Qasam masuk ke mobil. Ia melajukan mobil menuju ke perusahaan. Fahri menyambut kedatangan Qasam di lobi ketika Qasam masuk dengan langkah lebar. “Ada ibu Habiba di ruanganmu!” ucap Fahri mengiringi langkah Qasam. Sekilas saja Qasam menatap Fahri. Kemudian masuk lift. Langkah lebar membawa Qasam menuju ke ruangannya sesaat setelah pintu lift terbuka. Fahri mengikuti. “Mama?” Qasam mengangkat alis menatap mamanya sudah duduk di sofa. Wanita berpenampilan elegan itu duduk dengan kaki menyilang sambil menatap layar ponselnya. Santai sekali. Tas jinjing di atas meja. “Qizha mana?” Qasam mengusap wajah kasar. “Ayolah Mama. Kenapa selalu Qizha Qizha dan Qizha terus yang mama tanyakan? Di rumah tadi mama baru saja menanyakannya, sekarang masih juga menanyakan dia. Bukankah tadi mama sudah bertemu?” “Setahu mama dia bekerja di sini. Tapi tadi kata Fahri dia belum masuk. Bukankah tadi dia berangkat ke kantor bersamamu? Tentu kamu tahu dia dimana. panggil dia kemari. Mama m
Qasam mengemudikan mobil dnegan kelajuan tinggi. Wajahnya panik menatap ke depan. Jalanan terlalu ramai. Sulit sekali untuk menyalip kendaraan di depan. Padat merayap. "Ya ampun! Gila, apakah harus sepadat ini?" Qasam menatap jam di tangan. Jam segini memang sedang padat- padatnya kendaraan di jalan raya. "Ah ya ampun!" Qasam kesal sendiri jadinya. Sesekali ia memukul bundaran setiran sambil merutuk. "Ya Tuhan, maafkan aku terus saja menjadi kesal. Kenapa di saat begini selalu saja ada kendala. Selalu saja tidak ada yang berpihak kepadaku. Sebenarnya terbuat dari apa isi kepala Qizha, sudah diperlakukan dengan sangat buruk, masih saja diam- diam mengorbankan dirinya demi aku." Qasam bicara sendiri saking tak habis pikir dengan kelakuan Qizha. Andai saja Qizha dengan sengaja berbuat baik di hadapan Qasam, jelas itu adalah sikap untuk mencari perhatian. Tapi ini Qizha melakukannya tanpa sepengetahuan Qasam. Wanita itu tidak sedang cari perhatian, tidak juga sedang mencuri hati Qas
"Dimana kau?" tanya Qasam cepat.Bukannya menjawab, malah terdengar suara isakan tangis di seberang. Jantung Qasam berdentuman, rasanya panas membara, juga panik. "Dimana kau? Katakan! Jangan malah menangis!" tuntut Qasam. "Tt tolong aku!" Suara Qizha terbata. "Qizha, ayolah bicara! Iya aku akan menolongmu, tapi katakan dimana kau!" Qasam sambil menyalakan mesin mobil. "Jalan Ambarawa!"Sambungan telepon langsung terputus.Qasam langsung menjalankan mobil menuju ke alamat yang disebutkan. Saking terburu- buru, sampai- sampai ia beberapa kali hampir menabrak kendaraan lain. Untung saja Qasam lumayan gesit dan lihai dalam hal menyetir mobil. Apa yang terjadi dengan Qizha? Kenapa dia menangis? Apakah Khazim berbuat macam- macam pada Qizha? Qasam ngebut, selip sana selip sini. Mobil yang berlawanan arah sampai harus membunyikan klakson berkali- kali saat Qasam menyalip. Qasam kembali menelepon Qizha, namun ponsel wanita itu sudah tak aktif. "Heei... Kenapa malah mati? Oh tidak!"
Qasam menggapai tangan Qizha. Namun tak mungkin ia menarik tangan itu dengan paksa, tubuh Qizha terjepit di dalam. Akan Berbahaya jika ditarik paksa. Qasam menarik pintu, berusaha membukanya. Namun tak mehgasilkan apa pun. Pintu yang sudah penyok itu sulit dibuka. Qasam lalu menendang pintu supaya terbuka. Sia- sia. Pintu tetap saja tak bisa dibuka. Dengan panik, Qasam berlari menuju mobilnya mengambil dongkrak. Lalu ia segera mendobrak pintu dengan dongkrak. Mengerahkan semua tenaga untuk bisa mencungkil pintu. Krak! Suara pintu berderak. Sedikit terbuka. Tangisan Qizha terdengar sangat keras, ia kesakitan. Qasam makin panik mendengar jerit tangis Qizha. Gerakan tangannya yang tengah berusaha membuka pintu dengan dongkrak pun jadi tak karuan. Semakin merasa gusar dan panik, semakin tak becus arah yang dia tonjok dengan dongkrak. Krak! Lagi, pintu berderak. Kali ini pintu berhasil dibuka. Qasam melempar dongkrak ke sembarang arah. Ia berjongkok, menggapai tan
Qasam tertidur di mushola rumah sakit, di lantai sembilan belas. Ah ya ampun ia sampai tak sadar dengan apa yang terjadi saking mengantuk berat. Jam besuk untuk menjenguk Qizha hanya di waktu tertentu saja, itu pun satu jam saja. Dan di setiap waktu yang ditentukan, Qasam tak pernah lalai membesuk. Sebenarnya Qasam ingin membawa Qizha ke rumah sakit milik Husein. Di samling fasilitas lebih hebat, dokternya handal, juga tak perlu pikir panjang untuk meminta keistimewaan. Namun, ia tak mau ada satu pun keluarganya yang tahu kondisi Qizha. Terutama mama dan papanya. Kalau mamanya sampai tahu keadaan Qizha, bisa panjang urusannya. Bahkan, Qasam akan menjadi orang pertama yang selalu disalahkan. Kemudian tatapan mamanya akan terlihat seperti orang yang sedang menghakimi pembunuh itu tak sudi menatapnya lagi karema menganggapnya sebagai sosok yang jahat. Pekerjaan kantor sudah diserahkan kepada Fahri, ia tak perlu merasa cemas dengan urusan kantor. Justru yang ia cemaskan ad
Dua minggu, Qasam tidak pulang ke rumah. Dia tidur di hotel, siang hari mengurus pekerjaan tanpa harus masuk kantor. Sesekali ke rumah sakit untuk membesuk Qizha. Mamanya tidak pernah menanyakan keberadaannya. Siapa pun tak akan pernah menanyakannya. Mereka paham bahwa Qasam adalah orang sibuk yang tak bisa stay di rumah. Semenjak Habiba dijelaskan bahwa Qizha ke luar kota bersama dengan Qasam, mamanya itu tak pernah lagi menanyakannya. Hanya sekali pernah menelepon namun hp Qizha tidak aktif, sengaja dimatikan oleh Qasam. Dan akhirnya Habiba menelepon Qasam, menanyakan kabar Qizha. Dia juga minta supaya bicara dengan Qizha, namun Qasam mengatakan kalau Qizha sedang mandi. Entah alasan apa lagi yang akan ia katakan saat Habiba kembali menghubunginya lagi nanti.Qasam kini berjalan di koridor rumah sakit. Ia baru saja mendengar kabar kalau Khazim sudah siuman dari koma. Qasam harus menemui Khazim. Khazim berhutang banyak penjelasan kepada Qasam tentang apa yang sudah terjadi hingg
Dengan langkah lebar, Qasam berjalan melintasi koridor. Dia berhenti ketika sampai di depan pintu. Di sanalah Qizha dirawat. Tangannya terjulur memegang handle, lalu membukanya dengan pelan. Matanya membelalak melihat Qizha duduk berhadapan dengan suster yang sedang mengecek infus dan peralatan medis lainnya. Wanita itu tersenyum ceria. Wajahnya berbinar, selayaknya orang yang tidak sedang sekarat. Baru kemarin Qasam membesuk Qizha dan menggenggam tangan wanita itu sambil membisikkan kata- kata penyemangat, kata cinta, kata sayang, dan banyak kata lainnya. Tak hanya itu saja, bahkan Qasam kemarin juga sempat menciumi wajah Qizha sambil membisikkan kalimat indah sebagai motivasi supaya Qizha terjaga. Lalu, kenapa sekarang sudah sehat begitu? Kalau pun Qizha baru siuman, setidaknya masih lemah. Ini kelihatan seperti sudah seminggu baikan. Peralatan medis di wajah Qizha juga sudah dilepas."Sus, kemarin saya kan minum obat tiga macam tuh, kok sekarang jadi empat ya?" tanya Qizha men
“Berapa kamu bayar dokter dan perawat untuk akting pura- puramu ini?” tanya Qasam ketus.Wih, masih pura- pura ketus juga. Padahal kemarin memohon- mohon minta Qizha cepat bangun.“Aku nggak bayar berapa pun. Aku Cuma ceritakan kisah cintaku ke meraka. Dan mereka iba. Lalu ya… beginilah kejadiannya,” jelas Qizha, kemudian melempar senyum lebar saat Qasam menatap ke arahnya.“Pulang sekarang!”“Tapi kan aku mash butuh perawatan. Kakiku juga masih sakit. Belum bisa jalan tanpa bantuan.”“Mama menanyakanmu terus. Aku tidak bisa terus menyembunyikan keadaan ini dari mama.”“Loh, jadi kamu nggak ngabarin mama kalau aku sekarat begini?” tanya Qizha.“Tidak. Aku akan katakan nanti saja. ketika kondisimu sudah lebih baik begini, maka aku akan lebih nyaman mengatakan semuanya ke mama. Tapi saat kau dalam keadaan sekarat, tentu mama akan terus mencemaskanmu, juga menyalahkan aku.”“Oke, aku akan pulang. Tapi kakiku masih belum bisa berjalan. Bagaimana caranya aku akan mengurus diriku
Qizha bermain dengan Zein di ruang main yang sengaja di desain khusus untuk anak bermain. Di sana lengkap ada berbagai macam jenis mainan, muali dari mobil-mobilan, bola, tempat mandi bola, perosotan, bahkan permainan untuk lompat-lompatan pun ada.Qizha mengawasi dari jarak beberapa meter, duduk sambil minum jus. Di sisinya ada Arini yang selalu stand by, memberikan apa saja keperluan Qizha.Si kecil mandi bila bersana dengan baby sitter yang tak pernah lepas dari posisi Zein kemana pun pergi. Qizha menatap layar ponselnya yang menunjuk tanggal dua belas, artinya tiga hari lagi Qasam pulang. Lama sekali rasanya menghitung hari. Serindu itu ternyata Qizha pada Qasam? Qizha malu jika mengingat dirinya yang nyaris seperti orang kasmaran dan jatuh cinta. Benda pipih itu kemudian berdering, nama Qasam tertera di layar. Qasam menelepon? Qizha tersenyum senang. Ia langsung menjawab telepon dan mengucap salam.“Kenapa sudah meneleponku? Kangen?” tanya Qizha.“Ha haa… tidak. Aku sama seka
Sudah tiga minggu Qasam pergi ke Jepang sejak terakhir kali Qizha mengantarnya ke bandara, pria itu belum kembali. Kemarin mengaku hanya akan perhi selama dua minggu, tapi ternyata sudah tiga minggu berlalu, Qasam belum kembali.Qizha mengerjakan aktivitas seperti biasanya, menghabiskan waktu dengan bermain bersama Zein, putra semata wayangnya. Kini, Zein sudah tumbuh makin besar. Usianya satu tahun. Di usia sembilan bulan, Zein sudah bisa berjalan. Sekarang, bocah itu sudah bisa berlari meski belum kencang.Qizha merindukan Qasam. Pria itu memang ngangenin. Sebentar tak ketemu, rasa rindu sudah sampai ke ubun- ubun. Sikap Qasam yang setahun belakangan terlihat memuliakan wanita, membuat Qizha merasa kalau Qasam itu seperti candu. Bayangkan saja, setiap saat, Qizha selalu saja mendapat kelembutan dan perhatian khusus dari suaminya. Lalu beberapa minggu, ia harus berpisah. Tentu saja ia rindu. Qizha baru saja meletakkan tubuh Zein ke kasur tidur khusus balita, berdekatan dengan kas
Baby sitter terlihat terampil ketika memandikan Zein, bayi yang baru berusia dua minggu. Qizha mengawasi di samping baby sitter. Selama ini, Qizha sendiri yang memandikan bayinya. Baru kali ini ia mengijinkan baby sitter memandikan bayinya, itu pun diawasi olehnya.“Kamu keliahtan terbiasa memandikan bayi,” komentar Qizha.“Iya, Non. Soalnya saya khusus mengurus bayi merah kan dulu sewaktu dip anti asuhan. Dan setelah masuk yayasan, saya juga jadi baby sitter,” sahut wanita yang usianya sekitar empat puluh limaan tahun itu.“Pantesan cekatan. Sini, biar aku yang pakaikan bajunya. Baju dan peralatan untuk si kecil sudah disiapkan?” Qizha mengambil alih bayinya setelah diangkat dari bak mandi.“Sudah, Non.” Qizha melangkah keluar dan segera memasang baju bayi yang sudah disediakan. Termasuk minyak kayu putih dan bedak juga sudah disediakan. Di kamar bayi itu, aroma minyam telon menguar, harum. Arini mendampingi Qizha. Dia bertugas untuk melayani Qizha. Sedangkan baby sit
Qasam membawa air hangat kuku dari pemanas air di sudut kamar sesuai permintaan Qizha dan menyerahkannya kepada istrinya itu. “Ayo minum!”Qasam membantu mendekatkan gelas ke bibir Qizha.“Aku bisa sendiri, Mas,” ucap Qizha dan mengambil alih gelas tersebut lalu meminumnya “Terima kasih, Mas.”Pandangan Qasam kemudian tertuju ke bayi kecil yang ada di samping Qizha. Pipinya tebem, kulitnya putih kemerahan. Hidungnya mancung. Menggemaskan dan lucu sekali. Ini adalah hari pertama Qizha dibawa pulang ke rumah setelah menjalani perawatan selama tiga hari di rumah sakit. Padahal sebenarnya di hari kedua Qizha sudah diijinkan pulang karena kondisinya sehat dan baik-baik saja, namun seperti biasa, Qasam melarang Qizha pulang dan dia diminta untuk dirawat di rumah sakit dengan pantauan dokter. Rumah sakit milik ayahnya, jadi mudah saja baginya mengatur kondisi di rumah sakit.Bahkan, kini Qasam meminta dokter keluarga untuk mengecek kondisi ibu dan bayi ke rumah di tiga hari perta
“Pinggangku sakit banget, Mas!” ucap Qizha sambil memegangi pinggang. Mulutnya meringis. Sebenarnya sudah sejak di perjalanan tadi Qizha merasakan ngilu, namun ia menahannya karena rasa ngilu itu datang dan hilang begitu saja. dia mengira hal itu biasa terjadi seiring kehamilannya yang semakin membesar.Namun, kini rasa ngilu itu makin parah, hampir setiap lima belas menit sekali muncul dan rasanya melilit sampai ke perut bagian bawah. Habiba memegang perut Qizha, rasanya keras menggumpal ke satu titik. Kemudian gumpalan keras itu bergerak menuju ke titik lain. Begitu seterusnya.“Ini Qizha sudah mau melahirkan. Ayo cepat bawa ke rumah sakit,” seru Habiba, membuat Qasam langsung gerak cepat menggendong tubuh Qizha dan membawanya ke mobil.Supir menyetir dnegan kelajuan tinggi mendengar suara ritihan Qizha di belakang. Qasam menggenggam tangan Qizha sambil terus mengatakan kata-kata motifasi.Qizha berkeringat, mukanya makin memucat, lemas sekali. Sesekali meringis menahan s
Semenjak Qizha tahu kalau Sina rujuk dengan Arsen, ia menjadi jauh lebih lega. Kini adiknya itu sudah ada yang menanggung jawabi. Hidupnya tidak lagi mengenaskan, Qizha pun tak perlu mencemaskan keadaannya lagi. Sina kini tinggal bersama sang suami. Setelah balitanya keluar dari rumah sakit, Sina mengunjungi rumah Qasam, menemui Qizha dan Qasam untuk mengucapkan rasa terima kasih. Arsen pun menunjukkan sikap layaknya sebagai saudara ipar. Qizha memberikan beberapa helai pakaian dan jilbab baru kepada Sina seperti yang dia janjikan. Qasam pun mulai membuka hati pada Sina. Dia tidak ketus lagi melihat sikap Sina yang jelas sudah jauh berubah. Penampilan Sina pun sudah tidak lusuh lagi seperti saat dia menjanda. Sepeninggalan Sina dan Arsen, tinggal lah Qizha dan Qasam yang duduk di ruang tamu berdua. “Mas, kamu udah nggak benci lagi sama Sina, kan?” tanya Qizha sambil.memegang tangan suaminya.“Tidak.” Tatapan Qasam tertuju pada mata bulat istrinya yang menggemaskan. “Dia seperti
Qizha menatap ekspresi wajah adik tirinya yang tak pernah dia lihat selama ini, wajah itu tampak jajh lebih menyedihkan, penuh penyesalan, dan tatapan iba. Ini adalah pemandangan pertama kalinya. Wajah Sina benar-benar tampak sangat mengenaskan. Bahkan tampilannya pun berbada, dia memakai kerudung untuk menutup auratnya. Apakah ini adalah awal bagi Sina untuk taubat? Dari mata adiknya, Qizha tidak melihat dendam dan tatapan kebencian seperti dulu. Setiap manusia memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri.Qizha meraih pundak Sina. “Bawa anakmu ke rumah sakit sekarang. Aku akan mengantarmu.”Sina mengangguk dengan senyum dan air matanya langsung berurai. “Iya, Kak. Makasih.”***Di rumah sakit itu, Qizha dan Sina duduk di depan balita yang terbujur dengan selang infus menusuk di kaki. Si kecil tidur pulas. Qizha didampingi oleh Arini, asisten rumah tangga yang satu itu tak diijinkan jauh dari Qizha. Selalu diminta Qasam untuk mendampingi Qizha. Wajah Sina yang tadinya murung, kini
“Mas, becandanya nggak lucu. Masak ngintip sih?” tanya Qizha yang tak terima suaminya mengucapkan kata-kata konyol tadi. “Ya, kalau aku lagi nganu sama kamu kan itu kepala bawah lagi ngintip ke dalam. He hee…” Qasam makin konyol. Ia kembali mengelus permukaan perut Qizha. Ia merasakan sensasi saat janin di dalam bergerak-gerak. “Dia bergerak. Setiap kali aku memancing dengan elusan, pasti dia bergerak-gerak.” Qasam tersenyum.“Iya, kalau ada pancingan dari luar, bayi kita pasti merespon. Dia tahu ada yang perhatian kepadanya.”“Tendangannya makin hari makin kuat.”“Namanya juga sudah sembilan bulan. Tinggal menunggu hari, ya tentu makin kuat dong.”“Hah? Sudah sembilan bulan?” Qasam kaget. “Cepat sekali rasanya? Aku bakalam punya anak nih sebentar lagi?”Qizha tersenyum. “Kamu kok jam segini udah pulang, Mas? Biasanya pulangnya agak malam atau lebih sore. Ini baru jam tiga sore loh.”“Aku kangen sama kamu, makanya cepet- cepet pulang.”“Sekarang sudah mulai bisa gombalin ya? Receh l
Tujuh bulan sudah berlalu. Kini Qizha menghabiskan waktu di rumah saja, menikmati kehamilannya yang sudah membuncit. Dia menghabsikan waktu dengan berjalan santai di sekitar rumah. Pemandangan di sekitar rumah besar yang dikelilingi pagar beton setinggi dua meter itu sangat asri. Ada banyak tanaman hijau yang menyejukkan mata, pancuran air pun ada. Qizha ditemani asisten rumah tangga yang setia mengikutinya. Menyediakan apa saja keperluannya. Ah, Qizha benar-benar merasa speerti ratu. Iya, diratukan oleh suaminya.Saat bosan, Qizha pergi ke salon. Menikmati creambath dan berbagai jenis perawatan lainnya.Qizha juga sesekali jalan-jalan ke mall untuk melihat-lihat suasana baru. Dikawal oleh asisten rumah tangga yang ditugaskan menemani. Namanya Arini, asisten rumah tangga yang sopan dan ramah. Dia melayani Qizha mulai dari A sampai Z. dia hafal kapan Qizha harus makan, minum susu, makan buah, dan minum jus. Dia juga mengambilkan handuk saat Qizha mau mandi, menyiapkan p