Gallen menutup pintu kamarnya dengan desah nafas panjang, di ruang tengah sudah ada mama dan Giana yang sudah sampai rumah lebih dulu dari pada ia dan Emily yang memutari jalanan di hiasi perdebatan sepihak dari Emily. “Tidur Ma,” ucap Gallen pada sang mama yang bertanya lewat matanya.Mama mengangguk. “Dimaklumi ya Gallen, Mama rasa cemburunya Emily faktor hormon juga. Dia jarang enggak logis seperti itu.” “Iya Ma, pas hamil yang pertama malah lebih parah dari ini,” ringis Gallen. “Abang bilang kalau Kak Andara mantan Abang?” Giana bertanya seraya memberikan gelas air dingin. “Emily yang tanya pas mau naik ranjang periksa,” jawab Gallen. “Terus Abang bilang itu mantan?” tuntut Giana. “Iya masa mau bohong,” jawab Gallen singkat. Mama tertawa dan Giana menepuk keningnya dengan berseru cape deh abang aku. “Lain kali kalau mau jujur lihat kondisi
“Berapa?” tanya Emily. Untuk pertama kalinya semenjak pernikahan mereka, Gallen menyinggung masalah uang dengan wajah serius dan menatapnya tanpa jeda.Gallen mendesah kecil. “Sangat banyak, aku sih inginnya sederhana. Tapi karena istri aku putri kesayangan dari pak Bachtiar maka tidak mungkin hanya sederhana.” “Maksud kamu apa sih? kamu terlilit hutang?” tebak Emily. “Astaga enggak, hutang aku hanya makan siang minggu lalu sama anak Gayana yang aku titipi dan aku lupa bayar sampai sekarang.” Gallen langsung melepas tangan Emily seketika. “Ya kamu buat seram tahu enggak, butuh uang banyak untuk apa? dan berapa?” Emily menggaruk hidungnya yang tiba-tiba gatal. “Mungkin 30-50 Milyar? Baru perkiraan kasar. Semoga enggak sampai segitu,” ringis Gallen.Emily melebarkan matanya. “Buat?” “Rumah.” Gallen berdehem sekali. “Rumah?” ulang Emily. “Harusnya ini aku jadikan kado untuk kamu nanti pas ulang tahun, tapi karena kamu memberitahukan kalau hamil dan kembar, jadi aku gatal untuk cep
Emily bersandar pada dinding kamar mandi dengan duduk di lantai dingin di depan closet. Ia baru saja menguras habis isi lambungnya padahal yang masuk tidak lebih dari air dan air. Menunduk di atas closet yang masih terbuka. “Kak Em,” seru suara Giana yang membahana di seluruh penjuru rumah hingga terdengar ke kamar mandi Emily. Emily tidak sanggup menyahut, ia bahkan tidak sanggup sekedar berdiri dan pindah ke kasur yang nyaman. Suara Giana masih membahana mencari keberadaan sang ipar. Sampai terdengar Giana membuka pintu kamarnya dan masuk ke kamar mandi. “Ya Tuhan Kak Em, kenapa di lantai? Mual?” Giana memberondong pertanyaan dengan langsung menunduk membantu Emily bangun dari dinginnya lantai kamar mandi. “Aku lemas,” lirih Emily di antara sengal nafas dan gejolak di perutnya yang belum juga mereda. “Mau muntah lagi?” Giana mengurungkan niat membantu Emily berdiri dan kini berlutut di sam
“Kenapa mesti mual?” tanya Emily setelah menguasai kagetnya. “Aku pernah dengar kalau ibu hamil muda suka mual sama bau suaminya,” ringis Giana. “Ada yang seperti itu?” Gallen heran mendengarnya. “Ada,” jawab Giana.Gallen meringis. “Semoga kamu enggak ya, Sayang.” Berita kehamilan Emily walau ditutupi tetap saja menyebar dengan cepat, mereka dihujani ucapan selamat dan doa serta kiriman bingkisan yang membuat Gallen terhenyak. Bagaimana mungkin sebuah kabar kehamilan melebihi sebuah pernikahan kadonya. Mereka bahkan menerima kado seperangkat perhiasan anak perempuan padahal jelas mereka belum tahu jenis kelaminnya. “Sayang ... relasi kamu kok seram amat.” Gallen meneguk ludah melihat bagaimana brand ternama dengan harga menguras deposito tengah Emily buka karena diantarkan langsung oleh orang kepercayaan si pengirim.Emily mengangguk dengan ringis. “Iya aku juga kaget kok bisa dikirim begin
“Kalau mual jangan di tahan, ok? kita langsung pulang dan istirahat,” bisik Gallen pada Emily yang dijawab anggukan penuh senyuman dari Emily. Gallen mewujudkan keinginan istrinya yang ingin di lamar walau mereka sudah menikah dan kini sedang mengandung dua anak kembar. Perhelatan Gallen urus sendiri dengan sungguh-sungguh sesuai keinginan Emily yaitu nuansa gold. Emily bahkan memesan gaun cantik serta membuatkan semua keluarganya baju agar senada dengannya. Ketika Gallen menanyakan apakah masih butuh cincin, Emily menggeleng dan melepas cincin pernikahan mereka untuk Gallen pasangkan nanti saat melamar. Sesaat Gallen meringis, merasa semacam sedang memainkan sandiwara teater. Acara pertunangan diadakan hanya bagi keluarga mereka saja, namun ternyata keluarga mertua Gracia juga datang. Gallen semakin menggaruk kepalanya yang sudah rapi, ada secuil rasa malu sampai pada saat sebuah tepukan di bahu dari belakang badan membuat
Tepuk tangan belum usai setelah Emily menjawab Yes i do penuh haru, beberapa wanita menyusut sudut matanya sementara setelah Gallen memasangkan cincin pernikahan mereka memilih menenggelamkan Emily ke dalam pelukan dari pada harus menciumnya di hadapan banyak orang. Gallen malu tentu saja. “Terima kasih,” lirih Emily dalam pelukan suaminya. “Iya terima kasih juga sudah diterima lamarannya,” kekeh Gallen. Gallen menganggukkan kepala pada MC laki-laki muda di sana yang dijawab anggukan pula oleh sang MC. Gallen membisiki satu kalimat yang membuat Emily mengerutkan kening dalam rengkuhan lengan suaminya. “Kita duduk dulu nikmati pertunjukan berikutnya ya, Sayang. Awas jangan ngeces.” Gallen berbisik dengan menarik Emily keluar dari lingkaran penuh bunga indah menyingkir sesaat namun tidak membawa Emily duduk. “Saya terharu sungguh, selamat berbahagia Gallen dan Emily serta anak-anak kalian kela
“Tidur Sayang tidur ya Tuhan, ini sudah jam satu malam.” Gallen memasuki kamar kembali setelah dari kamar mandi. “Belum bisa tidur, aku masih kepikiran Kak Grace dan Giana,” desah Emily. “Kenapa dengan mereka?” Gallen bertanya seraya bergabung ke dalam selimut dan menarik pelan tubuh Emily untuk ia rengkuh. “Kok bisa melamar anak mama bersamaan tiga-tiganya, astaga untung mama enggak punya masalah jantung.” Emily memandang wajah Gallen yang amat bersih, ia bahkan ke klinik kulit guna performanya maksimal bersih rapi ketika memenuhi keinginan Emily melamarnya.Gallen terkekeh kecil. “Kalau sama Abas itu memang sudah kerja sama kita, sama Pras ... kalau enggak lihat ada orang tuanya tadi sudah aku hajar dia. Tapi aku sangat suka jawaban dari Giana.” “Iya aku juga, siapa yang sangka gadis 20 tahun bisa sedewasa itu,” puji Emily. Flashback tempat lamaran Gallen. Ketika semua se
Gallen menghubungi Emily saat pukul satu siang saat ia baru saja memasuki ruangan setelah pertemuan keduanya dengan klien di hari itu. Namun panggilannya tidak jua diangkat oleh Emily, baru pada panggilan ke tiga Emily mengangkat. “Aku di rumah sakit Brawijaya, pendarahan. Sudah dulu.” Emily langsung mematikan panggilan setelah mengatakan hal tersebut. Gallen mematung kaget bukan kepalang, sampai pada detik ke lima, ia meraup kunci mobil dan dompet serta berlari kesetanan keluar ruang. Melewati beberapa karyawannya tanpa menjawab pertanyaan mereka mengenai ia yang terburu-buru. Sesampainya di rumah sakit yang dituju, Gallen langsung bertanya di mana ruangan yang merawat istrinya. Akan tetapi tidak ada pasien bernama Emily bahkan setelah Gallen mengatakan bahwa istrinya di rumah sakit tersebut karena pendarahan tengah hamil sepuluh minggu dan tetap tidak di temukan sekalipun di UGD. Dengan kepanikannya, Gallen menghubungi ke