"Ibu dan bapak udah siap makan, kalian lanjutkan makannya. Ambil lagi kalo kurang ya, Nak Andre," kata ibu sambil berdiri dan berjalan ke depan. Sepertinya bapak dan ibu memberi kesempatan pada kami untuk berdua. Agar Mas Andre tidak canggung, kulihat dia makan dengan lahap. Rasa kasihan terbesit melihatnya, apakah seminggu ini dia tak terurus. Aku tiba-tiba merasa bersalah sebagai istri. Seandainya Mas Andre sedikit saja mau mendengarkanku pasti aku lebih menurut padanya. Akan tetapi, semua karena kelakuannya sendiri hingga dia harus kena akibatnya. "Dek?" panggil Mas Andre, ya dia dulu selalu memanggilku begitu sebelum berubah. "Hem." "Bapak dan ibu ___" "Nggak marah? itukan yang ingin Mas tanya?" potongku cepat. Mas Andre mengangguk. "Mas pikir mereka akan marah dan menghajar, Mas. Makanya tadi Mas sedikit ragu dan takut." "Mereka nggak marah, karena aku nggak cerita," ucapku berbohong. Mas Andre menghela nafasnya, sepertinya dia lega aku tidak cerita. Asal kamu tau Mas da
"Ini mobil siapa, Mas? tanyaku heran setelah mobil berjalan meninggalkan rumah orang tuaku. "Mobil kita, gimana kamu suka?" tanyanya sambil melirik ke arahku. "Darimana Mas punya uang membeli mobil ini?" tanyaku kaget. Ya harga mobil ratusan juta, dengan gaji Mas Andre tidak mungkin dia bisa membeli mobil. "Mas mengambil pinjaman di Bank, ini juga atas permintaan Mama," ucapnya tersenyum. "Apa?" kataku kaget, tiba-tiba saja mendadak kepalaku pening. Baru saja Mas Andre setuju tentang pembagian jatah belanja, sekarang malah menambah masalah lagi. Sepertinya selama masih tinggal berdekatan dengan mertua, masalah akan terus timbul. Aku menghembuskan nafas kasar, bodohnya aku kenapa tidak kutanyakan dulu tentang mobil ini. Kupikir hanya jatah belanja saja yang perlu diperbaiki tapi kini ... Bagaimana nanti Mas Andre membayar angsuran perbulannya. "Mas, kamu kok nggak bilang-bilang aku sih kalo mau beli mobil?" tanyaku protes. "Abisnya kamu kan di rumah orang tuamu. Aku nggak enak
Aku tidak menggubrisnya, lalu berjalan ke bagasi mengambil koper. Kentara kali kelakuan mbak Rina seperti orang kampung, yang tak pernah punya mobil. Bisanya cuma mengatai aku orang kampung, kini yang terlihat malah sebaliknya.Setelah menurunkan koper lalu menyeretnya masuk ke dalam rumah. Mbak Rina masih sibuk mengelus mobil diikuti Mama. Aku berbalik melihat mereka dan menatap sinis. Baru mobil sedan saja sudah belagu, masih kalah dengan mobilku. Oh ya kemarin waktu pulang aku menaiki mobil yang dijemput Nova. Mungkin karena itu Mama minta Andre membeli mobil. Aku mengernyitkan dahi, apa Mama curiga kalo itu mobilku? Tapi dia tidak ada mengatakan soal itu, ah semoga saja Mama tidak tau dan anggap itu mobil online yang menjemputku. "Ratih!" teriak Mas Andre dari dalam rumah. Bergegas aku masuk, gegara terus memperhatikan duo resek itu aku jadi kelamaan masuk rumah. Langkahku terhenti kala masuk kamar, Mas Andre sudah berdiri dengan tatapan marah. "Kenapa lama kali, hah? Apa ka
"Baik, Bu. Akan Nova laksanakan, oh ya Bu. Entah ibu mau dengar ini atau nggak," kata Nova gugup. "Katakan aja, Nov," kilahku. "Itu, Bu. Anu ...," Nova tergagap. "Anu apa Nov? Bilang aja, saya nggak marah," kataku tegas. "Itu, Bu. Selama ibu di kampung, bapak beberapa kali ke restoran makan," ucap Nova perlahan menanti reaksiku. "Trus? Apa bapak tau kalo itu restoran saya?" tanyaku cemas. Jangan-jangan Mas Andre sudah mengetahui bahwa aku yang memiliki restoran itu. Gawat, bisa habis diporoti mereka nanti. "Bu, kok diam? Ibu nggak senang bapak makan di restoran?" tanya Nova bingung. "Nggak, saya nggak masalah. Lalu apa yang salah?" tanyaku masih tak mengerti. "Bapak ke restoran dengan wanita, Bu." Deg! Benarkah? Berarti pesan dan panggilan di ponsel Mas Andre benar. Kalo Mas Andre telah selingkuh dan sudah berani jalan ke restoranku. Dengan wanita? "Nov, apakah CCTV restoran aktif saat itu?" tanyaku penasaran ingin tau seperti apa wanita itu. "Aktif, Bu. Setiap buka sampa
Wanita itu mengirimkan fotonya yang tanpa sehelai benangpun. Aku jijik melihatnya, begitu murahnya memperlihatkan auratnya di depan suami orang. Tunggu, aku masih ingat pesan yang wanita itu bilang kalo Mas Andre lihai. Jadi mereka sudah saling menikmati tubuh satu sama lain. Di mana mereka melakukannya, aku harus cari tau. Tak ingin ketahuan segera kumasukkan ponsel ke saku dan membuka dompet Mas Andre. Ada foto yang menyelip di dalamnya tapi masih setengah wajah. "Ada? Kok lama banget ngambil uang segitu aja, hah! Dasar lelet," ejeknya sambil merampas dompet dari tanganku. Aku cuma terdiam dan sedikit kaget tadi. Mas Andre suka tiba-tiba datang. Untunglah aku tidak ketahuan, mengatur debaran jantung agar aku tak pingsan. Lama-lama aku bisa kena serangan jantung. "Ini," kata Mas Andre menyerahkan lima puluh ribu. "Mana cukup, Mas! Kan Mas bilang juga untuk Mama dan mbak Rina," protesku. Mas Andre mendelik. "Sudah biar aku yang bayar, ntar kamu bohong dan menyimpan kembaliannya,
"Siapa yang datang, Ratih?" tanya Mas Andre begitu aku masuk ke rumah. "Awalnya aku nggak tau, ditanya baik-baik jawabnya malah ketus," kataku sebal. "Iya, tapi siapa sampai muka kamu manyun gitu?" Mas Andre menaikkan alisnya. "Lihat sendiri sana di rumah Mama, aku nggak kenal. Tadi Mama cuma manggil Mbakyu," jawabku acuh. Seketika raut wajah Mas Andre berubah pias. Aku yang melihat heran, kenapa Mas Andre begitu shock mendengarnya. Begitu menakutkan kah bagi suamiku wanita tua itu? Entahlah, aku tak peduli. Asal dia tidak ikut campur urusan kami saja sudah cukup. Mas Andre berjingkat pelan menuju jendela, mengamati rumah Mama. Aku yang penasaran ikut mengintip di belakangnya. Terdengar deru nafas yang berulang dari Mas Andre, entah apa yang dipikirkannya. Setelah dirasa aman, Mas Andre berbalik badan. Namun, dia terkejut saat membalik aku sudah berdiri tepat di depan. "Aaaaarrgh," teriaknya kaget. "Apa sih, Mas. Kok teriak-teriak?" tanyaku kesal, aku juga kaget mendengar teri
"Mana Andre?" tanyanya. "Ada dikamar, Tan. Lagi tidur," jawabku. "Bangunkan, Tante mau bicara!" pintanya. Aku mengangguk kemudian masuk kamar, Mas Andre masih juga mendengkur. Apa dia tak mendengar hempasan pintu dan suara teriakan Tante tadi. Huh, entah hewan apa yang bersarang di telinganya. "Mas, bangun! Ada Tante itu, dia mau ngomong sama Mas," kataku mengguncang tubuhnya. "Hum, apa sih! Ganggu orang tidur aja," bentaknya kesal. Bibirku dekatkan di telinga Mas Andre. "Mas, Tantemu itu mau bicara. Dia udah nunggu di ruang tamu," ucapku sedikit keras. "Apa?" sontaknya kaget lalu terbangun. "Ngapain?" Masih mulu tanya tanpa beranjak. Aku mengedikan bahu tanda tak tau, lalu berjalan keluar di ikuti Mas Andre yang sedikit salah tingkah. Tante mendelik melihat kami, lalu memberi isyarat duduk. "Sini, duduk! Tante mau bicara," ujarnya pada suamiku. "Ada apa, Tan?" "Besok, antar Tante menemui kenalan Tante. Dia punya anak gadis cantik, kerja di kantor juga seperti kamu," kata
Selesai sholat, aku tidak melihat kemana Mas Andre. Mencari seluruh sudut rumah tapi tak menemukannya. Saat keluar teras, mataku terarah ke rumah Mama. Ada sosok pria yang berdiri di balik jendela samping rumah mertua. Bukankah itu Mas Andre? Ngapain dia berdiri di gelap-gelapan? Penasaran aku pun mendekatinya, dengan berjinjit menuju Mas Andre. Terlihat dia sedang menempelkan telinganya ke jendela. Ya dari sana terdengar jelas, karena jendela itu tidak pernah di tutup Mama sebelum tidur. Suara Tante dan Mama yang berbincang menggelitik untuk didengar. Aku berdiri di belakang Mas Andre tanpa sepengetahuannya. "Mbak, aku nggak yakin Andre mau datang ke perjodohan itu," ucap Mama resah. "Kamu tenang aja, Yan! Mbak yakin Andre nggak bakal nolak, apalagi istri kampungannya itu udah dukung kita," jawab Tante percaya diri. "Tapi, bisa aja kan istri Andre berubah. Sapa tau tadi dia hanya berpura-pura. Selama ini dia nggak pernah manja seperti itu!" sahut Mama putus asa. "Sudahlah, ng
Hari Minggu pun tiba, dari pagi sudah sudah mulai terlihat kesibukan. Para tetangga yang rewang sudah banyak yang berdatangan, membantu memasak di dapur. Sedari malam aku luluran dan memakai inai, sengaja sebelum subuh aku mandi agar segar seharian saat menjadi pengantin. Walaupun sudah pernah menikah tapi perasaan gugup dan tegang itu masih ada. Perias pengantin yang mendandani aku juga tak makan waktu lama karena sudah profesional dan ahli. Hingga Mas Gun dan keluarga besar datang, dimulailah ijab qobul. Aku duduk di sebelah Mas Gun yang dipakaikan selendang putih di kepala. Dengan lancar Mas Gun mengucap ijab qobul, yang dijawab sah oleh penghulu dan hadirin. Acara berlanjut hingga temu pengantin sampai selesai lalu setelah duduk di pelaminan maka anggota perwiritan ibu-ibu yang mendapat giliran marhaban. Bunyi gendang yang ditabuh serta doa dan nyanyian pengantin mengiringi. "Tiara, kamu cantik sayang!" bisik Mas Gun setelah acara selesai. Kami berdua tinggal duduk saja meny
Akhirnya sampai juga di kampung, aku membangunkan Nova yang terlelap tidur. Aku tak bisa tidur sama sekali karena Mas Gun mengajak ngobrol dan tertawa. "Mas, kejadian penculikan ini jangan beritahu pada orang tuaku ya! Tiara nggak ingin mereka jadi khawatir," kataku sebelum turun dari mobil. Mas Gun mengangguk dan mengedipkan matanya. Nova juga sudah kuperingatkan, lalu turun membantu mengambil koper di bagasi. Ibu menyambut kedatangan kami dengan senyum. "Oh, udah sampai kamu Nak! Datangnya kok rame-rame gini?" "Iya, Bu! Tadi sebenarnya cuma Nova yang akan mengantar, tapi Mas Gun minta ikut, katanya kangen sama ibu. Iya kan, Mas!" ujarku terkekeh. Mas Gun gelagapan karena sandiwaraku lalu terpaksa mengangguk juga. Mas Gun pasti tak menyangka aku sampai berkata itu. "Ya udah, ayo masuk dulu. Kebetulan ibu udah siap masak, kita makan dulu. Kalian pasti udah lapar, kan !" ajak ibu. "Assiiaap, Bu!" kelakar Mas Gun. Kami semua tertawa melihatnya, Mas Gun pasti sudah ingin mencicip
"Jadi, kalian bersengkongkol untuk menculikku!" hardikku marah. "Andre, lepaskan aku! Apa kamu nggak takut ditangkap polisi, pikirkan ibumu," sergahku. "Hahahaha ... Kamu pikir Andre akan mendengarkanmu setelah apa yang kamu perbuat pada dirinya. Kamu sungguh licik, dasar wanita penggoda yang merampas kebahagiaan orang!" cemooh Mona mencibir sinis. "Merampas kebahagiaan siapa? Kebahagiaan kamu gitu? Cih, seharusnya kamu tau diri kalo Mas Gun nggak tertarik padamu sedikitpun. Dasar penguntit!" aku kembali mengejeknya. Plak! "Apa kamu bilang? Penguntit? Awalnya aku mengejar Gunawan dan akan mendapatkannya tapi kamu datang merusak semua usahaku. Jadi, kamu harus membayarnya," ucap Mona meninggi. Pipiku yang ditampar terasa sakit dan perih. Kulihat Andre cuma diam saja, aku celingukan mencari Nova. Kemana dia? Nova pasti di tempat lain. "Andre, mau kita apakan ini Ratih?" tanya Mona melirik Andre. Andre cuma diam memandangku, lalu memandang kedua kakiku yang sedikit terbuka hingga
Hari pernikahan tinggal seminggu lagi, persiapan sudah delapan puluh persen. Tinggal menyebar undangan, untuk pesta di kampung memang tak banyak. Sekitar seribu undangan saja, karena kami pun tak banyak kenalan. Di kampung, ibu sudah menelepon memberitahukan persiapan pernikahan. Surat undangan sudah siap dicetak, tinggal menungguku datang untuk mengundang siapa saja. Ibu menyuruhku seminggu sebelum akad, sudah pulang. Aku pun mempersiapkan diri termasuk urusan restoran. Semua karyawan aku liburkan sehari pas pesta pernikahan. Mereka menyambut dengan gembira, setelah mendengar aku akan menikah. Mereka ingin menghadiri pernikahanku, aku bilang nanti saja saat pesta ke dua di gedung. Agar tidak terlalu jauh dari tempat tinggal, mereka pun menyetujuinya. Gegas aku masukkan baju ke koper, selama seminggu aku akan berada di kampung. Setelah seminggu pesta di kampung baru ngunduh temanten di gedung. Nova membantuku membawa koper, lalu memasukkan ke bagasi mobil. Sengaja meminta Nova ya
Mas Gun kembali mengajak ke Mall, membeli barang untuk hantaran nanti. Kali ini aku yang memilih karena aku yang tau ukurannya, seperti mukena set, sepatu, sampai BH dan CD hingga saat aku mengangkatnya Mas Gun memalingkan wajah karena malu. Aku pun tertawa terbahak-bahak. "Oh iya, Mas gimana ranjang dan lemari apa udah disiapkan juga?" tanyaku kepo. "Sudah disiapkan Mama jauh-jauh hari, udah ada di rumah. Apa Tiara mau melihat ke rumah?" tanya Mas Gun. "Boleh, Mas! Tiara juga ingin tau kan blom pernah ke rumah Mas, sekalian ketemu Mama Laras," jawabku. Tentu saja ke rumah Mas Gun juga bagus, barang-barang yang dibeli tadi juga di taruh di rumah Mas Gun dulu. Di bungkus yang cantik untuk hantaran nanti. Setibanya di depan gerbang rumah, lagi-lagi aku melongo. Ini kan bukan rumah tapi istana, indah dan besar. Bahkan halaman yang begitu luas membuat mobil agak masuk ke dalam lagi. Mas Gun memencet mobil, terlihat satpam tergopoh-gopoh membuka gerbang. Mas Gun melajukan mobilnya ma
Hari pernikahan dengan Mas Gun semakin dekat. Rencana setelah sidang cerai selesai, dalam dua minggu Mas Gun akan melamarku. Masa iddahku juga sudah selesai, kusambut dengan bahagia hari yang akan membawaku menuju pelaminan. Ibu sudah balik kampung duluan untuk mempersiapkan pernikahan. Sedangkan aku masih di restoran mengurus segala tetebengeknya. Sesuai musyawarah, pesta pernikahan akan diadakan dua kali. Pertama di kampung dan kedua di gedung. Siang itu Mas Gun datang, seperti biasa akan makan siang. Kali ini dia datang sendiri, sekalian membicarakan pernikahan kami. "Tiara, Mas sungguh senang saat mendengar ceritamu tentang sidang itu. Apalagi Mama udah nggak sabar melihat kita menikah," kata Mas Gun cekikan. "Alhamdulillah, Mas! Sidang berjalan lancar. Gimana persiapan pernikahan kita Mas?" tanyaku menatap pria tampan di depanku. "Untuk mahar, Tiara mau yang mana? Oh iya siap makan kita akan mencari cincin nikah dulu, kamu mau kan?" "Baik, Mas! Kalo gitu Tiara siap-siap dul
"Mama senang bisa ketemu kamu lagi, Tiara!" kata Mama sambil memotong steak daging. "Tiara juga senang, Ma! Mama sehat kan?" "Alhamdulillah, Mama bahkan lebih sehat saat tau akan kemari," kekeh Mama. "Iya, Mama begitu semangat saat akan Mas ajak ketemu kamu dan ibu. Bahkan Mama udah ngomongin soal kita nikah," ucap Mas Gun melirik Mama. Aku cuma tersenyum memandangnya. Sambil makan kita mengobrol, kadang melucu hingga tertawa. "Lah, kan betul ya besan?" tanya Mama memanggil ibuku besan. Mas Gun dan aku melongo. "Iya, besan. Seharusnya mereka berdua yang ngebet, ini malah kita yang nggak sabar," jawab ibu tertawa renyah. Tawa kami meledak mendengar guyonan ibu. Betapa hangat hatiku bila dua wanita yang menyayangiku itu akrab. Wanita yang sama-sama tidak memandang status tapi lebih mengutamakan kebahagiaan anaknya. "Oh, iya bagaimana jalannya sidang perceraian kamu?" tanya Mas Gun. "Insya Allah, besok baru masuk sidang Mas. Ini tadi udah mediasi tapi aku tetap memilih bercerai,
Saat sadar, aku sudah berada di suatu tempat. Aku memandang sekeliling, semua serba putih. Di mana aku? "Kamu udah sadar, Nak?" tanya suara lembut ibu. "Ibu?" "Ya, ibu ke sini karena khawatir. Saat menelepon kamu, tapi nggak kamu jawab lagi. Nova langsung mengabari kalo kamu pingsan." "Aku di mana, Bu?" tanyaku. "Di rumah sakit, tadi Nova yang di sini setelah ibu datang dia baru pulang ke restoran," jawab ibu. Aku bergerak bangun, ibu membantuku duduk. Lalu duduk di kursi sampingku. "Sebenarnya apa yang terjadi sampai kamu pingsan?" tanya ibu khawatir. "Maaf, Bu. Kalo Ratih buat ibu cemas, akhir-akhir ini banyak masalah yang terjadi," jawabku sambil menghembuskan napas. "Memangnya ada apa? Ceritakan pada ibu," pinta ibu. Aku mulai menjelaskan semua, mulai dari masalah Andre, Mona hingga Bagas. Ibu mengangguk mendengarnya dan mengelus lembut tanganku. Memberi kekuatan agar aku bersabar. "Sebaiknya selesaikan masalah kamu satu persatu. Tentang Bagas, ibu rasa kamu tak perlu k
Suatu hari, Mona pernah mendatangi rumah Mas Gun. Kala itu cuma ada Mama Laras di rumah. Dengan nekat Mona bilang pada Mama Laras kalo dia dan Mas Gun pacaran. Sontak Mama Laras terkejut, tapi terlihat tenang. Walaupun curiga tapi Mama Laras menanggapi dengan santai, karena tau Mas Gun pasti cerita jika sudah punya pacar. Mama Laras lalu meminta bukti kalo memang benar Mona pacar Mas Gun. Mona yang awalnya gugup, lalu membuka ponselnya dan menunjukkan foto dia dengan Mas Gun. Akan tetapi Mama Laras cuma tertawa melihatnya, bagaimana mungkin dikatakan pacaran jika berfoto berjauhan. Banyak foto yang ditunjukkan Mona tapi semua sama. Mama Laras pun beranggapan bahwa Mona berbohong dan lebih tepat penguntit. Di dalam foto, banyak suasana dan acara yang dihadiri Gunawan dan selalu ada Mona di sana. Seperti dugaan Mama bahwa Mona hanya ngefans pada Mas Gun. Hingga saat Mama tak percaya, Mona terus memaksa Mama mengakui hubungan mereka. Mama Laras yang kesal pun segera memanggil satpam