***"Mau apa kamu?"Rafly tak menjawab karena yang dia lakukan sekarang justru memandangi perempuan di depannya yang masih memasang raut wajah tak bersahabat.Di tangan perempuan tersebut terdapat sebuah pantopel dan Rafly yakin, pantopel tersebut adalah benda yang menghantam kepalanya barusan."Mama," panggil Adara dengan wajah yang kikuk—bahkan setengah takut melihat raut wajah sang mertua. Dia takut Teresa salah paham.Teresa Reynaldi. Tentu saja perempuan yang menghantam kepala Rafly juga menatap pria itu sekarang adalah dia.Setelah menelepon Danendra dan memastikan Adara ada di apartemen, dia langsung on the way untuk mengunjungi menantu juga cucunya karena untuk hari ini kegiatannya sangat longgar.Sampai di apartemen dan Adara tak ada, tentu saja Teresa langsung menyusul menantunya itu ke rooftoop setelah mendepat informasi dari Mbak Vivi dan ternyata dia justru disuguhkan pemandangan yang menjengkelkan."Tante Teresa," panggil Rafly pada akhirnya. Meskipun jarang sekali ber
***"Ris."Di ujung koridor, nama itu digumamkan Rafly ketika dia melihat Clarissa berdiri di depan pintu apartemennya. Melangkah dengan cepat, dia langsung menghampiri perempuan itu."Clarissa," panggil Rafly—membuat Clarissa menoleh seketika."Mas Rafly.""Maaf lama," kata Rafly tak enak. Namun, Clarissa justru mengukir senyum sebagai respon."Enggak apa-apa, Mas," kata Clarissa."Ya udah ayo masuk.""Iya."Rafly berjalan menuju pintu lalu menekan satu-persatu sandi agar pintunya terbuka. Meskipun apartemen yang dia tempati jauh lebih sederhana dibanding apartemen Danendra.Untuk pintu tetap harus menggunakan pasword. Bedanya, di apartemen Rafly tak terdapat intercom."Duduk, Ris.""Iya, Mas."Clarissa melangkah lalu duduk di sofa ruang tamu, sementara Rafly bergegas ke dapur untuk mengambil minuman dingin dari kulkas.Dua kotak jus kemasan dibawa Rafly menuju ruang tamu. Dengan wajah yang cerah, dia duduk lalu menyimpan jus itu di meja."Minum.""Makasih, Mas."Rafly yang haus, mem
***"Mama nyuruh pin-""Sssssst."Adara sigap mendesis pelan—membuat ucapan Danendra seketika terpotong. Bukan tak sopan, maksud dan tujuan Adara mendesis adalah agar Danendra memelankan suaranya karena kini dia baru saja hendak menidurkan baby El di dalam box bayi setelah hampir setengah jam di dalam gendongan.Ucapan dipotong sang istri, Danendra yang sedang memilih kaos di lemari seketika menoleh lalu tersenyum tipis melihat Adara sedang membungkuk—menidurkan putrinya."Kenapa?" tanya Adara kemudian, setelah memastikan baby El lelap dan aman di dalam box. "Eh, mau ngobrol di balkon enggak? Sambil nyemil.""Boleh," kata Danendra. "Aku mau teh manis hangat.""Aku ke dapur dulu.""Hm."Melangkah dengan sangat pelan agar tak menimbulkan suara, Adara meninggalkan kamar menuju dapur untuk membuatkan apa yang diminta sang suami.Tak hanya untuk Danendra, Adara membuat teh manjs hangat untuknya juga. Malam ini hujan turun, dan cuaca bisa dibilang sangat dingin.Adara butuh kehangatan dan u
***"Kita pakai cara halus tapi aman. Kamu bisa dapatkan Adara, aku bisa ambil Danendra lagi."Berhenti di pinggir jalan, sudah hampir sepuluh menit Rafly duduk di mobilnya sambil memandangi perempuan yang saat ini sedang sibuk melayani pembeli di tokonya.Clarissa. Setelah beberapa hari lalu dengan kasar Rafly menolah pernyataan cinta perempuan itu, siang ini dia justru bertindak sebaliknya.Jauh-jauh Rafly datang dari Jakarta hanya ingin menemui Clarissa dan akhirnya dia memutuskan untuk menerima pernyataan cinta perempuan itu—mengikuti saran yang diberikan Felicya.Tentu saja penerimaan cinta Clarissa punya maksud tersendiri. Bukan karena membuka hati, Rafly akan menggunakan Clarissa agar bisa dekat dengan Adara.Setelah semua yang dilakukan Clarissa selama ini, niat Rafly memang bisa dibilang jahat—bahkan sangat jahat karena memanfaatkan perempuan itu, tapi dia tak punya cara lain.Hanya Clarissa yang bisa dia jadikan topeng agar bisa mengambil perhatian Adara."Maafin aku, Ris,"
***"Danendra bangun, Danendra. Ayo bangun udah siang!"Duduk bersila di samping Danendra, Adara tak menyerah untuk membangunkan suaminya yang saat ini masih tidur dengan posisi telungkup.Padahal, jam dinding di kamar sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi.Hari minggu. Hari yang paling menyenangkan bagi Danendra karena bisa tidur lebih lama dari biasanya. Namun, kali ini minggunya berbeda karena ada rencana yang harus dia lakukan bersama keluarga kecilnya.Bukan main ke mall, atau ke tempat yang jauh, kemarin sabtu—ketika Danendra terpaksa harus ke kantor, dia menjanjikan sesuatu pada Adara yaitu; mengajak istri dan anaknya main ke lapangan yang terletak persis di samping apartemen.Lapangan dengan rumput hijau menyerupai taman itu memang selalu ramai ketika weekend. Ada yang menghabiskan waktu untuk berolahraga, berjalan bersama pacar, atau mengajak anak mereka bermain.Dan hari ini Adara ingin melakukan semuanya bersama Danendra, karena semenjak tinggal di apartemen sang su
***"Clarissa mana ya, kok bisa tahu nama aku?"Entah kenapa Clarissa tiba-tiba saja gugup sendiri ketika pertanyaan tersebut diucapkan Adara setelah dirinya memperkenalkan diri.Dalam hati, rasanya dia sedikit menyesal karena sudah memanggil nama Adara. Padahal, dia bisa berpura-pura tak tahu."Euh, anu. Clarissa-""Lho, kamu?"Atensi Clarissa berpindah ke sebelah kanan begitu pun dengan Adara yang langsung memandang Danendra."Mas Danendra," panggil Clarissa—membuat Adara semakin mengerutkan kening, karena penasaran dengan sosok perempuan di depannya itu yang ternyata juga mengenal suaminya."Kamu di sini?" tanya Danendra."Iya, Mas."Menidurkan Elara lebih dulu di stroller, Adara memandang Danendra juga Clarissa secara bergantian."Kalian saling kenal?""Bukan saling kenal sih," kata Danendra. "Tapi pernah ketemu sekali.""Di mana?""Di jalan, Mbak." Jawaban tersebut berasal dari Clarissa. "Beberapa hari lalu mobil saya mogok dan karena saya bukan orang Jakarta, saya enggak tahu ny
***"Anak Papa anak Papa, makin gede makin cantik! Ciluk ... ba!"Duduk bersila di kasur, Danendra nampak begitu semangat mengajak Elara bermain ciluk ba, sementara Adara sedang membersihkan badan pasca pulang dari lapangan."Cantik banget kamu, Sayang. Persis Mama," puji Danendra sambil memegangi kepalan tangan Elara yang terus bergerak sejak tadi.Menginjak usia tiga bulan, Elara memang sudah terbilang cukup aktif bahkan bayi gembul itu mulai bisa memiringkan badan untuk belajar telungkup."Asik banget mainnya."Danendra menoleh lalu tersenyum melihat Adara yang nampak begitu segar setelah mandi. Memakai bathrobes putih seperti biasa, perempuan itu menggulung rambut basahnya dengan handuk sedang."Udah mandinya?""Udah," kata Adara. "Kamu mau mandi juga enggak? Keringatan kayanya tuh.""Mau, habis ini," kata Danendra. "Nunggu baby El tidur lagi.""Kenapa?" tanya Adara sambil menaikkan sebelah alisnya setelah dia duduk di pinggir kasur. "El kan ada aku.""Justru itu," ucap Danendra.
***"Ra, makan siang dulu."Pasca kejadian jam sepuluh tadi, Danendra mendapat hukuman dari Adara. Meskipun sudah menjelaskan maksud dari kata 'suka' dia pada Clarissa bukan menjurus ke perasaan cinta, tetap saja istri cantiknya itu marah.Dan hukumannya adalah; Danendra tak boleh berada di kamar sampai marahnya Dara luntur.Mengisi kejenuhan, Danendra memutuskan untuk menyiapkan makan siang—menggantikan tugas Mbak Vivi dan kini, tepat ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah dua belas, kegiatan Danendra selesai.Masuk ke kamar yang tak dikunci, Danendra berjongkok di depan Adara yang entah sejak kapan tertidur."Adara cantik, makan dulu," kata Danendra—membangunkan Adara untuk yang kedua kalinya. Namun, sang istri tetap terlelap hingga akhirnya Danendra menggunakan cara pamungkas.Cup!Sebuah kecupan mendarat di kening Adara. Tak hanya di kening, Danendra kembali mendaratkan kecupan yang sama di kedua pipi, pangkal hidung hingga terakhir bibir.Membuat Adara yang semula terlelap k