Gama meletakkan cangkir kopinya di atas piring kecil di meja. Ia menatap Marsha yang juga menikmati hal yang sama.
Raut wajah wanita itu masih tenang dan cantik—bahkan semakin cantik karena Gama tidak melihatnya beberapa hari terakhir.“Bagaimana kambar—“Marsha mengangkat tangannya. Ia menghentikan Gama dengan cara yang cukup dingin.“Aku mengajak bertemu denganmu bukan untuk bertukar kabar, Tuan Gama.” Marsha menatap tajam. “Saya kira Anda memahaminya dengan baik.”“Tapi apa ini? Saya sedikit kecewa karna orang peka seperti Anda tidak memahami maksud kedatangan saya dengan baik.”“Apa saya terlalu menyanjung Anda?”Gama mengerutkan kening. Bahasa formal yang mencuat dari dalam mulut Marsha membuatnya sedikit frustrasi.Ia memejamkan mata dan mengembuskan napas lembut—mencoba bersabar dengan hal ini.“Baiklah. Mari bahas apa yang ingin Anda sampaikan.” Gama melihat jam tangan yang melingkar diAkhh .... Derren menatap Marsha dengan tatapan terkejut. Wanita itu baru saja menjerit tanpa sebab yang jelas. “Kamu kenapa Marsha?” Derren mencekal kedua bahu istrinya. Ia menatap lekat pada kedua manik mata gelap yang terlihat frustrasi. “Aku mau pulang!” Wanita itu membentak. Tubuhnya mendadak lemas dan ia tidak bisa berdiri dengan benar sampai Derren harus menopangnya. Derren mengembus napas lelah. Ia mengambil ponsel dan menghubungi Iparnya. Setelah menyampaikan perihal kondisi istrinya, Derren segera membawanya ke mobil setelah membantu Marsha membereskan barangnya di kantor. “Aku tidak mau pulang.” Oh apa lagi sekarang? Derren memasangkan sabuk pengaman dan masuk ke dalam ruang pengemudi—tepat di sebelah Marsha. “Lalu, jika kamu tidak mau pulang. Kamu mau ke mana?” Lelaki berusia 21 tahun itu mulai menjalankan mobil dan meninggalkan rumah sakit. Ia
Derren melihat kertas pesanan yang menggunung di depannya. Ia terus menghela napas lelah dan melihat anak buahnya mulai lelah dan performa kecepatan memasak mereka mulai menurun. “Kita punya 30 pesanan lagi! Jangan mengantuk ... brak!” teriak Derren, menggebrak pantry tempatnya berdiri. Semua koki yang terlihat lelah, kini mulai takut dan mempertahankan kecepatan mereka sebisa mungkin. Dapur sangat gaduh dan ponselnya terus berdering. Tampaknya, Marsha sedang dalam masalah di atas sana. Namun ia tetap tak bisa meninggalkan pekerjaannya di waktu penting. “Maafkan aku, Marsha. Aku sedang sibuk!” Derren menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya. “Tunggu satu jam—“ Brak! “Pak!” Seorang pramusaji berlari ke arah Derren dengan panik. Ia datang dengan seorang pengawal dari lantai 6. Lantas lelaki bertubuh bongsor itu adalah penjaga Bar yang sempat ia tugaskan untuk mengawasi M
Marsha membuka mata. Ia bangun sangat pagi dengan rasa sakit di kepala yang cukup parah. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Derren—suaminya yang tertidur pulas di sampingnya. Beberapa bercak merah di bagian leher dan permukaan dada lelaki itu menjadi bukti malam panas yang telah terjadi di antara keduanya. Kedua manik mata Marsha membulat dengan hebat. Ia tertegun dan segera bangun dari posisi memeluk Derren. “Jangan bangun tiba-tiba.” Derren menahan pergerakan Marsha yang terlalu cepat dan membuat dirinya hampir jatuh ke samping tempat tidur. “Kamu pasti pusing. Jangan guncang dirimu dengan gerakan gegabah.” Marsha menahan napas. Ia sudah cukup malu melihat dirinya yang tidur tanpa busana sambil melakukan hal buruk pada lelaki muda ini. Owh ... shit! “Wa-walau sudah menikah. Apakah boleh kamu tidur seperti ini di kamarku? Kenapa tidak pergi ke kamarmu sendiri setelah meletakkan aku
“Apa yang ingin Kakak katakan padaku?” tanya Naya. Ia menatap wajah Marsha yang terlihat santai sambil melihat pemandangan di depan jalan raya. Mereka berdua sedang duduk di salah satu Cafe yang ada di dekat pertigaan kompleks. Bahkan mereka pergi dengan jalan kaki—mengingat Naya harus banyak belajar berjalan paska mengalami cedera. Ya, udara segar memang sangat baik untuknya. “Begini.” Marsha terlihat ragu. “Em ... alih-alih belajar di sekolah. Bagaimana kalau pergi ke tempat kursus?” Naya memiringkan kepalanya. “Maksud Kakak bagaimana? Aku tidak perlu berangkat ke sekolah??” Marsha mengangguk. “Kalau kamu mau. Aku bisa meminta izin sekolah untuk menghentikan studimu.” Naya terdiam. Ia tak melihat kebohongan dalam sorot mata Marsha yang lembut dan sendu. Wanita yang telah 4 bulan menjadi Kakak Ipar baginya itu, terlihat sangat tulus saat mengatakan hal gila baginya. “Tapi, bukannya Kakak sudah membayar uang sekol
Marsha menghentikan mobilnya di depan sekolah Yana dan Naya. Khusus hari ini, ia akan menemai keduanya masuk ke gedung sekolah—sekalian memastikan bagaimana kondisi rumor yang menimpa Naya. Baru masuk gerbang pertama, banyak anak yang melirik pada Naya dan berbisik sambil terus tersenyum dengan wajah jahat. “Apa separah ini?” batin Marsha, menatap sekeliling dengan teliti. “Kakak bisa pulang sekarang.” Naya menatap wajah Marsha. Wanita itu terlihat tegang dan cemas. Namun tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengurus anak-anak di sekitarnya. Ia terlihat tak berdaya secara langsung. “Kamu yakin dengan ini?” Marsha menatap Naya dengan tak percaya diri. Ia ragu untuk melepaskannya di dalam situasi kacau yang bisa kembali menekan kembali mentalnya. “Sekarang aku baik-baik saja.” Naya menjawab dengan keteguhan hati. “Aku akan pulang dengan tersenyum hari ini. Dan ... terima kasih untuk sarannya kemari
Marsha mengerutkan keningnya. Kini wajahnya kembali terlihat dingin dan acuh. Sama seperti Marsha yang selalu tegas dan penurut di depan kedua orang tuanya. Sosok anak bungsu yang pendiam dan pandai menilai situasi. “Jangan bercanda.” Wanita itu menatap wajah wanita yang selalu ia sebut dengan panggilan “Mama” sepanjang hidupnya. “Mama saja yang tidak tahu jika aku juga memiliki kepribadian menyebalkan dan kekanak-kanakan. Huff ... aku di depan Mama atau Ayah Bima, memang terlalu pendiam dan dewasa. Anak cantik yang penurut!” Marsha mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Tapi sekarang aku bukan bagian dari rumah itu. Aku tak perlu bersikap sangat dewasa karena orang-orang itu menerimaku yang baik dengan sikap menyebalkan atau tegas!” Dena tersenyum miring seakan menertawakan kebahagiaan tabu yang dielu-elukan Marsha. “Sampai kapan itu akan bertahan? Suamimu akan goyah sebentar lagi.” Dena mengejek. “Lelaki y
Gama tak berhenti tersenyum sepanjang waktu. Ia terus mengingat apa yang di katakan Marsha, bahkan mengingat dengan jelas bagaimana ekspresinya. "Bibir Anda bisa sobek jika Anda terus tersenyum seperti itu, Tuan." Hafiz berucap. Ia menatap Tuannya yang tak berhenti mengulas senyum manis sejak kehadiran Marsha 2 hari yang lalu dengan pandangan lelah. “Apa masalahmu?” Gama menatap tajam. “Aku tersenyum di kantorku. Bangunanku dan kamu hanya seorang pelayanku! Jadi jangan banyak bicara!” Hafiz memutar bola matanya malas dan berjalan keluar dari kantor Gama. Ia bertemu Indira, seorang wanita yang bekerja sebagai sekretaris bersama dengannya. “Bagaimana? Tuan Gama masih seperti kemarin?” Hafiz mengangguk dan duduk di samping Indira, di mana tempat sekretaris berkumpul untuk bekerja. "Masih sama.” Hafiz menghela napas kasar. “Ini baru pertama kalinya aku melihat Tuan Gama sangat bersemangat dengan pasangannya. Dulu saat
Tok ... tok .... “Nyonya, bolehkah saya masuk?” “Masuk saja, Pak Mahen.” Dena mempersilahkan. Ia melihat wajah lelaki berusia 27 tahun itu saat menatap pintu masuk kantornya. “Apa yang ingin kamu sampaikan?” Pak Mahen mendekati meja Dena lalu mencondongkan sedikit tubuhnya ke arah depan, ia pun berbisik. “Nyonya, lelaki itu telah tiba. Beliau ada di lantai satu sekarang. Tampaknya beliau mampir untuk bertemu dengan Anda.” Dena mengerutkan keningnya dalam. Ia tampak tak senang dengan kehadiran tamu tak di undang itu. “Jangan biarkan dia masuk sampai ke lantai ini.” Pak Mahen menundukkan kepalanya mengerti. Ia pun berjalan keluar untuk menjalankan perintah Tuannya. “Tuan Mahen, tamu itu sudah sampai di lantai 5.” Seorang lelaki berkari menghampiri Mahen yang baru keluar dari ruangan Direktur mereka. Mahen menatap bawahannya dengan tegas. “Jangan biarkan ia sampai di