"Ratih ... !" Teriak Mas Andre dari ruang depan.
Aku yang sedang mencuci piring di dapur tergopoh-gopoh menemui suamiku. Kulihat Mas Andre berkacak pinggang. "Ada apa, Mas? Masih pagi sudah teriak," kataku kesal. "Ada apa, ada apa! Mana teh manisnya? Kenapa enggak kamu buat?" tanyanya melotot. Aku segera berlalu menuju dapur ingin mengambil toples gula yang kosong, agar Mas Andre tau. "Hei, ditanya kok malah pergi! Dasar istri enggak ada sopan santun!" ejeknya. "Ini, Mas liat sendiri. Toples gula kosong, jadi aku enggak buat teh manis," jawabku sambil menunjukkan toples itu pada Mas Andre. "Halah, kamu 'kan bisa beli gula sebentar!" hardiknya lagi. "Mana uangnya, sini!" kataku sambil menadahkan tangan. "Uang apa? Bukankah aku udah ngasih lima puluh ribu tiap Minggu, hah! Apa itu enggak cukup? Makanya jadi istri jangan boros, anak saja belum ada, masa' uang segitu enggak cukup!" Lagi-lagi Mas Andre ngotot. Aku menghela nafas, rasanya ingin mencakar mukanya. Apa Mas Andre tidak berpikir, lima puluh ribu untuk seminggu itu tidak cukup bahkan sangat kurang. Aku sering berutang ke warung untuk menutupi kekurangan. Walaupun belum punya anak, tapi pengeluaran sudah banyak. Selama ini aku selalu mencatat pengeluaran, setelah mendapat uang dari Mas Andre aku segera mengatur untuk ini dan itu. Beli beras tujuh kilo untuk stok seminggu, ini lebih aku prioritaskan karena asal ada nasi makan pakai sambel atau tempe goreng pun cukup. Aku mesti beli beras banyak karena tiap hari masak satu kilo beras. Selain aku dan Mas Andre, mama mertua dan kakak ipar suka nebeng makan di rumah kami. Apalagi kakak ipar, sudah menikah tapi malas masak. Tidak ada uang yang selalu dijadikan alasan, padahal jika dilihat perhiasan di tangannya banyak. "Sudah sana beli gula, malah bengong!" bentak Mas Andre membuyarkan lamunanku. "Uangnya mana? Biar kubelikan!" "Enggak ada, utang dulu sana!" "Aku malu, Mas! Utang kita udah numpuk di warung, Mas saja enggak mau membayarnya. Pakai apa aku bayarnya? Aku juga enggak enak sama Wak Narti," keluhku. "Mas enggak mau tau, pokoknya teh manis kudu sudah ada sekarang!" Aku melengos membiarkan Mas Andre dan kembali ke dapur melanjutkan pekerjaan. Terdengar kembali teriakan dan umpatan Mas Andre, aku yang sudah terbiasa tidak ambil pusing. Bukan sekali itu saja Mas Andre mencela, aku tetap bersabar karena keadaan tapi lihatlah nanti Mas, aku akan balas perbuatanmu. Tidak lama terdengar bantingan pintu, Mas Andre pasti keluar, ya kemana lagi kalau bukan ke rumah mamanya. Rumah mertua persis di sebelah rumah kami dan rumah yang kami tempati ini adalah milik mertua yang diberikan saat kami menikah. Entah apa yang dilakukan Mas Andre di rumah mamanya. Mungkin saja dia minum teh manis dan sarapan. Seperti biasa kalo aku tidak membuat teh manis dan sarapan untuknya. Aku juga bukan sengaja, tiap tiga hari uang belanja sudah habis. Selesai mencuci piring, aku menyapu rumah. Sampai di teras rumah aku melihat Mas Andre di rumah mamanya akan berangkat kerja. Namun, sebelum pergi Mas Andre membuka dompet dan memberikan lembaran merah pada Mamanya serta lembaran biru pada kakak dan ponakannya. Melihat itu hatiku sangat sakit. Sebagai istri, aku hanya di kasih uang belanja seminggu lima puluh ribu, itupun masih menanggung makan mereka semua. Tidak terasa air mata menetes, namun aku segera menghapus karena tak ingin terlihat lemah dihadapan mereka. 'Dasar suami pelit!' sungutku kesal.Tahu sedang kuperhatikan, dengan angkuhnya Mas Andre pergi. Hingga Mas Andre menghidupkan motornya tetap tidak sedikitpun melihat ke arahku. Aku pun meneruskan menyapu teras hingga selesai. Kepergok sedang menatap Mas Andre, Mbak Rina kakak iparku dengan sengaja mengipas wajahnya dengan uang yang diberikan Mas Andre. Demi apa coba kalo bukan untuk memanasiku. "Duh, Andre baik banget ya Ma. Mau ngasih kita uang, kita bisa belanja banyak ini. Hahahaha ..." Ketawanya jahat. "Tentu dong, siapa lagi kalo bukan anak Mama," balas mertua sambil mencebik ke arahku. Aku yang tidak peduli tetap menyapu seraya mencoba mendengar apa yang akan mereka katakan selanjutnya. "Hei, Ratih! Jangan lupa nanti masak yang enak ya! Mama dan aku akan makan siang di rumahmu, bukankah tadi kamu eanggak buatkan teh manis dan sarapan untuk Andre. Istri macam apa kamu?" cemooh Mbak Rina. "Menantu kurang ajar kamu, masa' pagi-pagi suami mau kerja bukannya dilayani baik-baik malah mesti Mama yang mengurusnya. Trus apa gunanya kamu, hah!" hardik Mama. Aku yang sudah tidak tahan menjadi dongkol, lalu dengan memegang sapu mendekati mereka. Terlihat mbak Rina berjalan berlindung di belakang mertua. Dipikir aku mau memukulnya pakai sapu. "Maaf, Ma dan Mbak Rina. Sebelum kalian mencela ada bagusnya tuh anak Mama dinasehati. Sebagai suami saja enggak memenuhi nafkahnya. Ratih cuma dikasih uang belanja lima puluh ribu, apa kalian pikir uang segitu cukup?" kataku mendelik. "Abisnya kata Andre, kamu boros. Uang segitu sudah cukup untuk belanjalah, kamu saja yang enggak pinter ngaturnya," ucap Mbak Rina menyela. "Ya ampun, Mbak Rina memang enggak tau karena males masak. Kalian makan itu dari mana kaloau bukan aku yang masak? Sebaiknya Mbak Rina ngaca, apa mau aku yang ambilkan kacanya?" Aku terus melawan mereka. Biar mereka tidak terus menerus memijakku, selama ini aku sudah bersabar. Awalnya aku mengira Mas Andre tetap akan menjadi suami yang royal seperti saat dia berusaha menarik perhatian orang tuaku dulu. Setiap mengunjungi rumahku, Mas Andre banyak membawa oleh-oleh dan saat pulang Mas Andre juga menitipkan uang padaku. Katanya untuk jajanku. "Apa ini, Mas?" tanyaku saat Mas Andre mau pulang. "Ini sedikit dari Mas, ambillah untuk beli apapun yang kamu sukai," jawabnya seraya menyerahkan amplop. Aku yang awalnya menolak tapi tetap dipaksa menerimanya akhirnya aku terima dengan senang, kata orang-orang tidak baik menolak rezeki. Setelah Mas Andre pulang, aku yang penasaran segera membuka amplop pemberiannya. Mataku terbelalak saat melihat lembaran merah berjumlah lima lembar. Begitulah perhatian Mas Andre tiap Minggu datang, bahkan bapak dan ibu tahu hingga mereka pun luluh dan mengizinkan saat Mas Andre datang melamar. "Bapak dan ibu, saya sangat menyayangi Ratih. Saya janji akan bahagiakan Ratih sebagai istri saya kelak," ucap Mas Andre mengikrarkan janjinya. "Ya, bapak dan ibu merestui kalian. Semoga kalian samawa dan bahagia selalu," jawab bapak dan ibu terharu. "Aamiin," ucapku dan Mas Andre serentak. Selang sebulan kemudian, Mas Andre menikahiku dan memboyongku ke rumah mamanya. Kami menempati rumah sebelah agar bisa mandiri, rumah sebelah yang mulanya rumah kontrakan beralih menjadi milik kami. Beberapa bulan berumah tangga, sikap Mas Andre masih tetap royal. Namun, entah sejak kapan Mas Andre berubah. Kala itu aku yang sedang belanja di warung Wak Narti dikatai yang tidak enak oleh ibu-ibu. "Neng Ratih belanja ya?" tanya Bu Ratna. "Iya, Bu. Seperti biasa 'kan!" jawabku pendek sambil memilah sayur. "Neng Ratih kalo belanja jangan banyak-banyak, boros atuh! Kasian suaminya yang nyari duit, sudah capek tapi istri malah bisanya ngabisi duit," timpal Bu Widya sewot.Aku yang mendengarnya terkejut, kenapa malah jadi gosip."Maaf, ibu-ibu kalo enggak tau jangan sembarang ngomong ya! Selain Mas Andre, Mama dan Mbak Rina juga numpang makan di rumahku," kataku tegas. "Itu bukan numpang, tapi sudah sewajarnya seorang ibu makan di rumah anaknya. Apalagi Andre anak laki-laki memang seharusnya dia yang mengurus mamanya," timpal Bu Ratna. Aku malas menjawabnya lagi, buat apa? Lagian aku belanja banyak juga untuk makan mertua dan kakak ipar. Dulu sewaktu baru menikah memang untuk makan berdua saja. Namun, mereka mulai beralasan masakanku enak dan tidak ada uang untuk masak. Mas Andre juga masih memberiku uang belanja lima ratus seminggu. Jadi aku bisa mengatur untuk semuanya, tapi sejak menjadi gosip Mas Andre segera memangkas uang belanja menjadi lima puluh ribu seminggu. Saat itulah pertengkaran dimulai sampe sekarang. "Eh, Ratih sudah sana masak! Mama mau makan ayam goreng, jangan lupa beli yang banyak untuk cucuku," titah Mama. "Kalo Mama mau ma
"Prok, prok, prok ... Hebat Ma, sebenarnya siapa yang enggak tau di untung di sini, kalian atau aku?" kataku sambil menunjuk. "Anak Mama memberi uang belanja lima puluh ribu, uang segitu hanya cukup beli beras empat kilo. Sedangkan setiap hari aku masak sekilo, untuk sapa lagi kalo bukan untuk makan kalian juga. Jadi sisanya bagaimana itu, lauknya aku beli di warung Wak Narti. Mama tanya sendiri berapa utang di warung? Jadi tolong utang di warung itu kalian yang lunasi atau Mas Andre, aku enggak mau tau lagi." Aku coba jelaskan biar mereka tidak seenaknya lagi. Tiba-tiba tidak sengaja melintas Wak Narti yang baru pulang belanja dari kota untuk stok warungnya. Melihatku dan mertua ribut di luar rumah, Wak Narti berhenti lalu bertanya. "Ada apa, Ratih kok pada ribut?" "Wak, bilang sama Mama berapa utang kami belanja di warung Wak Narti?" seruku. "Utang kalian sudah dua juta, kapan mau bayar? Wak juga perlu uangnya!" desak Wak Narti. Mama dan Mbak Rina kulihat mendelik, mungkin sa
Mutiara Rezeki, begitulah nama restoran yang kumiliki. Pasti Mbak Rina dan mama tidak menyangka aku bisa membeli makanan di restoran itu. "Darimana kamu punya uang untuk beli ini?" tanya Mama kepo. Aku cuma senyum-senyum tanpa menjawab pertanyaan Mama. "Oh, jadi tadi kalian makan di restoran Mutiara ya!" "Maaf aku enggak tau, Ma. Kalo tau tadi aku pasti ikut gabung kalian, sayangnya aku cuma pesan online." Wajah sengaja kubuat sedih. "Jawab Mama, dari mana kamu punya uang untuk beli makanan ini, hah?" hardik Mama. "Ya uangku lah, jadi darimana lagi," jawabku pura-pura takut. "Kamu sudah membohongi kami, kalo tau kamu ada uang bagusnya tadi masak dong! Jadi kami enggak usah perlu keluar uang untuk makan," kata Mama sewot. "Iya, Ma. Kita sudah dibohongi, uang Andre dipakai makan sendiri. Ntar kita lapor saja nanti sama Andre biar kapok!" ujar Mbak Rina menimpali. "Silahkan lapor, lagian ini pakai uangku bukan uang Andre. Apa kalian tak ingat sudah berapa bulan Andre cuma ngasih
"Suami? Suami macam apa, Mas? Selama ini aku sudah diam dan mengalah Mas perlakukan. Aku masak untuk Mama dan Mbak Rina enggak protes, Mas pangkas uang belanja pun aku mengalah. Tapi kini Mas tampar aku, itu enggak bisa kutolerir lagi. Sekarang biarkan aku pergi!" teriakku kesal. "Maafkan Mas, Ratih! Mas khilaf tadi, Mas enggak sadar menamparmu." Mas Andre terus berkata menyesal, tapi kesabaranku sudah habis. "Biarkan aku pergi, Mas. Atau kulaporkan ke polisi atas kekerasan yang Mas lakukan tadi," ancamku. Mas Andre kulihat ciut nyalinya, perlahan mulai melepaskan cengkraman tangannya. Antara takut dan tidak ingin berpisah denganku, masa' bodoh dengan sikapnya. Yang penting aku harus segera keluar dari rumah ini. "Baiklah, jangan lapor polisi. Kamu pulang saja kerumah orang tuamu, tenangkan diri. Setelah tenang baru Mas jemput ya!" ujarnya merayu. "Aku enggak janji ya, Mas! Selama sikapmu belum berubah, aku enggak akan balik lagi ke sini. Ingat, urus baik-baik mama dan kakakmu i
"Ma, buatkan aku teh manis dong sama belikan sarapan!" teriakku begitu masuk ke rumah Mamaku. Ya rumah Mama memang bersebelahan dengan rumahku, jadi kalo ada apa-apa aku bisa mengadu ke Mama. Kulihat Mama sedang duduk santai menonton TV, Mbak Rina paling masih di kamar belum bangun. Aku yang sudah hafal kebiasaan kakakku itu tak pernah memarahinya, mungkin saja dia capek mengurus anaknya yang sedang aktifnya. Suami Mbak Rina jarang pulang, pekerjaan yang menuntut suaminya untuk seminggu sekali pulang. Dikarenakan jarak jauh, sayang ongkos pulang balik. Begitu melihatku masuk dengan wajah masam, Mama seperti biasa sudah paham. Bukan sekali ini saja aku mengadu, kalo sudah begitu Mama semakin mendukung sikapku. "Kenapa? Ratih nggak buat teh manis lagi?" tanya Mama yang ku balas anggukan. "Istri kamu itu jangan dimanja, sekali-kali diberi pelajaran biar sadar. Sebagai istri sudah berani melawan suami. Lebih baik kamu ceraikan aja!" kata-kata Mama membuatku terkejut. Jujur, walaupun
Sebagai seorang ibu, pasti sangat senang melihat anaknya bahagia. Begitu juga saat anakku Andre menikahi pujaan hatinya. Selama pacaran Andre tidak banyak bicara padaku tentang calon istrinya. Andre hanya mengatakan wanita yang akan dipersunting memiliki paras cantik. Tentu saja aku senang, karena hal itu suatu kebanggaan. Apalagi dengan pekerjaan anakku yang seorang asisten pribadi di kantornya, tidak mungkin dia memiliki seorang istri yang jelek. Namun, setelah Andre menikah aku merasa kecewa. Tanpa ku ketahui ternyata istrinya adalah orang desa, tentu saja itu bertolak belakang dengan keinginanku. Walaupun cantik buat apa kalo dia datang dari desa, bisa jatuh harga diriku di mata tetangga dan temanku. Entah apa yang Andre harapkan dari istri kampungan itu. Setiap kutanya Andre hanya menjawab karena cinta, aku yang mendengarnya hanya bergidik dan tak mengerti jalan pikiran anak lelakiku satu-satunya itu. Andre juga yang merayu agar mereka menempati rumah kontrakan disebelah ruma
Selesai shalat, ibu mengajakku dan Nova makan. Walaupun masakan kampung tapi masakan ibu tak kalah dengan masakan restoran. Keahlian ibu memasak juga menurun kepadaku, karena itu Mama dan Mbak Rina menyukainya. Ah, ngapain juga aku memikirkan mereka. Aku disini juga untuk menenangkan diri, jenuh memang selalu melihat tampang dan sandiwara dua wanita resek itu. Setidaknya sekarang aku tak bisa mendengar ocehan mereka lagi. Ibu yang memperhatikan aku diam, segera menegur. "Ratih, kenapa nggak dimakan nasinya? Apa nggak enak?" Aku tersentak dan menoleh ke arah ibu. Apa ibu tau aku melamun, jadi tak ingin beliau kecewa aku tersenyum. "Enak, Bu. Malah rasanya nggak kalah dengan restoran, ya kan Nova!" kataku sambil melirik Nova. "Ehm, iya Bu. Enak banget!" puji Nova yang buat ibu tersenyum. "Biasa aja kok dibilang seperti restoran, tapi ngomong-ngomong kamu kenapa Nak, dari pulang tadi kok melamun terus? Apa kamu ada masalah?" tanya ibu menelisik wajahku. Aku menunduk, apakah aku ha
Aku mengetuk pintu, tok ... tok ..."Masuk!" terdengar seruan dari dalam. "Permisi dok, saya ingin melakukan visum," ucapku sambil berjalan mendekat meja dokter. "Baik, silahkan duduk!" pintanya sambil mendongakkan wajahnya ke arahku. "Bagas?" "Ratih?" Kami berdua sama melongo, aku juga tak percaya bisa ketemu Bagas disini. Apalagi setelah mengetahui dia menjadi dokter forensik. Setelah lima tahun tak bertemu dirinya, kini Bagas muncul di depanku dengan gelar seorang dokter. "Ratih, ayo duduk!" Suara Bagas menyentak lamunanku. Setelah menguasai diri aku pun duduk, agak kikuk. Bagas yang dulu berbeda sekali dengan yang sekarang. Kalo dulu dia begitu akrab, jahil, tapi baik. Sekarang sikapnya formal dan berwibawa. Melihat aku diam dan menatapnya tak berkedip, segera Bagas mengulurkan tangannya. "Apa kabarmu, Ratih?" tanyanya dengan tersenyum. Senyumnya itu begitu menawan, sangat berbeda dengan dulu. Apa karena dia sudah menjadi dokter jadi auranya seakan bersinar. "Alhamdulil
Hari Minggu pun tiba, dari pagi sudah sudah mulai terlihat kesibukan. Para tetangga yang rewang sudah banyak yang berdatangan, membantu memasak di dapur. Sedari malam aku luluran dan memakai inai, sengaja sebelum subuh aku mandi agar segar seharian saat menjadi pengantin. Walaupun sudah pernah menikah tapi perasaan gugup dan tegang itu masih ada. Perias pengantin yang mendandani aku juga tak makan waktu lama karena sudah profesional dan ahli. Hingga Mas Gun dan keluarga besar datang, dimulailah ijab qobul. Aku duduk di sebelah Mas Gun yang dipakaikan selendang putih di kepala. Dengan lancar Mas Gun mengucap ijab qobul, yang dijawab sah oleh penghulu dan hadirin. Acara berlanjut hingga temu pengantin sampai selesai lalu setelah duduk di pelaminan maka anggota perwiritan ibu-ibu yang mendapat giliran marhaban. Bunyi gendang yang ditabuh serta doa dan nyanyian pengantin mengiringi. "Tiara, kamu cantik sayang!" bisik Mas Gun setelah acara selesai. Kami berdua tinggal duduk saja meny
Akhirnya sampai juga di kampung, aku membangunkan Nova yang terlelap tidur. Aku tak bisa tidur sama sekali karena Mas Gun mengajak ngobrol dan tertawa. "Mas, kejadian penculikan ini jangan beritahu pada orang tuaku ya! Tiara nggak ingin mereka jadi khawatir," kataku sebelum turun dari mobil. Mas Gun mengangguk dan mengedipkan matanya. Nova juga sudah kuperingatkan, lalu turun membantu mengambil koper di bagasi. Ibu menyambut kedatangan kami dengan senyum. "Oh, udah sampai kamu Nak! Datangnya kok rame-rame gini?" "Iya, Bu! Tadi sebenarnya cuma Nova yang akan mengantar, tapi Mas Gun minta ikut, katanya kangen sama ibu. Iya kan, Mas!" ujarku terkekeh. Mas Gun gelagapan karena sandiwaraku lalu terpaksa mengangguk juga. Mas Gun pasti tak menyangka aku sampai berkata itu. "Ya udah, ayo masuk dulu. Kebetulan ibu udah siap masak, kita makan dulu. Kalian pasti udah lapar, kan !" ajak ibu. "Assiiaap, Bu!" kelakar Mas Gun. Kami semua tertawa melihatnya, Mas Gun pasti sudah ingin mencicip
"Jadi, kalian bersengkongkol untuk menculikku!" hardikku marah. "Andre, lepaskan aku! Apa kamu nggak takut ditangkap polisi, pikirkan ibumu," sergahku. "Hahahaha ... Kamu pikir Andre akan mendengarkanmu setelah apa yang kamu perbuat pada dirinya. Kamu sungguh licik, dasar wanita penggoda yang merampas kebahagiaan orang!" cemooh Mona mencibir sinis. "Merampas kebahagiaan siapa? Kebahagiaan kamu gitu? Cih, seharusnya kamu tau diri kalo Mas Gun nggak tertarik padamu sedikitpun. Dasar penguntit!" aku kembali mengejeknya. Plak! "Apa kamu bilang? Penguntit? Awalnya aku mengejar Gunawan dan akan mendapatkannya tapi kamu datang merusak semua usahaku. Jadi, kamu harus membayarnya," ucap Mona meninggi. Pipiku yang ditampar terasa sakit dan perih. Kulihat Andre cuma diam saja, aku celingukan mencari Nova. Kemana dia? Nova pasti di tempat lain. "Andre, mau kita apakan ini Ratih?" tanya Mona melirik Andre. Andre cuma diam memandangku, lalu memandang kedua kakiku yang sedikit terbuka hingga
Hari pernikahan tinggal seminggu lagi, persiapan sudah delapan puluh persen. Tinggal menyebar undangan, untuk pesta di kampung memang tak banyak. Sekitar seribu undangan saja, karena kami pun tak banyak kenalan. Di kampung, ibu sudah menelepon memberitahukan persiapan pernikahan. Surat undangan sudah siap dicetak, tinggal menungguku datang untuk mengundang siapa saja. Ibu menyuruhku seminggu sebelum akad, sudah pulang. Aku pun mempersiapkan diri termasuk urusan restoran. Semua karyawan aku liburkan sehari pas pesta pernikahan. Mereka menyambut dengan gembira, setelah mendengar aku akan menikah. Mereka ingin menghadiri pernikahanku, aku bilang nanti saja saat pesta ke dua di gedung. Agar tidak terlalu jauh dari tempat tinggal, mereka pun menyetujuinya. Gegas aku masukkan baju ke koper, selama seminggu aku akan berada di kampung. Setelah seminggu pesta di kampung baru ngunduh temanten di gedung. Nova membantuku membawa koper, lalu memasukkan ke bagasi mobil. Sengaja meminta Nova ya
Mas Gun kembali mengajak ke Mall, membeli barang untuk hantaran nanti. Kali ini aku yang memilih karena aku yang tau ukurannya, seperti mukena set, sepatu, sampai BH dan CD hingga saat aku mengangkatnya Mas Gun memalingkan wajah karena malu. Aku pun tertawa terbahak-bahak. "Oh iya, Mas gimana ranjang dan lemari apa udah disiapkan juga?" tanyaku kepo. "Sudah disiapkan Mama jauh-jauh hari, udah ada di rumah. Apa Tiara mau melihat ke rumah?" tanya Mas Gun. "Boleh, Mas! Tiara juga ingin tau kan blom pernah ke rumah Mas, sekalian ketemu Mama Laras," jawabku. Tentu saja ke rumah Mas Gun juga bagus, barang-barang yang dibeli tadi juga di taruh di rumah Mas Gun dulu. Di bungkus yang cantik untuk hantaran nanti. Setibanya di depan gerbang rumah, lagi-lagi aku melongo. Ini kan bukan rumah tapi istana, indah dan besar. Bahkan halaman yang begitu luas membuat mobil agak masuk ke dalam lagi. Mas Gun memencet mobil, terlihat satpam tergopoh-gopoh membuka gerbang. Mas Gun melajukan mobilnya ma
Hari pernikahan dengan Mas Gun semakin dekat. Rencana setelah sidang cerai selesai, dalam dua minggu Mas Gun akan melamarku. Masa iddahku juga sudah selesai, kusambut dengan bahagia hari yang akan membawaku menuju pelaminan. Ibu sudah balik kampung duluan untuk mempersiapkan pernikahan. Sedangkan aku masih di restoran mengurus segala tetebengeknya. Sesuai musyawarah, pesta pernikahan akan diadakan dua kali. Pertama di kampung dan kedua di gedung. Siang itu Mas Gun datang, seperti biasa akan makan siang. Kali ini dia datang sendiri, sekalian membicarakan pernikahan kami. "Tiara, Mas sungguh senang saat mendengar ceritamu tentang sidang itu. Apalagi Mama udah nggak sabar melihat kita menikah," kata Mas Gun cekikan. "Alhamdulillah, Mas! Sidang berjalan lancar. Gimana persiapan pernikahan kita Mas?" tanyaku menatap pria tampan di depanku. "Untuk mahar, Tiara mau yang mana? Oh iya siap makan kita akan mencari cincin nikah dulu, kamu mau kan?" "Baik, Mas! Kalo gitu Tiara siap-siap dul
"Mama senang bisa ketemu kamu lagi, Tiara!" kata Mama sambil memotong steak daging. "Tiara juga senang, Ma! Mama sehat kan?" "Alhamdulillah, Mama bahkan lebih sehat saat tau akan kemari," kekeh Mama. "Iya, Mama begitu semangat saat akan Mas ajak ketemu kamu dan ibu. Bahkan Mama udah ngomongin soal kita nikah," ucap Mas Gun melirik Mama. Aku cuma tersenyum memandangnya. Sambil makan kita mengobrol, kadang melucu hingga tertawa. "Lah, kan betul ya besan?" tanya Mama memanggil ibuku besan. Mas Gun dan aku melongo. "Iya, besan. Seharusnya mereka berdua yang ngebet, ini malah kita yang nggak sabar," jawab ibu tertawa renyah. Tawa kami meledak mendengar guyonan ibu. Betapa hangat hatiku bila dua wanita yang menyayangiku itu akrab. Wanita yang sama-sama tidak memandang status tapi lebih mengutamakan kebahagiaan anaknya. "Oh, iya bagaimana jalannya sidang perceraian kamu?" tanya Mas Gun. "Insya Allah, besok baru masuk sidang Mas. Ini tadi udah mediasi tapi aku tetap memilih bercerai,
Saat sadar, aku sudah berada di suatu tempat. Aku memandang sekeliling, semua serba putih. Di mana aku? "Kamu udah sadar, Nak?" tanya suara lembut ibu. "Ibu?" "Ya, ibu ke sini karena khawatir. Saat menelepon kamu, tapi nggak kamu jawab lagi. Nova langsung mengabari kalo kamu pingsan." "Aku di mana, Bu?" tanyaku. "Di rumah sakit, tadi Nova yang di sini setelah ibu datang dia baru pulang ke restoran," jawab ibu. Aku bergerak bangun, ibu membantuku duduk. Lalu duduk di kursi sampingku. "Sebenarnya apa yang terjadi sampai kamu pingsan?" tanya ibu khawatir. "Maaf, Bu. Kalo Ratih buat ibu cemas, akhir-akhir ini banyak masalah yang terjadi," jawabku sambil menghembuskan napas. "Memangnya ada apa? Ceritakan pada ibu," pinta ibu. Aku mulai menjelaskan semua, mulai dari masalah Andre, Mona hingga Bagas. Ibu mengangguk mendengarnya dan mengelus lembut tanganku. Memberi kekuatan agar aku bersabar. "Sebaiknya selesaikan masalah kamu satu persatu. Tentang Bagas, ibu rasa kamu tak perlu k
Suatu hari, Mona pernah mendatangi rumah Mas Gun. Kala itu cuma ada Mama Laras di rumah. Dengan nekat Mona bilang pada Mama Laras kalo dia dan Mas Gun pacaran. Sontak Mama Laras terkejut, tapi terlihat tenang. Walaupun curiga tapi Mama Laras menanggapi dengan santai, karena tau Mas Gun pasti cerita jika sudah punya pacar. Mama Laras lalu meminta bukti kalo memang benar Mona pacar Mas Gun. Mona yang awalnya gugup, lalu membuka ponselnya dan menunjukkan foto dia dengan Mas Gun. Akan tetapi Mama Laras cuma tertawa melihatnya, bagaimana mungkin dikatakan pacaran jika berfoto berjauhan. Banyak foto yang ditunjukkan Mona tapi semua sama. Mama Laras pun beranggapan bahwa Mona berbohong dan lebih tepat penguntit. Di dalam foto, banyak suasana dan acara yang dihadiri Gunawan dan selalu ada Mona di sana. Seperti dugaan Mama bahwa Mona hanya ngefans pada Mas Gun. Hingga saat Mama tak percaya, Mona terus memaksa Mama mengakui hubungan mereka. Mama Laras yang kesal pun segera memanggil satpam