***
"Udah jangan sedih, ucapan Feli jangan didengerin."Sekali lagi, ucapan itu dilontarkan Danendra pada Adara yang sejak tadi terlihat murung. Menemukan istrinya itu di taman, Danendra cukup terkejut melihat Adara terisak.Dan yang lebih membuat terkejut adalah; Adara menangis karena Felicya—perempuan yang sudah lima bulan lebih ini tak dia temui."Tapi ucapan dia benar," kata Adara. "Aku perebut.""Ra." Danendra mendesah. Sebenarnya ini masalah lama, dan memang tak seharusnya kembali diungkit. "Kita udah pernah bicarain ini sebelumny, kan?""Sekarang rasanya beda," ucap Adara. Dia kemudian menoleh lalu memandang Danendra dari samping. "Sakit tau enggak sih, Dan. Dilihatin ibu-ibu di apotek tadi dengan tatapan jijik.""Mau balik lagi?""Balik apa?""Ke rumah sakit," kata Danendra. "Kalau kamu mau balik lagi ke rumah sakit, ayo. Biar aku kasih peringatan ibu-ibu yang udah bersikap enggak baik sama kamu***"Dara mana?"Danendra yang baru saja menuruni tangga langsung menoleh pada Teresa yang saat ini duduk di sofa ruang tengah dengan penampilan yang rapi—dress di bawah lutut, tas dan jam tangan branded juga flatshoes dari brand ternama."Lagi istirahat di kamar," kata Danendra. "Mama mau ke mana?""Mau arisan," ucap Teresa."Lagi?""Apanya yang lagi, orang minggu ini belum kok," kata Teresa."Oh kirain," ujar Danendra."Mama udah izin ke Papa dan Papa kasih izin," ucap Teresa."Oke," jawab Danendra singkat."Dara masih sedih?" tanya Teressa.Setelah menerimq direct message di warung bakso tadi, Adara membatalkan rencananya dengan Danendra untuk berbelanja perlangkepan bayi karena tentu saja moodnya langsung terjun bebas.'Hamil sama laki-laki hasil rebut aja kok bangga?'Begitulah isi pesan yang diterima Adara dari ibu-ibu yang dia temui di rumah sakit dan tentu saj
"Tante, bilang sama aku. Ini maksudnya apa?"Teresa menoleh lalu memandang Felicya. Bukan senyuman ramah seperti biasa, yang diukir Teresa sekarang adalah senyuman miring—merendahkan."Kamu pikir tujuan Tante ajak kamu ke arisan, apa?" tanya Teresa. "Mau ngenalin kamu sebagai calon menantu Tante, iya?""Tante.""Kamu mempermalukan menantu Tante di rumah sakit tadi, kan?" tanya Teresa. "Jangan berpikir Tante enggak tahu, Fel. Tante tahu. Kamu juga nyuruh ibu-ibu buat kirim pesan di akun instagram Adara terus hujat dia.""Enggak, Tante. Feli enggak lakuin itu," ucap Felicya. "Adara ngadu? Dia fitnah, Tan. Seharusnya Tante enggak langsung percaya."Mengabaikan ibu-ibu arisan lain yang kini berperan menjadi penonton, Felucya dan Teresa mulai beradu argumen."Sayangnya, Tante lebih percaya sama Adara daripada kamu," ucap Teresa. "Lagian buat apa Adara bohong? Enggak ada untungnya dia lakuin itu. Beda sama kamu yang jelas puny
***"Dan, dingin."Adara mengeluh ketika Danendra tiba-tiba saja melingkarkan kedua tangannya di pinggang sementara dagu di bahu Adara.Danendra baru selesai mandi. Itulah yang menjadi alasan utama Adara mengeluh dingin bahkan basah ketika pipi sang suami menempel dengannya karena memang Danendra pun masih memakai handuk yang melingkar di pinggang, sementara dadanya dibiarkan terekspos."Kenapa sih, Ra? Aku kangen," ucap Danendra sambil memandang pantulan wajahnya dan Adara di depan cermin, karena memang Adara sedang berdiri di dekat meja rias. "Jadwal kan, ya?""Jadwal apa?" tanya Adara pura-pura."Sok polos," celetuk Danendra. "Kehamilan kamu udah masuk tiga puluh delapan minggu lho. Ingat kata Arsya enggak?""Apa?""Harus sering dijenguk biar lahirannya lancar," ucap Danendra."Ck, alasan.""Seriusan, Ra," ujar Danendra. "HPL kamu kapan sih? Lupa aku.""Dua mingguan lagi kalau engga
***"Dan, ini tuh sakit tau enggak?"Menggunakan baju pasien dengan model blouse, Adara kembali memeluk Danendra dengan tujuan meringankan rasa sakit yang mendera.Datang ke rumah sakit pukul delapan malam, kini terhitung sudah tiga jam Adara menikmati gelombang cinta yang semakin lama semakin rutin.Panas di punggung, pinggang, juga rasa nyelekit di pinggang semakin terasa—membuat Adara terkadang emosi sendiri karena semua rasa tersebut yang menjadi nano-nano.Berjalan-jalan di lorong rumah sakit, berolahraga sedikit, hingga kini duduk duduk di ball birth sambil memeluk Danendra sudah dilakukan Adara untuk mempercepat pembukaan karena terakhir kali diperiksa, Adara baru mengalami pembukaan empat.Masih ada enam angka yang harus dia lewati untuk sampai pada pembukaan lengkap baru bayi yang ada di perutnya bisa dia lahirkan."Sabar ya, sebentar lagi," kata Danendra. Berjongkok, dia terus memeluk lalu mengelus punggung Ada
***"Ra, aku bawain sarapan. Makan yuk."Adara menoleh ketika Danendra kembali setelah beberapa menit lalu berpamitan untuk mencari angin pagi.Sambil mengukir senyum, Danendra datang sambil membawa piring alumunium bersekat dengan isian berbagai macam makanan berat.Nasi, telur bulat bumbu kuning, ayam, juga sayuran tersedia di sana. Sebagai pencuci mulut, pihak rumah sakit juga menyediakan bubur sumsum dan segelas susu untuk penutup."Apa aja itu?" tanya Adara."Nih," kata Danendra sambil menunjukkan makanan yang dia bawa.Namun, tatapan Adara kentara sekali tak berminat dengan semua makanan tersebut."Enggak enak," kata Adara. "Makanan rumah sakit biasanya hambar.""Kamu mau makan apa?" tanya Danendra biar aku beliin."Adara yang sejak tadi duduk bersandar justru mengalihkan perhatiannya ke arah sofa. Tak ada siapa-siapa selain dia dan Danendra karena Teresa dan Monica berpamitan untuk pulang dan mengganti baju."Enggak tau," jawab Adara pada akhirnya."Makan dulu," ucap Danendra.
***"Seriusan nih, pindah beneran? Tega ninggalin Mama?"Mendengar pertanyaan Teresa, Adara mengukir senyum lalu mengalihkan pandangannya dari Danendra juga Adam yang sedang memasukkan barang bawaan ke dalam bagasi. Tak terlalu banyak, barang bawaan yang dibawa pulang ke apartemen siang ini hanya tiga koper dengan masing-masing koper berisi pakaian baby El, Adara, juga Danendra."Seriusan, Ma. Kan udah lama juga Dara sama Danendra di sini," ucap Adara sambil mengusap pucuk kepala baby El yang kini nyaman dalam gendongannya."Padahal enggak usah balik ke apartemen, Ra. Udah di sini aja sama Mama," kata Teresa. "Rumah segede gini sepi tau."Adara mengukir senyum tanpa memberikan balasan karena niatnya untuk kembali ke apartemen sudah benar-benar bulat.Bukan tak nyaman tinggal di rumah Adam, Adara hanya ingin mencoba membangun rumah tangga yang mandiri dengan Danendra, karena semenjak melahirkan dua bulan lalu dia lebih mengandalkan Teresa untuk merawat Elara.Adara ingin merasakan bag
***"Apartemen, aku kembali!"Menempuh perjalanan tiga jam setelah beberapa kali terjebak macet, Rafly akhirnya sampai di apartemen yang pernah dia tempati.Sempat dikosongkan karena kabar Rafly yang sudah meninggal dunia, dia bisa mendapatkan kembali unitnya karena memang untuk sewa, apartemen tersebut masih aman sampai tiga tahun ke depan."Akhirnya ya, Mas."Rafly menoleh ke arah perempuan di sampingnya. Clarissa. Tak hanya merawat Rafly selama hampir satu tahun, hari ini perempuan itu juga dengan sukarela mengantar Rafly pulang ke Jakarta memakai mobil avanza yang dia miliki.Berenang sambil minum air, Clarissa bilang dia akan langsung pergi belanja ke pasar pusat yang ada di Jakarta untuk mengisi toko bajunya."Makasih ya, Ris," kata Rafly. "Berkat kamu, aku bisa kembali lagi dengan selamat.""Iya, Mas. Sama-sama."Rafly melangkah menuju sofa ruang tamu lalu duduk di sana. "Duduk, Ris.""Iya, Mas.""Malam ini kamu nginap aja dulu di sini, besok pagi belanja baru pulang," kata Raf
***"Udah teleponnya?"Adara yang baru saja kembali ke dapur, mengukir senyum tipis sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celana training yang dia pakai.Malam minggu. Ketika pasangan lain menghabiskan waktu untuk keluar, Danendra dan Adara memilih untuk memasak bersama lalu makan malam romantis.Tak neko-neko, keduanya berencana membuat spageti dengan suas barbeque yang sudah jadi. Namun, ketika kegiatan masak mereka berlangsung, Adara harus berhenti ketika ponsel yang semula disimpan di ruang tamu berdering."Udah," kata Adara sambil menarik kursi lalu duduk di depan meja makan, sementara Danendra masih mengaduk mie dengan bumbu di piring."Siapa?" tanya Danendra setelah semuanya selesai.Berbalik badan, Danendra berjalan membawa sepiring spageti yang sudah tercampur dengan saus lengkap dengan dua garpu untuknya dan Adara."Mama.""Mama mana?""Mama aku," kata Adara."Oh," jawab Danendra. Ikut menarik kursi, dia duduk persis di depan Adara. "Ada apa? Mau main ke sini jengukin ba
*** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin
***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga
***"Jaga diri baik-baik di sana, awas jangan macam-macam.""Iya, Ma. Siap."Pukul delapan pagi, Reano sudah siap dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup rapi. Membawa koper berwarna hitam berisi pakaian ganti, remaja yang satu bulan lalu baru saja genap delapan pelas tahun itu sudah tiba di bandara, diantar Adara juga Danendra.Tujuannya? Tentu saja Jerman. Memanfaatkan libur panjang sebelum masuk kuliah, Reano memang meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jerman menemui Nara.Tak sendiri, Reano pergi bersama Alula yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di luar negeri.Berhubung kedua orang tuanya sibuk, Alula memutuskan untuk ikut bersama Reano yang sejauh ini bisa dipercaya menjaga putri bungsu seorang Arkananta itu."Jangan macam-macam kalian di sana. Ingat, pisah kamar," kata Aludra memperingatkan."Iya, Mama. Masa satu kamar?" tanya Alula. "Lagian uncle Danen kan udah pesenin dua kamar buat aku sama Reano.""Tenang aja, Ra. Aku udah pesenin kamar yang be
***'Hati-hati di jalan.'Elara yang baru saja memasukkan beberapa baju ke dalam tas seketika mengukir senyumannya ketika sebuah pesan yang bisa dibilang cukup romantis masuk ke ponselnya—membuat dia terbang ke angkasa dengan perasaan yang berbunga-bunga.Bukan dari orang sembarangan, pesan tersebut berasal dari Regan yang memberikan peringatan pada Elara karena sore ini gadis itu akan berangkat menuju Bandung untuk menginap di rumah Aksa selama dua malam.Alasannya? Tentu saja Elara ingin menemui Regan yang satu minggu lalu resmi menjadi pacarnya.Dicomblangkan oleh Respati lalu saling mengenal via virtual selama sebulan lebih, Elara dan Regan sepertinya memiliki banyak kecocokan lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan setelah Regan menyatakan cintanya lebih dulu seminggu yang lalu.Regan memang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tapi di dekat orang yang membuatnya nyaman, Regan kadang berubah seratus delapan puluh derajat dan bagi Elara, Regan ternyata cukup menyena
***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan
***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s
***"Baik-baik di sekolah. Jangan banyak tingkah."Sambil mengoleskan selai ke roti, ucapan tersebut dilontarkan Adara pada Reano yang saat ini baru saja duduk di meja makan.Setelah dua minggu liburan berlangsung, tahun ajaran baru akhirnya tiba dan hari ini Reano akan memulai kegiatan sekolahnya di SMA.Sesuai perintah, mau tak mau Reano menurut untuk bersekolah di SMAN 8. Padahal, sudah sejak jauh-jauh hari remaja itu menginginkan sekolah di SMAN 34 karena memang hampir semua teman dekatnya bersekolah di sana."Mau joged di tengah lapangan," celetuk Reano."Apaan sih? Kalau dikasih tahu itu jawab yang benar. Bukan kaya gitu."Elara yang baru saja siap, lantas menoyor kepala adiknya itu dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menarik kursi untuk duduk."Kamu juga apaan? Kepala itu sensitif. Enggak usah pake noyor," ketus Reano tak suka.Berbeda dengan kebanyakan siswa yang biasanya bahagia ketika masuk di sekolah baru, Reano justru sebaliknya.Selain karena sekolah yang dia tem
***"Kamu kenapa?"Menghampiri Adara di pinggir kolam, Danendra langsung mengucapkan pertanyaan tersebut setelah beberapa menit lalu terus memperhatikan sang istri yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu."Dan. Kamu di sini.""Orang-orang di dalam, kamu kok di luar?" tanya Danendra. "Lagi mikirin apa sih, hm?""Reano," kata Adara.Danendra mengerutkan keningnya. Dia yang datang membawa segelas air putih lantas menarik kursi lalu duduk di depan Adara."Apa yang kamu pikirkan tentang Reano?" tanya Danendra."Kamu lupa sama apa yang dia omongin tadi di mobil?" tanya Adara. "Reano bilang dia cinta sama Nara, Dan.""Terus masalahnya di mana?""Kok kamu nanya gitu, Danen?" tanya Adara tak suka. "Ya enggak bolehlah! Reano sama Nara itu saudara. Mereka enggak boleh saling mencintai lebih dari sekadar saudara.""Tapi kan bukan kandung," ucap Danendra. "Dalam segi agama ataupun negara, mereka sah-sah aja kalau mau punya hubungan.""Enggak!" pungkas Adara. "Sampai kapan pun aku enggak akan res
***"Males ikut, Ma."Mendengar ucapan tersebut, Adara menoleh seketika lalu memandang putranya sambil menaikkan sebelah alis."Males ikut apa?""Rean malas ikut ke Bandung."Pagi ini—seminggu setelah kepergian Nara ke Jerman, keluarga Adara akan bertolak menuju Bandung, menghadiri undangan yang diberikan keluarga Aksa.Bukan pesta besar, di Bandung sana Aksa hanya merayakan syukuran atas kelulusan putri angkatnya Aileen di salah satu universitas terbaik di kota Bandung dengan nilai yang juga tentunya sangat baik.Tak hanya Danendra dan keluarga, nantinya Adam juga Teresa pun akan datang bersama supir lalu Danish juga terbang dari Surabaya bersama keluarganya."Kenapa?" tanya Adara.Tak tahu tentang yang terjadi pada Nara, Adara memang mulai bersikap biasa kembali. Perempuan itu mencoba menghibur diri dari rasa sedih kehilangan Nara karena tentunya dia berpikir sang putri tak akan lama pergi.Berbeda dengan Adara yang berusaha menghibur diri, Reano justru seperti orang tak bersemangat