PART 32
Tohir seperti tersadar dengan apa yang dilakukannya. Tubuhnya bergetar hebat, golok yang berada di genggaman tangannya lantas terlepas. Matanya nanar menatap jasad Kardi yang separuh tubuhnya masuk ke dalam Empang piaraannya sendiri.
Kakinya mundur beberapa langkah, raut wajahnya mulai terlihat panik, sebelum akhirnya berbalik badan dan berlari cepat seperti dikejar rasa ketakutan dengan beberapa kali terperosok, lalu meninggalkan lokasi Empang milik sang lintah darat Kardi dengan terburu-buru.
Cipratan darah Kardi mengenai pakaian yang dikenakan Tohir, sedikit pada wajah dan lengan tangannya. Menghidupkan motornya, lalu berlalu cepat meninggalkan lokasi pembunuhan.
Sepanjang jalan menuju rumah, Tohir dicekam rasa ketakutan. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya masih gemetar. Pikirannya kalut. Bagaimana nanti nasib anak dan istrinya Ela, penyesalan perlahan menyesap ke dalam hatinya. Merutuk diri, merasa bodoh karena sudah bersikap gegabah.
Sesamp
Part 45Tubuh-tubuh para pemabok itu bergelimpangan di tanah, tidak ada satu pun dari mereka sanggup berteriak untuk meminta ataupun mencari pertolongan. Rasa seperti terbakar yang dirasakan pada dada dan perut, membuat mereka hanya bisa merintih kesakitan. Baru berhenti merintih, saat mereka tidak sanggup untuk bernapas lagi. Minuman keras itu sanggup menghanguskan jantung mereka, hingga membuatnya berhenti berdetak.Mereka mati dengan cara yang menyedihkan. Bergelimpangan dengan pakaian penuh dengan kotoran tanah dan muntahan mereka sendiri. Mata melotot, mulut terbuka, dan wajah memerah seperti terkena panas membakar.Mang Sukri, pria paruh baya berbadan kurus dengan separuh rambut sudah memutih, adalah penjaga dan pemilik warung kopi tersebut. Menjelang sore, Sukri berniat untuk menutup warung dagangannya, dan saat hendak pulang, dia lalu teringat, jika masih tertinggal beberapa gelas kopi yang tadi dipesan oleh anak-anak muda yang biasa kumpul-kumpul di bel
Part 46"Gak apa-apa, Kang, Samsiah nggak marah, justru malah senang Kang Mursan memperhatikan Samsiah." Sembari tersenyum malu-malu. Samsiah sudah seperti merencanakan jika Mursan akan dia jadikan sebagai sumber penghidupannya. Mursan yang mendengar Samsiah memujinya seperti itu jadi semakin bertambah senang.Apa yang harus ditangisi, Kang. Sifat suami pemabok seperti itu sering mencuri dan menyusahkan. Samsiah malah senang dia tidak ada," ucap Samsiah tajam, yang ditujukan kepada almarhum suaminya. Mursan yang mendengar jawaban seperti itu, semakin merasakan senang."Berarti sama dengan akang, Yah. Akang pun senang si Robby ikut tewas, saat masih hidup bisanya hanya menyusahkan saja, itu akibat terlalu dimanjakan si Rohani.""Berarti hati kita sama, Kang," ucap Samsiah, mulai memberi tanda-tanda pancingan buat Mursan, dan ayah tiri dari almarhum Robby itu cukup bisa membaca kode-kode yang Samsiah ucapkan, dan Mursan mulai senyum-senyum sendiri.
Part 47Di depan teras rumahnya, ditemani dengan segelas kopi dan separuh bungkus rokok kretek, Amran terlihat sedang asyik mendengarkan kicau burung piaraannya. Kepul asap rokok terus saja keluar dari mulut dan hidungnya, sedang ada pikiran yang mengganggunya.Beberapa kali terbatuk-batuk, tetapi tidak membuatnya ingin membuang rokok yang terus diisapnya. Malah dia kembali menyalahkan sebatang rokok baru saat rokok yang dimiliknya mulai terasa panas di mulutnya.Dia bingung tentang surat sertifikat tanah yang sekarang masih ada di rumah almarhum Kardi. Bagaimana cara dia mendapatkan kembali surat-surat penting tersebut. Kemungkinannya sangat kecil jika istrinya almarhum Kardi mau menyerahkannya begitu saja, karena yang dia dengar, Sutini nama istrinya Kardi pun berprofesi sama dengan suaminya, lintah darat."Kang Amran!" teriakan Nengsih dari dalam rumah mengagetkannya. Perempuan itu semenjak Amran tidak lagi menjadi penampung sampah pabrik semakin cerew
PART 48Amran benar-benar dibuat resah di saat waktu mulai memasuki senja. Seharusnya siang tadi kendaraan truck yang dia sewakan sudah dikembalikan oleh Samsul dan Yusup sebagai pihak penyewa, sedangkan ini belum ada tanda-tanda mobil itu akan dipulangkan. Bahkan, saat dia mencoba untuk menghubungi nomor yang sudah dia catat dalam buku sewa, nomor handphone tersebut sama sekali tidak bisa dihubungi, jawabannya selalu di luar jangkauan area, firasatnya mulai merasa tidak enak.Jika benar mobil truck yang dia sewakan dibawa lari oleh Samsul dan Yusup, berarti dalam dua Minggu terakhir ini saja dia sudah kehilangan dua barang berharga miliknya, motor dan mobil. Hidupnya benar-benar merasa sedang apes.Tidak beberapa lama, Nengsih istrinya yang sedari pagi pergi baru saja kembali entah dari mana, membawa beberapa kantong belanjaan di kiri dan kanannya. Amran pun memang sengaja ingin menunggu istrinya, kesal dia karena saat pergi, Nengsih tidak menyiapkan makanan ap
PART 49Mata Juragan Hasyim menatap tajam wajah Risma, putrinya, yang berbeda ibu dengan saudara-saudaranya yang lain. Yang selalu dia perlakukan berbeda karena kekesalannya atas kepergian ibu kandung Risma, Saanih yang meninggalkan dirinya tanpa ijin dan pemberitahuan terhadapnya saat memutuskan pergi menjadi TKW.Paras wajah Risma yang memang mirip sekali dengan mantan istri keduanya itu, membuat Juragan Hasyim selalu mengingat rasa sakit hati yang dia rasakan saat ditinggal pergi Saanih begitu saja.Yah, Risma memang selama ini dia perlakukan berbeda. Sangat berbeda, Hasyim pun dalam hati mengakuinya."Assalamualaikum, Pak. Maafkan Risma jika baru sempat datang," ucapnya pelan. Risma masih berdiri tidak jauh dari pintu masuk, belum berani mendekat. Tidak ingin terlalu sakit jika nanti kehadirannya ditolak sang Bapak.Juragan Hasyim yang masih sulit untuk berucap lantas menangis. Air mata mulai membasahi pipi tuanya yang sudah penuh dengan gurata
Part 50Riswan dan Risma sedang dalam perjalanan pulang kembali menuju rumah, setelah sebelumnya mereka sempatkan untuk makan dan mampir sejenak di restoran cepat saji yang tidak jauh dari tempat bapaknya dirawat.Mobil yang dikendarai Riswan mulai masuk halaman rumah emak. Terlihat sepi dan lengang, sekeliling rumah emak pun terlihat tidak ada yang lalu lalang.Risma lantas membuka pintu utama rumah tersebut, dengan ditemani suami dan anak-anaknya, Risma pun segera masuk dan langsung menuju kamar utama. Kamar tidur Emak dan bapak.Risma langsung menuju bufet tempat tidur tempat emak menyimpan sertifikat rumah. Sementara Riswan dengan Yuli dan Neti duduk di karpet lantai ruang tamu.Dua pintu kaca bufet yang diperiksa oleh Risma, dia belum juga menemukan surat-surat yang dimaksud oleh emak. Sampai Risma membuka-buka bawah bantal dan kasur, tetap tidak dia temukan."Bang, Bang Riswan!?" panggil Risma pada suaminya."Iya, Sayang," jawab
Part 51 "Assalamualaikum ... Yah! Samsiah!" juga tidak ada balasan. Suasana masih terlihat lengang. "Sepertinya Samsiah tidak ada, Neng." "Iya, Bang. Eneng coba panggil Ela aja yah, Bang." "Ya sudah, tapi sepertinya sepi juga Neng." "Eneng coba panggil dulu, Bang?" Riswan mengangguk, sesekali matanya melihat ke arah rumah induk untuk memperhatikan anak-anaknya dari kaca rumah yang lebar. Yuli dan Neti masih terlihat bermain di sana. Risma segera menuju rumah Ela, mencoba memanggilnya beberapa kali, dan ternyata sama saja, tidak terdengar ada jawaban dari dalam rumah. Risma pun segera kembali mendekati suaminya. "Iya, Bang, nggak ada juga?" "Kita balik pulang saja, yah, jika ada waktu nanti kita kembali ke sini lagi," ucap Riswan. "Iya, Bang," jawab Risma, lalu menggandeng Riswan untuk kembali ke rumah Emak.Risma segera mengunci kembali pintu rumah emak, sementara Riswan dan dua putrinya menunggu di dep
PART 52Prinsip kejujuran dalam berusaha selalu ditekankan oleh kakek dari Riswan sedari kecil. Tidak ada tolerir bagi pihak-pihak yang mencoba bermain-main dengan melanggar prinsip dasar Niskala group. Kejujuran. Kebohongan hanya akan menyelamatkan sesaat dengan kebohongan yang baru, tetapi akan terus berbohong untuk menutupi kebohongan sebelum-sebelumnya, dan selamanya akan terus berbohong agar tidak pernah terbongkar.Penyuapan dan penyogokan yang terus menerus akan menimbulkan sebuah masalah. Jika ada kesalahan yang diperbuat, seseorang yang seharusnya memberikan hukuman atau peringatan akan merasa tidak enak hati untuk menjatuhkan hukuman karena sudah memakan uang sogokan yang diberikan, sampai akhirnya kesalahan yg diperbuat semakin bertambah banyak, hingga usaha atau bisnis tidak akan berkembang, dan bahkan juga tutup ataupun bangkrut.Amran, Ela, dan Samsiah masih saja terdiam, pertanyaan Riswan membuat mereka tidak tahu bagaimana menjawabnya, karena yan
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti