Pov : Hana
**Sylviana.M**
Aku adalah wanita yang menjaga aurat, tapi belum sempurna menjaga taat. Dulu, pakai hijab karena ikut teman-teman yang semuanya sudah menutup aurat. Salat masih suka ogah-ogahan. Mungkin, kejadian ini juga jadi salah satu teguran dari Tuhan. Tanpa kusadari, rasa bersalah mengentak-entak di dalam dada. Aku terdiam cukup lama, lalu perlahan membalas tatapan hangat Mas Suhada. Pria yang beberapa waktu lalu sangat menyebalkan, tapi kini berubah menjadi sangat hangat.
Tatapannya mampu meluluhlantakkan egoku. Aku terdiam cukup lama, mencerna kata-katanya yang lembut, tapi membekas dan meninggalkan jejak di lubuk hati yang paling dalam. Apa yang dikatakannya sangat masuk akal. Pasangan yang baik memang yang saling mengingatkan dan saling mendukung dalam kebaikan satu sama lain.
“Makasih nasihatnya,” sahutku kemudian. Aku beranjak dan langsung menuju ke kamar mandi, membuka hijab dan menghidupkan keran. Kubasuh telapak tangan, lalu berkumur-kumur sebagai awal dari wudu. Setelahnya, langsung melangitkan doa. Biasanya jika di rumah, aku hanya salat Magrib, Isya, dan Asar saja. Subuh, bisa dihitung dengan jari. Zuhur kadang masih di kampus, sehingga malas melakukannya. Aku membentang sajadah dan menjalankan salat Isya sendirian, sementara Mas Suhada keluar dari kamar.
***
“Ibu, tadi Hada lupa kasih tahu, kalau kami beli martabak pas pulang. Ibu mau?” tanya pria berhidung mancung itu pada ibunya.
Aku baru saja keluar kamar, dan mendapati Mas Hada sedang mengobrol Ibu dengan hangat. Aku duduk agak jauh dari mereka, tapi baik Ibu ataupun Mas Hada tak ada yang menyadari kehadiranku.
“Nak.”
“Iya, Bu?”
“Bagaimana kuliahmu?”
“Alhamdulillah lancar, Bu.”
“Pekerjaanmu?”
“Alhamdulillah baik-baik saja, kok, Bu.”
“Kamu dulu sering keluar kota. Kenapa sekarang enggak pernah lagi?”
Mas Hada diam. Terlihat dia menarik napas yang panjang, setelahnya menyuapi sang ibu dengan penuh kasih sayang.
“Kata manajernya, Hada disuruh diam saja di rumah. Jaga Ibu.”
Ibu tersenyum, lalu tangannya terangkat hendak menyentuh wajah sang anak. “Kamu bisa saja. Di mana kamu bekerja? Kok, Ibu lupa terus nama perusahaan itu?”
“PT. Alam Sejahtera.”
PT. Alam Sejahtera? Di mana itu? Kenapa Mas Hada berbohong pada Ibu? Aku masih diam, mendengarkan mereka bicara.
“Si Hana mana?”
“Tidur, Bu.”
“Anak itu pasti cantik banget. Bayangan Ibu, matanya besar, hidungnya mancung, alisnya tebal, dan bibirnya tipis.”
Aku tersenyum kecil mendengarnya.
“Ibu benar. Satu lagi, dia galak,” bisik Mas Hada.
Mataku langsung melotot mendengarnya. Ibu tertawa lepas.
“Wanita memang seperti itu, Nak. Kapan-kapan, Ibu pengin ketemu sama besan. Pernikahan kalian yang mendadak ini pasti bikin kaget semua orang.”
Mas Hada tersenyum. Dia mengambil secangkir teh hangat, dan meminumkannya pada Ibu. Mereka bicara dengan sangat akrab. Ini pertama kalinya aku melihat keluarga yang seperti ini. Di rumah, meski kami saling menyayangi, tapi kami sibuk dengan urusan masing-masing. Mas Irwan yang sibuk dengan usaha ternaknya, Ibu yang sibuk dengan usaha kulinernya, dan aku sibuk dengan urusanku sendiri; kuliah, hang out dengan teman-teman, dan lain sebagainya. Perlahan, aku kembali masuk ke kamar, lalu berbaring miring menghadap ke dinding.
“Belum tidur?” sapa Mas Hada yang tiba-tiba masuk ke kamar.
“Belum.”
Dia mendekat, kemudian membentang ambal di bawah. “Besok ada kuliah, kan? Tidurlah.”
Sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan, tapi takut dia tersinggung. Awalnya aku sangat jengkel dan kesal dengan pria satu ini. Hanya saja, melihat sikap dan caranya memperlakukan Ibu, membuatku jadi merasa tidak pantas bersikap asal-asalan. “Mas.”
“Ya?”
“Besok aku akan ke kampus. Ada jam pagi dua mata kuliah, dan malam satu mata kuliah juga.”
“Oh, iya. Enggak apa-apa.”
“Yang ingin aku katakan ....” Aku memejamkan mata, takut Mas Hada tersinggung dengan apa yang akan aku katakan.
“Katakan saja, enggak apa-apa.”
“Dulu, aku sering lihat Mas menyapu kelas, tepat saat kami keluar ruangan. Hanya saja berhubung aku enggak pernah memperhatikan, jadi aku enggak begitu ingat dengan wajah, Mas. Kalau besok, bolehkah Mas membersihkan kelas setelah keadaan kampus sepi?”
Hening. Aku meremas tangan. Sungguh, aku takut menyinggung perasaannya.
“Kamu malu?”
“Bukan. Aku hanya belum siap teman-teman tahu yang sebenarnya.”
Terdengar Mas Hada tertawa kecil. “Iya, aku, kan sudah bilang. Aku berjanji enggak akan ada yang tahu mengenai hubungan kita.”
“Makasih, ya, Mas.”
“Sama-sama.”
Ada jeda setelah pembicaraan terakhir kami, hingga pada akhirnya aku merasa ada yang tiba-tiba menjawil lengan. Aku menoleh ke belakang, dan mendapati Mas Hada sedang membungkuk ke arahku. Baru saja mau marah dia berkata, “Tukar saja bantalnya. Ini lebih empuk. Insyaallah, lebih nyaman di kepalamu.”
Mataku yang sudah melotot mengendur seketika. “Oh, iya.” Aku duduk dan Mas Hada menukar bantal. Dia menepuk-nepuk bantalku terlebih dahulu, baru memintaku kembali berbaring. Ya Allah, hampir suuzan. Aku pikir dia mau berbuat hal nekat lagi.
“Tidurlah, jangan banyak berpikir. Besok mau kuliah.”
“Iya, Mas.”
***
“Mau aku anter?” tanya Mas Hada saat aku sudah rapi, bersiap akan pergi ke kampus.
“Enggak usah, Mas. Naik taksi OL saja.”
“Bener?”
“Iya.”
Aku segera keluar kamar, dan menemui Ibu yang sedang berjemur di luar. “Nanti Ibu sama siapa?” tanyaku sambil mencium punggung tangannya.
“Nanti ada Bik Rahmi. Dia adik Ibu yang suka bantu-bantu di sini.”
“Oh, begitu. Ya sudah, Hana berangkat kuliah dulu, ya, Bu.”
“Iya, Nak. Hati-hati di jalan.”
“Iya, Bu. Assalamu’alaikum.”
“W*’alaikumsalam.”
Baru saja aku akan melangkah, Mas Hada memanggilku. “Hana!”
Aku menoleh, dan dia berjalan cepat ke arahku. Pria itu membawa sesuatu di tangannya, lalu mengangsurkannya padaku. “Apa ini, Mas?”
“Ini nasi goreng. Tadi pagi kamu enggak sarapan, saking lamanya berdandan.”
Ragu, aku mengambil kotak bekal itu. Bahkan, Ibu pun tidak pernah seperhatian ini padaku, meskipun dia punya usaha kuliner yang cukup besar. “Oh. Makasih, ya.”
“Jangan lupa, sampai kampus di makan. Nanti bisa kena mag, kalau telat makan.”
“Iya. Ya sudah, assalamu’alaikum.” Aku mengambil punggung tangannya dan mencium dengan takzim.
“W*’alaikumsalam. Hati-hati di jalan.”
Aku hanya mengangguk. Menit berikutnya, aku sudah ada di dalam taksi OL. Gawai bergetar dan ada pemberitahuan di sana. Ternyata pemberitahuan dari mobile banking bahwa Mas Irwan sudah mentransferku sejumlah uang bulanan, seperti biasa. Aku memandangi kotak bekal di pangkuan, kemudian memikirkan pertemuanku yang tak masuk akal dengan Mas Suhada.
Aku tidak pernah berpikir, kalau di dunia ini masih ada pria sebaik dia.
***
“Cie, cie, cie yang pengantin baru.” Ketiga temanku menggoda.
“Apaan, sih?” Aku tak mengacuhkan mereka. Tetap kalem menyeruput es susu di kantin siang itu sambil memakan nasi goreng masakannya Mas Hada.
“Bagaimana sama suami baru kamu?” tanya K**i.
“Ya, begitu. Namanya suami istri, mau bagaimana lagi?”
“Ah, enggak seru. Kok, lempeng saja, sih?” sahut Maria.
“Biasanya nih ya, pengantin baru itu ceritanya penuh dengan bunga-bunga dan madu. Lah, kamu? Penuh dengan serabut.” Kini si Isna yang bersuara.
“Loh, kok, serabut, sih?” tanyaku sewot sambil menyedot habis es susu yang tersisa.
“Ya, apa lagi coba? Muka kusut, sikapnya lempeng kayak enggak ada semangatnya.”
“Bukan begitu. Apa yang mau aku ceritain?”
“Ceritain pekerjaan suamimu kek, kebiasaannya kek, keluarganya kek, atau apa sajalah.”
Tiba-tiba tenggorokanku kembali kering. “Mbak! Es susunya satu gelas lagi, ya!”
“Ye, bukannya jawab, dia lanjut penuhi perut.”
“Sudahlah, berisik!”
Suara azan berkumandang dari musala kampus. Beberapa orang datang ke sana. Aku jadi ingat pesan Mas Hada, kalau tidak salat, siapa tahu ajal sudah dekat. Segera aku mendekati penjual dan meng-cancel pesanan barusan, dan segera membayar tagihan kami semua. Setelahnya berjalan cepat ke arah musala, membuat ketiga sahabatku bengong sampai mulutnya mengaga lebar.
“Han, mau ke mana?”
“Musala!” teriakku tanpa menoleh ke arah mereka.
“Ngapain?”
“Enggak mungkinlah makan. Ya salat, lah!”
Satu per satu mereka mengekori. Bisik-bisik dan berbagai pertanyaan terlontar. Aku hanya diam, enggan menjawab. Ada yang bilang mimpi apa aku semalam? Ada yang tanya, sejak kapan tobatnya? Satu lagi, ada yang mengucap alhamdulillah karena aku sudah mendapat hidayah. Bersyukurnya, mereka mengikutiku menjalankan salat. Aku melepas kaus kaki dan masuk ke toilet khusus wanita, lalu melepas hijab dan segera mengambil wudu. K**i, Maria, dan Isna masih saja meragukan pertobatanku. Kata mereka, pasti aku menjadi seperti ini karena ingin sesuatu. Ah, dasar mereka suuzan terus. Biarkan saja, toh nyatanya dulu aku memang seperti itu. Kadang malu, lebih taat hanya karena sedang ‘butuh’ kepada Allah. Hiks, maafkan hamba, ya Allah.
Sampai di dalam musala, aku tertegun. Tampak Mas Hada dan beberapa temannya sedang membentang ambal di dalam. Sesaat, pandangan kami bertemu ketika berpapasan, lalu sama-sama mengalihkan wajah dan berjalan ke arah yang berlawanan saat sadar sedang ada di tengah keramaian. Aku berjalan ke arah sudut ruangan, menuju lemari penyimpanan mukena, lalu mengambil satu dan memakainya. Setelahnya berbaris di saf perempuan beserta ketiga temanku. Sambil menunggu salah satu dosen yang biasa menjadi imam di musala, kami bersila sambil mengobrol dengan suara kecil. Hanya aku yang diam, memperhatikan Mas Hada yang sedang khusyuk menjalankan salat sunah. Aku belum sempat menjadi makmumnya. Mengingat, dia sangat rajin pergi ke musala yang ada di dekat rumah.
“Eh, Han! Kamu lihat pria yang pake hoodie warna cream itu?” K**i tiba-tiba berbisik di telingaku.
“Ke-kenapa memang?” tanyaku gagap.
“Dia itu yang kataku mirip sama pria yang menikahimu kemarin? Eh, dia, kan petugas kebersihan di sini juga, ya? Sekalian kuliah katanya. Dia anak kelas C, ambil kelas malam.”
“Oh, ya?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Iya. Beda sama kita yang ambil kelas A. Jadi masuk pagi.”
“Bunyinya saja kelas pagi, kadang ada dosen-dosen tertentu yang malas masuk pagi, terus seenaknya minta kita masuk malam. Kayak Bu Rona tuh!” sambung Maria tiba-tiba.
Dari sini, terlihat seorang pria mendekati Mas Hada dan membisikkan sesuatu. Temannya segera mengumandangkan ikamah, disusul langkah kaki suamiku yang memosisikan diri menjadi imam. Melihat itu, waktu seolah melambat, demikian dengan degup jantungku yang kian melemah. Fokusku pada posisi berdiri kami. Aku merasa, hanya ada aku dan dia.
“Allahu Akbar!”
Aku tersadar, kemudian menggelengkan kepala dan berusaha khusyuk untuk salat.
Selesai salat, aku langsung pergi. Sementara Mas Hada dan teman-temannya kembali khusyuk menjalankan salat sunah. Aku dan K**i menuju kelas, sementara Maria dan Isna memutuskan untuk ke ruangan dosen terlebih dahulu.
“Bagaimana menurut kamu, Han?” tanya K**i, saat kami menuruni anak tangga menuju ke gedung ekonomi. “Soal cleaning servise tadi. Mirip enggak sama suami kamu?”
“Ngaco, mana ada mirip. Suami aku itu lebih tinggi.”
“Masa, sih?”
“Enggak percaya? Ya sudah!” Aku meninggalkannya begitu saja yang masih mencoba mengingat-ingat dan berpikir keras.
“Han, tunggu! Aku kok ditinggal, sih?”
***
Aku sedang berkunjung ke restoran Ibu. Suasana lumayan ramai hari ini. Beberapa pelayan terlihat sibuk ke sana kemari melayani pelanggan, sementara Ibu sibuk di meja kasir. Sesekali aku menoleh ke arahnya yang tidak bisa diganggu sama sekali. Dari pagi sampai malam, itulah yang dilakukan oleh Ibu. Bokongnya seakan tertempel lem di kursi kasir, sampai tak bisa lagi bergerak barang sedikit saja. Jam menunjukkan pukul 14.30. Sejak aku datang, bahkan belum disapa.
“Bu, aku pulang, ya!”
“Sama siapa, Nak?” tanyanya sambil sibuk menghitung lembaran uang di tangan.
“Naik taksi OL saja, Bu. Aku masih ada kelas, tapi malam.”
“Ya sudah, nanti saja pulangnya.”
“Enggak enak sama Mas Hada, Bu. Besok saja aku ke sini lagi.”
“Enggak apa-apa, Nak, pulang sendiri?”
“Iya, enggak apa-apa.”
“Hati-hati, ya, Nak,” pesan Ibu yang tangannya kini beralih pada kalkulator berukuran jumbo. Saat dia sedang fokus—entah menghitung apa, aku mendekat.
“Bu.”
“Iya, Nak?” tanyanya, tapi mata masih fokus pada alat tersebut.
Aku diam, dan dia baru menoleh. “Kenapa, Sayang?”
“Aku pamit pulang, ya.” Aku mengambil punggung tangan Ibu dan menciumnya. “Ibu, ojo lali salat.”
Ibu tertegun menatapku lama, lalu tersenyum kecil dan mengatakan. “Suwun, loh, ya, sudah diingetin ibunya,” sahutnya sambil membelai lembut pipiku seraya tersenyum.
“Sama-sama ibuku. Assalamu’alaikum.”
“W*’alaikumsalam.”
Kami sama-sama melempar senyum. Aku berbalik dan pergi dari sana, sementara tatapan mata Ibu masih tak berkedip mengantar kepergianku.
***
Baru saja turun dari taksi OL, aku dikejutkan dengan ketinggalannya kotak makanku di kampus. Duh, diambil orang enggak, ya? Mau pergi lagi, tapi Mas Suhada keburu memergokiku.
“Han, mau ke mana?” teriaknya yang memaksa tubuhku berputar arah, berbalik dan melangkah ke arah rumah.
“Ada yang ketinggalan di kampus, Mas,” kataku tersenyum tidak enak padanya, mengingat kotak makanan itu pemberian dia.
“Apa?”
Aku sudah ada di depan pintu, lalu berusaha menjelaskan kejadian saat makan di kantin tadi siang.
“Oh, enggak apa-apa. Nanti malam kita cari sama-sama, ya, di kampus.”
Aku diam saja, masuk dan menemui Ibu yang sedang ada di kamar. Sampai di kamar Ibu, ternyata ada Bik Romlah.
“Ya ampun, jadi ini menantu kita, Mbak?” tanyanya saat aku menyalami mereka.
“Hehe. Iya, Bik.”
“Ayu to?” tanya Ibu tak mau kalah.
“Namanya siapa, Cah Ayu?”
Sedikit tersipu aku menjawab, “Hana.”
“Kok, pas banget. Hana, dan Hada.”
Semua orang tertawa, termasuk Mas Hada yang berdiri di ambang pintu.
“Karena itu jodoh. Lusa kita mau ketemu sama keluarganya. Kamu pakai baju yang apik, ya!” pinta Ibu pada Bik Romlah.
“Jelas. Nanti aku pilih baju paling indah untuk bertemu pihak besan.”
Kami bicara banyak hal. Puas berbincang, Mas Hada mengekorku masuk ke kamar, lalu menyerahkan amplop berwarna cokelat.
“Apa ini, Mas?”
“Buka saja.”
Aku duduk di ujung ranjang seraya membuka isinya. Ternyata di dalam amplop tersebut berisi beberapa lembar uang berwarna merah.
“Tolong diatur keuangan keluarga kita. Terima kasih sebelumnya.”
Jumlah uang ini bahkan tak ada seperempatnya dari yang biasa ditransfer Mas Irwan kepadaku, itu pun hanya untuk aku sendiri. Sedangkan ini? Aku harus mengatur keuangan rumah tangga selama satu bulan dengan uang yang hanya segini. Apa cukup?
Pov : Hada**Sylviana.M**Aku duduk di musala kampus, setelah belanja banyak makanan titipan para dosen. Kusandarkan punggung ke kursi kayu berwarna cokelat di samping musala. Semalam, aku memberikan semua gajiku pada Hana. Aku percaya, dia pasti bisa belajar mengaturnya, meskipun itu bukan hal mudah. Dari sini aku bisa melihat kelasnya, tampak dia tertawa riang dengan beberapa teman. Kadang aku berpikir, apa aku begitu memalukan sampai dia tak mau mengakui aku sebagai suaminya? Apa pekerjaanku ini begitu buruk?Aku menarik napas panjang, pandanganku masih tertuju ke kelas yang ada di bawah sana, di mana Hana masih asyik tersenyum dan tertawa dengan orang-orang. Aku tersenyum tipis melihat wanita itu. Senyumnya benar-benar mampu mengalihkan duniaku, bahkan sejak dulu. Seharusnya aku tahu ini tak mudah, mengingat dia berasal dari keluarga yang cukup. Sayangnya, cinta itu benar-benar tak ada logika. Tanpa berpikir panjang, aku langsung maju. Me
POV : Hana***Aku telah sampai di rumah. Kuucapkan salam, dan seseorang membuka pintu. Ternyata Bik Romlah. “Bik Romlah,” sapaku seraya mengulas senyum.“Rahmi, Nak.”Aku terdiam mendengar sahutannya. Apa aku tidak salah dengar? Perasaan namanya Bik Romlah.“Oh, salah panggilkah, Bik?” Aku meyakinkan.Wanita setengah baya itu tersenyum, lalu merangkul tubuh ini, setelahnya ia mengajakku masuk ke dalam. Kami masuk beriringan, sambil jalan beliau menjelaskan. “Jadi, Rahmi dan Romlah adalah orang yang berbeda. Kami kembar, Nak Hana. Secara bergantian, jaga Mbak Rohiyah di sini.”“Ya ampun.” Aku tertawa, menutup mulutku dengan sebelah tangan, karena jujur saja, aku baru tahu kalau ternyata Bik Romlah dan Bik Rahmi itu kembar."Duh, maaf ya, Bik. jangan-jangan selama ini aku sering salah panggil lagi. Soalnya wajah kalian berdua sama, Bik.""Nggak apa-apa, Nak. Namanya juga nggak tahu. Yang penting sekarang udah tahu, ya. Bibik juga lupa ... terus mau kasih tahu, kalau sebenarnya yang suk
Hari ini, pertemuan keluargaku dan keluarga Mas Suhada. Mas Irwan menjemput kami ke rumah dan membawa kami ke restoran Ibu. Di sini kami dijamu dengan sangat mewah. Makanan-makanan andalan dikeluarkan semua. Bik Rahmi dan Bik Romlah bahkan turut serta membawa salah seorang anaknya yang bernama Kelana. Dua keluarga berbincang hangat. Ibu bahkan mempercayakan kasir sementara pada pegawainya.“Han, nanti Mas transfer untuk bayar semesteran, ya!” kata Mas Irwan tiba-tiba.Aku menatap Mas Hada. Dia hanya diam, pura-pura menikmati makanan.“Eh, Mas, enggak usah. Aku akan bayar sendiri. Lagian, uang kemarin-kemarin yang Mas kasih masih ada, kok.”“Loh, kenapa? Biasanya juga begitu, kan? Biaya sekolah kamu itu cukup tinggi loh. Gaji Suhada enggak akan cukup untuk itu. Dia bisa kuliah di sana karena beasiswa, sedangkan kamu enggak gratis kayak dia. Mas cari uang juga buat kamu dan ibu, jadi terima saja pemberian dari Mas, ya!"Suasana yang tadinya hangat, hening seketika. Kata-kata Mas Irwan s
Mas Hada membuatku mati kutu semalam. Sampai pagi, aku tidur dengan menutupi seluruh tubuh karena malu. Dia bilang pengin nyium, pas aku memejamkan mata bilang enggak jadi. Kan malunya sampai ubun-ubun. Jadi, kesannya kok aku kayak keganjenan, sih! Kalau bisa, rasanya semalem aku ingin menghilang dari hadapannya.Hari ini jam pagi kosong, dua dosen enggak masuk. Menurut informasi yang dikirimkan melalui WA group, cuma isi absen saja. Aku memutuskan untuk menitip absen sama Kiki, itung-itung ngirit ongkos kalau mau bolak-balik ke kampus . Ini pertama kalinya aku diam di rumah, karena biasanya kuliah dari pagi hingga sore. Aku keluar kamar, lalu menuju ke belakang, terlihat ada Bik Romlah yang sedang memasak di dapur.“Masak apa, Bik?” tanyaku mendekat ke arahnya.“Ini, Nak. Si Hada minta masakin tumis daun pepaya sama bunga-bunganya. Kalau kami ngomongnya kembang kates. Kalau kalian apa ngomongnya?”“Kembang kates juga, sih, Bik. Soalnya Ibu orang Jawa. Cuma, katanya rasa daun dan kemb
Aku memberi jarak, setelah cukup lama. Mas Suhada tersenyum sembari mengelus lembut pipiku yang merona. Modal nekat maju duluan, daripada seperti semalam, kan malu enggak ketulungan.“Mas berasa mimpi, kamu melakukan semua ini. Makasih, ya,” katanya menarik kepalaku, dan menyembunyikannya dalam dada.Aku melingkarkan tangan ke pinggangnya seraya memejamkan mata. Sepertinya, aku memang sudah memiliki rasa.“Eh, lihat Mas bawa apa?” katanya sambil menuntunku duduk di kursi kayu. Segera dia membuka isinya, ternyata bebek goreng plus sambal.“Ada yang kasih tip, saat Mas bikinin kopi. Jadi Mas beliin ini buat kamu. Di warung itu, terkenal dengan bebek gorengnya yang super lezat. Kamu harus coba.”Dia ke belakang dan kembali ke depan sudah membawa piring dan sendok. Diletakkannya bebek goreng dalam piring, mencuilnya sedikit dan dicolek ke sambal, setelahnya memintaku membuka mulut.“Coba, Han. Pasti enak. Yuk, aaa!” ucapnya memintaku membuka mulut.Aku tersenyum samar, lalu membuka mulut.
POV : Suhada ***“Saat aku pulang, kau bisa meninggalkan Hana. Aku akan mengurusnya,” kata Prio melalui sambungan telepon.“Bagaimana kalau aku nggak mau?”“Kau bercanda? Hana itu milikku, aku yang memintamu menikahinya! Kalau bukan karena aku, kau tidak akan mengenalnya, Hada! Sudahlah, setelah aku pulang, kembalikan dia padaku. Akan kupastikan, Ibu bisa melihat indahnya dunia setelah ini. Mau tidak mau, suka tidak suka, Hana itu milikku, dan sudah sepatutnya kembali padaku."Sambungan telepon langsung dimatikan ssetelah pria sialan itu mengatakan hal yang sangat mengganggu pikiran. Aku memasukkan kembali gawai ke saku celana, dan mencoba kembali fokus bekerja. Meskipun aku berusaha bersikap baik-baik saja, nyatanya hati ini menolak keras permintaan Prio barusan. Kepingan hatiku seolah retak mendengar permintaan tersebut.“Meja delapan,” kata salah seorang teman sembari memberikan sebuah nampan berisi beberapa gelas kopi untuk kuantarkan.Aku mengangguk dan menerimanya, lalu berjala
Sampai di rumah, Bik Romlah heran dengan kedatanganku, juga Ibu. Aku mengatakan alasan yang sama dengan apa yang kukatakan pada Hana semalam. Saat Bik Romlah menanyakan sepeda motor, kukatakan kalau sepeda motor kutitip di rumah teman. Beruntung baik Ibu maupun Bik Romlah tidak bertanya lebih jauh, sehingga aku langsung membersihkan diri dan berangkat ke kampus.Sampai di kampus, aku segera menuju ke gedung ekonomi. Ke kelas Hana. Mengendap-endap, aku mengintip dari ujung jendela berkaca bening. Terlihat dari sini Hana duduk di bagian tengah. Wajahnya tampak muram, dan tangan wanita itu berpangku dagu. Aku merogoh saku celana dan memutuskan mengirim pesan, supaya dia tak mengkhawatirkan keadaanku.[Assalamu’alaikum, Han. Maaf, Mas telat datang ke kampus, soalnya nganter teman ke berobat dulu.]Terlihat dia memeriksa tas, lalu seperti mengetik balasan. Tidak berapa lama,gawai dalam genggaman kembali bergetar, segera aku memeriksanya.[Wa’alaikumsalam. Iya, Mas enggak apa-apa.][Jangan
POV : Hana **Aku memegang uang tiga juta. Hari ini, Mas Hada mengatakan akan mengajakku ke sebuah pasar tradisional untuk belanja mingguan. Kebetulan aku kuliah dari hari Senin sampai Kamis. Sedangkan Mas Hada tidak terlalu aktif, karena dia sudah menyusun skripsi. Malam dia akan ke kampus untuk membersihkan kelas, setelahnya kerja di sebuah kafe.“Mas, hari ini bawa uang berapa belanja ke pasar?”“Kita beli kebutuhan selama seminggu saja, Han. Bawa 300 ribu saja. Insyaallah cukup.”“Tiga ratus ribu, Mas? Dapat apa?”“Bawa saja, nanti Mas ajarin belanjanya.”Aku menurut, mengambil tiga lembar uang berwarna merah dan memasukkannya dalam tas. Setelah itu berganti pakaian, dan tidak lupa memakai masker penutup mulut. Tujuan pakai masker sebenarnya biar wajahku tidak dikenali orang-orang yang mungkin saja akan berpapasan di pasar.“Sudah?” tanyanya sambil menyisir rambut di depan cermin, memperhatikanku dari kaca.“Sudah, Mas. Yuk!” ajakku sambil keluar kamar.Kami pamit pada Ibu dan Bi
Aku keluar, kemudian duduk di rerumputan di taman depan rumah sederhana ini. Kupandangi langit di atas sana. Cerah dan bertabur begitu banyak perhiasan langit. Rasanya baru kemarin Mas Irwan mengajakku membeli es krim di toko dekat rumah, rasanya baru kemarin Ibu membelikanku baju sekolah, rasanya baru kemarin aku tamat SMA. Waktu, kenapa begitu cepat berlalu? Tahu-tahu, aku sudah menikah dan sebentar lagi akan menjadi orang tua. Beruntung aku bertemu Mas Hada, pria yang bisa membawaku ke jalan yang lebih terarah. Entah apa jadinya, kalau aku bertemu pria yang salah.“Ngelamun saja!” Aku dikagetkan dengan kedatangan Mas Hada yang tiba-tiba. “Ih, Mas! Kamu ngagetin saja!” Aku mencubit kecil perutnya, dan dia tertawa. Mas Hada membungkuk dan mencium pucuk kepala, lalu ikut duduk di sampingku. “Mikirin apa?” tanyanya seraya menarik kepalaku untuk bersandar di bahu pria itu.“Mikirin hidup, Mas. Enggak kerasa, waktu begitu cepat berlalu.”“Andai kamu tahu. Seolah dihitung mundur untuk me
Aku diam cukup lama di dalam kamar mandi, sementara Mas Hada sudah gelisah menungguku di luar sana. Bagaimana kalau dia tahu, kalau ternyata hasilnya seperti ini? Kira-kira reaksinya bagaimana, ya? Aku menarik napas panjang, bersiap untuk keluar menemui Mas Hada. Setelah cukup tenang, kubuka pintu dan langsung tampak wajah Mas Hada yang terlihat tegang. “Sayang, bagaimana? Mas sampai izin loh hari ini. Enggak masuk kerja, karena ingin nemenin kamu pakai alat itu.”“Mas pakai alat ini enggak sampai hitungan jam, bahkan menit.”“Mas, deg-degan soalnya.” Dia memang terlihat sangat tegang. Aku langsung melewati tubuhnya dan duduk di ujung kasur. Mas Hada mengekorku dari belakang dan duduk di bawah, menghadap ke arahku. Antara ingin tertawa dan kasihan lihat wajahnya seperti itu. “Mas, maaf, ya,” ucapku kemudian dengan wajah penuh dengan penyesalan.Mas Hada menarik napas panjang, lalu tersenyum samar. Dia memegang sebelah tanganku dan menciumnya. “Enggak apa, belum rezeki. Kita coba la
Samar-samar, aku merasa ada yang membelai lembut kepala. Aku membuka mata, dan mendapati Mas Hada sudah ada di sampingku. Aku mengucek mata, memastikan kalau yang kulihat bukan hantu.“Mas, ini serius kamu?” Aku langsung memeluk erat tubuhnya, lalu cemberut. “Ih, jahat! Kok, enggak bilang pulang lebih awal? Aku, kan belum siap-siap. Mana sudah tidur lagi, pas kamu pulang.”“Jangan cemberut. Kan jadi pengin ci—”“Langsung saja kenapa, sih? Pakai bilang begitu.”Mas Hada tertawa sambil menggelengkan kepala. “Kamu itu makin lucu, deh! Ya sudah, jadi boleh nih?”“Memang aku pernah nolak?”Malam itu, kami tuntaskan rasa rindu selama hampir satu minggu tak bertemu. Seperti biasa, dia amat manis memperlakukanku. Keringat dan peluh melebur menjadi satu.“Baca doa enggak tadi sebelum mulai?” tanyanya seraya mengecup pucuk kepala, setelah kami selesai. “Doa apa?”“Kalau Mas berdoa. Semoga segera ada langkah kaki anak kecil di rumah kita yang sederhana ini.”Aku tersenyum, lalu menyandarkan kep
POV : Hana“Iya, Mas?” Dengan semangat, aku mengangkat telepon Mas Hada. Ini pertama kalinya dia menelepon, setelah beberapa hari belakangan hanya bisa membalas chat sesekali. “Han, ada yang mau bicara.”“Siapa?”“Halo, Hana?”“I-iya?”“Saya, Fika. Jangan ditutup teleponnya. Ini saya speaker, supaya kamu dan Mas Hada sama-sama mendengar pengakuanku. Jadi, aku dan Prio pernah menjadi teman yang sangat dekat. Kami sering ke kelab malam bersama teman-teman. Bahkan tanpa ingat dosa, kami sering tidur bersama.”“Astagfirullahalazim.”“Aku tahu, perbuatan kami itu sangat enggak terpuji. Aku bahkan pernah hamil, karena sering tidur dengan Prio.”Aku memejamkan mata.“Dulu, Prio pernah memintaku menikah dengan Suhada, tapi mendengar cerita darinya ... aku menolak, karena Suhada hanya seorang office boy. Bagiku, itu sangat memalukan.” Dia terisak. “Aku terus mendesak Prio bertanggung jawab atas anak yang ada di kandunganku, tapi dia terus menolak dan memaksaku menikah dengan Hada. Katanya, Ha
Alarm berbunyi nyaring. Segera aku mengucek mata, dan melirik jam di atas kepala ranjang. Ternyata jam sudah menunjukkan hampir pukul 02.00 malam. Segera aku bangun, lalu menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudu. Setelah selesai, aku segera melakukan salat malam. “Assalamu’alaikum warohmatullah. Assalamu’alaikum warohmatullah.”Kutengadahkan tangan untuk berdoa, meminta kekuatan iman supaya tidak goyah, dan terhindar dari segala rayuan setan, termasuk dijauhkan dari hal-hal yang buruk. Tak lupa berdoa untuk kesehatan istri, pun keluarga yang jauh di sana. Selesai berdoa, kuusapkan tangan ke muka. Semoga Allah mendengar semua doaku. Aamiin. Aku melipat sajadah, dan kembali berbaring di kasur. Kubuka laci nakas dan memeriksa gawai. Sejak pagi aku belum mengaktifkannya, saking padatnya acara yang kujalani hari ini. Gawai hidup dan ada beberapa notifikasi masuk, termasuk notifikasi chat dari Hana, wanitaku. Aku tersenyum membaca beberapa chat-nya, lalu membalas. Di sana dia selalu
POV : Hada“Oke, untuk malam ini sampai di sini dulu pelatihannya. Kita akan sambung besok dengan materi yang berbeda. Selamat malam,” ucap seorang pemateri malam ini.Pelatihan khusus malam ini telah selesai. Aku bersiap kembali ke kamar. Kebetulan, pelatihan menggunakan aula khusus di hotel tempat kami menginap. Baru saja akan kembali ke kamar, aku bertemu Jefri—teman yang baru kukenal. Dia supervisor dari salah satu perusahaan yang ada di Pulau Kalimantan. “Hada, mau ke mana?” tanyanya yang membuatku menghentikan langkah.“Balik ke kamar, Jef. Kamu?”“Mau keluar cari angin. Mau ikut?”“Ah, capek banget nih! Aku mau tidur saja.”“Selesai pelatihan ini, kita enggak akan ketemu lagi, loh. Ayolah!” katanya sambil merangkul lengan, dan akhirnya aku mengikutinya.Tanpa kusangka, Jefri membawaku main biliar. Gedung yang cukup besar, di dalam sini berjajar meja panjang sebanyak enam buah. Terdapat lampu sorot di atas setiap mejanya, lalu bola warna-warni yang menghiasi bagian atas meja-m
“Han, kenapa kamu diam saja, sih?” tanya Kiki.“Kamu kenapa lagi? Ada masalah sama Mas Hada?”Aku diam saja. Hanya melipat tangan di meja, dan menatap papa tulis kosong di depan sana. Masih kuingat perpisahanku dan Mas Hada tadi pagi. Rasanya, masih cukup membuat hati teriris. Itu baru pisah sementara, bagaimana nanti jika Tuhan memisahkan kami selamanya?“Astagfirullah.” Aku mengusap wajah kasar.Benar saja kata Mas Hada, Allah itu enggak suka umatnya terlalu mencintai dunia beserta isinya, melebihi rasa cinta terhadap Dia. Allah itu pencemburu. Dia akan merasa cemburu, jika aku mencintai yang lain lebih dari rasa cintaku terhadap Dia.“Astagfirullah,” ucapku sekali lagi.“Han, kamu enggak kesurupan, kan? Di kelas ini tinggal kita bertiga loh!” Kiki tampak khawatir.“Ini jam berapa, sih?” tanyaku tiba-tiba.“Wah beneran nih anak kesurupan.” Isna menjaga jarak.“Jam berapa?” tanyaku sekali lagi, tak memedulikan ocehan mereka.“Pukul 10.30. Dosen enggak masuk, kita dari tadi bengong di
POV : Hada Tok! Tok! Tok!“Assalamu’alaikum, Pak.” Aku membuka pintu ruangan Pak Reo.“Oh, iya. Wa’alaikumsalam, Hada. Masuk sini!”Aku masuk, lalu duduk di depan kursi Pak Reo. “Ternyata jadwal pelatihan karyawan dimajukan jadi besok. Jadi, hari ini kamu pulang, terus siap-siap. Besok, pagi-pagi, kumpul di sini sekitar pukul 09.00. Kalian keluar kota naik mobil dinas.”“Dimajukan, Pak?” tanyaku bingung, karena aku belum mengatakan apa pun pada Hana.“Iya, Hada. Surat edarannya baru dikirim melalui fax malam ini.”“Baik, Pak. Kalau begitu, saja permisi dulu.”Aku keluar ruangan, lalu masuk ke ruanganku. Sepi, tak ada orang. Ketiga teman di ruangan ini memang jarang sekali ada di tempat. Mereka sering bepergian entah ke mana. Aku membereskan meja dan bersiap akan pulang, setelah itu keluar ruangan menuju parkiran. “Pulang, Mas?” tanya Pak Sekuriti.“Iya, Pak. Soalnya mau pergi pelatihan besok.”“Oke, Mas!” Pak Sekuriti melambaikan tangan, saat sepeda motorku melewati gerbang. Di ja
“Mas!” Aku terpekik kecil, saat Mas Hada membawaku ke tempat baju di sebuah mall. Sudah lama aku berpuasa membeli pakaian, karena tidak memungkinkan. Meskipun tempat ini bukan butik di mana biasanya aku memesan pakaian dengan harga yang cukup tinggi, tapi aku sudah bahagia. Aku menyentuh setiap baju yang tergantung rapi di mall ini. Kuangkat dan kutatap dengan mata berbinar bahagia. Mas Hada mengikutiku dari belakang. Dengan senyum yang terus melengkung, dia setia menemaniku memilih pakaian. Hingga aku menemukan pakaian yang pas untuk Bik Romlah dan Ibu. Mas Hada terlihat bingung dengan baju yang kupilih. “Sayang, itu bukannya untuk orang tua, ya?”“Iya, Mas. Untuk Ibu dan Bik Romlah dulu,” kataku tanpa menoleh ke arahnya, masih sibuk memilih beberapa pakaian.Mas Hada tersenyum sedikit. Kenapa baru-baru ini dia pelit sekali tersenyum? Aku mengabaikan, saat dia terpaku menatapku dengan tangan yang melipat di depan dada. Selesai memilih pakaian Ibu dan Bik Romlah, aku pergi ke arah l