Selesai shalat, ibu mengajakku dan Nova makan. Walaupun masakan kampung tapi masakan ibu tak kalah dengan masakan restoran. Keahlian ibu memasak juga menurun kepadaku, karena itu Mama dan Mbak Rina menyukainya.
Ah, ngapain juga aku memikirkan mereka. Aku disini juga untuk menenangkan diri, jenuh memang selalu melihat tampang dan sandiwara dua wanita resek itu. Setidaknya sekarang aku tak bisa mendengar ocehan mereka lagi. Ibu yang memperhatikan aku diam, segera menegur. "Ratih, kenapa nggak dimakan nasinya? Apa nggak enak?" Aku tersentak dan menoleh ke arah ibu. Apa ibu tau aku melamun, jadi tak ingin beliau kecewa aku tersenyum. "Enak, Bu. Malah rasanya nggak kalah dengan restoran, ya kan Nova!" kataku sambil melirik Nova. "Ehm, iya Bu. Enak banget!" puji Nova yang buat ibu tersenyum. "Biasa aja kok dibilang seperti restoran, tapi ngomong-ngomong kamu kenapa Nak, dari pulang tadi kok melamun terus? Apa kamu ada masalah?" tanya ibu menelisik wajahku. Aku menunduk, apakah aku harus cerita pada ibu masalah tentang rumah tanggaku. Tentang gaji yang dipangkas Mas Andre, tentang mertua yang selalu fitnah aku. Perasaan ini bimbang, takut ibu marah dan menyalahkan aku. Kalo ibu dan bapak tau lalu melabrak Mas Andre, bukankah masalah ini semakin runyam. Walaupun aku masih ingin Mas Andre berubah tapi mengingat tamparannya tadi, hatiku sudah tak bisa memaafkannya. "Ya udah, habiskan dulu makannya. Nanti kamu bisa cerita pada ibu," titah ibu setelah melihatku hanya tertunduk. "Iya, Bu. Maaf!" kataku sambil melanjutkan makan. Saat makan terdengar salam dari luar rumah. "Assalamualaikum ...!" "Wa'alaikumussalam," jawab kami bertiga. "Wah, ada tamu ya, Bu. Bapak lihat diluar ada mobil!" seru bapak seraya masuk dalam rumah, bapak belum mengetahui kalo tamu itu adalah aku. "Iya, Pak! Ratih yang pulang," jawab ibu melirikku. "Ratih, ya Allah kamu yang pulang Nak! Bapak kangen banget sama kamu," ujar bapak sumringah. "Bapak, Ratih juga kangen!" seruku senang. Aku pun mencium tangan bapak takzim dan memeluknya. Ah, terasa damai kurasakan dipelukan bapak, cinta pertamaku. Seorang kepala rumah tangga yang sangat mengayomi dan menyayangi keluarga. "Bagaimana kabarmu, Nak? Kok sekarang semakin kurus? Lalu dimana Andre?" tanya bapak seperti ibu tadi celingukan mencari suamiku. "Andre nggak ikut, Pak. Ratih datang sendiri sama asistennya ini," kali ini ibu yang menjawab. Nova berdiri kemudian meraih tangan bapak dan menciumnya takzim. "Nova, Pak!" "Iya, Nak. Jadi mobil diluar itu punya sapa?" tanya bapak heran. "Mobil Ratih, Pak!" jawabku tak bersemangat. Usai makan, ibu membersihkan meja dibantu Nova. "Nggak usah, Nak Nova biar ibu aja!" "Nggak apa-apa, Bu. Saya bekerja dengan Bu Ratih, jadi udah terbiasa melakukan apapun," jawab Nova dengan senyum manis. Ibu terkesiap, terlihat dari wajahnya lalu menatapku. Aku paham, ibu pasti kagum. Pulang-pulang aku bawa mobil dan asisten. Pasti ibu mengira sekarang aku hidup makmur dan bahagia. "Nova, selesai bantu ibuku temui aku di depan ya!" pintaku pada Nova. "Iya, Bu. Nova bereskan ini dulu!" Aku berlalu dan menuju ruang tamu, bapak yang mengganti baju keluar dari kamar lalu berjalan ke arahku dan ikut duduk di sampingku. Disusul ibu yang membuat kopi untuk bapak. "Ratih, sekarang hidup kamu makmur ya. Bisa beli mobil dan punya asisten lagi, Nak Andre memang suami yang sayang sama istrinya," kata ibu sumringah. Aku terdiam, seketika mataku mengembun. Bapak dan ibu heran kok aku malah tidak senang. "Kenapa, Ibu lihat dari tadi kamu sedih? Kalo ada masalah cerita lah, Nak," pinta ibu. "Loh, memangnya Ratih kenapa, Bu?" tanya bapak yang tak mengerti pembicaraan kami. Sebelum aku menjawab, Nova sudah menyelesaikan pekerjaannya. Nova berjalan ke arahku. "Bu, udah selesai." "Baiklah, terima kasih ya udah bantu ibuku," ucapku terharu. "Kalo gitu, kamu kembali aja dulu ke restoran. Tolong handle selama beberapa hari ini, saya masih ingin disini menenangkan diri. Kalo ada apa-apa kamu hubungi saya." Aku memberi perintah pada Nova. "Baik, Bu. Kalo begitu Nova permisi dulu, assalamualaikum!" ucap Nova sembari pamit dan mencium tangan orangtuaku. Bapak dan ibu yang masih diliputi penuh tanda tanya, hanya diam dan mengangguk. Kemudian kami mengantar Nova sampai depan rumah, setelah Nova menaiki mobil dan menghilang dari pandangan, aku mengajak keduanya masuk. "Tadi itu kami nggak salah dengar, Nak? Restoran, kamu punya restoran juga?" tanya bapak kagum. "Iya, itu restoran Ratih, Bu, Pak. Maaf kalo selama ini nggak pernah bilang pada kalian, Ratih membangun restoran dari hasil jual tanah yang ibu dan bapak simpan pada Ratih." "Kalian nggak marah kan, uangnya Ratih buat bangun restoran?" tanyaku ragu takut mereka marah. Bapak dan ibu mengeriyitkan dahinya, aku jadi cemas. Jangan-jangan mereka tak setuju denganku. "Hahahaha ... Kenapa kami harus marah, Nak! Justru kami senang, memang daripada terus disimpan sebaiknya uangnya digunakan untuk usaha bisa bertambah banyak. Bukankah begitu, Pak?" ujar ibu meminta pendapat bapak. "Tentu saja, benar yang dikatakan ibumu. Kami malah bangga, kamu bisa menggunakan simpanan itu dengan baik. Kelak kamu bisa hidup mandiri tanpa menyusahkan orang lain," kata bapak memberi nasehat. Aku lega mendengarnya, ternyata orang tuaku mendukung. Kini masalah tinggal Mas Andre, tapi bagaimana aku harus menjelaskan pada mereka. Aku harus mulai dari mana, agar mereka tidak marah. "Tapi, ngomong-ngomong kok Andre nggak ikut pulang bareng kamu?" tanya bapak heran. "Aku pergi dari rumah, Pak," jawabku gugup. "Apa? Kok bisanya kamu pergi, bagaimana kalo Andre mencari dan menemukan kamu disini? Pasti dia akan menyalahkan kami, Nak," kata ibu terkejut. "Nggak, Bu. Bahkan Mas Andre tau kok, Mama mertua juga," jawabku jujur. "Tapi kenapa? Apa ada masalah yang buat kamu mesti pergi dan pulang kesini?" Bapak mulai menginterogasi. "Karena Ratih ingin cerai, Bu, Pak. Ratih udah nggak sanggup lagi menjalani pernikahan ini. Mas Andre dan Mamanya sudah berubah, Ratih menderita selama ini tanpa kalian ketahui. Huhuhuhu ...," tangisku akhirnya pecah. Mengeluarkan semua beban di hatiku, kalo selama ini aku tidak pernah menangis dihadapan Mas Andre dan Mamanya tapi aku tidak bisa menahan di depan orang tuaku. Ibu segera merangkul dan menenangkanku. "Sabar, Nak. Cerita kan pada kami yang sebenarnya," pinta ibu lembut. Aku pun menceritakan mulai dari awal bagaimana culasnya mertua dan ipar merongrong dengan membuat rencana menghasut Mas Andre hingga Mas Andre tega memberi jatah belanja sedikit. Dan restoran itu dibangun pun karena alasan itu. Tak ketinggalan kejadian Mas Andre menamparku. "Kurang ajar, ternyata begitu kelakuan busuk mereka terhadapmu," kata bapak murka sambil menggebrak meja. Aku dan ibu terkejut melihat amarah bapak, belum pernah aku lihat bapak se marah ini. Wajah yang biasanya teduh dan sayang itu berubah ganas dan siap menerkam. Andaikan Mas Andre ada dihadapan bapak sekarang, pasti sudah jadi bulanan. Secara bapak adalah mantan pesilat, mudah untuk menghajar Mas Andre. Untunglah, Mas Andre tidak ikut pulang. "Tenang, Pak! Ibu juga nggak terima, ibu nggak menyangka Andre dan Mamanya seperti itu. Awalnya ibu mengira hidup anak kita bahagia, tanpa kita ketahui dia harus lalui banyak cobaan yang berliku. Apalagi kita nggak ada di sampingnya saat itu." "Ya, Allah Nak. Maafkan kami yang nggak tau penderitaan mu," Isak ibu menangis sesenggukan. Aku menggeleng dan memeluk ibu. "Nggak apa-apa, Bu. Ratih nggak menyalahkan kalian, walaupun Ratih diperlakukan buruk tapi Ratih masih sehat." "Ratih, bapak harus buat perhitungan sama Andre. Dia harus bertanggungjawab atas semua yang dia lakukan untukmu," ucap bapak tegas. "Nggak usah, Pak. Ratih nggak mau balik lagi kerumah itu, buat apa. Ratih sudah bersabar selama setahun ini, namun itu sudah cukup memberi kesempatan buat Mas Andre. Yang Ratih inginkan sekarang adalah secepatnya berpisah," sahutku mantap. Ya buat apa lagi aku pertahankan rumah tangga ini. Toh pasti Mama dan mbak Rina tidak akan tinggal diam, mereka tidak akan berhenti sebelum melihatku sengsara. Apalagi melihat watak Mas Andre selama ini, cukup buat aku menilai bahwa dia tak mampu menelantarkan keluarganya. Biarlah ku pilih mundur saja, sekarang aku hanya ingin fokus mengurus restoran. Tanpa suami aku tetap bisa mengandalkan tanganku mencari nafkah. "Apa udah kamu pikirkan dengan matang keputusanmu? Itu nggak mudah, semua harus ada bukti. Orang nggak akan percaya kalo masalah uang belanja, apalagi nama baik kamu udah tercemar disana pasti banyak saksi yang memberatkan mu," sahut ibu menggenggam tanganku erat. "Ratih ada bukti, Bu. Tamparan yang membekas di wajah udah Ratih laporkan ke polisi. Pak polisi memberi surat rekomendasi untuk visum, jadi tadi sebelum kesini Ratih mampir ke rumah sakit. Besok Ratih ambil surat keterangan dari dokter," jawabku sambil menerawang perjalanan tadi. "Nova, antar saya ke kantor polisi dulu," pintaku yang membuat Nova tiba-tiba mengerem mobil. "Kenapa, Bu? Apa ada yang bermaksud jahat sama ibu?" tanya Nova kaget. "Nggak, saya mau melapor. Tadi Mas Andre sudah menampar saya, jadi ingin jadikan bukti," kataku menjelaskan. "Baik, Bu. Tuh, sebentar lagi kita lewati kantor polisinya!" ujar Nova yang cemas terlihat dari wajahnya. Setelah tiba di kantor polisi dan melapor, polisi mengamati pipiku yang masih membiru, bahkan jejak tangan Mas Andre masih jelas nampak. Polisi kemudian memberi surat rekomendasi untuk visum. Tidak menunggu lama, aku menyuruh Nova mengantar ke rumah sakit. Nova segera membelokkan mobil memasuki area parkir rumah sakit. Kemudian aku masuk diapit Nova, menuju ke resepsionis. "Permisi, Suster! Ruangan tindakan untuk pemeriksaan kdrt di mana ya?" tanyaku begitu melihat seorang suster di meja kerja. "Oh, lurus aja ke sana. Nanti belok kiri, nah nanti terlihat papan namanya," jawab suster ramah. "Baiklah, Sus. Terima kasih," kataku yang di anggukan susternya. Aku melangkah pelan menuju ruang tersebut, sesuai arahan suster tadi. Cukup mudah mencari ruangannya, untung saja terletak di lantai bawah jadi tak perlu naik tangga ke atas. Setelah menemukan ruangannya, aku mengantri untuk mengisi formulir pendaftaran, jadi sambil menunggu panggilan aku duduk di kursi. "Dengan Bu Mutiara rezeki, silahkan masuk!" panggil suster. Ya nama asliku memang Mutiara rezeki, sesuai nama restoran. Jadi Mas Andre dan keluarganya tidak mengetahuinya. Aku beranjak berdiri di ikuti Nova. "Kamu tunggu saja di luar ya! Biar aku masuk sendiri," kataku pada Nova. "Ibu nggak apa-apa sendiri didalam?" tanyanya sedikit ragu. "Insya Allah, nggak apa-apa." "Baiklah, kalo gitu saya tunggu diluar." Aku mengetuk pintu, tok ... tok ..."Masuk!" terdengar seruan dari dalam. "Permisi dok, saya ingin melakukan visum," ucapku sambil berjalan mendekat meja dokter. "Baik, silahkan duduk!" pintanya sambil mendongakkan wajahnya ke arahku. "Bagas?" "Ratih?" *Nah, kenapa mereka berdua terkejut? Apa mereka saling kenal? Siapa Bagas sebenarnya? Ikuti terus ya!Aku mengetuk pintu, tok ... tok ..."Masuk!" terdengar seruan dari dalam. "Permisi dok, saya ingin melakukan visum," ucapku sambil berjalan mendekat meja dokter. "Baik, silahkan duduk!" pintanya sambil mendongakkan wajahnya ke arahku. "Bagas?" "Ratih?" Kami berdua sama melongo, aku juga tak percaya bisa ketemu Bagas disini. Apalagi setelah mengetahui dia menjadi dokter forensik. Setelah lima tahun tak bertemu dirinya, kini Bagas muncul di depanku dengan gelar seorang dokter. "Ratih, ayo duduk!" Suara Bagas menyentak lamunanku. Setelah menguasai diri aku pun duduk, agak kikuk. Bagas yang dulu berbeda sekali dengan yang sekarang. Kalo dulu dia begitu akrab, jahil, tapi baik. Sekarang sikapnya formal dan berwibawa. Melihat aku diam dan menatapnya tak berkedip, segera Bagas mengulurkan tangannya. "Apa kabarmu, Ratih?" tanyanya dengan tersenyum. Senyumnya itu begitu menawan, sangat berbeda dengan dulu. Apa karena dia sudah menjadi dokter jadi auranya seakan bersinar. "Alhamdulil
Aku menulis no hp di kertas yang disediakan, setelah selesai aku serahkan kembali pada Bagas. Dia tersenyum melihat rentetan angka di kertas tersebut lalu melipat dan menyimpannya di saku bajunya. "Baiklah, pemeriksaan selesai. Kamu tunggu hasilnya besok, sekalian ambil surat visumnya. Ada pasien lain diluar, maaf aku nggak bisa mengantarkan kamu," ucap Bagas meminta pengertian. "Oke, nggak apa-apa. Aku bersama asisten ku diluar, dia yang akan mengantarku," jawabku sambil berjalan keluar. Saat sebelum membuka pintu, kucoba menatap Bagas kembali. Wajahnya terlihat senang dengan senyum yang menawan. Ah, kenapa aku jadi terpana lagi. Sekarang ini aku harus fokus menyelesaikan masalahku dengan Mas Andre. "Gimana, Bu? Sudah selesai?" tanya Nova begitu aku keluar dari ruangan Bagas. "Ya, sekarang kita pulang. Besok kita kemari lagi mengambil hasil pemeriksaan," jawabku melangkah pelan menuju pintu luar. ***"Syukurlah, ternyata anak ibu pinter juga. Semoga aja nanti Andre nggak menyul
Hari ini, saat di rumah sakit aku tidak menyangka bertemu Ratih. Setelah sekian tahun tepatnya lima tahun, kami tidak bertemu. Awal bertemu kulihat Ratih canggung, aku pun tidak ingin membuatnya tambah grogi jadi bersikap biasa. "Apa kabarmu, Ratih?" tanyaku memulai percakapan. Namun, wanita yang kucintai di depanku hanya melamun. Ratih terus menatap diriku, apa yang salah. Kenapa matanya berembun? Apakah sesuatu terjadi padanya? Aku perhatikan tubuh Ratih sedikit kurus, apa Ratih tidak bahagia dengan pernikahannya? Ah, tidak mungkin baru setahun dia menikah dan itu sudah sukses membuat hatiku hancur. Bagaimana tidak hancur, hatiku sudah memendam cinta padanya. Walaupun ditolak, tapi aku tak bisa membencinya. Awal perkenalan dengannya saat itu dia adalah pendatang baru di kampung. Usia kami masih kanak-kanak kala itu, rumah kami hanya berjarak lima rumah. Aku dan Ratih sering bermain bersama juga dengan anak-anak yang lain. Namun, Ratih lebih dekat padaku dibanding yang lain. Sa
"Ya sudah, kalo itu mau kamu Le. Tapi kamu janji harus rajin belajar, Abah dan Mak ingin kamu bisa sukses dan membuat kami bangga," ucap Abah setuju. Alasan yang tidak terpikirkan sebelumnya, sebab kuliah di luar negeri sangat jauh dari keluarga juga jauh dari Ratih. Wanita yang sukses mengambil hatiku itu ternyata menolak cintaku. "Ratih, selama ini kita udah bersama. Menjalani hari-hari selalu berdua, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Namun, saat ini perasaanku berbeda. Ya diam-diam aku mencintaimu Ratih," kataku saat mengantar Ratih pulang. Ratih terkejut mendengarnya, terlihat jelas dari wajahnya yang kelabu. Mungkin dia tak menduga perasaan itu akhirnya muncul dan aku ucapkan padanya. "Maaf, Gas. Aku berterimakasih atas cintamu tapi aku hanya menganggap mu sebagai sahabat tidak lebih," jawab Ratih dengan mata berembun. "Aku akan menunggu, Ratih. Sampai kamu juga punya perasaan yang sama denganku," ucapku berharap. Ratih menggeleng keras. "Itu nggak mungkin, Gas. Perasaan
Sudah seminggu aku di kampung, di rumah bapak dan ibu. Sesuai rencana aku akan balik ke rumah Mas Andre, tujuannya bukan karena aku mau memaafkannya. Akan tetapi, ingin mencari bukti kekerasan yang Mas Andre lakukan. Bapak memberikan sebuah ide yang bagus, semua itu demi memuluskan perceraianku. Apalagi aku punya sebuah restoran mewah, bila diketahui Mas Andre dan keluarganya bisa gawat. Mereka pasti akan mempersulit rencana yang sudah kususun. "Ratih, bagaimana? Apa hari ini kamu mau pulang atau Andre yang akan menjemput?" tanya Ibu menepuk pundakku. Tepukan ibu menyentak lamunanku, masih berfikir apakah harus aku yang pulang. Tapi kalo aku yang pulang Mama dan mbak Rina pasti mengira aku mengemis minta balik. Padahal niatku bukan seperti itu, ah bagus suruh Mas Andre saja yang menjemput. "Bagaimana, udah kamu pikirkan, Nak?" tanya bapak yang ikut duduk di sampingku. "Menurut Ratih, Mas Andre aja yang jemput Pak, Bu. Tapi kalian harus berpura-pura nggak tau kejadian dalam rumah t
"Ibu dan bapak udah siap makan, kalian lanjutkan makannya. Ambil lagi kalo kurang ya, Nak Andre," kata ibu sambil berdiri dan berjalan ke depan. Sepertinya bapak dan ibu memberi kesempatan pada kami untuk berdua. Agar Mas Andre tidak canggung, kulihat dia makan dengan lahap. Rasa kasihan terbesit melihatnya, apakah seminggu ini dia tak terurus. Aku tiba-tiba merasa bersalah sebagai istri. Seandainya Mas Andre sedikit saja mau mendengarkanku pasti aku lebih menurut padanya. Akan tetapi, semua karena kelakuannya sendiri hingga dia harus kena akibatnya. "Dek?" panggil Mas Andre, ya dia dulu selalu memanggilku begitu sebelum berubah. "Hem." "Bapak dan ibu ___" "Nggak marah? itukan yang ingin Mas tanya?" potongku cepat. Mas Andre mengangguk. "Mas pikir mereka akan marah dan menghajar, Mas. Makanya tadi Mas sedikit ragu dan takut." "Mereka nggak marah, karena aku nggak cerita," ucapku berbohong. Mas Andre menghela nafasnya, sepertinya dia lega aku tidak cerita. Asal kamu tau Mas da
"Ini mobil siapa, Mas? tanyaku heran setelah mobil berjalan meninggalkan rumah orang tuaku. "Mobil kita, gimana kamu suka?" tanyanya sambil melirik ke arahku. "Darimana Mas punya uang membeli mobil ini?" tanyaku kaget. Ya harga mobil ratusan juta, dengan gaji Mas Andre tidak mungkin dia bisa membeli mobil. "Mas mengambil pinjaman di Bank, ini juga atas permintaan Mama," ucapnya tersenyum. "Apa?" kataku kaget, tiba-tiba saja mendadak kepalaku pening. Baru saja Mas Andre setuju tentang pembagian jatah belanja, sekarang malah menambah masalah lagi. Sepertinya selama masih tinggal berdekatan dengan mertua, masalah akan terus timbul. Aku menghembuskan nafas kasar, bodohnya aku kenapa tidak kutanyakan dulu tentang mobil ini. Kupikir hanya jatah belanja saja yang perlu diperbaiki tapi kini ... Bagaimana nanti Mas Andre membayar angsuran perbulannya. "Mas, kamu kok nggak bilang-bilang aku sih kalo mau beli mobil?" tanyaku protes. "Abisnya kamu kan di rumah orang tuamu. Aku nggak enak
Aku tidak menggubrisnya, lalu berjalan ke bagasi mengambil koper. Kentara kali kelakuan mbak Rina seperti orang kampung, yang tak pernah punya mobil. Bisanya cuma mengatai aku orang kampung, kini yang terlihat malah sebaliknya.Setelah menurunkan koper lalu menyeretnya masuk ke dalam rumah. Mbak Rina masih sibuk mengelus mobil diikuti Mama. Aku berbalik melihat mereka dan menatap sinis. Baru mobil sedan saja sudah belagu, masih kalah dengan mobilku. Oh ya kemarin waktu pulang aku menaiki mobil yang dijemput Nova. Mungkin karena itu Mama minta Andre membeli mobil. Aku mengernyitkan dahi, apa Mama curiga kalo itu mobilku? Tapi dia tidak ada mengatakan soal itu, ah semoga saja Mama tidak tau dan anggap itu mobil online yang menjemputku. "Ratih!" teriak Mas Andre dari dalam rumah. Bergegas aku masuk, gegara terus memperhatikan duo resek itu aku jadi kelamaan masuk rumah. Langkahku terhenti kala masuk kamar, Mas Andre sudah berdiri dengan tatapan marah. "Kenapa lama kali, hah? Apa ka
Hari Minggu pun tiba, dari pagi sudah sudah mulai terlihat kesibukan. Para tetangga yang rewang sudah banyak yang berdatangan, membantu memasak di dapur. Sedari malam aku luluran dan memakai inai, sengaja sebelum subuh aku mandi agar segar seharian saat menjadi pengantin. Walaupun sudah pernah menikah tapi perasaan gugup dan tegang itu masih ada. Perias pengantin yang mendandani aku juga tak makan waktu lama karena sudah profesional dan ahli. Hingga Mas Gun dan keluarga besar datang, dimulailah ijab qobul. Aku duduk di sebelah Mas Gun yang dipakaikan selendang putih di kepala. Dengan lancar Mas Gun mengucap ijab qobul, yang dijawab sah oleh penghulu dan hadirin. Acara berlanjut hingga temu pengantin sampai selesai lalu setelah duduk di pelaminan maka anggota perwiritan ibu-ibu yang mendapat giliran marhaban. Bunyi gendang yang ditabuh serta doa dan nyanyian pengantin mengiringi. "Tiara, kamu cantik sayang!" bisik Mas Gun setelah acara selesai. Kami berdua tinggal duduk saja meny
Akhirnya sampai juga di kampung, aku membangunkan Nova yang terlelap tidur. Aku tak bisa tidur sama sekali karena Mas Gun mengajak ngobrol dan tertawa. "Mas, kejadian penculikan ini jangan beritahu pada orang tuaku ya! Tiara nggak ingin mereka jadi khawatir," kataku sebelum turun dari mobil. Mas Gun mengangguk dan mengedipkan matanya. Nova juga sudah kuperingatkan, lalu turun membantu mengambil koper di bagasi. Ibu menyambut kedatangan kami dengan senyum. "Oh, udah sampai kamu Nak! Datangnya kok rame-rame gini?" "Iya, Bu! Tadi sebenarnya cuma Nova yang akan mengantar, tapi Mas Gun minta ikut, katanya kangen sama ibu. Iya kan, Mas!" ujarku terkekeh. Mas Gun gelagapan karena sandiwaraku lalu terpaksa mengangguk juga. Mas Gun pasti tak menyangka aku sampai berkata itu. "Ya udah, ayo masuk dulu. Kebetulan ibu udah siap masak, kita makan dulu. Kalian pasti udah lapar, kan !" ajak ibu. "Assiiaap, Bu!" kelakar Mas Gun. Kami semua tertawa melihatnya, Mas Gun pasti sudah ingin mencicip
"Jadi, kalian bersengkongkol untuk menculikku!" hardikku marah. "Andre, lepaskan aku! Apa kamu nggak takut ditangkap polisi, pikirkan ibumu," sergahku. "Hahahaha ... Kamu pikir Andre akan mendengarkanmu setelah apa yang kamu perbuat pada dirinya. Kamu sungguh licik, dasar wanita penggoda yang merampas kebahagiaan orang!" cemooh Mona mencibir sinis. "Merampas kebahagiaan siapa? Kebahagiaan kamu gitu? Cih, seharusnya kamu tau diri kalo Mas Gun nggak tertarik padamu sedikitpun. Dasar penguntit!" aku kembali mengejeknya. Plak! "Apa kamu bilang? Penguntit? Awalnya aku mengejar Gunawan dan akan mendapatkannya tapi kamu datang merusak semua usahaku. Jadi, kamu harus membayarnya," ucap Mona meninggi. Pipiku yang ditampar terasa sakit dan perih. Kulihat Andre cuma diam saja, aku celingukan mencari Nova. Kemana dia? Nova pasti di tempat lain. "Andre, mau kita apakan ini Ratih?" tanya Mona melirik Andre. Andre cuma diam memandangku, lalu memandang kedua kakiku yang sedikit terbuka hingga
Hari pernikahan tinggal seminggu lagi, persiapan sudah delapan puluh persen. Tinggal menyebar undangan, untuk pesta di kampung memang tak banyak. Sekitar seribu undangan saja, karena kami pun tak banyak kenalan. Di kampung, ibu sudah menelepon memberitahukan persiapan pernikahan. Surat undangan sudah siap dicetak, tinggal menungguku datang untuk mengundang siapa saja. Ibu menyuruhku seminggu sebelum akad, sudah pulang. Aku pun mempersiapkan diri termasuk urusan restoran. Semua karyawan aku liburkan sehari pas pesta pernikahan. Mereka menyambut dengan gembira, setelah mendengar aku akan menikah. Mereka ingin menghadiri pernikahanku, aku bilang nanti saja saat pesta ke dua di gedung. Agar tidak terlalu jauh dari tempat tinggal, mereka pun menyetujuinya. Gegas aku masukkan baju ke koper, selama seminggu aku akan berada di kampung. Setelah seminggu pesta di kampung baru ngunduh temanten di gedung. Nova membantuku membawa koper, lalu memasukkan ke bagasi mobil. Sengaja meminta Nova ya
Mas Gun kembali mengajak ke Mall, membeli barang untuk hantaran nanti. Kali ini aku yang memilih karena aku yang tau ukurannya, seperti mukena set, sepatu, sampai BH dan CD hingga saat aku mengangkatnya Mas Gun memalingkan wajah karena malu. Aku pun tertawa terbahak-bahak. "Oh iya, Mas gimana ranjang dan lemari apa udah disiapkan juga?" tanyaku kepo. "Sudah disiapkan Mama jauh-jauh hari, udah ada di rumah. Apa Tiara mau melihat ke rumah?" tanya Mas Gun. "Boleh, Mas! Tiara juga ingin tau kan blom pernah ke rumah Mas, sekalian ketemu Mama Laras," jawabku. Tentu saja ke rumah Mas Gun juga bagus, barang-barang yang dibeli tadi juga di taruh di rumah Mas Gun dulu. Di bungkus yang cantik untuk hantaran nanti. Setibanya di depan gerbang rumah, lagi-lagi aku melongo. Ini kan bukan rumah tapi istana, indah dan besar. Bahkan halaman yang begitu luas membuat mobil agak masuk ke dalam lagi. Mas Gun memencet mobil, terlihat satpam tergopoh-gopoh membuka gerbang. Mas Gun melajukan mobilnya ma
Hari pernikahan dengan Mas Gun semakin dekat. Rencana setelah sidang cerai selesai, dalam dua minggu Mas Gun akan melamarku. Masa iddahku juga sudah selesai, kusambut dengan bahagia hari yang akan membawaku menuju pelaminan. Ibu sudah balik kampung duluan untuk mempersiapkan pernikahan. Sedangkan aku masih di restoran mengurus segala tetebengeknya. Sesuai musyawarah, pesta pernikahan akan diadakan dua kali. Pertama di kampung dan kedua di gedung. Siang itu Mas Gun datang, seperti biasa akan makan siang. Kali ini dia datang sendiri, sekalian membicarakan pernikahan kami. "Tiara, Mas sungguh senang saat mendengar ceritamu tentang sidang itu. Apalagi Mama udah nggak sabar melihat kita menikah," kata Mas Gun cekikan. "Alhamdulillah, Mas! Sidang berjalan lancar. Gimana persiapan pernikahan kita Mas?" tanyaku menatap pria tampan di depanku. "Untuk mahar, Tiara mau yang mana? Oh iya siap makan kita akan mencari cincin nikah dulu, kamu mau kan?" "Baik, Mas! Kalo gitu Tiara siap-siap dul
"Mama senang bisa ketemu kamu lagi, Tiara!" kata Mama sambil memotong steak daging. "Tiara juga senang, Ma! Mama sehat kan?" "Alhamdulillah, Mama bahkan lebih sehat saat tau akan kemari," kekeh Mama. "Iya, Mama begitu semangat saat akan Mas ajak ketemu kamu dan ibu. Bahkan Mama udah ngomongin soal kita nikah," ucap Mas Gun melirik Mama. Aku cuma tersenyum memandangnya. Sambil makan kita mengobrol, kadang melucu hingga tertawa. "Lah, kan betul ya besan?" tanya Mama memanggil ibuku besan. Mas Gun dan aku melongo. "Iya, besan. Seharusnya mereka berdua yang ngebet, ini malah kita yang nggak sabar," jawab ibu tertawa renyah. Tawa kami meledak mendengar guyonan ibu. Betapa hangat hatiku bila dua wanita yang menyayangiku itu akrab. Wanita yang sama-sama tidak memandang status tapi lebih mengutamakan kebahagiaan anaknya. "Oh, iya bagaimana jalannya sidang perceraian kamu?" tanya Mas Gun. "Insya Allah, besok baru masuk sidang Mas. Ini tadi udah mediasi tapi aku tetap memilih bercerai,
Saat sadar, aku sudah berada di suatu tempat. Aku memandang sekeliling, semua serba putih. Di mana aku? "Kamu udah sadar, Nak?" tanya suara lembut ibu. "Ibu?" "Ya, ibu ke sini karena khawatir. Saat menelepon kamu, tapi nggak kamu jawab lagi. Nova langsung mengabari kalo kamu pingsan." "Aku di mana, Bu?" tanyaku. "Di rumah sakit, tadi Nova yang di sini setelah ibu datang dia baru pulang ke restoran," jawab ibu. Aku bergerak bangun, ibu membantuku duduk. Lalu duduk di kursi sampingku. "Sebenarnya apa yang terjadi sampai kamu pingsan?" tanya ibu khawatir. "Maaf, Bu. Kalo Ratih buat ibu cemas, akhir-akhir ini banyak masalah yang terjadi," jawabku sambil menghembuskan napas. "Memangnya ada apa? Ceritakan pada ibu," pinta ibu. Aku mulai menjelaskan semua, mulai dari masalah Andre, Mona hingga Bagas. Ibu mengangguk mendengarnya dan mengelus lembut tanganku. Memberi kekuatan agar aku bersabar. "Sebaiknya selesaikan masalah kamu satu persatu. Tentang Bagas, ibu rasa kamu tak perlu k
Suatu hari, Mona pernah mendatangi rumah Mas Gun. Kala itu cuma ada Mama Laras di rumah. Dengan nekat Mona bilang pada Mama Laras kalo dia dan Mas Gun pacaran. Sontak Mama Laras terkejut, tapi terlihat tenang. Walaupun curiga tapi Mama Laras menanggapi dengan santai, karena tau Mas Gun pasti cerita jika sudah punya pacar. Mama Laras lalu meminta bukti kalo memang benar Mona pacar Mas Gun. Mona yang awalnya gugup, lalu membuka ponselnya dan menunjukkan foto dia dengan Mas Gun. Akan tetapi Mama Laras cuma tertawa melihatnya, bagaimana mungkin dikatakan pacaran jika berfoto berjauhan. Banyak foto yang ditunjukkan Mona tapi semua sama. Mama Laras pun beranggapan bahwa Mona berbohong dan lebih tepat penguntit. Di dalam foto, banyak suasana dan acara yang dihadiri Gunawan dan selalu ada Mona di sana. Seperti dugaan Mama bahwa Mona hanya ngefans pada Mas Gun. Hingga saat Mama tak percaya, Mona terus memaksa Mama mengakui hubungan mereka. Mama Laras yang kesal pun segera memanggil satpam