Qizha menyetir mobil dengan pelan. Masih menyesuaikan diri setelah lama tidak menyetir. Senyumnya mengembang. Ternyata begini rasanya menyetir mobil. Hati gembira. Hei, jangan katrok ah. Awal- awal nyetir pasti bawaannya hepi, malu- maluin saja. lama- lama juga pasti akan merasa bosan.Qizha menambah kelajuan mobil sambil senyum- senyum. Ada kesan tersendiri menyetir mobil begini. Tiba- tiba sebuah mobil asing warna cokelat muncul dari arah belakang, lalu mobil itu mengiringi di sisinya. Setiap kali Qizha menambah tingkat kelajuan, mobi di sbeelahnya juga ikutan menambah kelajuan. Lalu saat Qizha menginjak rem untuk mengurangi kecepatan, mobil di sebelah pun juga ikutan pelan.Siapa sih? Iseng sekali? Qizha mulai kesal. Dia menurunkan kaca jendela dan membunyikan klakson. Tidak kelihatan siapa pengemudi di sebelahnya, kaca mobil bagian samping terlalu gelap. Qizha kembali membunyikan klakson, namun mobil itu tetap saja mengiringinya tanpa mau melaju. Apa maunya
Qizha melangkah keluar dengan kaki agak pincang. Mukut meringis menahan nyeri. entah sudah ke berapa kali ia mengalami luka begini. Qasam yang berdiri di dekat pintu, langsung menoleh. Menghadap Qizha dengan tampang lempeng. Datar sekali. Alisnya terangkat sempurna. "Sudah?" tanya Qasam. "Sudah," jawab Qizha dengan senyum lebar. Qasam langsung balik badan, tak ada reaksi apa pun. Setidaknya menanyakan apakah Qizha baik- baik saja atau apa pun. Bahkan pria itu pun tidak membantu Qizha berjalan. Duh, sabar- sabar saja punya suami begini. Untung saja Qizha masih punya stok kesabaran. Tapi memang dia yang salah, ya sudah terima saja.Qizha memasuki mobil, duduk bersisian dengan suaminya yang memegang kemudi.“Maaf ya, aku merusak mobilmu!” lirih Qizha. “Tapi aku yakin asuransi akan dengan cepat menyelesaikan urusanmu itu.”“Lupakan!”Qizha tak tahu apakah suaminya itu sedang marah atau tidak.“Lapar?” tanya Qasam.“Aku?”“Ya.”“Sedikit.”“Kalau begitu kita makan dulu.” Qasam m
Qizha sudah berdiri di depan sebuah rumah elit. Kali ini ia berada di rumah Ameena. Mungkin wanita ini bisa dimintai keterangan mengenai hubungannya dengan Qasam.Berdasarkan penelusurannya yang mencari tahu alamat Ameena melalui Fahri, ia mendapatkan alamat tersebut. Tapi Fahri meminta Qizha supaya tidak memberitahu kepada Qasam kalau dia yang memberitahukan alamat rumah itu. Tentu saja Qizha memegang amanah.Seorang asisten rumah tangga menyembul keluar membuka pintu sesaat setelah Qizha memencet bel pintu.“Selamat pagi! Cari siapa ya, Non?” tanya wanita paruh baya itu.“Cari Ameena. Ada?”“Non Ameena sudah beberapa bulan ke luar negeri, menyusul orang tuanya,” sahut wanita paruh baya itu dengan senyum ramah.“Oh…”“Ada perlu apa, Non? Nanti biar saya sampaikan.”Qizha tersenyum dan menjawab, “Tanya kabar saja.”“Oh, Non ini temennya Non Ameena? Saya nggak pernah lihat.”“Teman lama.” Qizha ingat pernah bertemu dengan Ameena waktu itu. ameena terlihat sangat ramah dan sopa
“Kamu yakin tidak tahu perkara ini?” tanya Qizha ingin meyakinkan dirinya.“Yakin. Setahuku, Qasam tidak punya wanita lain selain kau. tapi entahlah kalau dia pun menyembunyikan hal itu juga dariku,” sahut Fahri.“Bisakah kamu membantuku mencari tahu hal ini?”“Tidak ada clue apa pun, harus mulai dari mana aku mencari tahu hal itu?” Fahri mengangkat pundak.“Begini, aku mendapat informasi kalau Mas Qasam itu menyimpan wanita simpanannya itu di komplek perumahan Puri Indah.” Qizha lalu menyebutkan alamatnya lengkap.“Bukankah itu adalah perumahan elit?”“Ya. Tepat sekali. Kamu bisa cari tahu hal ini di sana.”“Jadwalku saja penuh sekali mengurus pekerjaan milik Qasam. Bagaimana aku akan sempat menyelidiki ini? bahkan saat aku ketahuan menyelidiki ini, pasti aku akan habis di tangan Qasam. Dia akan menggantungku di jembatan hidup- hidup dan menjadikan aku umpan buaya.”“Jangan sampai dia tahu dong,” sergah Qizha.“Siapa yang bakalan tahu kalau tindakanku ini bakalan diketahui a
“Posisi tinggalnya dimana ya tepatnya? Agak lupa saya,” ucap Qizha pura- pura, beginilah caranya memancing untuk dapat mengetahui tempat tinggalnya Qasam.“Saya kurang ingat juga letak persisnya, Mbak. Tapi Mbak bisa ke lantai Sembilan belas, tanya satpam di sana saja,” jawab satpam memberikan arahan.“Makasih, Pak.” Qizha sudah mendapatkan gambaran. Intinya di lantai Sembilan belas. Lift membawa Qizha menuju ke lantai Sembilan belas. Tak sabar rasanya ia ingin menemui siapa wanita yang bersama dengan Qasam?Apakah ada wanita baru di kehidupan suaminya itu? Apakah suaminya benar- benar memiliki wanita simpanan?Keluar dari lift, langkah Qizha bergerak dengan cepat. Namun, makin lama langkahnya itu makin memelan. Hatinya sudah mulai gundah, kakinya pun sedikit lemas. Andai saja dia mengetahui kebenaran ini, apakah ia akan sanggup menghadapinya? Ataukah dia pura- pura tidak tahu saja supaya bisa menjalani rumah tangganya tanpa peduli dengan apa yang terjadi dengan Qasam?Ti
Qizha ingin menangis menatap gadis di hadapannya itu. Qizha masih sangat ingat dengan wajah gadis ini. Qansha. Sangat mirip dengan Qasam. Ada darah yang sama mengalir di tubuh mereka, gen yang sama, juga keturunan yang sama. Qizha pernah memberikan minuman kepada gadis ini ketika gadis ini bekerja di kantor yang sama, QIzha pernah menyimpan foto wajah gadis ini. Ya, Qizha tentu ingat betul wajah itu. Sedikit pun tak ada perubahan dengan wajah Qansha, masih sama seperti tempo waktu. Benarkah gadis yang ada di hadapannya ini bernama Qanshaa? Qizha tidak salah lihat kan? Ya Tuhan, benar itu adalah Qansha. Sampai beberapa kali Qizha mengdipkan-ngedipkan mata demi memastikan. Dan memang benar pandangannya tidak salah. Dia tidak sedang berhalusinasi.Jadi, apa yang dikatakan oleh Hasan ada benarnya juga. Artinya wanita yang menempati salah satu rumah megah di komplek perumahan elit itu adalah Qansha. Tidak salah lagi. Pasti Qansha. Qasam buru- buru memindahkan Qansha
“Apa urusanmu, Kak Qizha? Ini adalah urusanku dengan keluargaku,” kesal Qansha. “Kalau mereka sampai tahu aku di sini, maka aku tidak akan memaafkanmu selamanya.”“Apakah Mas Qasam memaksamu bersembunyi?” tanya Qizha. “Mas Qasam sudah menceritakan semuanya tentangmu. Kamu ini kakak iparku, istri pengganti Kak Ameena yang gagal menikah dengannya. So, kamu memang menaburkan racun ke minumanku, tapi semua dilakukan tanpa sepengetahuanmu. Aku sudah tahu semua itu. tapi aku diam. Sekarang giliranmu diam meski mengetahui tentangku.”“Kasus kita berbeda, Qansha. Kamu tidak bisa terus bersembunyi begini.”“Keluar, Kak! Keluar sekarang!” Qansha mendorong dada Qizha.“Qansha. Ini masalah besar. Kamu jangan anggap sepele. Ayahku bahkan sampai harus masuk penjara karena tuduhan pembunuhan atas dirimu. Kalau kamu masih hidup, maka tuntutan penjara atas ayahku bukanlah tuntutan atas kematian seseorang.” Qizha menolak saat didorong. “Kamu harus muncul karena kasusmu ini menyangkut
“Cepat, Pak! Saya mau segera sampai rumah!” titah Qizha pada supir taksi. Qizha benar- benar sudah tak sabar ingin segera sampai rumah dan menemui Habiba.Qizha ingin mengatakan semuanya tentang Qansha. Bahwa adik iparnya itu ternyata masih hidup.Habiba tak perlu merasa sedih berkepanjangan atas kepergian Qanhsa, karena sebenarnya Qansha tidaklah pergi. Kasian Habiba bila harus merasa sedih berkepanjangan. Mertuanya itu adalah orang baik.Lagi pula, kenapa Qasam juga tidak mau berterus terang atas masalah ini? dia malah ikutan berkomplot dengan Qansha untuk menyembunyikan keberadaan adiknya itu. sungguh terlalu!Tiba- tiba mobil berhenti mendadak, membuat tubuh Qizha otomatis terdorong maju. “Ada apa, Pak?” tanya Qizha ingin marah, namun urung. Qizha sedang panik dan kesal, malah dibikin makin kesal saat hidung bangirnya hampir menyentuh kursi depannya. Untung saja ia gesit berpegangan.“Ada mobil melintang di depan, Mbak,” sahut supir cemas. “Itu mobil kenapa berhenti men