Pov : Hada
**Sylviana.M**
Aku duduk di musala kampus, setelah belanja banyak makanan titipan para dosen. Kusandarkan punggung ke kursi kayu berwarna cokelat di samping musala. Semalam, aku memberikan semua gajiku pada Hana. Aku percaya, dia pasti bisa belajar mengaturnya, meskipun itu bukan hal mudah. Dari sini aku bisa melihat kelasnya, tampak dia tertawa riang dengan beberapa teman. Kadang aku berpikir, apa aku begitu memalukan sampai dia tak mau mengakui aku sebagai suaminya? Apa pekerjaanku ini begitu buruk?
Aku menarik napas panjang, pandanganku masih tertuju ke kelas yang ada di bawah sana, di mana Hana masih asyik tersenyum dan tertawa dengan orang-orang. Aku tersenyum tipis melihat wanita itu. Senyumnya benar-benar mampu mengalihkan duniaku, bahkan sejak dulu. Seharusnya aku tahu ini tak mudah, mengingat dia berasal dari keluarga yang cukup. Sayangnya, cinta itu benar-benar tak ada logika. Tanpa berpikir panjang, aku langsung maju. Menurutku, mungkin ini cara Allah menyatukan kami.
“Suhada, kamu dipanggil Bu Rani—dosen mata kuliah akuntansi—di ruang dosen,” sapa Pak Husen, penjaga kampus.
“Oh, iya, Pak.” Aku segera berdiri dan memakai ransel, lalu sedikit tergesa turun. Untuk menuju ke gedung ekonomi, harus menuruni anak-anak tangga yang cukup panjang dari musala. Sampai di ruangan dosen, aku langsung menemui Bu Rani.
“Permisi, Bu. Apa Ibu panggil saya?”
“Oh, iya. Mau minta tolong belikan Ibu kertas ukuran A4, ya! Di sekitar sini lagi habis semua.”
“Baik, Bu.”
Bu Rani mengangsurkan uang, dan sedikit membungkuk aku menerimanya. Setelah itu, aku langsung menuju toko alat tulis kantor dengan mengendarai sepeda motor. Suasana toko cukup ramai, sehingga aku memutuskan duduk dulu untuk menunggu di sekitar toko. Saat sedang menunggu gawai berbunyi, segera aku merogoh saku celana dan membuka pesannya. Ternyata dari Prio.
[Bagaimana? Apa kalian sudah menikah?]
Aku tak berniat membalas, tapi gawai kembali bergetar.
[Aku meminta seseorang memata-mataimu.
Katanya kalian sudah menikah,
bahkan kini Hana tinggal di rumahmu.]
Sial! Umpatku dalam hati. Aku memutuskan membalasnya.
[Ya, kami sudah menikah.]
[Bagus, jaga baik-baik calon istriku.
Ingat perjanjian kita, JANGAN SENTUH HANA!
Jika urusanku sudah selesai, aku akan kembali ke Indonesia.]
“Astagfirullah,” ucapku lirih. Dia bahkan melarangku menyentuh istri sendiri. Saat sadar, ternyata suasana sudah agak sepi, aku segera beranjak dan mendekati pelayan, lalu membeli pesanan Bu Rani.
***
Aku sudah selesai menyapu dan mengepel semua gedung, tinggal membersihkan gedung ekonomi. Hanya saja, aku ingat janji pada Hana. Aku akan membersihkan gedung itu setelah dia pulang. Berapa kali aku mengintip, Hana dan teman-temannya masih asyik bercanda di bawah sana. Bisa-bisa aku pulang malam, kalau menunggu mereka pulang. Apa aku turun saja, supaya Hana menjauh dari sana dan segera pulang?
Akhirnya aku memutuskan turun dengan membawa ember berisi air berserta kain pel. Tampak Hana yang duduk di dekat jendela, menatapku tak berkedip dari bawah sana. Mungkin dia takut aku memasuki kelasnya. Aku mengepel kelas lain dulu, memberi kesempatan pada Hana supaya pergi. Kini tiba saatnya aku membersihkan kelas yang posisinya tepat ada di samping kelas Hana. Samar-samar, aku masih bisa mendengar suara mereka. Aku fokus pada pekerjaan, tanpa ingin tahu apa yang mereka bicarakan.
Saat sedang asyik menyapu kelas, Hana melintas bersama teman-temannya. Aku menoleh, dan pandangan kami bertemu dari balik kaca jendela. Cukup lama kami saling berpandangan, hingga akhirnya Hana kembali fokus menatap ke depan dan pergi begitu saja. Sementara aku kembali sibuk dengan sapu di tangan. Tanpa kusangka, salah seorang teman Hana masuk ke kelas yang kubersihkan.
“Hai, Mas!” sapanya yang membuatku menghentikan aktivitas.
Aku tersenyum samar.
Dia yang tadinya hanya berdiri di tengah-tengah pintu, kini masuk dan berdiri tak jauh dariku. Dua temannya ikut memasuki ruangan. Aku hanya diam, menunggu apa yang ingin dia katakan. Kulihat Hana terlihat gusar di luar sana, bahasa tubuhnya mengatakan kalau dia sangat ketakutan. Beberapa kali wanita itu menggigiti kuku tangan, lalu berbalik dan ragu mengikuti langkah teman-temannya memasuki kelas ini.
“Mas, perlu bantuan enggak?” tanya wanita berambut agak ikal itu.
Aku tersenyum tipis. “Enggak, Mbak. Makasih.”
“Masnya bakal sendirian saja di sini, kalau kita nanti sudah pulang. Eh, kalau tiba-tiba masnya kesurupan setelah kita tinggal sendirian, bagaimana? Katanya gedung ini angker,” goda wanita itu sekali lagi.
“Insyaallah enggak, Mbak. Saya sudah biasa,” sahutku mencoba bersikap biasa saja. Mata ini fokus menatap Hana yang berdiri di belakang tubuh mereka, meskipun posisi wanita yang kini kuketahui bernama Maria itu tepat ada di hadapanku.
“Umur berapa, Mas?” Kali wanita yang berdiri di dekat Hana yang bertanya.
“Saya, 25 tahun.”
“Sejak kapan kerja di sini? Wah, ternyata cukup dewasa,” celetuk yang satunya.
“Saya agak terlambat kuliah, karena harus kerja dulu baru bisa berkuliah. Sudah hampir satu tahun kerja di sini, Mbak.”
“Aku duluan kalau kalian enggak mau pulang!” kata Hana tiba-tiba dengan wajah yang terlihat kesal.
“Eh, Mas. Kalau begitu, kami permisi dulu, ya! Masnya keren, sudah cakep, kerja apa saja mau. Enggak gengsi, dan tetap memprioritaskan sekolah,” kata Maria.
Aku diam saja. Kulihat Hana menaiki anak tangga dengan wajah cemberut. Apa dia marah, karena aku menjawab pertanyaan teman-temannya? Atau ... dia marah karena aku membersihkan kelas sebelum dia pulang? Apa pun itu, semoga Allah melindungi dia di jalan sampai ke rumah. Aamiin.
Aku telah selesai, kuletakkan kain pel dan ember di kamar mandi, lalu mencuci tangan dan naik ke lantai atas. Setelah sampai di atas, aku melihat Hana menuju kantin. Di sana sudah sepi, dan beberapa lampu sudah dimatikan. Aku yang awalnya akan ke parkiran mengurungkan niat, dan malah ikut menuju kantin untuk menemuinya. Tampak Hana terlihat sibuk dan menunduk beberapa kali, memeriksa setiap sudut seperti mencari sesuatu. Aku melangkah lebih mendekat, dan kini sudah ada di balik tubuh wanita itu.
“Cari apa?” tanyaku yang membuatnya berbalik seketika.
“Eh, Mas. Kamu di sini? Cari kotak bekal yang kamu bawain tadi pagi.” Kemudian dia sibuk kembali.
“Memang kamu taruh di mana?” tanyaku, ikut berusaha mencarinya.
“Di meja yang ini, Mas!” Dia menunjuk salah satu meja.
Akhirnya kami mencarinya berdua. Aku berinisiatif melihat kotak sampah, lalu membukanya, sementara Hana masih memeriksa beberapa tempat. Aku tersenyum tipis, saat melihat kotak makanan itu sudah ada di tempat sampah. Begitu banyak makanan sisa di atas dan sekitarnya, sehingga kuputuskan tidak mengambil benda tersebut. Aku kembali menutup kotak sampah dan mendekati Hana yang sudah duduk di kursi kayu dengan wajah putus asa.
“Sudah, nanti aku belikan lagi.”
“Bukan masalah itu, aku enggak enak sama kamu.”
“Enggak apa-apa, kok. Enggak usah dipikirin.”
Tiba-tiba terdengar suara dari kejauhan. Beberapa temannya memanggil nama Hana secara berulang. Bagaimana ini? Kami ada di tempat yang sama, dan kini duduk berdekatan. Hana menatapku dengan saksama, begitu juga aku.
“Mas, teman-teman aku!” serunya dengan wajah pucat.
“Baru Mas mau bilang sama kamu.”
“Jadi, bagaimana?”
Aku mencoba berpikir, lalu cepat mencari tempat bersembunyi ketika langkah mereka semakin ke sini. Aku berjongkok di bawah meja, lalu menarik tangan Hana untuk bersembunyi bersama. Terlihat kaki-kaki sahabatnya memasuki area kantin.
“Hana! Duh, di mana, sih, itu anak?” Seseorang duduk di ujung sana.
“Apa sudah pulang duluan, ya?” lanjut teman yang lainnya.
“Coba telepon!” perintah wanita berambut ikal.
Mata Hana membulat, dia segera merogoh tas dan menonaktifkan gawai. Tampak salah satu temannya terus menghubungi. Tiba-tiba saja seekor kecoak bermain di dekat kami. Hana ketakutan, dia hampir berteriak. Segera kututup mulutnya dengan sebelah tangan, sementara tangan satunya melingkari leher wanita itu. Ah, aku sudah seperti penjahat yang sedang menyekap wanita cantik.
“Sttt. Tenang,” bisikku sambil berusaha menyelentik hewan itu hingga terpental jauh. Aku baru menyadari, jarak kami saat ini sangat dekat, bahkan ujung hidung kami bersentuhan. Pandangan mata kami beradu, manik mataku menatap wajah ayu Hana lekat. Pahatan Allah pada makhluk di hadapanku ini sangat indah. Aku lebih mendekat, dan kini bisa merasakan hangat embusan napasnya. Aku merasa, seolah ada magnet yang menarik untuk lebih mendekat padanya. Kuamati wajah Hana lebih dalam, lalu tangan ini terangkat untuk merapikan anak-anak rambutnya yang sedikit keluar dari hijab.
Teriakan beberapa teman Hana tak lagi dihiraukan. Kami sibuk dengan perasaan dan pikiran masing-masing. Hingga keheningan itu hadir. Semua teman istriku menyerah. Mereka pergi, karena tak kunjung menemukan Hana di sini. Aku sudah berusaha menahan. Sialnya aku tergoda, dan akhirnya lebih mendekatkan wajah ke wajahnya. Saat kiss itu hampir landing dengan sempurna, Hana mengalihkan pandangan. Dia mendekatkan bibirnya di samping telingaku.
“Sudah malam, Mas. Aku mau pulang,” bisiknya lirih tepat di samping telinga.
Tak ada yang bisa dilakukan, kulepaskan rangkulan tangan di lehernya dan ikut keluar dari persembunyian. Setelahnya, hanya bisa menatap kepergian Hana dari sini. Sampai kapan aku bisa menahan untuk tidak menyentuh Hana? Sementara hasratku menggebu setiap kali ada di dekatnya. Gontai aku melangkah menuju parkiran, dan pulang setelah Hana dan temannya pergi.
***
Sampai di halaman, kumasukkan sepeda motor ke dapur yang terletak di belakang rumah, lalu menuju ke kamar Ibu. Tampak Ibu sedang berbaring, meskipun belum tertidur. Aku duduk di sisi rajang bambu dan memijat kaki Ibu pelan.
“Suhada,” panggil Ibu yang seolah mengenaliku langsung.
“Kok, tahu ini Hada, Bu?” tanyaku seraya tersenyum.
“Siapa lagi yang suka ngurutin kaki Ibu, kalau bukan kamu? Kalau Romlah, suka pijat punggung.” Ibu tersenyum. “Baru pulang, Nak?”
“Iya, Bu.”
“Kamu itu capek. Kok, malah mijetin Ibu to?”
“Hada enggak punya waktu ngurusin Ibu. Maaf, ya.”
“Nak, kamu mencari uang juga untuk menafkahi Ibu, kan? Itu bahkan sudah lebih dari cukup. Maaf, Ibu cuma bisa nyusahin dan jadi beban buat kamu.”
“Bu, enggak usah bilang begitu. Ibu itu satu-satunya titipan Allah yang paling berharga buat aku.”
Ibu tersenyum, tangannya meraba di udara dan aku mendekat. Dia menyentuh pipi, dan aku mencium punggung tangannya. Setelah berbincang banyak hal dengan Ibu, aku pamit untuk ke kamar. Kuketuk pintu beberapa kali, tapi tak ada sahutan. Kuputar knop pintu, ternyata tidak dikunci. Perlahan aku memasuki kamar, terdengar suara Hana mandi di dalam sana. Ada yang berdesir, membayangkan yang tidak-tidak. Aku memijat kepala, dan berusaha mengalihkan pikiran ke arah yang lain.
Tidak berapa lama, suara gemercik air di dalam kamar mandi tak terdengar lagi. Pintu terbuka. Aku mendongak, dan mendapati Hana sudah berdiri dengan tubuh yang hanya dibalut handuk saja.
“Aaa!” teriaknya nyaring.
Aku tersadar, dan membuang pandangan ke arah lain. Wanita berkulit putih itu langsung kembali masuk ke kamar mandi. “Mas, kenapa, sih, enggak ketuk pintunya dulu?”
POV : Hana***Aku telah sampai di rumah. Kuucapkan salam, dan seseorang membuka pintu. Ternyata Bik Romlah. “Bik Romlah,” sapaku seraya mengulas senyum.“Rahmi, Nak.”Aku terdiam mendengar sahutannya. Apa aku tidak salah dengar? Perasaan namanya Bik Romlah.“Oh, salah panggilkah, Bik?” Aku meyakinkan.Wanita setengah baya itu tersenyum, lalu merangkul tubuh ini, setelahnya ia mengajakku masuk ke dalam. Kami masuk beriringan, sambil jalan beliau menjelaskan. “Jadi, Rahmi dan Romlah adalah orang yang berbeda. Kami kembar, Nak Hana. Secara bergantian, jaga Mbak Rohiyah di sini.”“Ya ampun.” Aku tertawa, menutup mulutku dengan sebelah tangan, karena jujur saja, aku baru tahu kalau ternyata Bik Romlah dan Bik Rahmi itu kembar."Duh, maaf ya, Bik. jangan-jangan selama ini aku sering salah panggil lagi. Soalnya wajah kalian berdua sama, Bik.""Nggak apa-apa, Nak. Namanya juga nggak tahu. Yang penting sekarang udah tahu, ya. Bibik juga lupa ... terus mau kasih tahu, kalau sebenarnya yang suk
Hari ini, pertemuan keluargaku dan keluarga Mas Suhada. Mas Irwan menjemput kami ke rumah dan membawa kami ke restoran Ibu. Di sini kami dijamu dengan sangat mewah. Makanan-makanan andalan dikeluarkan semua. Bik Rahmi dan Bik Romlah bahkan turut serta membawa salah seorang anaknya yang bernama Kelana. Dua keluarga berbincang hangat. Ibu bahkan mempercayakan kasir sementara pada pegawainya.“Han, nanti Mas transfer untuk bayar semesteran, ya!” kata Mas Irwan tiba-tiba.Aku menatap Mas Hada. Dia hanya diam, pura-pura menikmati makanan.“Eh, Mas, enggak usah. Aku akan bayar sendiri. Lagian, uang kemarin-kemarin yang Mas kasih masih ada, kok.”“Loh, kenapa? Biasanya juga begitu, kan? Biaya sekolah kamu itu cukup tinggi loh. Gaji Suhada enggak akan cukup untuk itu. Dia bisa kuliah di sana karena beasiswa, sedangkan kamu enggak gratis kayak dia. Mas cari uang juga buat kamu dan ibu, jadi terima saja pemberian dari Mas, ya!"Suasana yang tadinya hangat, hening seketika. Kata-kata Mas Irwan s
Mas Hada membuatku mati kutu semalam. Sampai pagi, aku tidur dengan menutupi seluruh tubuh karena malu. Dia bilang pengin nyium, pas aku memejamkan mata bilang enggak jadi. Kan malunya sampai ubun-ubun. Jadi, kesannya kok aku kayak keganjenan, sih! Kalau bisa, rasanya semalem aku ingin menghilang dari hadapannya.Hari ini jam pagi kosong, dua dosen enggak masuk. Menurut informasi yang dikirimkan melalui WA group, cuma isi absen saja. Aku memutuskan untuk menitip absen sama Kiki, itung-itung ngirit ongkos kalau mau bolak-balik ke kampus . Ini pertama kalinya aku diam di rumah, karena biasanya kuliah dari pagi hingga sore. Aku keluar kamar, lalu menuju ke belakang, terlihat ada Bik Romlah yang sedang memasak di dapur.“Masak apa, Bik?” tanyaku mendekat ke arahnya.“Ini, Nak. Si Hada minta masakin tumis daun pepaya sama bunga-bunganya. Kalau kami ngomongnya kembang kates. Kalau kalian apa ngomongnya?”“Kembang kates juga, sih, Bik. Soalnya Ibu orang Jawa. Cuma, katanya rasa daun dan kemb
Aku memberi jarak, setelah cukup lama. Mas Suhada tersenyum sembari mengelus lembut pipiku yang merona. Modal nekat maju duluan, daripada seperti semalam, kan malu enggak ketulungan.“Mas berasa mimpi, kamu melakukan semua ini. Makasih, ya,” katanya menarik kepalaku, dan menyembunyikannya dalam dada.Aku melingkarkan tangan ke pinggangnya seraya memejamkan mata. Sepertinya, aku memang sudah memiliki rasa.“Eh, lihat Mas bawa apa?” katanya sambil menuntunku duduk di kursi kayu. Segera dia membuka isinya, ternyata bebek goreng plus sambal.“Ada yang kasih tip, saat Mas bikinin kopi. Jadi Mas beliin ini buat kamu. Di warung itu, terkenal dengan bebek gorengnya yang super lezat. Kamu harus coba.”Dia ke belakang dan kembali ke depan sudah membawa piring dan sendok. Diletakkannya bebek goreng dalam piring, mencuilnya sedikit dan dicolek ke sambal, setelahnya memintaku membuka mulut.“Coba, Han. Pasti enak. Yuk, aaa!” ucapnya memintaku membuka mulut.Aku tersenyum samar, lalu membuka mulut.
POV : Suhada ***“Saat aku pulang, kau bisa meninggalkan Hana. Aku akan mengurusnya,” kata Prio melalui sambungan telepon.“Bagaimana kalau aku nggak mau?”“Kau bercanda? Hana itu milikku, aku yang memintamu menikahinya! Kalau bukan karena aku, kau tidak akan mengenalnya, Hada! Sudahlah, setelah aku pulang, kembalikan dia padaku. Akan kupastikan, Ibu bisa melihat indahnya dunia setelah ini. Mau tidak mau, suka tidak suka, Hana itu milikku, dan sudah sepatutnya kembali padaku."Sambungan telepon langsung dimatikan ssetelah pria sialan itu mengatakan hal yang sangat mengganggu pikiran. Aku memasukkan kembali gawai ke saku celana, dan mencoba kembali fokus bekerja. Meskipun aku berusaha bersikap baik-baik saja, nyatanya hati ini menolak keras permintaan Prio barusan. Kepingan hatiku seolah retak mendengar permintaan tersebut.“Meja delapan,” kata salah seorang teman sembari memberikan sebuah nampan berisi beberapa gelas kopi untuk kuantarkan.Aku mengangguk dan menerimanya, lalu berjala
Sampai di rumah, Bik Romlah heran dengan kedatanganku, juga Ibu. Aku mengatakan alasan yang sama dengan apa yang kukatakan pada Hana semalam. Saat Bik Romlah menanyakan sepeda motor, kukatakan kalau sepeda motor kutitip di rumah teman. Beruntung baik Ibu maupun Bik Romlah tidak bertanya lebih jauh, sehingga aku langsung membersihkan diri dan berangkat ke kampus.Sampai di kampus, aku segera menuju ke gedung ekonomi. Ke kelas Hana. Mengendap-endap, aku mengintip dari ujung jendela berkaca bening. Terlihat dari sini Hana duduk di bagian tengah. Wajahnya tampak muram, dan tangan wanita itu berpangku dagu. Aku merogoh saku celana dan memutuskan mengirim pesan, supaya dia tak mengkhawatirkan keadaanku.[Assalamu’alaikum, Han. Maaf, Mas telat datang ke kampus, soalnya nganter teman ke berobat dulu.]Terlihat dia memeriksa tas, lalu seperti mengetik balasan. Tidak berapa lama,gawai dalam genggaman kembali bergetar, segera aku memeriksanya.[Wa’alaikumsalam. Iya, Mas enggak apa-apa.][Jangan
POV : Hana **Aku memegang uang tiga juta. Hari ini, Mas Hada mengatakan akan mengajakku ke sebuah pasar tradisional untuk belanja mingguan. Kebetulan aku kuliah dari hari Senin sampai Kamis. Sedangkan Mas Hada tidak terlalu aktif, karena dia sudah menyusun skripsi. Malam dia akan ke kampus untuk membersihkan kelas, setelahnya kerja di sebuah kafe.“Mas, hari ini bawa uang berapa belanja ke pasar?”“Kita beli kebutuhan selama seminggu saja, Han. Bawa 300 ribu saja. Insyaallah cukup.”“Tiga ratus ribu, Mas? Dapat apa?”“Bawa saja, nanti Mas ajarin belanjanya.”Aku menurut, mengambil tiga lembar uang berwarna merah dan memasukkannya dalam tas. Setelah itu berganti pakaian, dan tidak lupa memakai masker penutup mulut. Tujuan pakai masker sebenarnya biar wajahku tidak dikenali orang-orang yang mungkin saja akan berpapasan di pasar.“Sudah?” tanyanya sambil menyisir rambut di depan cermin, memperhatikanku dari kaca.“Sudah, Mas. Yuk!” ajakku sambil keluar kamar.Kami pamit pada Ibu dan Bi
Mas Hada memandang lama, lalu bertanya,“Yakin?”“I-iya.”Dia tersenyum, lalu mendekat, kemudian mengucap bismillah sebelum merenggut nyawa si ikan. Mas Hada mengambil pisau dan talenan, dia mengajariku cara membersihkan ikan. Setelah ikan bersih,dia bertanya padaku mau dimasak apa. Aku bingung menjawabnya, jadi aku tanya balik.“Kalau Mas penginnya ikan nila ini diapain?”“Kalau kita panggang saja bagaimana?”“Oke. Bumbunya apa saja?” tanyaku, bersiap menyiapkan bumbu. Melihat itu,dia kembali tertawa. Sementara aku memasang wajah datar.“Bawang merah, bawang putih, ketumbar, jahe, kunyit, garam, sedikit penyedap jamur, terus ditumbuk halus.”Aku menyiapkan semua, kemudian dahi Mas Hada mengernyit melihat semua bumbu yang sudah aku siapkan. “Kenapa, Mas?”“Ini apa namanya?” Dia menunjuk salah satu bumbu.“Jahe, kan?”Tawa pria itu langsung tersembur.“Kenapa?” tanyaku bingung dengan bibir mengerucut.“Ini namanya kencur, Sayang. Bukan jahe,” katanya sambil mengacak hijabku. Dia menjela
Aku keluar, kemudian duduk di rerumputan di taman depan rumah sederhana ini. Kupandangi langit di atas sana. Cerah dan bertabur begitu banyak perhiasan langit. Rasanya baru kemarin Mas Irwan mengajakku membeli es krim di toko dekat rumah, rasanya baru kemarin Ibu membelikanku baju sekolah, rasanya baru kemarin aku tamat SMA. Waktu, kenapa begitu cepat berlalu? Tahu-tahu, aku sudah menikah dan sebentar lagi akan menjadi orang tua. Beruntung aku bertemu Mas Hada, pria yang bisa membawaku ke jalan yang lebih terarah. Entah apa jadinya, kalau aku bertemu pria yang salah.“Ngelamun saja!” Aku dikagetkan dengan kedatangan Mas Hada yang tiba-tiba. “Ih, Mas! Kamu ngagetin saja!” Aku mencubit kecil perutnya, dan dia tertawa. Mas Hada membungkuk dan mencium pucuk kepala, lalu ikut duduk di sampingku. “Mikirin apa?” tanyanya seraya menarik kepalaku untuk bersandar di bahu pria itu.“Mikirin hidup, Mas. Enggak kerasa, waktu begitu cepat berlalu.”“Andai kamu tahu. Seolah dihitung mundur untuk me
Aku diam cukup lama di dalam kamar mandi, sementara Mas Hada sudah gelisah menungguku di luar sana. Bagaimana kalau dia tahu, kalau ternyata hasilnya seperti ini? Kira-kira reaksinya bagaimana, ya? Aku menarik napas panjang, bersiap untuk keluar menemui Mas Hada. Setelah cukup tenang, kubuka pintu dan langsung tampak wajah Mas Hada yang terlihat tegang. “Sayang, bagaimana? Mas sampai izin loh hari ini. Enggak masuk kerja, karena ingin nemenin kamu pakai alat itu.”“Mas pakai alat ini enggak sampai hitungan jam, bahkan menit.”“Mas, deg-degan soalnya.” Dia memang terlihat sangat tegang. Aku langsung melewati tubuhnya dan duduk di ujung kasur. Mas Hada mengekorku dari belakang dan duduk di bawah, menghadap ke arahku. Antara ingin tertawa dan kasihan lihat wajahnya seperti itu. “Mas, maaf, ya,” ucapku kemudian dengan wajah penuh dengan penyesalan.Mas Hada menarik napas panjang, lalu tersenyum samar. Dia memegang sebelah tanganku dan menciumnya. “Enggak apa, belum rezeki. Kita coba la
Samar-samar, aku merasa ada yang membelai lembut kepala. Aku membuka mata, dan mendapati Mas Hada sudah ada di sampingku. Aku mengucek mata, memastikan kalau yang kulihat bukan hantu.“Mas, ini serius kamu?” Aku langsung memeluk erat tubuhnya, lalu cemberut. “Ih, jahat! Kok, enggak bilang pulang lebih awal? Aku, kan belum siap-siap. Mana sudah tidur lagi, pas kamu pulang.”“Jangan cemberut. Kan jadi pengin ci—”“Langsung saja kenapa, sih? Pakai bilang begitu.”Mas Hada tertawa sambil menggelengkan kepala. “Kamu itu makin lucu, deh! Ya sudah, jadi boleh nih?”“Memang aku pernah nolak?”Malam itu, kami tuntaskan rasa rindu selama hampir satu minggu tak bertemu. Seperti biasa, dia amat manis memperlakukanku. Keringat dan peluh melebur menjadi satu.“Baca doa enggak tadi sebelum mulai?” tanyanya seraya mengecup pucuk kepala, setelah kami selesai. “Doa apa?”“Kalau Mas berdoa. Semoga segera ada langkah kaki anak kecil di rumah kita yang sederhana ini.”Aku tersenyum, lalu menyandarkan kep
POV : Hana“Iya, Mas?” Dengan semangat, aku mengangkat telepon Mas Hada. Ini pertama kalinya dia menelepon, setelah beberapa hari belakangan hanya bisa membalas chat sesekali. “Han, ada yang mau bicara.”“Siapa?”“Halo, Hana?”“I-iya?”“Saya, Fika. Jangan ditutup teleponnya. Ini saya speaker, supaya kamu dan Mas Hada sama-sama mendengar pengakuanku. Jadi, aku dan Prio pernah menjadi teman yang sangat dekat. Kami sering ke kelab malam bersama teman-teman. Bahkan tanpa ingat dosa, kami sering tidur bersama.”“Astagfirullahalazim.”“Aku tahu, perbuatan kami itu sangat enggak terpuji. Aku bahkan pernah hamil, karena sering tidur dengan Prio.”Aku memejamkan mata.“Dulu, Prio pernah memintaku menikah dengan Suhada, tapi mendengar cerita darinya ... aku menolak, karena Suhada hanya seorang office boy. Bagiku, itu sangat memalukan.” Dia terisak. “Aku terus mendesak Prio bertanggung jawab atas anak yang ada di kandunganku, tapi dia terus menolak dan memaksaku menikah dengan Hada. Katanya, Ha
Alarm berbunyi nyaring. Segera aku mengucek mata, dan melirik jam di atas kepala ranjang. Ternyata jam sudah menunjukkan hampir pukul 02.00 malam. Segera aku bangun, lalu menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudu. Setelah selesai, aku segera melakukan salat malam. “Assalamu’alaikum warohmatullah. Assalamu’alaikum warohmatullah.”Kutengadahkan tangan untuk berdoa, meminta kekuatan iman supaya tidak goyah, dan terhindar dari segala rayuan setan, termasuk dijauhkan dari hal-hal yang buruk. Tak lupa berdoa untuk kesehatan istri, pun keluarga yang jauh di sana. Selesai berdoa, kuusapkan tangan ke muka. Semoga Allah mendengar semua doaku. Aamiin. Aku melipat sajadah, dan kembali berbaring di kasur. Kubuka laci nakas dan memeriksa gawai. Sejak pagi aku belum mengaktifkannya, saking padatnya acara yang kujalani hari ini. Gawai hidup dan ada beberapa notifikasi masuk, termasuk notifikasi chat dari Hana, wanitaku. Aku tersenyum membaca beberapa chat-nya, lalu membalas. Di sana dia selalu
POV : Hada“Oke, untuk malam ini sampai di sini dulu pelatihannya. Kita akan sambung besok dengan materi yang berbeda. Selamat malam,” ucap seorang pemateri malam ini.Pelatihan khusus malam ini telah selesai. Aku bersiap kembali ke kamar. Kebetulan, pelatihan menggunakan aula khusus di hotel tempat kami menginap. Baru saja akan kembali ke kamar, aku bertemu Jefri—teman yang baru kukenal. Dia supervisor dari salah satu perusahaan yang ada di Pulau Kalimantan. “Hada, mau ke mana?” tanyanya yang membuatku menghentikan langkah.“Balik ke kamar, Jef. Kamu?”“Mau keluar cari angin. Mau ikut?”“Ah, capek banget nih! Aku mau tidur saja.”“Selesai pelatihan ini, kita enggak akan ketemu lagi, loh. Ayolah!” katanya sambil merangkul lengan, dan akhirnya aku mengikutinya.Tanpa kusangka, Jefri membawaku main biliar. Gedung yang cukup besar, di dalam sini berjajar meja panjang sebanyak enam buah. Terdapat lampu sorot di atas setiap mejanya, lalu bola warna-warni yang menghiasi bagian atas meja-m
“Han, kenapa kamu diam saja, sih?” tanya Kiki.“Kamu kenapa lagi? Ada masalah sama Mas Hada?”Aku diam saja. Hanya melipat tangan di meja, dan menatap papa tulis kosong di depan sana. Masih kuingat perpisahanku dan Mas Hada tadi pagi. Rasanya, masih cukup membuat hati teriris. Itu baru pisah sementara, bagaimana nanti jika Tuhan memisahkan kami selamanya?“Astagfirullah.” Aku mengusap wajah kasar.Benar saja kata Mas Hada, Allah itu enggak suka umatnya terlalu mencintai dunia beserta isinya, melebihi rasa cinta terhadap Dia. Allah itu pencemburu. Dia akan merasa cemburu, jika aku mencintai yang lain lebih dari rasa cintaku terhadap Dia.“Astagfirullah,” ucapku sekali lagi.“Han, kamu enggak kesurupan, kan? Di kelas ini tinggal kita bertiga loh!” Kiki tampak khawatir.“Ini jam berapa, sih?” tanyaku tiba-tiba.“Wah beneran nih anak kesurupan.” Isna menjaga jarak.“Jam berapa?” tanyaku sekali lagi, tak memedulikan ocehan mereka.“Pukul 10.30. Dosen enggak masuk, kita dari tadi bengong di
POV : Hada Tok! Tok! Tok!“Assalamu’alaikum, Pak.” Aku membuka pintu ruangan Pak Reo.“Oh, iya. Wa’alaikumsalam, Hada. Masuk sini!”Aku masuk, lalu duduk di depan kursi Pak Reo. “Ternyata jadwal pelatihan karyawan dimajukan jadi besok. Jadi, hari ini kamu pulang, terus siap-siap. Besok, pagi-pagi, kumpul di sini sekitar pukul 09.00. Kalian keluar kota naik mobil dinas.”“Dimajukan, Pak?” tanyaku bingung, karena aku belum mengatakan apa pun pada Hana.“Iya, Hada. Surat edarannya baru dikirim melalui fax malam ini.”“Baik, Pak. Kalau begitu, saja permisi dulu.”Aku keluar ruangan, lalu masuk ke ruanganku. Sepi, tak ada orang. Ketiga teman di ruangan ini memang jarang sekali ada di tempat. Mereka sering bepergian entah ke mana. Aku membereskan meja dan bersiap akan pulang, setelah itu keluar ruangan menuju parkiran. “Pulang, Mas?” tanya Pak Sekuriti.“Iya, Pak. Soalnya mau pergi pelatihan besok.”“Oke, Mas!” Pak Sekuriti melambaikan tangan, saat sepeda motorku melewati gerbang. Di ja
“Mas!” Aku terpekik kecil, saat Mas Hada membawaku ke tempat baju di sebuah mall. Sudah lama aku berpuasa membeli pakaian, karena tidak memungkinkan. Meskipun tempat ini bukan butik di mana biasanya aku memesan pakaian dengan harga yang cukup tinggi, tapi aku sudah bahagia. Aku menyentuh setiap baju yang tergantung rapi di mall ini. Kuangkat dan kutatap dengan mata berbinar bahagia. Mas Hada mengikutiku dari belakang. Dengan senyum yang terus melengkung, dia setia menemaniku memilih pakaian. Hingga aku menemukan pakaian yang pas untuk Bik Romlah dan Ibu. Mas Hada terlihat bingung dengan baju yang kupilih. “Sayang, itu bukannya untuk orang tua, ya?”“Iya, Mas. Untuk Ibu dan Bik Romlah dulu,” kataku tanpa menoleh ke arahnya, masih sibuk memilih beberapa pakaian.Mas Hada tersenyum sedikit. Kenapa baru-baru ini dia pelit sekali tersenyum? Aku mengabaikan, saat dia terpaku menatapku dengan tangan yang melipat di depan dada. Selesai memilih pakaian Ibu dan Bik Romlah, aku pergi ke arah l