Aku keluar, kemudian duduk di rerumputan di taman depan rumah sederhana ini. Kupandangi langit di atas sana. Cerah dan bertabur begitu banyak perhiasan langit. Rasanya baru kemarin Mas Irwan mengajakku membeli es krim di toko dekat rumah, rasanya baru kemarin Ibu membelikanku baju sekolah, rasanya baru kemarin aku tamat SMA. Waktu, kenapa begitu cepat berlalu? Tahu-tahu, aku sudah menikah dan sebentar lagi akan menjadi orang tua. Beruntung aku bertemu Mas Hada, pria yang bisa membawaku ke jalan yang lebih terarah. Entah apa jadinya, kalau aku bertemu pria yang salah.“Ngelamun saja!” Aku dikagetkan dengan kedatangan Mas Hada yang tiba-tiba. “Ih, Mas! Kamu ngagetin saja!” Aku mencubit kecil perutnya, dan dia tertawa. Mas Hada membungkuk dan mencium pucuk kepala, lalu ikut duduk di sampingku. “Mikirin apa?” tanyanya seraya menarik kepalaku untuk bersandar di bahu pria itu.“Mikirin hidup, Mas. Enggak kerasa, waktu begitu cepat berlalu.”“Andai kamu tahu. Seolah dihitung mundur untuk me
POV : Hada**Sylviana.M**"Gila! Aku mana bisa menikahi gadis sembarangan. Aku memang ingin menikah, tapi tentu saja dengan wanita yang kucintai, Yo!”Malam ini Prio tiba-tiba datang ke rumah. Dia memintaku menggantikan posisinya sebagai pengantin pria, karena Prio mendadak akan pergi ke Belanda besok. Dia diam, berdiri kaku di hadapanku, lalu mengangsurkan secarik kertas bermeterai yang entah apa isinya.“Apa ini?” tanyaku bingung, menerima kertas itu dari tangannya.“Itu surat perjanjian, Suhada. Bulan lalu aku berjanji akan membawa Ibu operasi mata, dan kamu tahu dia sangat bahagia. Maaf, sampai kapan pun, kurasa kau tak akan mampu membuatnya bisa melihat. Jika kau mau menggantikan posisiku besok, aku berjanji, begitu pulang dari Belanda, donor mata itu sudah kudapat. Ibu langsung operasi, supaya bisa melihat.”Aku duduk di kursi kayu yang ada di samping rumah.“Hada, mudah saja. Datang besok ke
Pov : Hana**Sylviana.M***“Ya sudah, menjauhlah! Aku mau mandi,” ucapku sambil mendorong dadanya dengan jari telunjuk.Tubuh pria itu perlahan menjauh, mengikuti dorongan jariku. Segera aku beranjak menuju kamar mandi. Ingat wajah yang katanya seperti dakocan, aku memilih berdiri di depan meja rias, memperhatikan wajah sesaat dan membersihkannya. Baru saja tangan terayun hendak membersihkan wajah dengan kapas yang sudah ditetesi toner, tiba-tiba pria itu mengembuskan napas berat. Dia mendekat, lalu mengangkat tubuhku.“Apa-apaan? Turunin!” teriakku marah.“Mandi! Nanti kalau sudah mandi bukan hanya muka yang bersih, tapi semuanya.”“Aku bisa sendiri.”“Lama!”Sampailah kami di depan kamar mandi. Dia menurunkan dan mendorongku masuk, setelahnya menutup pintu dan membuatku super kesal.“Berani sekali memperlakukan aku seperti ini!” teria
Pov : Suhada“Jadi, kalian berteman? Jangan bilang, kalian sudah merencanakan kejadian ini dari jauh hari?” Hana mencurigaiku. Meski terlihatseperti itu, tapi kenyataannya aku menikahinya karena kemauanku sendiri, bukan karena surat perjanjian itu.“Aku enggak seperti itu.” Aku menatapnya selama beberapa saat, kemudian mengalihkan pandangan.“Kalau suatu saat terbukti kamu bersekongkol dengannya untuk menghancurkanku, aku enggak akan pernah memaafkanmu, Mas!”Aku tidak menjawab, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan. “Kamu enggak capek? Aku bersihin dulu kamar kita.”“Kita?”“Ya, kenapa memang?”“Aku tidur sama kamu, Mas?”“Jadi maunya kamu bagaimana?” Tanpa menunggu jawaban, aku langsung menarik tangannya dan mengajak ke kamar. Ruang berukuran 3x3 meter dengan kasur tanpa ranjang. Ada lemari plastik di ujung ruangan yang biasa
Pov : Hana**Sylviana.M**Aku adalah wanita yang menjaga aurat, tapi belum sempurna menjaga taat. Dulu, pakai hijab karena ikut teman-teman yang semuanya sudah menutup aurat. Salat masih suka ogah-ogahan. Mungkin, kejadian ini juga jadi salah satu teguran dari Tuhan. Tanpa kusadari, rasa bersalah mengentak-entak di dalam dada. Aku terdiam cukup lama, lalu perlahan membalas tatapan hangat Mas Suhada. Pria yang beberapa waktu lalu sangat menyebalkan, tapi kini berubah menjadi sangat hangat.Tatapannya mampu meluluhlantakkan egoku. Aku terdiam cukup lama, mencerna kata-katanya yang lembut, tapi membekas dan meninggalkan jejak di lubuk hati yang paling dalam. Apa yang dikatakannya sangat masuk akal. Pasangan yang baik memang yang saling mengingatkan dan saling mendukung dalam kebaikan satu sama lain.“Makasih nasihatnya,” sahutku kemudian. Aku beranjak dan langsung menuju ke kamar mandi, membuka hijab dan menghidupkan keran. Kubasuh
Pov : Hada**Sylviana.M**Aku duduk di musala kampus, setelah belanja banyak makanan titipan para dosen. Kusandarkan punggung ke kursi kayu berwarna cokelat di samping musala. Semalam, aku memberikan semua gajiku pada Hana. Aku percaya, dia pasti bisa belajar mengaturnya, meskipun itu bukan hal mudah. Dari sini aku bisa melihat kelasnya, tampak dia tertawa riang dengan beberapa teman. Kadang aku berpikir, apa aku begitu memalukan sampai dia tak mau mengakui aku sebagai suaminya? Apa pekerjaanku ini begitu buruk?Aku menarik napas panjang, pandanganku masih tertuju ke kelas yang ada di bawah sana, di mana Hana masih asyik tersenyum dan tertawa dengan orang-orang. Aku tersenyum tipis melihat wanita itu. Senyumnya benar-benar mampu mengalihkan duniaku, bahkan sejak dulu. Seharusnya aku tahu ini tak mudah, mengingat dia berasal dari keluarga yang cukup. Sayangnya, cinta itu benar-benar tak ada logika. Tanpa berpikir panjang, aku langsung maju. Me
POV : Hana***Aku telah sampai di rumah. Kuucapkan salam, dan seseorang membuka pintu. Ternyata Bik Romlah. “Bik Romlah,” sapaku seraya mengulas senyum.“Rahmi, Nak.”Aku terdiam mendengar sahutannya. Apa aku tidak salah dengar? Perasaan namanya Bik Romlah.“Oh, salah panggilkah, Bik?” Aku meyakinkan.Wanita setengah baya itu tersenyum, lalu merangkul tubuh ini, setelahnya ia mengajakku masuk ke dalam. Kami masuk beriringan, sambil jalan beliau menjelaskan. “Jadi, Rahmi dan Romlah adalah orang yang berbeda. Kami kembar, Nak Hana. Secara bergantian, jaga Mbak Rohiyah di sini.”“Ya ampun.” Aku tertawa, menutup mulutku dengan sebelah tangan, karena jujur saja, aku baru tahu kalau ternyata Bik Romlah dan Bik Rahmi itu kembar."Duh, maaf ya, Bik. jangan-jangan selama ini aku sering salah panggil lagi. Soalnya wajah kalian berdua sama, Bik.""Nggak apa-apa, Nak. Namanya juga nggak tahu. Yang penting sekarang udah tahu, ya. Bibik juga lupa ... terus mau kasih tahu, kalau sebenarnya yang suk
Hari ini, pertemuan keluargaku dan keluarga Mas Suhada. Mas Irwan menjemput kami ke rumah dan membawa kami ke restoran Ibu. Di sini kami dijamu dengan sangat mewah. Makanan-makanan andalan dikeluarkan semua. Bik Rahmi dan Bik Romlah bahkan turut serta membawa salah seorang anaknya yang bernama Kelana. Dua keluarga berbincang hangat. Ibu bahkan mempercayakan kasir sementara pada pegawainya.“Han, nanti Mas transfer untuk bayar semesteran, ya!” kata Mas Irwan tiba-tiba.Aku menatap Mas Hada. Dia hanya diam, pura-pura menikmati makanan.“Eh, Mas, enggak usah. Aku akan bayar sendiri. Lagian, uang kemarin-kemarin yang Mas kasih masih ada, kok.”“Loh, kenapa? Biasanya juga begitu, kan? Biaya sekolah kamu itu cukup tinggi loh. Gaji Suhada enggak akan cukup untuk itu. Dia bisa kuliah di sana karena beasiswa, sedangkan kamu enggak gratis kayak dia. Mas cari uang juga buat kamu dan ibu, jadi terima saja pemberian dari Mas, ya!"Suasana yang tadinya hangat, hening seketika. Kata-kata Mas Irwan s
Aku keluar, kemudian duduk di rerumputan di taman depan rumah sederhana ini. Kupandangi langit di atas sana. Cerah dan bertabur begitu banyak perhiasan langit. Rasanya baru kemarin Mas Irwan mengajakku membeli es krim di toko dekat rumah, rasanya baru kemarin Ibu membelikanku baju sekolah, rasanya baru kemarin aku tamat SMA. Waktu, kenapa begitu cepat berlalu? Tahu-tahu, aku sudah menikah dan sebentar lagi akan menjadi orang tua. Beruntung aku bertemu Mas Hada, pria yang bisa membawaku ke jalan yang lebih terarah. Entah apa jadinya, kalau aku bertemu pria yang salah.“Ngelamun saja!” Aku dikagetkan dengan kedatangan Mas Hada yang tiba-tiba. “Ih, Mas! Kamu ngagetin saja!” Aku mencubit kecil perutnya, dan dia tertawa. Mas Hada membungkuk dan mencium pucuk kepala, lalu ikut duduk di sampingku. “Mikirin apa?” tanyanya seraya menarik kepalaku untuk bersandar di bahu pria itu.“Mikirin hidup, Mas. Enggak kerasa, waktu begitu cepat berlalu.”“Andai kamu tahu. Seolah dihitung mundur untuk me
Aku diam cukup lama di dalam kamar mandi, sementara Mas Hada sudah gelisah menungguku di luar sana. Bagaimana kalau dia tahu, kalau ternyata hasilnya seperti ini? Kira-kira reaksinya bagaimana, ya? Aku menarik napas panjang, bersiap untuk keluar menemui Mas Hada. Setelah cukup tenang, kubuka pintu dan langsung tampak wajah Mas Hada yang terlihat tegang. “Sayang, bagaimana? Mas sampai izin loh hari ini. Enggak masuk kerja, karena ingin nemenin kamu pakai alat itu.”“Mas pakai alat ini enggak sampai hitungan jam, bahkan menit.”“Mas, deg-degan soalnya.” Dia memang terlihat sangat tegang. Aku langsung melewati tubuhnya dan duduk di ujung kasur. Mas Hada mengekorku dari belakang dan duduk di bawah, menghadap ke arahku. Antara ingin tertawa dan kasihan lihat wajahnya seperti itu. “Mas, maaf, ya,” ucapku kemudian dengan wajah penuh dengan penyesalan.Mas Hada menarik napas panjang, lalu tersenyum samar. Dia memegang sebelah tanganku dan menciumnya. “Enggak apa, belum rezeki. Kita coba la
Samar-samar, aku merasa ada yang membelai lembut kepala. Aku membuka mata, dan mendapati Mas Hada sudah ada di sampingku. Aku mengucek mata, memastikan kalau yang kulihat bukan hantu.“Mas, ini serius kamu?” Aku langsung memeluk erat tubuhnya, lalu cemberut. “Ih, jahat! Kok, enggak bilang pulang lebih awal? Aku, kan belum siap-siap. Mana sudah tidur lagi, pas kamu pulang.”“Jangan cemberut. Kan jadi pengin ci—”“Langsung saja kenapa, sih? Pakai bilang begitu.”Mas Hada tertawa sambil menggelengkan kepala. “Kamu itu makin lucu, deh! Ya sudah, jadi boleh nih?”“Memang aku pernah nolak?”Malam itu, kami tuntaskan rasa rindu selama hampir satu minggu tak bertemu. Seperti biasa, dia amat manis memperlakukanku. Keringat dan peluh melebur menjadi satu.“Baca doa enggak tadi sebelum mulai?” tanyanya seraya mengecup pucuk kepala, setelah kami selesai. “Doa apa?”“Kalau Mas berdoa. Semoga segera ada langkah kaki anak kecil di rumah kita yang sederhana ini.”Aku tersenyum, lalu menyandarkan kep
POV : Hana“Iya, Mas?” Dengan semangat, aku mengangkat telepon Mas Hada. Ini pertama kalinya dia menelepon, setelah beberapa hari belakangan hanya bisa membalas chat sesekali. “Han, ada yang mau bicara.”“Siapa?”“Halo, Hana?”“I-iya?”“Saya, Fika. Jangan ditutup teleponnya. Ini saya speaker, supaya kamu dan Mas Hada sama-sama mendengar pengakuanku. Jadi, aku dan Prio pernah menjadi teman yang sangat dekat. Kami sering ke kelab malam bersama teman-teman. Bahkan tanpa ingat dosa, kami sering tidur bersama.”“Astagfirullahalazim.”“Aku tahu, perbuatan kami itu sangat enggak terpuji. Aku bahkan pernah hamil, karena sering tidur dengan Prio.”Aku memejamkan mata.“Dulu, Prio pernah memintaku menikah dengan Suhada, tapi mendengar cerita darinya ... aku menolak, karena Suhada hanya seorang office boy. Bagiku, itu sangat memalukan.” Dia terisak. “Aku terus mendesak Prio bertanggung jawab atas anak yang ada di kandunganku, tapi dia terus menolak dan memaksaku menikah dengan Hada. Katanya, Ha
Alarm berbunyi nyaring. Segera aku mengucek mata, dan melirik jam di atas kepala ranjang. Ternyata jam sudah menunjukkan hampir pukul 02.00 malam. Segera aku bangun, lalu menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudu. Setelah selesai, aku segera melakukan salat malam. “Assalamu’alaikum warohmatullah. Assalamu’alaikum warohmatullah.”Kutengadahkan tangan untuk berdoa, meminta kekuatan iman supaya tidak goyah, dan terhindar dari segala rayuan setan, termasuk dijauhkan dari hal-hal yang buruk. Tak lupa berdoa untuk kesehatan istri, pun keluarga yang jauh di sana. Selesai berdoa, kuusapkan tangan ke muka. Semoga Allah mendengar semua doaku. Aamiin. Aku melipat sajadah, dan kembali berbaring di kasur. Kubuka laci nakas dan memeriksa gawai. Sejak pagi aku belum mengaktifkannya, saking padatnya acara yang kujalani hari ini. Gawai hidup dan ada beberapa notifikasi masuk, termasuk notifikasi chat dari Hana, wanitaku. Aku tersenyum membaca beberapa chat-nya, lalu membalas. Di sana dia selalu
POV : Hada“Oke, untuk malam ini sampai di sini dulu pelatihannya. Kita akan sambung besok dengan materi yang berbeda. Selamat malam,” ucap seorang pemateri malam ini.Pelatihan khusus malam ini telah selesai. Aku bersiap kembali ke kamar. Kebetulan, pelatihan menggunakan aula khusus di hotel tempat kami menginap. Baru saja akan kembali ke kamar, aku bertemu Jefri—teman yang baru kukenal. Dia supervisor dari salah satu perusahaan yang ada di Pulau Kalimantan. “Hada, mau ke mana?” tanyanya yang membuatku menghentikan langkah.“Balik ke kamar, Jef. Kamu?”“Mau keluar cari angin. Mau ikut?”“Ah, capek banget nih! Aku mau tidur saja.”“Selesai pelatihan ini, kita enggak akan ketemu lagi, loh. Ayolah!” katanya sambil merangkul lengan, dan akhirnya aku mengikutinya.Tanpa kusangka, Jefri membawaku main biliar. Gedung yang cukup besar, di dalam sini berjajar meja panjang sebanyak enam buah. Terdapat lampu sorot di atas setiap mejanya, lalu bola warna-warni yang menghiasi bagian atas meja-m
“Han, kenapa kamu diam saja, sih?” tanya Kiki.“Kamu kenapa lagi? Ada masalah sama Mas Hada?”Aku diam saja. Hanya melipat tangan di meja, dan menatap papa tulis kosong di depan sana. Masih kuingat perpisahanku dan Mas Hada tadi pagi. Rasanya, masih cukup membuat hati teriris. Itu baru pisah sementara, bagaimana nanti jika Tuhan memisahkan kami selamanya?“Astagfirullah.” Aku mengusap wajah kasar.Benar saja kata Mas Hada, Allah itu enggak suka umatnya terlalu mencintai dunia beserta isinya, melebihi rasa cinta terhadap Dia. Allah itu pencemburu. Dia akan merasa cemburu, jika aku mencintai yang lain lebih dari rasa cintaku terhadap Dia.“Astagfirullah,” ucapku sekali lagi.“Han, kamu enggak kesurupan, kan? Di kelas ini tinggal kita bertiga loh!” Kiki tampak khawatir.“Ini jam berapa, sih?” tanyaku tiba-tiba.“Wah beneran nih anak kesurupan.” Isna menjaga jarak.“Jam berapa?” tanyaku sekali lagi, tak memedulikan ocehan mereka.“Pukul 10.30. Dosen enggak masuk, kita dari tadi bengong di
POV : Hada Tok! Tok! Tok!“Assalamu’alaikum, Pak.” Aku membuka pintu ruangan Pak Reo.“Oh, iya. Wa’alaikumsalam, Hada. Masuk sini!”Aku masuk, lalu duduk di depan kursi Pak Reo. “Ternyata jadwal pelatihan karyawan dimajukan jadi besok. Jadi, hari ini kamu pulang, terus siap-siap. Besok, pagi-pagi, kumpul di sini sekitar pukul 09.00. Kalian keluar kota naik mobil dinas.”“Dimajukan, Pak?” tanyaku bingung, karena aku belum mengatakan apa pun pada Hana.“Iya, Hada. Surat edarannya baru dikirim melalui fax malam ini.”“Baik, Pak. Kalau begitu, saja permisi dulu.”Aku keluar ruangan, lalu masuk ke ruanganku. Sepi, tak ada orang. Ketiga teman di ruangan ini memang jarang sekali ada di tempat. Mereka sering bepergian entah ke mana. Aku membereskan meja dan bersiap akan pulang, setelah itu keluar ruangan menuju parkiran. “Pulang, Mas?” tanya Pak Sekuriti.“Iya, Pak. Soalnya mau pergi pelatihan besok.”“Oke, Mas!” Pak Sekuriti melambaikan tangan, saat sepeda motorku melewati gerbang. Di ja
“Mas!” Aku terpekik kecil, saat Mas Hada membawaku ke tempat baju di sebuah mall. Sudah lama aku berpuasa membeli pakaian, karena tidak memungkinkan. Meskipun tempat ini bukan butik di mana biasanya aku memesan pakaian dengan harga yang cukup tinggi, tapi aku sudah bahagia. Aku menyentuh setiap baju yang tergantung rapi di mall ini. Kuangkat dan kutatap dengan mata berbinar bahagia. Mas Hada mengikutiku dari belakang. Dengan senyum yang terus melengkung, dia setia menemaniku memilih pakaian. Hingga aku menemukan pakaian yang pas untuk Bik Romlah dan Ibu. Mas Hada terlihat bingung dengan baju yang kupilih. “Sayang, itu bukannya untuk orang tua, ya?”“Iya, Mas. Untuk Ibu dan Bik Romlah dulu,” kataku tanpa menoleh ke arahnya, masih sibuk memilih beberapa pakaian.Mas Hada tersenyum sedikit. Kenapa baru-baru ini dia pelit sekali tersenyum? Aku mengabaikan, saat dia terpaku menatapku dengan tangan yang melipat di depan dada. Selesai memilih pakaian Ibu dan Bik Romlah, aku pergi ke arah l