***
"Kamu lagi apa?"Adara yang sejak tadi berdiri di depan cermin sambil mengelus perut seketika langsung menoleh mendengar pertanyaan yang diucapkan Danendra dari arah belakang."Dan," ucap Adara. "Udah mandinya?"Danendra yang saat ini masih memakai handuk sepinggang dan bertelanjang dada, mengangguk."Udah, nih aku belum pake baju," kata Danendra sambil menunjuk perut shirtlessnya yang begitu menggoda.Mainan Adara setiap malam.Bukan harus dipijat atau dielus sebelum tidur, selama hamil Adara punya kebiasaan baru yaitu; mengelus perut kotak-kotak milik Danendra.Menelusup ke dalam kaos, setiap malamnya kegiatan mengelus perut wajib dilakukan Adara karena jika tidak, dia akan kesulitan tidur.Entah ada mantra apa, tapi yang jelas ketika telapak tangan Adara mendarat langsung di perut Danendra, rasa kantuk selalu datang."Seksi," puji Adara. "Mainan aku tuh.""Iya," kata Danendra. "***"Dan, anak kita lucu ya."Adara mengukir senyum ketika layar di depannya menampilkan bayi yang ada di perutnya. Empat dimensi, bayi tersebut terlihat cukup jelas. Meskipun, berwarna coklat Adara yakin bayi yang dia kandung memiliki paras yang cantik."Iya lucu, kaya Papanya," celetuk Danendra yang membuat Adara maupun Arsya langsung menatapnya."Percaya diri banget, Kak," kata Arsya. "Di mana-mana wajah anak perempuan itu biasanya condong ke Ibu, jarang banget mirip ayah.""Iya gitu?" tanya Danendra. Dia menatap Arsya. "Tapi kamu mirip uncle Fian tuh.""Aku mirip Mama," kata Arsya."Masa?""Iya," jawab Arsya."Sya, berat badan bayinya berapa sekarang?" tanya Adara—membuat Arsya menoleh ke arahnya. "Baby bumpku kecil, aku takut berat badan bayiku juga kecil.""Sebentar, Kak," kata Arsya. Menyipitkan mata, dia memandangi layar untuk melihat keterangan yang muncil di bagian samping. "Seribu li
"Hai, Dara. Apa kabar?"Jari-jari Adara yang semula menari di atas layar ponsel berhenti seketika setelah sapaan itu terdengar dari samping kanannya.Cukup familiar dengan suara perempuan yang menyapanya, Adara menoleh dan dugaannya benar. Perempuan yang kini duduk di sampingnya bukan orang asing."Kamu," panggil Adara."Belum lupa aku, kan?"Lima bulan tak pernah bertemu sekali pun karena Adara yang lebih sering di rumah, siang ini dia kembali bisa melihat perempuan yang beberapa bulan lalu sering berdebat dengannya.Felicya. Perempuan itu memasang wajah yang ramah juga senyuman untuknya. Entah itu senyuman tulus atau tidak, Adara tak tahu.Namun, yang jelas—setelah waktu itu tahu Felicya dalang dari kejadian yang menimpanya, Adara tiba-tiba saja merasa takut pada mantan kekasih suaminya itu.Felicya nekad. Begitulah yang ada di pikiran Adara, sekarang."Fel, kamu ...." Adara menjeda ucapannya, sementa
***"Udah jangan sedih, ucapan Feli jangan didengerin."Sekali lagi, ucapan itu dilontarkan Danendra pada Adara yang sejak tadi terlihat murung. Menemukan istrinya itu di taman, Danendra cukup terkejut melihat Adara terisak.Dan yang lebih membuat terkejut adalah; Adara menangis karena Felicya—perempuan yang sudah lima bulan lebih ini tak dia temui."Tapi ucapan dia benar," kata Adara. "Aku perebut.""Ra." Danendra mendesah. Sebenarnya ini masalah lama, dan memang tak seharusnya kembali diungkit. "Kita udah pernah bicarain ini sebelumny, kan?""Sekarang rasanya beda," ucap Adara. Dia kemudian menoleh lalu memandang Danendra dari samping. "Sakit tau enggak sih, Dan. Dilihatin ibu-ibu di apotek tadi dengan tatapan jijik.""Mau balik lagi?""Balik apa?""Ke rumah sakit," kata Danendra. "Kalau kamu mau balik lagi ke rumah sakit, ayo. Biar aku kasih peringatan ibu-ibu yang udah bersikap enggak baik sama kamu
***"Dara mana?"Danendra yang baru saja menuruni tangga langsung menoleh pada Teresa yang saat ini duduk di sofa ruang tengah dengan penampilan yang rapi—dress di bawah lutut, tas dan jam tangan branded juga flatshoes dari brand ternama."Lagi istirahat di kamar," kata Danendra. "Mama mau ke mana?""Mau arisan," ucap Teresa."Lagi?""Apanya yang lagi, orang minggu ini belum kok," kata Teresa."Oh kirain," ujar Danendra."Mama udah izin ke Papa dan Papa kasih izin," ucap Teresa."Oke," jawab Danendra singkat."Dara masih sedih?" tanya Teressa.Setelah menerimq direct message di warung bakso tadi, Adara membatalkan rencananya dengan Danendra untuk berbelanja perlangkepan bayi karena tentu saja moodnya langsung terjun bebas.'Hamil sama laki-laki hasil rebut aja kok bangga?'Begitulah isi pesan yang diterima Adara dari ibu-ibu yang dia temui di rumah sakit dan tentu saj
"Tante, bilang sama aku. Ini maksudnya apa?"Teresa menoleh lalu memandang Felicya. Bukan senyuman ramah seperti biasa, yang diukir Teresa sekarang adalah senyuman miring—merendahkan."Kamu pikir tujuan Tante ajak kamu ke arisan, apa?" tanya Teresa. "Mau ngenalin kamu sebagai calon menantu Tante, iya?""Tante.""Kamu mempermalukan menantu Tante di rumah sakit tadi, kan?" tanya Teresa. "Jangan berpikir Tante enggak tahu, Fel. Tante tahu. Kamu juga nyuruh ibu-ibu buat kirim pesan di akun instagram Adara terus hujat dia.""Enggak, Tante. Feli enggak lakuin itu," ucap Felicya. "Adara ngadu? Dia fitnah, Tan. Seharusnya Tante enggak langsung percaya."Mengabaikan ibu-ibu arisan lain yang kini berperan menjadi penonton, Felucya dan Teresa mulai beradu argumen."Sayangnya, Tante lebih percaya sama Adara daripada kamu," ucap Teresa. "Lagian buat apa Adara bohong? Enggak ada untungnya dia lakuin itu. Beda sama kamu yang jelas puny
***"Dan, dingin."Adara mengeluh ketika Danendra tiba-tiba saja melingkarkan kedua tangannya di pinggang sementara dagu di bahu Adara.Danendra baru selesai mandi. Itulah yang menjadi alasan utama Adara mengeluh dingin bahkan basah ketika pipi sang suami menempel dengannya karena memang Danendra pun masih memakai handuk yang melingkar di pinggang, sementara dadanya dibiarkan terekspos."Kenapa sih, Ra? Aku kangen," ucap Danendra sambil memandang pantulan wajahnya dan Adara di depan cermin, karena memang Adara sedang berdiri di dekat meja rias. "Jadwal kan, ya?""Jadwal apa?" tanya Adara pura-pura."Sok polos," celetuk Danendra. "Kehamilan kamu udah masuk tiga puluh delapan minggu lho. Ingat kata Arsya enggak?""Apa?""Harus sering dijenguk biar lahirannya lancar," ucap Danendra."Ck, alasan.""Seriusan, Ra," ujar Danendra. "HPL kamu kapan sih? Lupa aku.""Dua mingguan lagi kalau engga
***"Dan, ini tuh sakit tau enggak?"Menggunakan baju pasien dengan model blouse, Adara kembali memeluk Danendra dengan tujuan meringankan rasa sakit yang mendera.Datang ke rumah sakit pukul delapan malam, kini terhitung sudah tiga jam Adara menikmati gelombang cinta yang semakin lama semakin rutin.Panas di punggung, pinggang, juga rasa nyelekit di pinggang semakin terasa—membuat Adara terkadang emosi sendiri karena semua rasa tersebut yang menjadi nano-nano.Berjalan-jalan di lorong rumah sakit, berolahraga sedikit, hingga kini duduk duduk di ball birth sambil memeluk Danendra sudah dilakukan Adara untuk mempercepat pembukaan karena terakhir kali diperiksa, Adara baru mengalami pembukaan empat.Masih ada enam angka yang harus dia lewati untuk sampai pada pembukaan lengkap baru bayi yang ada di perutnya bisa dia lahirkan."Sabar ya, sebentar lagi," kata Danendra. Berjongkok, dia terus memeluk lalu mengelus punggung Ada
***"Ra, aku bawain sarapan. Makan yuk."Adara menoleh ketika Danendra kembali setelah beberapa menit lalu berpamitan untuk mencari angin pagi.Sambil mengukir senyum, Danendra datang sambil membawa piring alumunium bersekat dengan isian berbagai macam makanan berat.Nasi, telur bulat bumbu kuning, ayam, juga sayuran tersedia di sana. Sebagai pencuci mulut, pihak rumah sakit juga menyediakan bubur sumsum dan segelas susu untuk penutup."Apa aja itu?" tanya Adara."Nih," kata Danendra sambil menunjukkan makanan yang dia bawa.Namun, tatapan Adara kentara sekali tak berminat dengan semua makanan tersebut."Enggak enak," kata Adara. "Makanan rumah sakit biasanya hambar.""Kamu mau makan apa?" tanya Danendra biar aku beliin."Adara yang sejak tadi duduk bersandar justru mengalihkan perhatiannya ke arah sofa. Tak ada siapa-siapa selain dia dan Danendra karena Teresa dan Monica berpamitan untuk pulang dan mengganti baju."Enggak tau," jawab Adara pada akhirnya."Makan dulu," ucap Danendra.