POV : Suhada ***“Saat aku pulang, kau bisa meninggalkan Hana. Aku akan mengurusnya,” kata Prio melalui sambungan telepon.“Bagaimana kalau aku nggak mau?”“Kau bercanda? Hana itu milikku, aku yang memintamu menikahinya! Kalau bukan karena aku, kau tidak akan mengenalnya, Hada! Sudahlah, setelah aku pulang, kembalikan dia padaku. Akan kupastikan, Ibu bisa melihat indahnya dunia setelah ini. Mau tidak mau, suka tidak suka, Hana itu milikku, dan sudah sepatutnya kembali padaku."Sambungan telepon langsung dimatikan ssetelah pria sialan itu mengatakan hal yang sangat mengganggu pikiran. Aku memasukkan kembali gawai ke saku celana, dan mencoba kembali fokus bekerja. Meskipun aku berusaha bersikap baik-baik saja, nyatanya hati ini menolak keras permintaan Prio barusan. Kepingan hatiku seolah retak mendengar permintaan tersebut.“Meja delapan,” kata salah seorang teman sembari memberikan sebuah nampan berisi beberapa gelas kopi untuk kuantarkan.Aku mengangguk dan menerimanya, lalu berjala
Sampai di rumah, Bik Romlah heran dengan kedatanganku, juga Ibu. Aku mengatakan alasan yang sama dengan apa yang kukatakan pada Hana semalam. Saat Bik Romlah menanyakan sepeda motor, kukatakan kalau sepeda motor kutitip di rumah teman. Beruntung baik Ibu maupun Bik Romlah tidak bertanya lebih jauh, sehingga aku langsung membersihkan diri dan berangkat ke kampus.Sampai di kampus, aku segera menuju ke gedung ekonomi. Ke kelas Hana. Mengendap-endap, aku mengintip dari ujung jendela berkaca bening. Terlihat dari sini Hana duduk di bagian tengah. Wajahnya tampak muram, dan tangan wanita itu berpangku dagu. Aku merogoh saku celana dan memutuskan mengirim pesan, supaya dia tak mengkhawatirkan keadaanku.[Assalamu’alaikum, Han. Maaf, Mas telat datang ke kampus, soalnya nganter teman ke berobat dulu.]Terlihat dia memeriksa tas, lalu seperti mengetik balasan. Tidak berapa lama,gawai dalam genggaman kembali bergetar, segera aku memeriksanya.[Wa’alaikumsalam. Iya, Mas enggak apa-apa.][Jangan
POV : Hana **Aku memegang uang tiga juta. Hari ini, Mas Hada mengatakan akan mengajakku ke sebuah pasar tradisional untuk belanja mingguan. Kebetulan aku kuliah dari hari Senin sampai Kamis. Sedangkan Mas Hada tidak terlalu aktif, karena dia sudah menyusun skripsi. Malam dia akan ke kampus untuk membersihkan kelas, setelahnya kerja di sebuah kafe.“Mas, hari ini bawa uang berapa belanja ke pasar?”“Kita beli kebutuhan selama seminggu saja, Han. Bawa 300 ribu saja. Insyaallah cukup.”“Tiga ratus ribu, Mas? Dapat apa?”“Bawa saja, nanti Mas ajarin belanjanya.”Aku menurut, mengambil tiga lembar uang berwarna merah dan memasukkannya dalam tas. Setelah itu berganti pakaian, dan tidak lupa memakai masker penutup mulut. Tujuan pakai masker sebenarnya biar wajahku tidak dikenali orang-orang yang mungkin saja akan berpapasan di pasar.“Sudah?” tanyanya sambil menyisir rambut di depan cermin, memperhatikanku dari kaca.“Sudah, Mas. Yuk!” ajakku sambil keluar kamar.Kami pamit pada Ibu dan Bi
Mas Hada memandang lama, lalu bertanya,“Yakin?”“I-iya.”Dia tersenyum, lalu mendekat, kemudian mengucap bismillah sebelum merenggut nyawa si ikan. Mas Hada mengambil pisau dan talenan, dia mengajariku cara membersihkan ikan. Setelah ikan bersih,dia bertanya padaku mau dimasak apa. Aku bingung menjawabnya, jadi aku tanya balik.“Kalau Mas penginnya ikan nila ini diapain?”“Kalau kita panggang saja bagaimana?”“Oke. Bumbunya apa saja?” tanyaku, bersiap menyiapkan bumbu. Melihat itu,dia kembali tertawa. Sementara aku memasang wajah datar.“Bawang merah, bawang putih, ketumbar, jahe, kunyit, garam, sedikit penyedap jamur, terus ditumbuk halus.”Aku menyiapkan semua, kemudian dahi Mas Hada mengernyit melihat semua bumbu yang sudah aku siapkan. “Kenapa, Mas?”“Ini apa namanya?” Dia menunjuk salah satu bumbu.“Jahe, kan?”Tawa pria itu langsung tersembur.“Kenapa?” tanyaku bingung dengan bibir mengerucut.“Ini namanya kencur, Sayang. Bukan jahe,” katanya sambil mengacak hijabku. Dia menjela
“Aku pulang malam loh.”“Biarin.”Tiba-tiba, gawai Mas Hada berdering. Dia segera mengangkatnya. Ternyata itu dari salah satu dosen yang masih lembur di bawah.“Kamu tunggu di sini bentar, ya! Ibu Arin minta belikan makanan. Mas ambil uangnya dulu.”“Oke,” sahutku singkat.Sementara Mas Hada turun, aku lupa kalau kami belum menjalankan salat Isya. Akan kuajak dia salat Isya dulu, sebelum pergi dari kampus ini untuk membeli makanan. Aku duduk di salah satu tangga, menunggu kedatangan suamiku. Tiba-tiba ingat, dulu ditangga ini Mas Prio pernah membawa rangkaian bunga untukku, sekaligus melamar. Rumah kami memang berseberangan, tapi kami tidak terlalu dekat. Bertemu hanya pagi saat aku akan pergi ke kampus, dan saat itu dia akan berangkat ke kantor. Pernah suatu ketika, saat dia menawarkan mengantar sekolah, dan aku menyanggupinya.Saat itu kami sudah bertunangan. Saat sampai di depan kampus, mobilnya berhenti. Aku yang akan keluar ditarik lagi sampai tubuhku terjatuh tepat di hadapannya
Dia mengembuskan napas berat, lalu menghapus sisa air mata yang masih berjejak di bawah mataku. “Ya sudah, jangan nangis lagi. Mas enggak tenang kerjanya, kalau wajah kamu cemberut terus kayak begini.”Aku mengangguk, dan memaksa sedikit tersenyum.Mas Hada beranjak. Sebelum pergi, dia mengusap pucuk kepalaku sesaat. Kemudian meninggalkanku untuk kembali bekerja. Di sini, aku duduk diam, memperhatikannya. Sesekali dia menoleh ke arahku hanya untuk melempar senyum, kemudian kembali sibuk melayani para pengunjung bersama pelayan lain.Pria itu, andai aku tahu dari dulu kalau ada pria selembut dia, mungkin aku tidak akan begitu peduli dengan materi dan tampang semata. Bahkan, wanita seperti Maria rela melakukan hal seperti itu hanya untuk menarik perhatian Mas Hada. Kini aku sadar, kalau materi itu tidak bisa membeli sebuah kebahagiaan dan kenyamanan. Karena kini meskipun kami hidup sederhana dengan segala keterbatasan, rasa bahagia dan nyaman itu lebih terasa. Itu semua karena kami hidu
Sesuatu yang tak pernah kuduga sebelumnya. Hana keluar kamar mandi tanpa mengenakan penutup kepala. Tubuhnya terlihat indah dengan dress selutut berwarna cokelat. Rambutnya yang berwarna pekat, dibiarkan tergerai. Hana tersenyum tipis, lalu berjalan mendekat. Aku berusaha mengendalikan diri supaya tak terpancing, karena belum saatnya kami melakukan hal tersebut.“Mas, apa boleh aku tidur dengan pakaian yang seperti ini?”Aku diam seraya menatap wajah yang sudah tampak segar itu lekat. Kusentuh pipinya yang bersemu merah, kemudian mengusapnya pelan. Aku lebih mendekatkan wajah ke arah Hana. Matanya terpejam kuat dengan wajah sedikit menjauh, saat aku mencium kecil daun telinganya. Jujur, aku ingin melakukan hal yang lebih dari ini, mengingat dia telah halal buatku. Namun, ini masih belum waktunya, karena aku belum jujur pada Prio tentang semua. Setelah aku mengatakan segala sesuatunya, baru aku akan mengambil hakku sebagai seorang suami pada Hana.“Cantik,” bisikku yang berhasil membua
Bisik-bisik terdengar nyaring, saat aku menuruni anak tangga menuju gedung ekonomi di kampus. Setiap kali ada orang yang berpapasan denganku akan berbisik dengan temannya, dan memperhatikanku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Aku berusaha bersikap biasa saja dan masa bodo dengan apa yang mereka katakan. Apa Kiki, Isna, dan Maria sudah mengatakan kalau aku menikah dengan seorang office boy di universitas ini?Seseorang menarik lengan dan mengajakku ke suatu tempat. Aku menoleh dan mendapati Isna yang menyeretku di sana.“Na, bukan aku! Demi Tuhan.”“Apa?”Isna memperlihatkan sebuah video di YouTube yang sedang viral. Di sana video pernikahanku tersebar dengan judul Pernikahan Paling Fenomenal. Aku terdiam lama, mencoba memahami apa yang baru saja aku alami. Di video itu terlihat jelas bagaimana hancurnya riasanku saat mencoba mengejar Mas Irwan yang seperti kesetanan membawa sebilah parang. Video berakhir, saat Mas Hada maju ke depan. Hanya saja, di sana tak terlihat wajahnya kare
Aku keluar, kemudian duduk di rerumputan di taman depan rumah sederhana ini. Kupandangi langit di atas sana. Cerah dan bertabur begitu banyak perhiasan langit. Rasanya baru kemarin Mas Irwan mengajakku membeli es krim di toko dekat rumah, rasanya baru kemarin Ibu membelikanku baju sekolah, rasanya baru kemarin aku tamat SMA. Waktu, kenapa begitu cepat berlalu? Tahu-tahu, aku sudah menikah dan sebentar lagi akan menjadi orang tua. Beruntung aku bertemu Mas Hada, pria yang bisa membawaku ke jalan yang lebih terarah. Entah apa jadinya, kalau aku bertemu pria yang salah.“Ngelamun saja!” Aku dikagetkan dengan kedatangan Mas Hada yang tiba-tiba. “Ih, Mas! Kamu ngagetin saja!” Aku mencubit kecil perutnya, dan dia tertawa. Mas Hada membungkuk dan mencium pucuk kepala, lalu ikut duduk di sampingku. “Mikirin apa?” tanyanya seraya menarik kepalaku untuk bersandar di bahu pria itu.“Mikirin hidup, Mas. Enggak kerasa, waktu begitu cepat berlalu.”“Andai kamu tahu. Seolah dihitung mundur untuk me
Aku diam cukup lama di dalam kamar mandi, sementara Mas Hada sudah gelisah menungguku di luar sana. Bagaimana kalau dia tahu, kalau ternyata hasilnya seperti ini? Kira-kira reaksinya bagaimana, ya? Aku menarik napas panjang, bersiap untuk keluar menemui Mas Hada. Setelah cukup tenang, kubuka pintu dan langsung tampak wajah Mas Hada yang terlihat tegang. “Sayang, bagaimana? Mas sampai izin loh hari ini. Enggak masuk kerja, karena ingin nemenin kamu pakai alat itu.”“Mas pakai alat ini enggak sampai hitungan jam, bahkan menit.”“Mas, deg-degan soalnya.” Dia memang terlihat sangat tegang. Aku langsung melewati tubuhnya dan duduk di ujung kasur. Mas Hada mengekorku dari belakang dan duduk di bawah, menghadap ke arahku. Antara ingin tertawa dan kasihan lihat wajahnya seperti itu. “Mas, maaf, ya,” ucapku kemudian dengan wajah penuh dengan penyesalan.Mas Hada menarik napas panjang, lalu tersenyum samar. Dia memegang sebelah tanganku dan menciumnya. “Enggak apa, belum rezeki. Kita coba la
Samar-samar, aku merasa ada yang membelai lembut kepala. Aku membuka mata, dan mendapati Mas Hada sudah ada di sampingku. Aku mengucek mata, memastikan kalau yang kulihat bukan hantu.“Mas, ini serius kamu?” Aku langsung memeluk erat tubuhnya, lalu cemberut. “Ih, jahat! Kok, enggak bilang pulang lebih awal? Aku, kan belum siap-siap. Mana sudah tidur lagi, pas kamu pulang.”“Jangan cemberut. Kan jadi pengin ci—”“Langsung saja kenapa, sih? Pakai bilang begitu.”Mas Hada tertawa sambil menggelengkan kepala. “Kamu itu makin lucu, deh! Ya sudah, jadi boleh nih?”“Memang aku pernah nolak?”Malam itu, kami tuntaskan rasa rindu selama hampir satu minggu tak bertemu. Seperti biasa, dia amat manis memperlakukanku. Keringat dan peluh melebur menjadi satu.“Baca doa enggak tadi sebelum mulai?” tanyanya seraya mengecup pucuk kepala, setelah kami selesai. “Doa apa?”“Kalau Mas berdoa. Semoga segera ada langkah kaki anak kecil di rumah kita yang sederhana ini.”Aku tersenyum, lalu menyandarkan kep
POV : Hana“Iya, Mas?” Dengan semangat, aku mengangkat telepon Mas Hada. Ini pertama kalinya dia menelepon, setelah beberapa hari belakangan hanya bisa membalas chat sesekali. “Han, ada yang mau bicara.”“Siapa?”“Halo, Hana?”“I-iya?”“Saya, Fika. Jangan ditutup teleponnya. Ini saya speaker, supaya kamu dan Mas Hada sama-sama mendengar pengakuanku. Jadi, aku dan Prio pernah menjadi teman yang sangat dekat. Kami sering ke kelab malam bersama teman-teman. Bahkan tanpa ingat dosa, kami sering tidur bersama.”“Astagfirullahalazim.”“Aku tahu, perbuatan kami itu sangat enggak terpuji. Aku bahkan pernah hamil, karena sering tidur dengan Prio.”Aku memejamkan mata.“Dulu, Prio pernah memintaku menikah dengan Suhada, tapi mendengar cerita darinya ... aku menolak, karena Suhada hanya seorang office boy. Bagiku, itu sangat memalukan.” Dia terisak. “Aku terus mendesak Prio bertanggung jawab atas anak yang ada di kandunganku, tapi dia terus menolak dan memaksaku menikah dengan Hada. Katanya, Ha
Alarm berbunyi nyaring. Segera aku mengucek mata, dan melirik jam di atas kepala ranjang. Ternyata jam sudah menunjukkan hampir pukul 02.00 malam. Segera aku bangun, lalu menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudu. Setelah selesai, aku segera melakukan salat malam. “Assalamu’alaikum warohmatullah. Assalamu’alaikum warohmatullah.”Kutengadahkan tangan untuk berdoa, meminta kekuatan iman supaya tidak goyah, dan terhindar dari segala rayuan setan, termasuk dijauhkan dari hal-hal yang buruk. Tak lupa berdoa untuk kesehatan istri, pun keluarga yang jauh di sana. Selesai berdoa, kuusapkan tangan ke muka. Semoga Allah mendengar semua doaku. Aamiin. Aku melipat sajadah, dan kembali berbaring di kasur. Kubuka laci nakas dan memeriksa gawai. Sejak pagi aku belum mengaktifkannya, saking padatnya acara yang kujalani hari ini. Gawai hidup dan ada beberapa notifikasi masuk, termasuk notifikasi chat dari Hana, wanitaku. Aku tersenyum membaca beberapa chat-nya, lalu membalas. Di sana dia selalu
POV : Hada“Oke, untuk malam ini sampai di sini dulu pelatihannya. Kita akan sambung besok dengan materi yang berbeda. Selamat malam,” ucap seorang pemateri malam ini.Pelatihan khusus malam ini telah selesai. Aku bersiap kembali ke kamar. Kebetulan, pelatihan menggunakan aula khusus di hotel tempat kami menginap. Baru saja akan kembali ke kamar, aku bertemu Jefri—teman yang baru kukenal. Dia supervisor dari salah satu perusahaan yang ada di Pulau Kalimantan. “Hada, mau ke mana?” tanyanya yang membuatku menghentikan langkah.“Balik ke kamar, Jef. Kamu?”“Mau keluar cari angin. Mau ikut?”“Ah, capek banget nih! Aku mau tidur saja.”“Selesai pelatihan ini, kita enggak akan ketemu lagi, loh. Ayolah!” katanya sambil merangkul lengan, dan akhirnya aku mengikutinya.Tanpa kusangka, Jefri membawaku main biliar. Gedung yang cukup besar, di dalam sini berjajar meja panjang sebanyak enam buah. Terdapat lampu sorot di atas setiap mejanya, lalu bola warna-warni yang menghiasi bagian atas meja-m
“Han, kenapa kamu diam saja, sih?” tanya Kiki.“Kamu kenapa lagi? Ada masalah sama Mas Hada?”Aku diam saja. Hanya melipat tangan di meja, dan menatap papa tulis kosong di depan sana. Masih kuingat perpisahanku dan Mas Hada tadi pagi. Rasanya, masih cukup membuat hati teriris. Itu baru pisah sementara, bagaimana nanti jika Tuhan memisahkan kami selamanya?“Astagfirullah.” Aku mengusap wajah kasar.Benar saja kata Mas Hada, Allah itu enggak suka umatnya terlalu mencintai dunia beserta isinya, melebihi rasa cinta terhadap Dia. Allah itu pencemburu. Dia akan merasa cemburu, jika aku mencintai yang lain lebih dari rasa cintaku terhadap Dia.“Astagfirullah,” ucapku sekali lagi.“Han, kamu enggak kesurupan, kan? Di kelas ini tinggal kita bertiga loh!” Kiki tampak khawatir.“Ini jam berapa, sih?” tanyaku tiba-tiba.“Wah beneran nih anak kesurupan.” Isna menjaga jarak.“Jam berapa?” tanyaku sekali lagi, tak memedulikan ocehan mereka.“Pukul 10.30. Dosen enggak masuk, kita dari tadi bengong di
POV : Hada Tok! Tok! Tok!“Assalamu’alaikum, Pak.” Aku membuka pintu ruangan Pak Reo.“Oh, iya. Wa’alaikumsalam, Hada. Masuk sini!”Aku masuk, lalu duduk di depan kursi Pak Reo. “Ternyata jadwal pelatihan karyawan dimajukan jadi besok. Jadi, hari ini kamu pulang, terus siap-siap. Besok, pagi-pagi, kumpul di sini sekitar pukul 09.00. Kalian keluar kota naik mobil dinas.”“Dimajukan, Pak?” tanyaku bingung, karena aku belum mengatakan apa pun pada Hana.“Iya, Hada. Surat edarannya baru dikirim melalui fax malam ini.”“Baik, Pak. Kalau begitu, saja permisi dulu.”Aku keluar ruangan, lalu masuk ke ruanganku. Sepi, tak ada orang. Ketiga teman di ruangan ini memang jarang sekali ada di tempat. Mereka sering bepergian entah ke mana. Aku membereskan meja dan bersiap akan pulang, setelah itu keluar ruangan menuju parkiran. “Pulang, Mas?” tanya Pak Sekuriti.“Iya, Pak. Soalnya mau pergi pelatihan besok.”“Oke, Mas!” Pak Sekuriti melambaikan tangan, saat sepeda motorku melewati gerbang. Di ja
“Mas!” Aku terpekik kecil, saat Mas Hada membawaku ke tempat baju di sebuah mall. Sudah lama aku berpuasa membeli pakaian, karena tidak memungkinkan. Meskipun tempat ini bukan butik di mana biasanya aku memesan pakaian dengan harga yang cukup tinggi, tapi aku sudah bahagia. Aku menyentuh setiap baju yang tergantung rapi di mall ini. Kuangkat dan kutatap dengan mata berbinar bahagia. Mas Hada mengikutiku dari belakang. Dengan senyum yang terus melengkung, dia setia menemaniku memilih pakaian. Hingga aku menemukan pakaian yang pas untuk Bik Romlah dan Ibu. Mas Hada terlihat bingung dengan baju yang kupilih. “Sayang, itu bukannya untuk orang tua, ya?”“Iya, Mas. Untuk Ibu dan Bik Romlah dulu,” kataku tanpa menoleh ke arahnya, masih sibuk memilih beberapa pakaian.Mas Hada tersenyum sedikit. Kenapa baru-baru ini dia pelit sekali tersenyum? Aku mengabaikan, saat dia terpaku menatapku dengan tangan yang melipat di depan dada. Selesai memilih pakaian Ibu dan Bik Romlah, aku pergi ke arah l