Mobil yang membawa Risma berhenti di sisi jalan yang biasa dia turun, lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki ke rumahnya yang terdahulu dengan ditemani Yuli putri pertamanya dan satu orang bodyguard penjaga. Sementara yang satunya lagi Risma minta untuk menunggu di mobil saja, tidak nyaman dia rasanya jika terlihat berbeda di kampungnya sendiri.
Risma pun sudah sampai di rumah sederhananya, rumah yang dibeli Riswan tanpa bantuan siapapun. Rumah yang menuliskan banyak cerita kehidupan antara dia dan Bang Riswan, dari sejak pertama kali berumah tangga hingga hampir berjalan enam tahun.
Beberapa tetangga yang melihat kehadirannya mulai mendekat, sebagian mengerumuninya untuk memberikan selamat ataupun ucapan pujian dan kekaguman. Mereka semua tiada menyangka, bahwa suami Risma adalah pemilik dari pabrik sekaligus perkebunan besar di desa mereka.
"Teh Risma hebat, ternyata Kang Riswan orang kaya," puji Mak Enah, tetangga depan rumah.
"Iya, yah, itu Kang Riswan
Risma sendiri memang merasakan jika dia terus diperhatikan oleh wanita paruh baya tersebut, dan beberapa saat kemudian wanita itu menghampirinya dengan membawa bakso yang dipesannya, dan duduk tepat di depan Risma, sembari tersenyum ramah. "Neng, ibu numpang makan di sini yah, gak enak jika makan sendirian," ucapnya, meminta ijin. "Boleh Buk, silahkan," jawab Risma, membolehkan. Beberapa saat pembicaraan mulai terjadi antara mereka berdua, percakapan terkesan basa-basi, hanya membicarakan tentang anak dan keluarga. "Neng Risma?" tanya ibu tersebut, yang Risma tahu bernama Saanih, saat ibu itu memperkenalkan diri tadi. "Apa, Bu," jawab Risma. Sambil menyesap es buah miliknya. "Wajah Neng, mirip banget seperti saat ibu muda dulu?" tanyanya, dan Risma tidak menjawab, hanya tersenyum saja. "Ibu mau tanya, tetapi jangan marah ya, Neng," ucap Ibu Saanih. Matanya terus menatap ke wajah Risma dalam. "Orang bertanya kok marah si Buk," j
"Sekarang saya tinggal di Desa Cisauk, jika cerita saya ini benar adanya, temui ibu nanti di sana ya, Neng," pintanya, seperti memohon, dan Risma mengangguk. Dia pun sudah menangis, dadanya mulai terasa sesak.Ibu Saanih lantas ijin pamit terlebih dahulu, isi di dalam mangkok baksonya masih terlihat utuh. Berucap pelan sebelum keluar dari kedai."Wajah Neng Risma benar-benar mirip seperti saat ibu muda dulu." Tersenyum lembut, matanya terlihat memerah, lalu melangkah meninggalkan kedai setelah terlebih dahulu membayar makanan yang dipesannya, termasuk juga membayar bakso milik Risma dan Yuli.Termangu Risma di dalam kedai bakso yang berbentuk ruko dua lantai ini. Memikirkan semua yang sudah diceritakan oleh Ibu Saanih kepadanya. Yah, Wajah Ibu Saanih belum terlalu tua, bahkan terlihat terawat. Sejujurnya dia sendiri mengakui ada kemiripan dengan wajah Ibu Saanih.'Jika benar aku anak dari Ibu Saanih dan mempunyai paras wajah yang hampir serupa, apakah itu
34"Sebentar lagi saya akan menemui tamunya, Bude," jawab Risma."Baik, Bu," jawab Bude Ajeng, lalu meminta ijin untuk undur diri.Risma pun kembali menatap wajah Emak, mata mereka berdua masih tergenang air sebening krista."Sampai kapanpun, bagi Risma, Emak tidak akan pernah terganti," ucapnya, lalu kembali mencium tangan Emak, dan meminta ijin ingin menemui tamunya terlebih dahulu. Risma pun langsung bergegas ke ruang tamu.Seorang wanita berhijab syar'i, berwarna hijau tua terduduk sendiri di sofa, wajahnya putih bersih juga cantik, dan Risma tidak mengenalinya. Wanita itu lalu menoleh ke arah datangnya Risma, lantas langsung berdiri, tersenyum manis kepada Risma."Assalamualaikum," ucap salam dari Maharani."Waalaikum salam," jawab salam dari Risma, wanita bernama Maharani itu lantas memeluk tubuh Risma, menempelkan pipi kiri dan kanan. Risma yang memang tidak terlalu luas pergaulannya, agak sedikit canggung melakukannya. Risma l
Tekanan darah tinggi dan penyumbatan pembuluh darah ke otak, sehingga pasokan nutrisi dan oksigen terganggu, itu yang menyebabkan Pak Hasyim terkena stroke," jelas Dokter Anisa, dokter yang bertugas di Desa Cibungah pada Amran. "Separuh tubuhnya mengalami kelumpuhan. Saran saya sebaiknya pak Hasyim dibawa ke rumah sakit yang lebih besar di kota kabupaten, guna menjalani terapi," jelas Dokter Anisa lagi."Jadi, bapak saya mengalami kelumpuhan, Dok?" tanya Amran lagi."Iya, Pak Amran, tetapi hanya separuh tubuhnya, beliau pun nanti akan kesulitan bicara," jelas dokter puskesmas itu lagi."Jika bisa secepatnya ya, pak, dibawa ke rumah sakit besar," pinta dokter Anisa lagi, lalu kembali masuk ke ruang praktek-nya.Dengan dibantu beberapa warga desa, Juragan Hasyim kembali dibawa pulang ke rumah, dan diletakkan di dalam kamarnya. Sebagian warga yang membantu sudah kembali ke rumah masing-masing, dan Amran kebingungan sendiri di ruang tamu. Kabar yang dia terim
Maaf Kang, Samsiah tidak tahu," jawabnya sembari tertunduk, begitupun Ela, mereka memang ada rasa segan kepada Abang mereka yang paling tua tersebut.Pelan-pelan mereka berdua mulai mengganti celana Juragan Hasyim yang basah dengan kain sarung, terlihat ada rasa jijik pada diri mereka saat melakukannya."Dokter bilang apa?" tanya Darman, kepada kedua adiknya."Stroke Kang, ada penyumbatan pembuluh darah pada otak," jelas Ela, sambil berlalu ke kamar mandi belakang untuk membawa celana kotor bapaknya. Setelah memastikan bapak sudah dalam keadaan bersih, Darman lantas menemui adik-adiknya yang masih berkumpul di sebelah kamar bapak, ruang tamu."Dokter bilang apa lagi?" tanya Darman, tetap berdiri, sementara yang lain masih terduduk di karpet."Harus dibawa ke Rumah Sakit besar Kang, buat pengobatan lanjutan dan menjalani terapi," jelas Amran."Terus, kenapa belum dibawa?" tanya Darman lagi."Ini lagi dibicarakan, Kang," ujar Ela, beral
PART 37"Tapi Mak, sekarang Bapak terkena Stroke," jelas Darman. Sontak keterkejutan terlihat pada diri emak dan Risma."Astaghfirullah aladzim," ucap Risma, sementara emak terdiam saja."Beneran, Kang?" tanya Risma, ada getar kekhawatiran dalam pertanyaannya. "Benar, Ris. Saat akang kesana, bapak sedang tergeletak saja di kasur. Celananya basah karena air kencingnya sendiri. Ela dan Samsiah yang ada di ruang tamu malah tidak tahu, mereka sedang sibuk berencana ingin menjual rumah Bapak. Benar-benar kurang ajar mereka semua," geram Darman jengkel."Astaghfirullah." Risma seperti tidak percaya dengan apa yang didengarnya, dan Emak masih diam saja."Kasihan Bapak, Mak, nggak ada yang ngurusin. Ela dan Samsiah sepertinya kurang perduli dengan Bapak," jelas Darman lagi."Entahlah, Bapak sudah makan atau belum, akang tadi lupa menanyakan," gumamnya, lalu cepat mengambil handphone dari saku bajunya, dan menghubungi nomor yang dia tuj
Part 38Mobil yang membawa Riswan memasuki halaman rumah megah miliknya, dan sang isteri tercinta sudah menunggunya di teras utama, menyambutnya dengan senyum mereka penuh pesona.Risma mencium punggung tangan Riswan, yang membalasnya dengan kecupan lembut di kening sang istri tercinta. Berjalan berpelukan memasuki ruang tamu dengan penuh kebahagiaan."Abang mau langsung makan, atau mandi dulu," ucap Risma, sesaat setelah mereka sampai di kamar pribadi mereka."Abang sudah mandi dan makan Neng, di hotel tempat pertemuan," jelas Riswan, sembari mengambil baju ganti dari almari pakaiannya. Risma terlihat cemberut manja, mendengar jawaban dari suaminya. Riswan yang menyadari perubahan pada wajah istrinya lantas menghampiri, dan memeluk sang istri."Kenapa atuh, wajahnya cemberut begitu?" tanya Riswan, sembari menjawil dagu istrinya."Habisnya Abang pakai acara makan di luar, Risma sengaja belum makan karena nunggu Abang ingin makan barengan," j
Part 39"Biar Bang Riswan yang memutuskan, apakah dia bisa bersikap adil atau tidak."Maharani tersentak, tubuhnya mendadak gemetar, dia tidak menyangka jika Risma mampu mengetahui isi hatinya."Maafkan saya, Mbak Risma, maafkan saya," lirihnya, tangisnya terdengar menyedihkan. Risma pun mulai ikut menangis."Saya tidak mungkin menolak apa yang Allah perbolehkan, para Nabi-nabi pun tidak ada yang berani menentang. Mbak Rani seseorang yang lebih dulu mengenal Bang Riswan dibandingkan saya, berhak untuk mengetahui keputusan apa yang akan diambil oleh suami saya nanti." Terdiam sesaat Risma, sebelum akhirnya melanjutkan bicara."Bang Riswan sudah memiliki kriteria untuk memiliki lebih dari satu istri, jadi biarkan Bang Riswan yang memutuskan tanpa ada tekanan dari kita berdua, hanya saya minta, apa pun keputusan suami saya nanti, kita berdua harus ikhlas ya, Mbak." Maharani mengangguk, sembari mengusap air matanya."Mari kita temui Bang Riswan
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti