PART 37
"Tapi Mak, sekarang Bapak terkena Stroke," jelas Darman. Sontak keterkejutan terlihat pada diri emak dan Risma.
"Astaghfirullah aladzim," ucap Risma, sementara emak terdiam saja.
"Beneran, Kang?" tanya Risma, ada getar kekhawatiran dalam pertanyaannya.
"Benar, Ris. Saat akang kesana, bapak sedang tergeletak saja di kasur. Celananya basah karena air kencingnya sendiri. Ela dan Samsiah yang ada di ruang tamu malah tidak tahu, mereka sedang sibuk berencana ingin menjual rumah Bapak. Benar-benar kurang ajar mereka semua," geram Darman jengkel.
"Astaghfirullah." Risma seperti tidak percaya dengan apa yang didengarnya, dan Emak masih diam saja.
"Kasihan Bapak, Mak, nggak ada yang ngurusin. Ela dan Samsiah sepertinya kurang perduli dengan Bapak," jelas Darman lagi.
"Entahlah, Bapak sudah makan atau belum, akang tadi lupa menanyakan," gumamnya, lalu cepat mengambil handphone dari saku bajunya, dan menghubungi nomor yang dia tuj
Part 38Mobil yang membawa Riswan memasuki halaman rumah megah miliknya, dan sang isteri tercinta sudah menunggunya di teras utama, menyambutnya dengan senyum mereka penuh pesona.Risma mencium punggung tangan Riswan, yang membalasnya dengan kecupan lembut di kening sang istri tercinta. Berjalan berpelukan memasuki ruang tamu dengan penuh kebahagiaan."Abang mau langsung makan, atau mandi dulu," ucap Risma, sesaat setelah mereka sampai di kamar pribadi mereka."Abang sudah mandi dan makan Neng, di hotel tempat pertemuan," jelas Riswan, sembari mengambil baju ganti dari almari pakaiannya. Risma terlihat cemberut manja, mendengar jawaban dari suaminya. Riswan yang menyadari perubahan pada wajah istrinya lantas menghampiri, dan memeluk sang istri."Kenapa atuh, wajahnya cemberut begitu?" tanya Riswan, sembari menjawil dagu istrinya."Habisnya Abang pakai acara makan di luar, Risma sengaja belum makan karena nunggu Abang ingin makan barengan," j
Part 39"Biar Bang Riswan yang memutuskan, apakah dia bisa bersikap adil atau tidak."Maharani tersentak, tubuhnya mendadak gemetar, dia tidak menyangka jika Risma mampu mengetahui isi hatinya."Maafkan saya, Mbak Risma, maafkan saya," lirihnya, tangisnya terdengar menyedihkan. Risma pun mulai ikut menangis."Saya tidak mungkin menolak apa yang Allah perbolehkan, para Nabi-nabi pun tidak ada yang berani menentang. Mbak Rani seseorang yang lebih dulu mengenal Bang Riswan dibandingkan saya, berhak untuk mengetahui keputusan apa yang akan diambil oleh suami saya nanti." Terdiam sesaat Risma, sebelum akhirnya melanjutkan bicara."Bang Riswan sudah memiliki kriteria untuk memiliki lebih dari satu istri, jadi biarkan Bang Riswan yang memutuskan tanpa ada tekanan dari kita berdua, hanya saya minta, apa pun keputusan suami saya nanti, kita berdua harus ikhlas ya, Mbak." Maharani mengangguk, sembari mengusap air matanya."Mari kita temui Bang Riswan
Samsiah yang memang juga sedang jengkel, membiarkan Ela menumpang menangis di rumahnya. Dia sendiri sedang kebingungan, hari ini mau masak apa. Uang simpanannya habis digunakan Gufron untuk bermabok-mabokan, walaupun dia sudah memindahkan berkali-kali tempat dia menyembunyikan, suaminya selalu bisa mengetahuinya.Beberapa saat, Samsiah pun mulai duduk di bangku samping Ela, hanya terdiam mendengar Ela menangis, dia sendiri sedang pusing dengan perilaku suaminya."Teteh tuh kesel sama Kang Tohir, ada saja barang-barang di rumah dijual-jualin. Nggak tahu uangnya buat apa, lama-lama nanti isi rumah ludes semua." Tanpa ditanya adiknya, Ela bercerita dengan sendirinya, sembari mengusap air matanya."Semakin jarang di rumah sekalinya pulang hanya untuk mencari barang-barang yang bisa dijual, lama-lama juga nanti teteh yang dia jual," ucap Ela dengan rasa kesal. Samsiah menarik nafas dalam, dadanya pun terasa sesak."Kang Gufron pun sama saja, Teh. Uang simpanan
Part 41Mobil yang membawa keluarga Riswan mulai memasuki perbatasan menuju ke desa Cisauk. Sebuah gapura besar bertuliskan nama desa tersebut menyambut siapa saja yang memasuki wilayah tersebut.50 meter memasuki wilayah desa, mobil Riswan menepi sejenak di sisi jalan yang tidak jauh dari sebuah warung sembako sederhana berukuran kecil di mana terlihat ada beberapa orang sedang berkumpul. Toni mulai turun dari mobil bermaksud untuk mendekati para warga yang sedang berkumpul di situ."Assalamualaikum.""Waalaikum salam." Hampir berbarengan semua warga yang berkumpul tersebut membalas salam dari Toni."Permisi bapak-bapak, ibu-ibu, numpang bertanya, ada yang tahu di mana rumah Ibu Saanih?" tanya Toni. Sejenak warga yang sedang berkumpul saling berpandangan, dan salah satu dari ibu-ibu yang ada di situ lantas memberi tahu, hampir semua yang ada di situ berpakaian cukup pantas dan rapih, seperti habis selesai berkunjung ke suatu tempat."Oh itu
Part 42Pagi menjelang siang di hari yang sama.Selepas mendapatkan uang, hasil dari menggadaikan sertifikat tanah sekaligus rumah milik bapak, di tengah perjalanan. Tepatnya di ladang tebu milik warga, Amran menghentikan kendaraan motornya, dan mengajak adik bungsunya Samsiah untuk turun."Kok berhenti di sini, Kang?""Iya, kita pisahin uang untuk kita berdua di sini saja. Takutnya jika di rumah, Ela bisa tahu.""Ya sudah, terserah Akang saja."Amran lantas mengajak adiknya itu untuk masuk lebih ke dalam ladang tebu, dan Samsiah lantas mengeluarkan bungkusan uang berwarna cokelat yang berisi uang 60 juta dari dalam tasnya.Amran lantas mengambil uang tersebut, berniat memisahkan uang yang sepuluh juta untuk dia bagi dua bersama Samsiah tanpa sepengetahuan adiknya yang satu lagi, Ela.Mendadak dari kerimbunan batang tebu. Tiga orang memakai topeng menyergap mereka, dengan bersenjata tajam, berupa clurit dan parang, langsu
Part 43Kang Amran, kita kena jebak, Kang," keluh Samsiah. "Nanti bagaimana cara kita bayarnya," keluhnya lagi."Biar akang over alih mobil truck akang aja," ujar Amran pasrah. Nengsih istri dari Amran tiba-tiba datang menghampiri."Motor Akang hilang ya, Kang!"Amran diam saja tidak menjawab, Ela dan Samsiah pun ikut bungkam."Nengsih nanya, Kang! Motor Akang beneran hilang!" Amran masih bungkam."Si Asih cerita, mendengar si Ela bilang jika motor punya kita hilang. Benar apa nggak Kang!" teriaknya semakin melengking."Benar Teh Nengsih, motor Kang Amran memang hilang, kena begal." Ela akhirnya yang menjelaskan."Akang gimana sih! Udah lagi susah begini segala motor dibikin hilang!""Bukan hilang Nengsih, tapi dibegal! Kamu mau akang mati dibacok karena pertahanin motor!" Amran menjelaskan dengan suara yang jauh lebih keras. Nengsih terdiam.Tidak beberapa lama, Tohir kembali dengan membawa motor dan sudah bergan
PART 32Tohir seperti tersadar dengan apa yang dilakukannya. Tubuhnya bergetar hebat, golok yang berada di genggaman tangannya lantas terlepas. Matanya nanar menatap jasad Kardi yang separuh tubuhnya masuk ke dalam Empang piaraannya sendiri.Kakinya mundur beberapa langkah, raut wajahnya mulai terlihat panik, sebelum akhirnya berbalik badan dan berlari cepat seperti dikejar rasa ketakutan dengan beberapa kali terperosok, lalu meninggalkan lokasi Empang milik sang lintah darat Kardi dengan terburu-buru.Cipratan darah Kardi mengenai pakaian yang dikenakan Tohir, sedikit pada wajah dan lengan tangannya. Menghidupkan motornya, lalu berlalu cepat meninggalkan lokasi pembunuhan.Sepanjang jalan menuju rumah, Tohir dicekam rasa ketakutan. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya masih gemetar. Pikirannya kalut. Bagaimana nanti nasib anak dan istrinya Ela, penyesalan perlahan menyesap ke dalam hatinya. Merutuk diri, merasa bodoh karena sudah bersikap gegabah.Sesamp
Part 45Tubuh-tubuh para pemabok itu bergelimpangan di tanah, tidak ada satu pun dari mereka sanggup berteriak untuk meminta ataupun mencari pertolongan. Rasa seperti terbakar yang dirasakan pada dada dan perut, membuat mereka hanya bisa merintih kesakitan. Baru berhenti merintih, saat mereka tidak sanggup untuk bernapas lagi. Minuman keras itu sanggup menghanguskan jantung mereka, hingga membuatnya berhenti berdetak.Mereka mati dengan cara yang menyedihkan. Bergelimpangan dengan pakaian penuh dengan kotoran tanah dan muntahan mereka sendiri. Mata melotot, mulut terbuka, dan wajah memerah seperti terkena panas membakar.Mang Sukri, pria paruh baya berbadan kurus dengan separuh rambut sudah memutih, adalah penjaga dan pemilik warung kopi tersebut. Menjelang sore, Sukri berniat untuk menutup warung dagangannya, dan saat hendak pulang, dia lalu teringat, jika masih tertinggal beberapa gelas kopi yang tadi dipesan oleh anak-anak muda yang biasa kumpul-kumpul di bel