Dua hidangan mie ramen telah tersaji di depan kedua orang yang tampak lelah setelah kencan pertama mereka.
Berbeda dengan kencan yang lain, keduanya terlihat lebih senang dengan suasana riuh restoran lokal, bukannya resto mewah yang menyajikan hidangan mahal dengan jumlah sedikit.“Bagaimana? Aku mencari resto ini selama 2 hari. Aku harap kamu suka.”Derren telah berusaha sangat keras. Ia harap hari ini ia berhasil membuat Marsha yang lelah bekerja selama 1 bulan terakhir, merasa sedikit senang hari ini.“Tentu saja. Kamu sudah sangat-berusaha-keras untuk semua ini. Terima kasih. Baru kali ini aku merasa sangat senang saat berkencan. Kegiatan kencan bersamamu ternyata tidak monoton. Aku senang!”Marsha berucap dengan menunjukkan ketulusannya.Wajah yang sepanjang hari tersenyum lebar itu kini memperlihatkan senyum cantik dengan lembut di sertai tatapan sendu.Sungguh sosok yang lembut dan menawan.DerrenBima diam dengan tatapan terkejut. Kedua manik matanya telah melebar dengan sempurna. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Bima berusaha menutupi aibnya. Tentu saja ia tidak bisa mengaku jika ia membenci menantunya. Bahkan setiap kedatangannya ke rumah ini hanyalah sebuah misi dari istrinya, Dena. Naya tersenyum masam. Ia menatap kebingungan dan keraguan di mata lelaki tua yang masih terlihat cukup di usia tuanya. “Kenapa? Apakah pertanyaanku sulit untuk di jawab?” Bima kembali diam. Ia masih terlihat kebingungan—tak tahu harus menjawab seperti apa. Karena tampaknya kedua anak itu terlihat cukup peka. Ring ... ring .... Bima menatap ponsel yang berdering di atas meja dengan antusias--itu menyelamatkannya dari pertanyaan maut. “Kakek akan menjawab telepon ini dulu. Kalian lanjutkan saja belajarnya,” ucap Bima, segera keluar dari dalam rumah dan menjaga jarak dari keduanya. “Lihat.”
Yana telah siap dengan seragamnya. Ia turun untuk sarapan. Namun begitu melihat Marsha, ia segera membatalkan niatnya untuk pergi sarapan walau perutnya sangat keroncongan. Derren yang melihat itu langsung mengerutkan kening dan menatap pada Marsha yang makan dengan tenang tanpa bertanya pada Yana apakah ia butuh sarapan atau tidak. Sikap Marsha pada Yana—tidak sama seperti biasanya. “Kalian bertengkar?” tanya Derren. Marsha mengangkat bahunya acuh tak acuh dan melahap makanan terakhirnya. “Aku pergi. Selamat bekerja.” Marsha berjalan pergi meninggalkan Derren. Ia keluar rumah dan melihat Yana berdiri di depan teras—seakan tengah menunggunya. Namun Marsha hanya berlalu melewatinya dengan mudah tanpa mengkhawatirkan dirinya. “Kak—“ Marsha menahan langkah dan menoleh pada gadis kecil yang baru saja memanggilnya. Bahkan dari lantai dua, Marsha bisa melihat Naya tengah mengawasi mereka da
Sruk .... Marsha meletakkan beberapa dokumen yang tengah ia baca untuk meneliti sel kanker pada kasus salah satu pasiennya. Berita yang di sampaikan Valerie dengan wajah gelisah sekarang ini—membuat Marsha membulatkan matanya dengan sempurna. “Kamu serius?” Marsha tidak mendapatkan jawaban. Wanita berusia 3 tahun lebih muda darinya itu hanya diam dan menatapnya dengan gelisah. Ia bangun dari tempat duduknya dan mengambil jas putih yang ia gantung pada gantungan jas di samping mejanya. Valerie mengikuti ke mana Marsha pergi. Berusaha menyusul langkah jenjang dan cepat Marsha. “Ruang operasi berapa?” “Ruang 3, Prof.” “Siapa Dokter yang menanganinya?” “Dokter Dira, Prof. Karena Dokter Tomo juga sedang melakukan operasi, jadi—“ “Kalian membiarkan Dokter baru melakukan operasi? Gegabah sekali kalian!” bentak Marsha. Valerie hanya menundukkan kepalanya dan melihat bebera
“Kau baik-baik saja?” Abri memberikan segelas kopi panas pada Derren dan itu bergabung dengan mereka bertiga. Derren, Abri, Abdul dan Orlan, kini sedang berkumpul di salah satu meja yang ada di kafetaria rumah sakit setelah 3 teman Derren menjenguk Ayah kawan mereka. “Apa aku terlihat baik?” balas Derren, menunjuk ke arah mata Panda yang terlihat semakin parah saat ini. 3 orang teman lelaki yang tadinya hanya niat bergurau, kini malah menertawakan kemalangan temannya dengan sangat menikmatinya. “Tentang Ayahmu—“ Abri mengerutkan keningnya dalam. “Bukankah ada sesuatu yang aneh padanya?” Abdul dan Orlan mengangguk menyetujui hal tersebut. “Sepertinya kita memang harus curiga,” sahut Abdul, tampak memikirkannya dengan serius. “Kamu bilang ada lebam di sekitar tubuhnya, kan?” Derren mengangguk setelah mendengar pertanyaan dari Orlan. Ketiga lelaki di depan Derren terlihat berpikir setelah melihat
Derren mengusap dadanya. Ia bersyukur bisa lari dari amarah Marsha dan kini duduk menemani Ayahnya yang telah dipindahkan ke dalam kamar rawat inap. Perban putih menutup sebagian kepalanya. Tubuh kurus kering yang terlalu banyak mengonsumsi dan faktor kurang gizi, membuat Derren merasa miris melihatnya. “Apa yang terjadi?” Derren bergumam. Ia menatap wajah tenang lelaki tua yang terbaring lemah di depannya dengan kening berkerut samar. “Di mana Mama?” Tok ... tok .... Derren menoleh dan melihat 2 orang yang tak seharusnya datang menjenguk Ayahnya. Lea dan Gama yang tak ada urusannya, kini datang dengan wajah khawatir. Derren membuka pintu dan mempersilahkan masuk. “Bagaimana keadaan Ayahmu?” Lea menatap Dafa dengan tatapan khawatir. Murni karena ia cemas, bukan hanya sekedar akting belaka. “Kamu bisa melihatnya.” Derren menghela napas panjang. “Ia dalam kondisi tidak baik-ba
Gama meletakkan cangkir kopinya di atas piring kecil di meja. Ia menatap Marsha yang juga menikmati hal yang sama. Raut wajah wanita itu masih tenang dan cantik—bahkan semakin cantik karena Gama tidak melihatnya beberapa hari terakhir. “Bagaimana kambar—“ Marsha mengangkat tangannya. Ia menghentikan Gama dengan cara yang cukup dingin. “Aku mengajak bertemu denganmu bukan untuk bertukar kabar, Tuan Gama.” Marsha menatap tajam. “Saya kira Anda memahaminya dengan baik.” “Tapi apa ini? Saya sedikit kecewa karna orang peka seperti Anda tidak memahami maksud kedatangan saya dengan baik.” “Apa saya terlalu menyanjung Anda?” Gama mengerutkan kening. Bahasa formal yang mencuat dari dalam mulut Marsha membuatnya sedikit frustrasi. Ia memejamkan mata dan mengembuskan napas lembut—mencoba bersabar dengan hal ini. “Baiklah. Mari bahas apa yang ingin Anda sampaikan.” Gama melihat jam tangan yang melingkar di
Akhh .... Derren menatap Marsha dengan tatapan terkejut. Wanita itu baru saja menjerit tanpa sebab yang jelas. “Kamu kenapa Marsha?” Derren mencekal kedua bahu istrinya. Ia menatap lekat pada kedua manik mata gelap yang terlihat frustrasi. “Aku mau pulang!” Wanita itu membentak. Tubuhnya mendadak lemas dan ia tidak bisa berdiri dengan benar sampai Derren harus menopangnya. Derren mengembus napas lelah. Ia mengambil ponsel dan menghubungi Iparnya. Setelah menyampaikan perihal kondisi istrinya, Derren segera membawanya ke mobil setelah membantu Marsha membereskan barangnya di kantor. “Aku tidak mau pulang.” Oh apa lagi sekarang? Derren memasangkan sabuk pengaman dan masuk ke dalam ruang pengemudi—tepat di sebelah Marsha. “Lalu, jika kamu tidak mau pulang. Kamu mau ke mana?” Lelaki berusia 21 tahun itu mulai menjalankan mobil dan meninggalkan rumah sakit. Ia
Derren melihat kertas pesanan yang menggunung di depannya. Ia terus menghela napas lelah dan melihat anak buahnya mulai lelah dan performa kecepatan memasak mereka mulai menurun. “Kita punya 30 pesanan lagi! Jangan mengantuk ... brak!” teriak Derren, menggebrak pantry tempatnya berdiri. Semua koki yang terlihat lelah, kini mulai takut dan mempertahankan kecepatan mereka sebisa mungkin. Dapur sangat gaduh dan ponselnya terus berdering. Tampaknya, Marsha sedang dalam masalah di atas sana. Namun ia tetap tak bisa meninggalkan pekerjaannya di waktu penting. “Maafkan aku, Marsha. Aku sedang sibuk!” Derren menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya. “Tunggu satu jam—“ Brak! “Pak!” Seorang pramusaji berlari ke arah Derren dengan panik. Ia datang dengan seorang pengawal dari lantai 6. Lantas lelaki bertubuh bongsor itu adalah penjaga Bar yang sempat ia tugaskan untuk mengawasi M
Marsha menatap Lea dan Anna yang saling berseteru di depan ruangannya. Sementara dirinya dan Syam, hanya menatap sebagai penonton dari dalam ruangan. “Aku tidak tahu jika hubungan mereka akan seburuk itu,” gumam Syam. Marsha yang mendengar itu hanya tersenyum simpul. “Itu memang karakternya. Kalau sudah membenci seseorang, dia akan terus membencinya sampai akhir. Senior tidak ingat bagaimana Lea memperlakukan aku saat masih bersaing hati untuk Derren?” Syam hanya mengangguk-angguk. Lalu kembali melihat pemandangan menyenangkan di depannya. “Ah, tapi seru melihatnya bertengkar. Aku selalu suka itu. Baik denganmu atau dengan Ibu Tiri mudanya itu.” Syam senyum-senyum tidak jelas. Sementara Marsha yang sibuk memindai data yang masuk lewat emailnya. Baik dari RS Zahara atau Perusahaan Mi. Yang jelas, itu tidak berhenti sejak 2 jam yang lalu. “Perkerjaanmu pasti sangat banyak, kan?” celetuk Syam, seperti mengejek.
Berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang di padati perawat dan pasien. Setelah sekian lama akhirnya Marsha bisa kembali bekerja. Pemandangan yang sama membuatnya jenuh. Tapi liburan dua hari kemarin telah membantunya melepas stres. “Selamat pagi, Prof.” Beberapa orang menyapa Marsha dengan ramah. Marsha hanya menunduk singkat menjawab salam itu sambil mengumbar senyum cantiknya. Saat hendak masuk ke dalam ruangan, ia bertemu Lea yang keluar dari dua ruangan yang ada di sebelah kantornya. Lea menatap Marsha dengan sinis. Tampaknya, mood wanita itu sedang tidak baik mengingat reaksinya yang berlebihan. “Padahal aku belum menyapa, tapi kamu sudah melempar tatapan seperti itu? Keterlaluan,” pekik Marsha, mendekati Lea. “Jangan bersikap baik di rumah sakit. Orang-orang Ayahku masih terus mengawasi ... bahkan ia menambah personelnya,” ucap Lea, mengeluh. Marsha menatap sekeliling. “Kalau di s
Marsha bangun cukup pagi setelah sekian kama tidak beraktivitas dan hanya rebahan sepanjang hari di rumah sakit. Kini ia bebas. Jadi Marsha akan memulai paginya dengan sesuatu yang baik—seperti membuat masakan untuk suami dan kedua adik iparnya yang cantik. Baru saja keluar dari kamarnya, Marsha sudah melihat kedua ajudan kepercayaannya tertidur pulas di sofa dengan posisi memangku laptop mereka yang masih menyala. “Astaga. Apa yang aku lihat di pagi hari?” gumam Marsha, berjalan mendekati kedua orang itu. “Hey, coba bangun dan pindah ke kamar. Jika ingin tidur, aku punya banyak kamar kosong.” Marsha membangunkan kedua orang itu. Walau akhirnya keduanya sangat sulit untuk di bangunkan. Marsha membutuhkan waktu 10 menit agar melihat kedua orang itu bangun dan meninggalkan ruang tamu. Menghela napas panjang, Daniel dan Salma meninggalkan laptop mereka di atas meja dalam kondisi menyala dan bekerja. “Kalian
Marsha tidak ingat kapan ia benar-benar tertidur pulas. Yang jelas, saat dia bangun Derren tidur di sampingnya dengan mata sembab. Marsha hanya menghela napas panjang dan membelai puncak kepalanya dengan sayang. Ia masih mengingat bagaimana keluhan dan kesedihan Derren kemarin malam. Cukup mengenai hatinya yang mudah luluh jika itu bersangkutan dengan suami kecilnya. Tapi tak ada kata istirahat untuk mengenang seseorang—walau itu adalah Ibu Mertua yang pernah tinggal bersama dengannya beberapa minggu. “Daniel.” Marsha memanggil dengan tegas. Lelaki yang sedari tadi berdiri di belakang pintu di sisi luar, akhirnya memberanikan diri untuk masuk dan mengganggu kemesraan kedua patsuri itu. “Apa yang ingin kamu sampaikan? Dari tadi aku melihatmu berdiri di luar dengan ragu-ragu.” Marsha turun dari ranjang, namun saat satu kaki Marsha baru turun, Derren segera memeluk perutnya dengan mata terbuka lebar—lelaki itu benar
Dena menatap Marsha dengan tatapan serius. “Tentang Ayahmu yang meninggal karena kecelakaan mobil. Ia tidak meninggal karena kecelakaan biasa. Ia di bunuh ... itu kecelakaan yang di sengaja.” Marsha mengerutkan kening. “Apa maksud Mama?” Ia bangkit dari posisi duduk—mondar-mandir tidak jelas dan duduk kembali dengan Dena yang menatapnya lelah. “Tunggu, ini di luar dugaan Marsha, Ma. Kenapa tiba-tiba membahas ini saat semuanya runyam?” Marsha menjambak kedua sisi rambutnya. “Apa sih ini? Kenapa tiba-tiba sekali.” Marsha menatap wanita itu dengan wajah lelah. “Marsha sibuk dengan kasus ini dan itu. Tapi Mama bicara begitu sekarang? Mama mau membuat Marsha botak karena terlalu banyak ‘problem’?” Dena menggeleng. “Bukan itu maksud Mama. Hanya saja ... pelakunya memiliki nama yang sama dengan orang yang kamu kejar dalam kasus beruntung ini.” Marsha mengerutkan kening untuk ke sekian kali. Ia masih tidak habis pikir dengan semua ini. “Anna? Apakah wanita itu ... biang keroknya?” Dena
Drtt …. drtt … drtt … Marsha mengejapkan mata. Ini hari terakhirnya berada di rumah sakit. Yang ia pikirkan hanya bermalas-malasan seharian karena mengira ini adalah hari terakhir liburnya. Tapi begitu melihat panggilan telepon dari Daniel, entah mengapa Marsha yakin jika dirinya tak akan bisa bersantai lagi. “Halo.” Marsha menguap lebar. Yana dan Naya yang entah sejak kapan ada di dalam kamarnya, hanya melihat kelakuan kakak iparnya dengan geleng-geleng kepala. [Anda masih di rumah sakit, kan?] Marsha menjauhkan teleponnya dari telinga—memastikan apa benar yang meneleponnya adalah Daniel—karena orang di seberang sana seakan tak tahu kondisinya. “Kenapa bertanya tidak masuk akal?” Marsha bertanya dengan bingung. “Suaramu … apa ada masalah yang terjadi?” Daniel terdengar mendesak kasar. Tampaknya memang ada yang telah terjadi. Daniel adalah orang yang tenang jika berhadapan dengan dirinya. Mende
Lea tersenyum dengan paksa. Air matanya hampir berlinang membasahi pipi. “Kenapa dengan wajahmu?” Marsha bertanya karena murni tidak tahu. Wanita itu datang dengan wajah sembab sambil membawa banyak makanan. Tapi begitu masuk ke dalam ruangan Marsha ia tidak melakukan apa pun dan hanya diam seperti mayat hidup di sofa panjang depan TV. Marsha masih duduk di atas ranjang dengan meninjau data. Setelah mengajukan pertanyaan tanpa jawaban, ia memilih untuk tidak bertanya lagi. Ampai beberapa jam berlalu tanpa obrolan di dalam ruangan itu. Marsha menatap keluar jendela. Langit malam sudah mulai menampakkan diri. Sudah saatnya Lea kembali. Tapi wanita itu hanya diam seperti beberapa saat yang lalu. “Hari makin gelap. Kamu tidak kembali?” tanya Marsha. Lea mengejapkan mata dan memalingkan pandangan ke arah Marsha. “Aku mau menginap.” Setelah mengatakan itu, Lea meletakkan bantal sofa yang dari tadi ia
Lea menatap Gama yang duduk di dalam ruang tamunya dengan tatapan bingung.“Apa yang membawamu ke sini?” tanyanya, dengan menyajikan secangkir teh untuk mereka berempat.“Aku datang untuk bertanya sesuatu.” Gama memilik ke arah Derren dan Syam yang masih terus melempar tatapan horor satu sama lain. “Tapi mereka akan mengganggu jika terus begitu. Tidak bisakah kamu membuang salah satunya ke kamar mandi atau ke mana gitu?” Lea menghela napas kasar. “Di antara dua orang ini, mana yang lebih di butuhkan untuk membantu?”Gama langsung menunjuk Derren. Seketika itu juga Lea langsung menyeret Syam dan memasukkannya ke dalam kamar, lalu menguncinya dari luar.“Kamu tidur saja, Senior. Kamu kan belum tidur karena menemaniku semalaman!” ucap Lea dari luar kamar tanpa rasa bersalah.Syam pasrah. Ia yang mulai mengantuk akhirnya menurut. “Baiklah. Bangunkan aku saat jam makan siang.” Lea tak menjawabnya. Ia kembali ke ar
“Kamu mau makan apa?” Derren mengambil piring. Ia siap menjadi banu Marsha seandainya istri cantiknya itu meminta sesuatu. Sayangnya, Marsha sudah mengambil piringnya sendiri dan mengambil makanannya sendiri. Derren menghela napas penat. Ia mengikuti langkah Marsha berjalan pergi meninggalkan tempat hidangan kantin berada dan mencari tempat duduk. “Jangan terus mengikutiku.” Marsha menyuapkan makanan ke dalam mulut dan mulai makan dengan tenang. Derren memperhatikan dengan saksama. “Sampai kapan kamu jadi marah? Kemarin kan masih aku yang marah?” tanyanya, tak mengerti kenapa situasinya menjadi terbalik. Wanita itu hanya mengangkat pundak acuh tak acuh. Derren menghela napas. Ia masih mempertahankan senyumnya dengan sabar. “Bagaimana kalau menonton?” Marsha menaikkan alisnya. Ia terlihat tertarik. Tapi gengsi lebih mendominasi. “Tiba-tiba?” Ia menjawab dengan sewot. “Kamu masih ingat