Setelah jam sekolah selesai, Alle buru-buru langsung pergi keluar kelas tanpa menghiraukan panggilan dari Tian.Sedangkan Nindi yang duduk di sampingnya mengerut bingung. Tumben sekali seharian ini Alle tampak mendiamkan dirinya. Saat diajak mengobrol pun langsung mengalihkan pembicaraan.“Sayang, tunggu,” ucap Tian yang berhasil mengejar Alle. “Kita pulang bareng.”“Gue mau balik sendiri. Lagian kalau Papa tau nanti semakin repot,” jawab Alle tampak datar. Pikirannya penuh dengan nama Raffa dan Nindi yang baru saja jadian.“Kalau gitu hati-hati,” kata Tian, menatap sendu ke arah Alle yang langsung melanjutkan jalannya menuju ke arah luar gerbang sekolah.Saat duduk di halte, air mata Alle tanpa sadar keluar lagi. Buru-buru Alle mengusapnya kasar. Bahkan saat mobil berhenti di depannya membuat Alle langsung membuang muka ke samping. Pasalnya Alle paham betul kalau mobil itu milik Raffa.Tin!
Alle menatap sayu wajah milik Raffa. Seakan menunggu adegan selanjutnya yang akan dilakukan cowok itu.Namun, entah kenapa Raffa hanya diam membisu saja tanpa melakukan apapun.“Raff,” panggil Alle lirih seakan menarik Raffa dari lamunannya yang sejak tadi memandangi area inti milik Alle meski masih tertutup kain berbentuk segitiga tipis.“Raffa,” ulang Alle memanggil suaminya.“Ha!?” Raffa justru tampak kebingungan sendiri, dan netra matanya menatap ke arah Alle yang tampak sayu.“Mau lanjut atau gimana?” tanya Alle lirih, menahan rasa malunya.Terlihat jelas ekspresi Raffa yang tampak gusar. Kedua bola matanya bahkan melirik ke arah kanan kiri dengan cepat, menunjukkan kalau dirinya seakan sedang kebingungan.“Emm ... kita sudahi aja, ya. Kamu gapapa, ‘kan? Takutnya kita telat ke Puncak,” ujar Raffa sambil menatap sedih ke arah Alle. Sudah pasti cewek itu kecewa dengannya.Alle mengangguk pelan sebagai jawaban.“Kamu mandi duluan aja,” kata Raffa sambil berpindah posisi dar
Wajah Alle langsung memanas dan merah ketika mendapat pertanyaan frontal dari mulut Raffa. Bisa-bisanya Raffa bertanya soal rasa ciuman di saat keadaan masih canggung.“Kok nggak jawab? Maaf, ya, kalau aku masih amatiran belum terlalu pro,” ujar Raffa merasa kalau aksi ciumannya harus diupgrade supaya Alle suka.Sedangkan Alle bingung menjawab dan cara menjelaskannya gimana.Padahal kalau Alle rasakan dan boleh jujur, Raffa ini jago banget ciuman tadi sore. Alle saja sampai terbuai menikmati.Tapi ingin mengakui kehebatan Raffa berciuman membuat gengsi yang berada di dalam diri Alle kian mencuat. Alhasil Alle memilih diam saja. Biarlah Raffa menduga-duga sendiri.“Apa aku boleh tanya sesuatu?” Raffa kembali melayangkan pertanyaan kepada Alle yang saat ini terlihat tegang di kursi duduknya.“Apa?” jawabnya lirih.“Kapan kamu melakukan first kiss? Kita jujur-jujuran aja, ya, lagian udah suami istri juga.”Seriusan obrolan soal ciuman masih mau dilanjut lagi begini.Sungguh Alle bingung
Pipi milik Alle langsung bersemu merah saat Raffa menawarkan hal yang menurutnya sangat tabu jika ditanyakan. Harusnya langsung eksekusi saja tanpa harus bertanya terlebih dahulu. Kalau begini Alle malu menjawabnya.“Gimana?” ulang Raffa memastikan jawaban Alle sekali lagi.Bingung cara menjawabnya, Alle membuang muka ke samping sambil mengangguk pelan. Lain hal dengan Raffa yang justru tersenyum lebar.“Yaudah ayo,” ajak Raffa tanpa malu sedikit pun.“Kamu duluan lah, masa aku dulu, sih,” jawab Alle gengsi.Raffa pun langsung memiringkan kepalanya saat mendekati wajah milik Alle. Laki-laki itu menahan tengkuk milik Alle agar tidak melepaskan pagutan mereka berdua nantinya.Dan, adegan selanjutnya mereka berdua sudah saling beradu bibir. Saling mencecap bibir satu sama lain sampai terdengar bunyi decapan mereka di penjuru kamar.Saking asyik menikmati ciuman, keduanya tidak sadar kalau pintu kamar mereka terbuka sedikit yang membuat Januar tengah mengintip di celah-celah pintu.“Woi l
Ditanya soal tamu bulanan membuat Yupi terdiam. Seakan berpikir kapan terakhir kali dirinya mendapat tamu bulanan.“Jawab!” desak Alle, menatap tajam ke arah adiknya itu. “Kalian saat melakukan nggak pakai pengaman, ‘kan!?”Tak suka didesak dan terlalu diikut campuri membuat Yupi menatap ke arah Alle dengan pandangan sengit.“Kalau iya memangnya kenapa? Apa Kak Alle akan mengira kalau mualnya aku karena hamil!?” seru Yupi sambil menatap kesal ke arah Alle.“Karena apapun bisa terjadi,” jawab Alle tak kalah tegasnya. “Selama ini Kakak selalu berkorban buat kamu, bahkan rela dijodohkan di saat usia masih muda seperti ini. Semoga kamu bisa bijak dalam mengambil sebuah keputusan jika memang nanti dalam sana ada nyawa yang tak bersalah,” lanjutnya sedikit membuat Yupi merasa tercubit hatinya.Seakan tidak percaya apa yang sudah Alle ucapkan, Yupi menatap remeh ke arah kakak pertamanya yang selalu saja ikut campur bahkan merebut cowok yang sangat dicintainya itu.“Berkorban demi aku!? Kak A
Raffa menggeram kesal kala suara Januar begitu nyaring memanggil nama kakaknya. Wajahnya langsung kusut, namun berbeda dengan Alle yang justru cengar-cengir saat melihat wajah kecewa dari Raffa.“Sabar ya, aku keluar dulu,” pamit Alle sambil mengelus lembut rahang tegas milik Raffa.“Hmmm.”Alle memilih keluar untuk menemui adiknya. Jangan sampai Januar melihat adegan ciumannya lagi seperti tadi sore.Saat sudah berada di luar, Januar tampak menyengir lebar.“Ada apa teriak-teriak?”“Kakak Alle mau nggak anterin aku beli jagung rebus? Di Puncak nggak afdol kalau nggak makan jagung,” selorohnya dengan wajah tanpa dosa.“Harus sekarang banget!? Inikah udah malam. Besok aja mendingan.”“Penginnya sekarang, Kak. Kak Oky nggak mau nganterin. Kak Ben juga diam aja sibuk belajar mulu! Kak Yupi katanya nggak enak badan. Jadi Kak Ale mau,’kan?” Januar menaik turunkan alisnya, seakan menggoda Alle agar mau menuruti keinginannya.Alle membuang napas kasar mendengar penjelasan adiknya.Ingin meno
Niat ingin pergi mencari pedagang jagung mereka urungkan. Apalagi ada hal yang harus mereka selesaikan.“Aku minta tolong gendong Januar ke kamarnya, ya,” kata Alle, masih sedikit risih kepada Raffa untuk meminta pertolongan meski statusnya sudah suami istri.Raffa hanya tersenyum saja saat melihat wajah Alle tampak tersipu malu-malu. Cowok itu pun membopong Januar menuju ke dalam kamar.Setelah selesai membaringkan Januar, Raffa dan Alle sama-sama berjalan menuju ke dalam kamarnya sendiri.Ini pertama kali bagi mereka berdua harus tidur satu kamar. Jika di apartemen, Raffa seringnya tidur di sofa.“Aku bisa tidur di lantai,” kata Raffa yang paham kalau Alle masih malu untuk tidur bersama dengannya.Alle melirik ke arah kasur king size-nya. Rasanya tidak adil kalau dirinya tidur di ranjang, tapi Raffa tidurnya di lantai. Apalagi cuaca Puncak sangatlah dingin jika malam seperti ini.“Tidur di kasur aja.”“Nggak usah.”“Kenapa? Di lantai dingin. Kamu nanti sakit. Ujian sekolah kita suda
Raffa sedikit gelagapan sendiri ketika ditanya seperti itu oleh Alle. Takut istrinya berpikir yang tidak-tidak.“Emm … tidur di kamar Januar,” jawab Raffa lirih.“Kenapa?”“Kenapa gimana, All?”“Kenapa di kamar Januar? Kamu nggak mau tidur sama aku, Raff? Kita sudah resmi suami istri lho.”Kening Raffa mendadak berkeringat. Padahal suasana dalam mobilnya sangat dingin.“Kok diam? Jadi kamu emang nggak mau tidur sama aku!?” lanjut Alle saat melihat Raffa tak menjawab pertanyaannya.“Bukan gitu, All.”“Terus?”“Aku takut nggak bisa kontrol diri.”“Kalaupun terjadi aku sudah siap. Lagipula itu sebagian tugas istri untuk melayani suami.”Entah kenapa kalau melihat sikap agresif Alle seperti ini justru membuat Raffa takut.Raffa bahkan menjadi tak bisa berkutik jika Alle terlalu frontal mengatakan soal hubungan suami istri.Bukan sok alim atau gimana, Raffa hanya takut nanti tidak bisa menahan diri hingga selalu membawa Alle ke atas ranjang terus menerus.“Raff, kok diem lagi?” Alle menata