hingga akhirnya Claire dan Rainer
“Ada apa dengan menantu cantikku?” Maya bertanya pada Brandon.“Beberapa hari yang lalu, Claire sempat terlambat makan karena sibuk meeting. Aku pikir, sakitnya sudah membaik. Entahlah.” Brandon mencoba menjelaskan.Di dalam kamar, Rainer mengumpulkan rambut Claire dan memeganginya. Tangannya yang bebas mengusap-usap lembut punggung sang istri. Claire sedang memuntahkan makanan yang baru saja ia makan.Rainer yang membersihkan bekas muntahan di wastafel kamar mandi. Claire keluar dan segera berbaring. Rasanya ia mual sekali.“Aku ambilkan jeruk dingin mau?”Claire menggeleng pada tawaran Rainer. “Aku mau lemon hangat saja.”“Oke. Sebentar, ya.”Sebelum keluar kamar, Rainer mengusap sayang kepala sang istri. Mencium dahinya dalam-dalam. Lalu, membuka pintu untuk kembali ke dapur.Namun, ia segera tertegun. Di depan pintu, Brandon, Adam menggendong Rinna, Maya menggendong Linda hingga Granny berdiri sambil menatapnya. Mereka menuntut penjelasan.“Kenapa putriku muntah-muntah?” Brandon m
Si kembar berlarian di dalam pesawat pribadi milik Rainer. Mereka hanya duduk manis selama makan. Setelah itu kembali aktif hingga akhirnya tertidur.“Pantas saja kamu sering meringis saat mereka di dalam perut, My Lady.” Rainer menggeleng sambil mengusap sayang kepala kedua putrinya.“Iya, mereka memang aktif sejak embrio.” Claire terkekeh.Rainer tersenyum. Ia menciumi wajah putri-putrinya. Kemudian kembali duduk di samping Claire.Rinna dan Linda tidur di kursi yang berhadapan dengan kursi Claire dan Rainer. Sementara Brandon telah beristirahat di kamar pesawat.“Bagaimana kalau yang ini?” Rainer bertanya pelan sambil mengusap perut Claire. “Apa ia juga seaktif kakak-kakaknya?”Tangan Claire melapisi tangan Rainer, lalu menggeleng. “Janin ini belum bergerak. Tetapi, karena kehamilan pertama sudah merasakan gerakan aktif, aku tidak akan kaget kalau kali ini pun janinnya setipe.”Kekehan keluar dari tenggorokan Rainer. Ia merentangkan tangan dan merangkul sang istri. Kepala Claire ki
Sampai di kafe, Rainer langsung memesan segelas jus buah. Ia memberikannya kepada Claire sambil menunggu makanan datang. Claire perlahan meminumnya jusnya.“Enak? Gulanya cukup?”Claire hanya mengangguk lalu memegangi kepalanya yang terasa berat.Akhirnya, Rainer berinisiatif memijat tengkuk sang istri. Merasa tidak bertambah baik, Claire menepis tangan Rainer dan menggeleng untuk memberi kode agar berhenti memijatnya.Kemudian, Rainer hanya mengusap-usap pelan punggung sang istri.Makanan mereka datang. Rainer menawarkan untuk menyuapi Claire, namun istrinya menggeleng. Claire makan sedikit demi sedikit.“Mungkin seharusnya aku minum obat lambung dulu, ya.” Claire berkata saat ia kesulitan menelan makanannya.“Mau aku belikan obat lambung di apotik dulu?”“Tidak usah. Aku sudah terlanjur makan.”Rainer mengangguk. Ia kembali memperhatikan Claire makan. Hanya setengah porsi yang berhasil dihabiskan.“Apa masih terasa pusing?”Claire mengangguk. “Sekarang malah tambah mual.”“Hmm … mun
Rainer datang saat ke perusahaan Rischmont untuk menjemput putri-putrinya. Dari jauh ia sudah melihat si kembar yang berlarian di lobi. Sedikit kekacauan mereka buat saat berbagai kertas, alat tulis atau bahkan kabel komputer menjadi mainan.“Nona, nanti kesetrum. Letakkan kabelnya, ya.” Pengasuh Linda melarang nona mudanya menarik-narik kabel.“Kabelnya lucu. Warnanya ungu.” Linda beralasan saat pengasuh bertanya kenapa ia senang sekali pada kabel tersebut.“Nona Rinna, itu kertas penting. Gambar di kertas lain saja, ya.” Kini pengasuh memohon pada nona mudanya agar kertas-kertas yang ia ambil diletakkan ke tempat semula.Kedua pengasuh bernapas lega, saat melihat Rainer masuk. Lelaki dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga sikunya itu tersenyum pada kedua anak perempuan yang menunjuk-nunjuk dirinya.“Papi.” Keduanya lalu berlarian menghampiri Rainer.Kedua tangan Rainer terentang lebar. Ia memeluk kedua putrinya sekaligus kemudian menciuminya satu persatu. Setelah itu ia m
“Grandpa tidak mengerti. Coba ceritakan apa yang terjadi.”Claire membiarkan si kembar bercerita. Bibir mungil kedua putrinya bergerak-gerak tak henti. Cerita mereka sungguh random.Dari kesal karena mereka akan dipisahkan di kelas berbeda. Kemudian melihat Papi mencium Mammy di bibir. Lalu, permainan menarik di playground sekolah. Hingga mereka kemudian kembali pada cerita saat bertemu guru pertama kali di sekolah.“Aku tidak suka gurunya!” Si kembar berkata berbarengan.“Guru itu tidak melakukan apa pun pada kalian.” Claire menimpali ucapan si kembar.“Memangnya kalau memisahkan anak berarti tidak melakukan apa pun?”Umur mereka baru dua tahun. Namun, sungguh, terkadang Claire sampai bingung menjawab pertanyaan atau bahkan terpana dengan ucapan yang meluncur dari bibir putri-putrinya.“Sekolah melakukannya agar kalian bisa mandiri tanpa ketergantungan satu sama lain.”Sejenak si kembar saling menatap wajah masing-masing. Tiba-tiba dua anak kecil perempuan itu saling berpelukan erat.
Dua Tahun Berikutnya.“Erinna Rainclare Conrad dan Erlinda Rainclare Conrad.”Dua anak perempuan berlarian menghampiri seorang wanita yang memanggil nama lengkap mereka. Rainer dan Claire hanya terkekeh dan mengikuti putri-putri mereka.“Yang mana Rinna dan yang mana Linda?” Wanita yang berprofesi guru sekolah itu bertanya pada dua anak cantik di depannya.“Aku Rinna.”“Aku Linda.”Bergantian anak kecil itu menjawab. Wanita di depan mereka melirik Rainer dan Claire yang mengangguk membenarkan. Maklum wajah kedua kembar itu sangat mirip.Rinna dan Linda saat ini sedang trial untuk masuk sekolah playgroup. Keduanya sangat bersemangat. Meskipun menurut Rainer keduanya masih sangat kecil untuk bersekolah, tetapi akhirnya ia menyetujui saat putri-putrinya itu terus merengek.“Rinna di kelas A, dan Linda di kelas B,” ucap guru tersebut.Kedua anak perempuan itu lalu menatap guru mereka. Kemudian menatap Rainer dan Claire. Rinna dan Linda mundur teratur sambil menggelengkan kepala.“Rinna ma