Pov : Hana
**Sylviana.M***
“Ya sudah, menjauhlah! Aku mau mandi,” ucapku sambil mendorong dadanya dengan jari telunjuk.
Tubuh pria itu perlahan menjauh, mengikuti dorongan jariku. Segera aku beranjak menuju kamar mandi. Ingat wajah yang katanya seperti dakocan, aku memilih berdiri di depan meja rias, memperhatikan wajah sesaat dan membersihkannya. Baru saja tangan terayun hendak membersihkan wajah dengan kapas yang sudah ditetesi toner, tiba-tiba pria itu mengembuskan napas berat. Dia mendekat, lalu mengangkat tubuhku.
“Apa-apaan? Turunin!” teriakku marah.
“Mandi! Nanti kalau sudah mandi bukan hanya muka yang bersih, tapi semuanya.”
“Aku bisa sendiri.”
“Lama!”
Sampailah kami di depan kamar mandi. Dia menurunkan dan mendorongku masuk, setelahnya menutup pintu dan membuatku super kesal.
“Berani sekali memperlakukan aku seperti ini!” teriakku dari dalam kamar mandi.
“Si Prio tuh berani sekali bikin Mas Irwan marah, sampai kayak mau bunuh orang sekampung.”
Aku diam. Tiba-tiba rasa sedih memenuhi rongga dada. Rasa marah yang sempat meluap-luap, hilang seketika. Aku melepas pakaian, dan berdiri di bawah shower. Kusiram kepala sambil mengingat kebersamaan kami sebelum hari H. Meskipun tak banyak memori yang melekat di otak, tapi cukup membuatku terluka. Bayanganku, kami akan menjadi keluarga yang bahagia. Dia juga berjanji memboyongku ke Singapura untuk tinggal bersama kedua orang tuanya.
“Kamu mau mas kawin apa nanti di acara ijab kita?” tanyanya saat itu.
“Aku enggak ingin membebanimu, Mas. Enggak mau yang muluk-muluk. Yang penting bermanfaat, dan kamu ikhlas memberikannya padaku.”
Kemudian kami tersenyum.
Selama ini, Mas Prio tak pernah menunjukkan perilaku yang aneh. Pertanyaannya, kenapa dia tiba-tiba meninggalkanku? Aku menunduk, membiarkan tetes demi tetes air mata luruh bersama air yang jatuh dari shower. Kupejamkan mata, mencoba menerima takdir yang Allah gariskan. Puas menangis sambil membersihkan diri, aku mematikan shower, lalu hendak mengambil handuk. Sialnya, aku lupa membawa benda tersebut. Aku kesal, lalu berjongkok karena harus meminta tolong pria itu mengambilkannya untukku. Kenapa aku bisa lupa?
Tok! Tok! Tok! Aku mengetuk pintu kamar mandi.
“Masuk!” teriaknya dari sana.
Dia pikir aku tamu, yang dipersilakan masuk. “Hai, Anda! Tolong ambilkan handuk!”
“Yang sopan kalau minta tolong, yang manis ngomongnya.”
Ah, kenapa aku bicara formal sekali? Aku mengulum bibir sendiri, kesal. Kemudian mencoba mengulang kata-kata. “Iya, maaf. Eh, tolong ambilkan handuk, ya.”
“Apa? Enggak dengar!”
Aku diam, meredam kesal yang kembali menyumpal dada. “Suhada, tolong ambilkan handuk saya.”
“Kurang sopan panggil suami cuma nama saja!”
Kini kupejamkan mata sambil menarik napas yang panjang, lalu mengembuskannya secara perlahan. Setelah cukup tenang, aku kembali mencoba bicara, “Mas Suhada, kalau boleh minta tolong, tolong ambilkan handukku yang warna pink. Handuk yang tergantung di belakang pintu.”
“Pintu mana? Yang jelas kalau minta tolong. Pintu dapur, atau pintu depan.”
Aku berlagak ingin memutusnya dari balik pintu kamar ini. Kesal sekali rasanya! Bibir ini diam kembali dengan mata terpejam, berusaha mengontrol rasa kesal yang sudah berdesak-desakan dalam dada. “Di belakang pintu kamar, Mas.”
“Oh, bentar.” Kemudian hening. “Tapi bukan warna pink ini?”
Dahiku mengerut. Ke mana handukku? “Iyakah, Mas? Perasaan, handukku warna pink, Mas.”
“Bukan, ini warna merah muda. Bener punyamu?”
Sabar Hana, sabar ... sabar .... Aku mengelus dada. “Ya Allah, kok bisa lupa, ya? Bener Mas yang itu punyaku hehehe.”
Terdengar dia tertawa kecil, padahal aku di sini dongkol luar biasa. Tidak berapa lama, pria itu mengetuk pintu dan aku membukanya sedikit, lalu tanganku menyembul keluar. Segera dia meletakkan handuk ke telapak tanganku.
“Makasih,” katanya, setelah aku menutup pintu.
Aku diam saja. Karena aku lupa juga membawa baju ganti dan dia pasti akan bertele-tele mengambilkan jika aku meminta tolong, maka kuputuskan tetap memakai pakaian sebelumnya. Selesai, aku keluar. Dia yang sedang duduk di sisi ranjang memperhatikanku dengan saksama. Jadi agak canggung, karena pandangannya tak lepas dari sosokku.
Aku membuka lemari, ekor matanya masih mengikuti. Aku berjongkok mencari dalaman, wajahnya ikut menunduk memperhatikan. Aku berdiri lagi mencari baju tidur, kepalanya ikut mendongak tetap fokus padaku. Dengan gerakan yang cepat, aku jongkok serta berdiri berulang kali. Kepala itu masih mengikuti. Ah, maksudnya apa, sih? Akhirnya aku berhenti, kemudian menghadap ke arahnya. “Maksudnya apa seperti itu?”
“Seperti itu bagaimana?”
“Ya seperti itu, ngelihatin terus!”
“Enggak boleh? Masa lihatin istri sendiri enggak boleh, sih?”
“Enggak boleh!” kataku dengan mata melotot.
“Soalnya ... kamu cantik.”
Aku terdiam, kemudian mengalihkan pandangan. “Apa?”
“Iya, kamu cantik. Tadi, kan kamu tahu sendiri wajahmu seperti dakocan. Setelah mandi dan bersih, kamu cantik.”
Rasa hangat menjalari pipi. Aku tidak jadi marah. Dengan segera aku mengambil pakaian, dan sedikit berlari menuju ke kamar mandi. Sampai di kamar mandi kututup pintunya rapat-rapat, dan menelangkupkan telapak tangan di kedua pipi. Aku tersenyum sendiri. Maksudnya apa, sih, bilang begitu? Dia pikir aku suka? Tapi ... memang aku suka, sih.
Selesai berganti pakaian, aku keluar lagi. Ternyata dia tak ada di kamar. Aku keluar, dan mendapati pria itu sedang bicara dengan Mas Irwan. Ada Ibu menyiapkan secangkir kopi panas untuk keduanya. Aku pura-pura duduk di dekat mereka dan memainkan gawai. Padahal, aslinya cuma kepo dengan apa yang akan mereka bicarakan.
“Jadi, kamu mau membawa Hana ke rumahmu malam ini juga?” tanya Mas Irwan.
“Iya, Mas. Soalnya Ibu sendirian, saya minta tolong saudara menjaganya. Minggu depan, insyaallah saya ajak Ibu main ke sini. Dia pasti senang mendengar saya sudah menikah.”
“Benar-benar enggak ada yang menyangka, kalau Hana akan menikah denganmu, Nak. Terima kasih banyak, kamu sudah membantu kami.”
“Sama-sama, Bu. Kebetulan, dari dulu Ibu selalu memaksa saya menikah. Saya bingung harus menikah dengan siapa, karena tidak punya teman dekat wanita. Karena itu, saat Mas Irwan menawarkan, dengan keteguhan hati saya maju.”
Mas Irwan menepuk-nepuk pundaknya. “Kamu kerja apa?”
“Saya hanya seorang office boy di sebuah universitas. Di sana saya kerja sambil kuliah. Maaf kalau pekerjaan saya hanya itu. Tapi saya berjanji, akan mencari pekerjaan lain setelah menikah.”
“Oh iya, enggak apa-apa. Yang penting halal. Saya percaya kamu pria yang bertanggung jawab. Di universitas mana kalau boleh tahu?”
Dia menyebut nama universitas, membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Di sana juga aku kuliah saat ini. Bagaimana ini?
“Ambil jurusan apa dan semester berapa, Nak?” tanya Ibu.
“Saya ambil jurusan manajemen dan semester tujuh, Bu.”
“Bentar lagi kelar, ya? Semoga lancar semuanya.”
“Aamiin. Makasih, Bu.”
Rasanya aku mau pingsan. Kami kuliah di universitas yang sama. Jurusan yang sama, kemungkinan hanya beda kelas saja. Astagfirullahalazim! Bagaimana kalau teman-temanku tahu soal ini? Mereka semua pasti tak ada yang kenal dengan pria ini kemarin. Bagaimana kalau suatu saat, mereka menyadari ternyata aku menikah dengan seorang OB di kampus?
Aku menoleh, dengan dada bergemuruh mendengar kenyataan ini. Aku gagal menikah dengan Mas Prio yang jabatannya sudah tinggi di sebuah perusahaan, dan kini malah menikah dengan pria ini. Pria yang hanya seorang petugas bersih-bersih di mana aku mengemban ilmu. Bahuku lemas, tenagaku seolah melayang. Aku berdiri dan kembali ke kamar. Sampai di kamar, gawai berdering nyaring. Panggilan dari K**i, teman sekampusnya.
Aku mengangkatnya, kemudian menempelkannya di telinga. “Ya.”
“Hana, aku ganggu enggak?”
“Enggak, Ki.”
“Aku cuma mau bilang, kayak pernah lihat suami kamu di kampus. Apa dia teman kuliah kita, ya?”
Deg!
Apa yang harus kukatakan. Aku diam beberapa saat, sampai K**i memanggilku berulang. “Oh, ya?”
“Iya. Masa kamu enggak ingat, Han?”
“Aku ... aku benar-benar lupa.”
“Nanti, deh, kalau kamu sudah masuk, kita coba cari dia, ya! Mirip banget, Han.”
“Oh.” Hanya itu jawabanku.
“Ya sudah, deh. Selamat bermalam Minggu, pengantin baru.”
“Makasih.” Kemudian telepon mati.
Kreak! Pintu terbuka. Pria itu tersenyum kecil seraya masuk ke kamar. “Sudah siap?”
“Ke mana?”
“Kita ke rumahku.”
Aku mengalihkan pandangan. Tak menjawab sepatah kata pun.
“Kenapa? Ada masalah? Kok, diam?” tanyanya duduk agak jauh dariku.
“Selain masa lalu, kamu juga sering memperhatikanku, kan di kampus?”
Dia diam, menatap sayu wajahku. Setelah lama diam, dia menjawab, “Ya.”
“Apa kamu sengaja menikahiku untuk membuatku malu? Bagaimana bisa aku mendapatkan seorang pria yang hanya seorang office boy sepertimu?”
Kami bertatapan lama hingga tanpa kusangka, dia mendekat dan begitu saja mencium bibirku. Aku mendorong dadanya, saat rasa lembut baru saja mendarat di bibir. Kutatap pria dengan tatapan tajam. Niatnya supaya dia takut, tapi malah ....
“Lancang sekali!” kataku sedikit bergumam, karena mulut tertutup tangan.
“Itu balasannya kalau kamu marah-marah. Kamu dengar aku bicara di depan tadi, kan? Kamu pasti malu punya suami office boy seperti aku. Tenang saja, aku enggak akan mengatakan pada siapa-siapa mengenai status hubungan kita di kampus. Aku akan mengatakan pada dunia bahwa aku suamimu, setelah punya pekerjaan yang jauh lebih baik nanti.”
“Pegang janji!”
“Iya.”
“Enggak boleh cium-cium asal lagi.”
“Kalau yang itu insyaallah.”
“Hai!”
Dia tertawa. Pria itu berdiri, dan memintaku membereskan pakaian karena akan mengajakku ke rumahnya. Sedangkan aku masih mematung. Apa benar dia pria dekil itu, kenapa dia berbeda? Kenapa dia sekarang ... jauh lebih tampan?
*** SM***
Kami mengendarai sepeda motor Supra X 125 hitam menuju RT sebelah. Di jalan, kami hanya diam. Kemarin kami belum kenal. Eh, sudah tapi hanya dia yang mengenalku, aku tidak begitu kenal. Kini kami diikatkan dalam tali perkawinan. Rencana Allah benar-benar ajaib.
“Mau beli makanan dulu enggak?” teriaknya dari depan sana.
“Makanan apa?”
“Kamu penginnya apa?”
“Enggak, deh!” sahutku singkat. Aku paham dia sulit cari uang. Menyapu kampus sebesar itu setiap hari bukanlah pekerjaan yang mudah.
“Kita beli martabak, ya!”
“Enggak usah!”
“Iya!”
“Aku bilang enggak usah!”
“Aku juga bilang iya.”
“Terserah!” sahutku kesal, dan dia hanya tersenyum kecil.
Sepeda motor berhenti di sebuah gerobak martabak di pinggir jalan. Aku enggan mendekat, jadi hanya menunggu di samping motor saja. Pria itu mengobrol sangat akrab dengan si penjual martabak. Apa dia bersikap seperti itu pada semua orang? Tiba-tiba pria itu menoleh, saat aku sedang mengamatinya. Mendadak aku pura-pura memeriksa kuku tangan. Tidak berapa lama, dia datang, menenteng kantong di tangan. “Kita pulang.”
Tanpa menjawab, aku langsung naik ke sepeda motor. Lagi, sepeda motor berjalan santai melewati beberapa perumahan dan gang. Sesekali pria yang bernama Suhada ini menunduk sambil mengurai senyuman untuk semua orang. Hingga tibalah kami di depan rumah yang cukup kecil dan sederhana. Rumah berwarna hijau, tapi catnya sudah banyak mengelupas. Aku turun dari sepeda motor dan memperhatikan rumah ini.
“Yuk, masuk!”
“Kita tinggal di sini?”
“Iya. Kenapa?”
Aku tidak menjawab, hanya tersenyum samar.
Mas Suhada menenteng tas berisi pakaianku, lalu mengetuk pintu. “Assalamu’alaikum, Ibu.”
“W*’alaikumsalam.”
Tidak berapa lama, wanita paruh baya membukakan pintu. Dia tersenyum pada anaknya, dan Mas Suhada langsung mengambil punggung tangan sang ibu. “Kenapa pulang malam, Nak?”
“Nanti aku ceritakan. Mana Bik Rahmi?”
“Baru saja pulang.”
Kemudian pria itu menuntun ibunya masuk dan duduk di kursi kayu di ruang depan. Mas Suhada memandang ibunya lama, lalu merapikan rambut beliau. “Bu, aku ada kabar bagus.”
“Apa, Nak?”
“Aku sudah pulang bersama wanita. Dia istri sah Hada, Bu.”
“Oh, ya? Mana dia? Mana?”
Aku heran. Sejak tadi aku ada di sampingnya, kenapa Ibu tak melihatku?
Mas Suhada mengarahkan tangan Ibu ke mukaku, lalu Ibu merabanya dengan mata berkaca-kaca. “Ya ampun! Ini pasti wanita yang sangat cantik. Namamu siapa, Nak?”
Aku menatap Mas Suhada, dia memberi isyarat kalau ternyata Ibu tidak bisa melihat. Seketika, rasa sedih menyeruak di hati. Aku memegang tangan keriputnya dan mencoba tersenyum tipis. “Hana, Bu.”
“Ya Allah, suaranya merdu sekali.” Ibu mendekat dan memeluk, sedangkan mataku tak lepas memperhatikan pria itu.
“Makasih, Bu,” sahutku membalas pelukannya.
Puas bercerita banyak hal dan kejadian yang sesungguhnya, Mas Suhada mengantar Ibu istirahat di kamar. Setelahnya, kembali mendekatiku.
“Mas, sejak kapan Ibu seperti itu?”
“Sejak lahir. Sudah dari tahun kemarin Ibu terus saja mengatakan ingin aku menikah. Aku bingung, aku belum punya tabungan. Bagaimana aku mau melamar seorang wanita? Hingga saat undangan itu datang, akhirnya aku ke sana. Tanpa kusangka ada kejadian tak terduga. Sejak SMP aku menyukaimu, bahkan kita kuliah di kampus yang sama. Saat Mas Irwan mengatakan itu, aku langsung berdiri dan memberanikan diri untuk menikahimu.”
“Siapa yang mengundangmu?”
“Prio. Sebenarnya dia adalah ... sahabatku.”
“Hah?”
Pov : Suhada“Jadi, kalian berteman? Jangan bilang, kalian sudah merencanakan kejadian ini dari jauh hari?” Hana mencurigaiku. Meski terlihatseperti itu, tapi kenyataannya aku menikahinya karena kemauanku sendiri, bukan karena surat perjanjian itu.“Aku enggak seperti itu.” Aku menatapnya selama beberapa saat, kemudian mengalihkan pandangan.“Kalau suatu saat terbukti kamu bersekongkol dengannya untuk menghancurkanku, aku enggak akan pernah memaafkanmu, Mas!”Aku tidak menjawab, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan. “Kamu enggak capek? Aku bersihin dulu kamar kita.”“Kita?”“Ya, kenapa memang?”“Aku tidur sama kamu, Mas?”“Jadi maunya kamu bagaimana?” Tanpa menunggu jawaban, aku langsung menarik tangannya dan mengajak ke kamar. Ruang berukuran 3x3 meter dengan kasur tanpa ranjang. Ada lemari plastik di ujung ruangan yang biasa
Pov : Hana**Sylviana.M**Aku adalah wanita yang menjaga aurat, tapi belum sempurna menjaga taat. Dulu, pakai hijab karena ikut teman-teman yang semuanya sudah menutup aurat. Salat masih suka ogah-ogahan. Mungkin, kejadian ini juga jadi salah satu teguran dari Tuhan. Tanpa kusadari, rasa bersalah mengentak-entak di dalam dada. Aku terdiam cukup lama, lalu perlahan membalas tatapan hangat Mas Suhada. Pria yang beberapa waktu lalu sangat menyebalkan, tapi kini berubah menjadi sangat hangat.Tatapannya mampu meluluhlantakkan egoku. Aku terdiam cukup lama, mencerna kata-katanya yang lembut, tapi membekas dan meninggalkan jejak di lubuk hati yang paling dalam. Apa yang dikatakannya sangat masuk akal. Pasangan yang baik memang yang saling mengingatkan dan saling mendukung dalam kebaikan satu sama lain.“Makasih nasihatnya,” sahutku kemudian. Aku beranjak dan langsung menuju ke kamar mandi, membuka hijab dan menghidupkan keran. Kubasuh
Pov : Hada**Sylviana.M**Aku duduk di musala kampus, setelah belanja banyak makanan titipan para dosen. Kusandarkan punggung ke kursi kayu berwarna cokelat di samping musala. Semalam, aku memberikan semua gajiku pada Hana. Aku percaya, dia pasti bisa belajar mengaturnya, meskipun itu bukan hal mudah. Dari sini aku bisa melihat kelasnya, tampak dia tertawa riang dengan beberapa teman. Kadang aku berpikir, apa aku begitu memalukan sampai dia tak mau mengakui aku sebagai suaminya? Apa pekerjaanku ini begitu buruk?Aku menarik napas panjang, pandanganku masih tertuju ke kelas yang ada di bawah sana, di mana Hana masih asyik tersenyum dan tertawa dengan orang-orang. Aku tersenyum tipis melihat wanita itu. Senyumnya benar-benar mampu mengalihkan duniaku, bahkan sejak dulu. Seharusnya aku tahu ini tak mudah, mengingat dia berasal dari keluarga yang cukup. Sayangnya, cinta itu benar-benar tak ada logika. Tanpa berpikir panjang, aku langsung maju. Me
POV : Hana***Aku telah sampai di rumah. Kuucapkan salam, dan seseorang membuka pintu. Ternyata Bik Romlah. “Bik Romlah,” sapaku seraya mengulas senyum.“Rahmi, Nak.”Aku terdiam mendengar sahutannya. Apa aku tidak salah dengar? Perasaan namanya Bik Romlah.“Oh, salah panggilkah, Bik?” Aku meyakinkan.Wanita setengah baya itu tersenyum, lalu merangkul tubuh ini, setelahnya ia mengajakku masuk ke dalam. Kami masuk beriringan, sambil jalan beliau menjelaskan. “Jadi, Rahmi dan Romlah adalah orang yang berbeda. Kami kembar, Nak Hana. Secara bergantian, jaga Mbak Rohiyah di sini.”“Ya ampun.” Aku tertawa, menutup mulutku dengan sebelah tangan, karena jujur saja, aku baru tahu kalau ternyata Bik Romlah dan Bik Rahmi itu kembar."Duh, maaf ya, Bik. jangan-jangan selama ini aku sering salah panggil lagi. Soalnya wajah kalian berdua sama, Bik.""Nggak apa-apa, Nak. Namanya juga nggak tahu. Yang penting sekarang udah tahu, ya. Bibik juga lupa ... terus mau kasih tahu, kalau sebenarnya yang suk
Hari ini, pertemuan keluargaku dan keluarga Mas Suhada. Mas Irwan menjemput kami ke rumah dan membawa kami ke restoran Ibu. Di sini kami dijamu dengan sangat mewah. Makanan-makanan andalan dikeluarkan semua. Bik Rahmi dan Bik Romlah bahkan turut serta membawa salah seorang anaknya yang bernama Kelana. Dua keluarga berbincang hangat. Ibu bahkan mempercayakan kasir sementara pada pegawainya.“Han, nanti Mas transfer untuk bayar semesteran, ya!” kata Mas Irwan tiba-tiba.Aku menatap Mas Hada. Dia hanya diam, pura-pura menikmati makanan.“Eh, Mas, enggak usah. Aku akan bayar sendiri. Lagian, uang kemarin-kemarin yang Mas kasih masih ada, kok.”“Loh, kenapa? Biasanya juga begitu, kan? Biaya sekolah kamu itu cukup tinggi loh. Gaji Suhada enggak akan cukup untuk itu. Dia bisa kuliah di sana karena beasiswa, sedangkan kamu enggak gratis kayak dia. Mas cari uang juga buat kamu dan ibu, jadi terima saja pemberian dari Mas, ya!"Suasana yang tadinya hangat, hening seketika. Kata-kata Mas Irwan s
Mas Hada membuatku mati kutu semalam. Sampai pagi, aku tidur dengan menutupi seluruh tubuh karena malu. Dia bilang pengin nyium, pas aku memejamkan mata bilang enggak jadi. Kan malunya sampai ubun-ubun. Jadi, kesannya kok aku kayak keganjenan, sih! Kalau bisa, rasanya semalem aku ingin menghilang dari hadapannya.Hari ini jam pagi kosong, dua dosen enggak masuk. Menurut informasi yang dikirimkan melalui WA group, cuma isi absen saja. Aku memutuskan untuk menitip absen sama Kiki, itung-itung ngirit ongkos kalau mau bolak-balik ke kampus . Ini pertama kalinya aku diam di rumah, karena biasanya kuliah dari pagi hingga sore. Aku keluar kamar, lalu menuju ke belakang, terlihat ada Bik Romlah yang sedang memasak di dapur.“Masak apa, Bik?” tanyaku mendekat ke arahnya.“Ini, Nak. Si Hada minta masakin tumis daun pepaya sama bunga-bunganya. Kalau kami ngomongnya kembang kates. Kalau kalian apa ngomongnya?”“Kembang kates juga, sih, Bik. Soalnya Ibu orang Jawa. Cuma, katanya rasa daun dan kemb
Aku memberi jarak, setelah cukup lama. Mas Suhada tersenyum sembari mengelus lembut pipiku yang merona. Modal nekat maju duluan, daripada seperti semalam, kan malu enggak ketulungan.“Mas berasa mimpi, kamu melakukan semua ini. Makasih, ya,” katanya menarik kepalaku, dan menyembunyikannya dalam dada.Aku melingkarkan tangan ke pinggangnya seraya memejamkan mata. Sepertinya, aku memang sudah memiliki rasa.“Eh, lihat Mas bawa apa?” katanya sambil menuntunku duduk di kursi kayu. Segera dia membuka isinya, ternyata bebek goreng plus sambal.“Ada yang kasih tip, saat Mas bikinin kopi. Jadi Mas beliin ini buat kamu. Di warung itu, terkenal dengan bebek gorengnya yang super lezat. Kamu harus coba.”Dia ke belakang dan kembali ke depan sudah membawa piring dan sendok. Diletakkannya bebek goreng dalam piring, mencuilnya sedikit dan dicolek ke sambal, setelahnya memintaku membuka mulut.“Coba, Han. Pasti enak. Yuk, aaa!” ucapnya memintaku membuka mulut.Aku tersenyum samar, lalu membuka mulut.
POV : Suhada ***“Saat aku pulang, kau bisa meninggalkan Hana. Aku akan mengurusnya,” kata Prio melalui sambungan telepon.“Bagaimana kalau aku nggak mau?”“Kau bercanda? Hana itu milikku, aku yang memintamu menikahinya! Kalau bukan karena aku, kau tidak akan mengenalnya, Hada! Sudahlah, setelah aku pulang, kembalikan dia padaku. Akan kupastikan, Ibu bisa melihat indahnya dunia setelah ini. Mau tidak mau, suka tidak suka, Hana itu milikku, dan sudah sepatutnya kembali padaku."Sambungan telepon langsung dimatikan ssetelah pria sialan itu mengatakan hal yang sangat mengganggu pikiran. Aku memasukkan kembali gawai ke saku celana, dan mencoba kembali fokus bekerja. Meskipun aku berusaha bersikap baik-baik saja, nyatanya hati ini menolak keras permintaan Prio barusan. Kepingan hatiku seolah retak mendengar permintaan tersebut.“Meja delapan,” kata salah seorang teman sembari memberikan sebuah nampan berisi beberapa gelas kopi untuk kuantarkan.Aku mengangguk dan menerimanya, lalu berjala
Aku keluar, kemudian duduk di rerumputan di taman depan rumah sederhana ini. Kupandangi langit di atas sana. Cerah dan bertabur begitu banyak perhiasan langit. Rasanya baru kemarin Mas Irwan mengajakku membeli es krim di toko dekat rumah, rasanya baru kemarin Ibu membelikanku baju sekolah, rasanya baru kemarin aku tamat SMA. Waktu, kenapa begitu cepat berlalu? Tahu-tahu, aku sudah menikah dan sebentar lagi akan menjadi orang tua. Beruntung aku bertemu Mas Hada, pria yang bisa membawaku ke jalan yang lebih terarah. Entah apa jadinya, kalau aku bertemu pria yang salah.“Ngelamun saja!” Aku dikagetkan dengan kedatangan Mas Hada yang tiba-tiba. “Ih, Mas! Kamu ngagetin saja!” Aku mencubit kecil perutnya, dan dia tertawa. Mas Hada membungkuk dan mencium pucuk kepala, lalu ikut duduk di sampingku. “Mikirin apa?” tanyanya seraya menarik kepalaku untuk bersandar di bahu pria itu.“Mikirin hidup, Mas. Enggak kerasa, waktu begitu cepat berlalu.”“Andai kamu tahu. Seolah dihitung mundur untuk me
Aku diam cukup lama di dalam kamar mandi, sementara Mas Hada sudah gelisah menungguku di luar sana. Bagaimana kalau dia tahu, kalau ternyata hasilnya seperti ini? Kira-kira reaksinya bagaimana, ya? Aku menarik napas panjang, bersiap untuk keluar menemui Mas Hada. Setelah cukup tenang, kubuka pintu dan langsung tampak wajah Mas Hada yang terlihat tegang. “Sayang, bagaimana? Mas sampai izin loh hari ini. Enggak masuk kerja, karena ingin nemenin kamu pakai alat itu.”“Mas pakai alat ini enggak sampai hitungan jam, bahkan menit.”“Mas, deg-degan soalnya.” Dia memang terlihat sangat tegang. Aku langsung melewati tubuhnya dan duduk di ujung kasur. Mas Hada mengekorku dari belakang dan duduk di bawah, menghadap ke arahku. Antara ingin tertawa dan kasihan lihat wajahnya seperti itu. “Mas, maaf, ya,” ucapku kemudian dengan wajah penuh dengan penyesalan.Mas Hada menarik napas panjang, lalu tersenyum samar. Dia memegang sebelah tanganku dan menciumnya. “Enggak apa, belum rezeki. Kita coba la
Samar-samar, aku merasa ada yang membelai lembut kepala. Aku membuka mata, dan mendapati Mas Hada sudah ada di sampingku. Aku mengucek mata, memastikan kalau yang kulihat bukan hantu.“Mas, ini serius kamu?” Aku langsung memeluk erat tubuhnya, lalu cemberut. “Ih, jahat! Kok, enggak bilang pulang lebih awal? Aku, kan belum siap-siap. Mana sudah tidur lagi, pas kamu pulang.”“Jangan cemberut. Kan jadi pengin ci—”“Langsung saja kenapa, sih? Pakai bilang begitu.”Mas Hada tertawa sambil menggelengkan kepala. “Kamu itu makin lucu, deh! Ya sudah, jadi boleh nih?”“Memang aku pernah nolak?”Malam itu, kami tuntaskan rasa rindu selama hampir satu minggu tak bertemu. Seperti biasa, dia amat manis memperlakukanku. Keringat dan peluh melebur menjadi satu.“Baca doa enggak tadi sebelum mulai?” tanyanya seraya mengecup pucuk kepala, setelah kami selesai. “Doa apa?”“Kalau Mas berdoa. Semoga segera ada langkah kaki anak kecil di rumah kita yang sederhana ini.”Aku tersenyum, lalu menyandarkan kep
POV : Hana“Iya, Mas?” Dengan semangat, aku mengangkat telepon Mas Hada. Ini pertama kalinya dia menelepon, setelah beberapa hari belakangan hanya bisa membalas chat sesekali. “Han, ada yang mau bicara.”“Siapa?”“Halo, Hana?”“I-iya?”“Saya, Fika. Jangan ditutup teleponnya. Ini saya speaker, supaya kamu dan Mas Hada sama-sama mendengar pengakuanku. Jadi, aku dan Prio pernah menjadi teman yang sangat dekat. Kami sering ke kelab malam bersama teman-teman. Bahkan tanpa ingat dosa, kami sering tidur bersama.”“Astagfirullahalazim.”“Aku tahu, perbuatan kami itu sangat enggak terpuji. Aku bahkan pernah hamil, karena sering tidur dengan Prio.”Aku memejamkan mata.“Dulu, Prio pernah memintaku menikah dengan Suhada, tapi mendengar cerita darinya ... aku menolak, karena Suhada hanya seorang office boy. Bagiku, itu sangat memalukan.” Dia terisak. “Aku terus mendesak Prio bertanggung jawab atas anak yang ada di kandunganku, tapi dia terus menolak dan memaksaku menikah dengan Hada. Katanya, Ha
Alarm berbunyi nyaring. Segera aku mengucek mata, dan melirik jam di atas kepala ranjang. Ternyata jam sudah menunjukkan hampir pukul 02.00 malam. Segera aku bangun, lalu menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudu. Setelah selesai, aku segera melakukan salat malam. “Assalamu’alaikum warohmatullah. Assalamu’alaikum warohmatullah.”Kutengadahkan tangan untuk berdoa, meminta kekuatan iman supaya tidak goyah, dan terhindar dari segala rayuan setan, termasuk dijauhkan dari hal-hal yang buruk. Tak lupa berdoa untuk kesehatan istri, pun keluarga yang jauh di sana. Selesai berdoa, kuusapkan tangan ke muka. Semoga Allah mendengar semua doaku. Aamiin. Aku melipat sajadah, dan kembali berbaring di kasur. Kubuka laci nakas dan memeriksa gawai. Sejak pagi aku belum mengaktifkannya, saking padatnya acara yang kujalani hari ini. Gawai hidup dan ada beberapa notifikasi masuk, termasuk notifikasi chat dari Hana, wanitaku. Aku tersenyum membaca beberapa chat-nya, lalu membalas. Di sana dia selalu
POV : Hada“Oke, untuk malam ini sampai di sini dulu pelatihannya. Kita akan sambung besok dengan materi yang berbeda. Selamat malam,” ucap seorang pemateri malam ini.Pelatihan khusus malam ini telah selesai. Aku bersiap kembali ke kamar. Kebetulan, pelatihan menggunakan aula khusus di hotel tempat kami menginap. Baru saja akan kembali ke kamar, aku bertemu Jefri—teman yang baru kukenal. Dia supervisor dari salah satu perusahaan yang ada di Pulau Kalimantan. “Hada, mau ke mana?” tanyanya yang membuatku menghentikan langkah.“Balik ke kamar, Jef. Kamu?”“Mau keluar cari angin. Mau ikut?”“Ah, capek banget nih! Aku mau tidur saja.”“Selesai pelatihan ini, kita enggak akan ketemu lagi, loh. Ayolah!” katanya sambil merangkul lengan, dan akhirnya aku mengikutinya.Tanpa kusangka, Jefri membawaku main biliar. Gedung yang cukup besar, di dalam sini berjajar meja panjang sebanyak enam buah. Terdapat lampu sorot di atas setiap mejanya, lalu bola warna-warni yang menghiasi bagian atas meja-m
“Han, kenapa kamu diam saja, sih?” tanya Kiki.“Kamu kenapa lagi? Ada masalah sama Mas Hada?”Aku diam saja. Hanya melipat tangan di meja, dan menatap papa tulis kosong di depan sana. Masih kuingat perpisahanku dan Mas Hada tadi pagi. Rasanya, masih cukup membuat hati teriris. Itu baru pisah sementara, bagaimana nanti jika Tuhan memisahkan kami selamanya?“Astagfirullah.” Aku mengusap wajah kasar.Benar saja kata Mas Hada, Allah itu enggak suka umatnya terlalu mencintai dunia beserta isinya, melebihi rasa cinta terhadap Dia. Allah itu pencemburu. Dia akan merasa cemburu, jika aku mencintai yang lain lebih dari rasa cintaku terhadap Dia.“Astagfirullah,” ucapku sekali lagi.“Han, kamu enggak kesurupan, kan? Di kelas ini tinggal kita bertiga loh!” Kiki tampak khawatir.“Ini jam berapa, sih?” tanyaku tiba-tiba.“Wah beneran nih anak kesurupan.” Isna menjaga jarak.“Jam berapa?” tanyaku sekali lagi, tak memedulikan ocehan mereka.“Pukul 10.30. Dosen enggak masuk, kita dari tadi bengong di
POV : Hada Tok! Tok! Tok!“Assalamu’alaikum, Pak.” Aku membuka pintu ruangan Pak Reo.“Oh, iya. Wa’alaikumsalam, Hada. Masuk sini!”Aku masuk, lalu duduk di depan kursi Pak Reo. “Ternyata jadwal pelatihan karyawan dimajukan jadi besok. Jadi, hari ini kamu pulang, terus siap-siap. Besok, pagi-pagi, kumpul di sini sekitar pukul 09.00. Kalian keluar kota naik mobil dinas.”“Dimajukan, Pak?” tanyaku bingung, karena aku belum mengatakan apa pun pada Hana.“Iya, Hada. Surat edarannya baru dikirim melalui fax malam ini.”“Baik, Pak. Kalau begitu, saja permisi dulu.”Aku keluar ruangan, lalu masuk ke ruanganku. Sepi, tak ada orang. Ketiga teman di ruangan ini memang jarang sekali ada di tempat. Mereka sering bepergian entah ke mana. Aku membereskan meja dan bersiap akan pulang, setelah itu keluar ruangan menuju parkiran. “Pulang, Mas?” tanya Pak Sekuriti.“Iya, Pak. Soalnya mau pergi pelatihan besok.”“Oke, Mas!” Pak Sekuriti melambaikan tangan, saat sepeda motorku melewati gerbang. Di ja
“Mas!” Aku terpekik kecil, saat Mas Hada membawaku ke tempat baju di sebuah mall. Sudah lama aku berpuasa membeli pakaian, karena tidak memungkinkan. Meskipun tempat ini bukan butik di mana biasanya aku memesan pakaian dengan harga yang cukup tinggi, tapi aku sudah bahagia. Aku menyentuh setiap baju yang tergantung rapi di mall ini. Kuangkat dan kutatap dengan mata berbinar bahagia. Mas Hada mengikutiku dari belakang. Dengan senyum yang terus melengkung, dia setia menemaniku memilih pakaian. Hingga aku menemukan pakaian yang pas untuk Bik Romlah dan Ibu. Mas Hada terlihat bingung dengan baju yang kupilih. “Sayang, itu bukannya untuk orang tua, ya?”“Iya, Mas. Untuk Ibu dan Bik Romlah dulu,” kataku tanpa menoleh ke arahnya, masih sibuk memilih beberapa pakaian.Mas Hada tersenyum sedikit. Kenapa baru-baru ini dia pelit sekali tersenyum? Aku mengabaikan, saat dia terpaku menatapku dengan tangan yang melipat di depan dada. Selesai memilih pakaian Ibu dan Bik Romlah, aku pergi ke arah l