***"Ah, ya ampun."Membuka matanya perlahan, Rafly memijat kening ketika kepalanya terasa sangat pening dan berat. Tak langsung bangun, yang dia lakukan sekarang adalah; mengedarkan pandangan untuk mengenali tempat dia berada sekarang.Karena yang jelas, ini bukan kamarnya. Kamar Rafly memiliki cat berwarna abu muda, sementara kamar yang dia tempati sekarang berwarna pastel bahkan ukurannya pun jauh lebih besar dari kamarnya.Tak hanya itu, kamar tempat Rafly berada sekarang juga terlihat sangat mewah."Di mana aku?""Lalala ... udah bangun?"Rafly mengerutkan kening ketika suara perempuan terdengar dari ambang pintu. Beringsut dia mengubah posisinya menjadi duduk lalu memandang perempuan yang kini berjalan mendekat sambil membawa segelas air putih."Kamu," panggil Rafly. "Ini di mana?""Jepang," celetuk perempuan itu asal."Aku serius," desah Rafly yang tentu saja masih merasa sebal pada perempuan di depannya ini setelah pertemuan pertama mereka yang bisa dibilang tak baik."Surga,"
***"Pulang jam berapa?"Adara yang saat ini sedang membentuk simpul dasi untuk Danendra sedikit mendongak lalu menatap suaminya itu sambil melontarkan sebuah pertanyaan."Kenapa?""Tanya aja," kata Adara."Seperti biasa," ucap Danendra. "Kalau enggak ada schedule dadakan, jam empat pulang. Sampai jam setengah lima.""Oh.""Kenapa?""Bawaim sushi ya," pinta Adara sambil tersenyum. "Tiba-tiba pengen itu, tapi pengen dibawain sama kamu.""Oh, siap," kata Danendra patuh. "Mau berap porsi? Satu, sepuluh, seratua, atau sama restorannya?""Dan, ih!"Danendra terkekeh. "Serius," ucapnya. "Kalau kamu mau, aku bisa beli restorannya.""Buat apa coba.""Kali aja mau jadi pembisnis kuliner."Adara berdecak. "Orang enggak bisa masak, disuruh bisnis kuliner. Lucu banget," celetuknya.Simpul dasi selesai, Adara menepuk sisi kanan dan kiri bahu Danendra untuk merapikan kemeja maroon yang dia pakai."Udah, ganteng," puji Adara. "Lucu juga, enggak monoton.""Apanya?""Penampilannya dong, Sayang," kata
***"Jadi apa rencananya?"Kembali masuk setelah melihat adegan yang tak menyenangkan—Danendra mengecup semua bagian wajah Adara, Rafly duduk di sofa sambil merentengkan kedua tangan sambil memandang Felicya yang jelas bahagia karena punya sekutu baru."Rencana apa?"Rafly memutar bola matanya malas lalu mendesah. "Niat ajak kerja sama apa enggak?" tanyanya. "Kalau enggak ya udah, biar aku tanganin sendiri. Habisin aja sekalian Danendranya.""Jangan macam-macam!" Felicya refleks berseru. Demi apapun jangakan celaka, melihat Danendra lecet pun rasanya Felicya tak mau.Danendra adalah ... ah, intinya Felicya masih mencintai pria itu sampai detik ini dan sekarang—setelah ada Rafly dia semakin bersemangat untuk kembali mendapatkan putra kedua Adam Alexander tersebut."Buat Danendra lecet, aku yang habisin kamu.""Ck." Rafly hanya berdecak sebagai respon."Untuk saat ini aku belum punya rencana, tapi kamu bisa pemanasan dulu.""Maksudnya?""Kalau mau, kamu bisa tinggal di sini," kata Felic
***"Mama."Mengemudi dengan kecepatan sedang, Danendra memelankan laju mobilnya lalu berhenti di jalanan yang cukup sepi ketika ponsel yang dia simpan di atas dashboard berdering dan sebuah panggilan masuk dari Teresa.Kapok karena pernah hampir mengalami kecelakaan karena menelepon sambil mengemudi, Danendra memang selalu mencari aman dengan memberhentikan mobilnya sebelum mengangkat telepon."Halo, Ma," sapa Danendra setelah mobilnya berhenti sempurna."Halo, Dan. Udah ngantor?""Lagi di jalan, kenapa?""Mama mau ke apartemen kamu," ungkap Teresa dari seberang sana. "Adara ada, kan?""Ada, dia enggak ke mana-mana," kata Danendra. "Datang aja, dia pasti senang ada Mama. Ada temennya.""Iya," kata Teresa. "Masih jauh ke kantor?""Setengah jalan lagi," kata Danendra."Oh oke, Mama cuman pengen ngabarin itu aja sih," kata Teresa. "Tadi telepon Adara soalnya enggak diangkat.""Oh oke, Ma.""Hati-hati di jalan, Dan.""Siap, Ma."Setelahnya, sambungan telepon terputus dan Danendra kembali
***"Mau apa kamu?"Rafly tak menjawab karena yang dia lakukan sekarang justru memandangi perempuan di depannya yang masih memasang raut wajah tak bersahabat.Di tangan perempuan tersebut terdapat sebuah pantopel dan Rafly yakin, pantopel tersebut adalah benda yang menghantam kepalanya barusan."Mama," panggil Adara dengan wajah yang kikuk—bahkan setengah takut melihat raut wajah sang mertua. Dia takut Teresa salah paham.Teresa Reynaldi. Tentu saja perempuan yang menghantam kepala Rafly juga menatap pria itu sekarang adalah dia.Setelah menelepon Danendra dan memastikan Adara ada di apartemen, dia langsung on the way untuk mengunjungi menantu juga cucunya karena untuk hari ini kegiatannya sangat longgar.Sampai di apartemen dan Adara tak ada, tentu saja Teresa langsung menyusul menantunya itu ke rooftoop setelah mendepat informasi dari Mbak Vivi dan ternyata dia justru disuguhkan pemandangan yang menjengkelkan."Tante Teresa," panggil Rafly pada akhirnya. Meskipun jarang sekali ber
***"Ris."Di ujung koridor, nama itu digumamkan Rafly ketika dia melihat Clarissa berdiri di depan pintu apartemennya. Melangkah dengan cepat, dia langsung menghampiri perempuan itu."Clarissa," panggil Rafly—membuat Clarissa menoleh seketika."Mas Rafly.""Maaf lama," kata Rafly tak enak. Namun, Clarissa justru mengukir senyum sebagai respon."Enggak apa-apa, Mas," kata Clarissa."Ya udah ayo masuk.""Iya."Rafly berjalan menuju pintu lalu menekan satu-persatu sandi agar pintunya terbuka. Meskipun apartemen yang dia tempati jauh lebih sederhana dibanding apartemen Danendra.Untuk pintu tetap harus menggunakan pasword. Bedanya, di apartemen Rafly tak terdapat intercom."Duduk, Ris.""Iya, Mas."Clarissa melangkah lalu duduk di sofa ruang tamu, sementara Rafly bergegas ke dapur untuk mengambil minuman dingin dari kulkas.Dua kotak jus kemasan dibawa Rafly menuju ruang tamu. Dengan wajah yang cerah, dia duduk lalu menyimpan jus itu di meja."Minum.""Makasih, Mas."Rafly yang haus, mem
***"Mama nyuruh pin-""Sssssst."Adara sigap mendesis pelan—membuat ucapan Danendra seketika terpotong. Bukan tak sopan, maksud dan tujuan Adara mendesis adalah agar Danendra memelankan suaranya karena kini dia baru saja hendak menidurkan baby El di dalam box bayi setelah hampir setengah jam di dalam gendongan.Ucapan dipotong sang istri, Danendra yang sedang memilih kaos di lemari seketika menoleh lalu tersenyum tipis melihat Adara sedang membungkuk—menidurkan putrinya."Kenapa?" tanya Adara kemudian, setelah memastikan baby El lelap dan aman di dalam box. "Eh, mau ngobrol di balkon enggak? Sambil nyemil.""Boleh," kata Danendra. "Aku mau teh manis hangat.""Aku ke dapur dulu.""Hm."Melangkah dengan sangat pelan agar tak menimbulkan suara, Adara meninggalkan kamar menuju dapur untuk membuatkan apa yang diminta sang suami.Tak hanya untuk Danendra, Adara membuat teh manjs hangat untuknya juga. Malam ini hujan turun, dan cuaca bisa dibilang sangat dingin.Adara butuh kehangatan dan u
***"Kita pakai cara halus tapi aman. Kamu bisa dapatkan Adara, aku bisa ambil Danendra lagi."Berhenti di pinggir jalan, sudah hampir sepuluh menit Rafly duduk di mobilnya sambil memandangi perempuan yang saat ini sedang sibuk melayani pembeli di tokonya.Clarissa. Setelah beberapa hari lalu dengan kasar Rafly menolah pernyataan cinta perempuan itu, siang ini dia justru bertindak sebaliknya.Jauh-jauh Rafly datang dari Jakarta hanya ingin menemui Clarissa dan akhirnya dia memutuskan untuk menerima pernyataan cinta perempuan itu—mengikuti saran yang diberikan Felicya.Tentu saja penerimaan cinta Clarissa punya maksud tersendiri. Bukan karena membuka hati, Rafly akan menggunakan Clarissa agar bisa dekat dengan Adara.Setelah semua yang dilakukan Clarissa selama ini, niat Rafly memang bisa dibilang jahat—bahkan sangat jahat karena memanfaatkan perempuan itu, tapi dia tak punya cara lain.Hanya Clarissa yang bisa dia jadikan topeng agar bisa mengambil perhatian Adara."Maafin aku, Ris,"