Tak ... tak ....
Marsha melangkah masuk ke dalam area rumah sakit. Pakaian yang jauh berbeda dengan biasanya, membuat dirinya menjadi pusat perhatian.Dari saat ia turun dari mobil dan berpapasan dengan satpam penjaga depan-sampai beberapa orang di balik meja resepsionis lantai satu—tak ada seorang pun yang bisa mengalihkan pandangannya dari sosok Marsha.Wanita itu tampil dengan gaya berbeda dari biasanya.“Apa ini? Apa ada dokter baru yang seharusnya datang?” celetuk Syam.Lelaki tampan dengan tinggi hampir menyamai bingkai pintu itu, mencegat langkah Marsha tepat di depan pintu samping ruang UGD.Marsha memutar bola matanya malas.“Apa-apaan lagi? Kamu tak kenal dengan rang yang hampir 5 tahun bekerja bersamamu di sini?”Syam mengangkat bahunya dan menatap beberapa perawat di belakangnya yang tak kalah terkejut dengan dirinya melihat penampilan Marsha yang terlalu feminin dan memukau.SepDua hidangan mie ramen telah tersaji di depan kedua orang yang tampak lelah setelah kencan pertama mereka. Berbeda dengan kencan yang lain, keduanya terlihat lebih senang dengan suasana riuh restoran lokal, bukannya resto mewah yang menyajikan hidangan mahal dengan jumlah sedikit. “Bagaimana? Aku mencari resto ini selama 2 hari. Aku harap kamu suka.” Derren telah berusaha sangat keras. Ia harap hari ini ia berhasil membuat Marsha yang lelah bekerja selama 1 bulan terakhir, merasa sedikit senang hari ini. “Tentu saja. Kamu sudah sangat-berusaha-keras untuk semua ini. Terima kasih. Baru kali ini aku merasa sangat senang saat berkencan. Kegiatan kencan bersamamu ternyata tidak monoton. Aku senang!” Marsha berucap dengan menunjukkan ketulusannya. Wajah yang sepanjang hari tersenyum lebar itu kini memperlihatkan senyum cantik dengan lembut di sertai tatapan sendu. Sungguh sosok yang lembut dan menawan. Derren
Bima diam dengan tatapan terkejut. Kedua manik matanya telah melebar dengan sempurna. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Bima berusaha menutupi aibnya. Tentu saja ia tidak bisa mengaku jika ia membenci menantunya. Bahkan setiap kedatangannya ke rumah ini hanyalah sebuah misi dari istrinya, Dena. Naya tersenyum masam. Ia menatap kebingungan dan keraguan di mata lelaki tua yang masih terlihat cukup di usia tuanya. “Kenapa? Apakah pertanyaanku sulit untuk di jawab?” Bima kembali diam. Ia masih terlihat kebingungan—tak tahu harus menjawab seperti apa. Karena tampaknya kedua anak itu terlihat cukup peka. Ring ... ring .... Bima menatap ponsel yang berdering di atas meja dengan antusias--itu menyelamatkannya dari pertanyaan maut. “Kakek akan menjawab telepon ini dulu. Kalian lanjutkan saja belajarnya,” ucap Bima, segera keluar dari dalam rumah dan menjaga jarak dari keduanya. “Lihat.”
Yana telah siap dengan seragamnya. Ia turun untuk sarapan. Namun begitu melihat Marsha, ia segera membatalkan niatnya untuk pergi sarapan walau perutnya sangat keroncongan. Derren yang melihat itu langsung mengerutkan kening dan menatap pada Marsha yang makan dengan tenang tanpa bertanya pada Yana apakah ia butuh sarapan atau tidak. Sikap Marsha pada Yana—tidak sama seperti biasanya. “Kalian bertengkar?” tanya Derren. Marsha mengangkat bahunya acuh tak acuh dan melahap makanan terakhirnya. “Aku pergi. Selamat bekerja.” Marsha berjalan pergi meninggalkan Derren. Ia keluar rumah dan melihat Yana berdiri di depan teras—seakan tengah menunggunya. Namun Marsha hanya berlalu melewatinya dengan mudah tanpa mengkhawatirkan dirinya. “Kak—“ Marsha menahan langkah dan menoleh pada gadis kecil yang baru saja memanggilnya. Bahkan dari lantai dua, Marsha bisa melihat Naya tengah mengawasi mereka da
Sruk .... Marsha meletakkan beberapa dokumen yang tengah ia baca untuk meneliti sel kanker pada kasus salah satu pasiennya. Berita yang di sampaikan Valerie dengan wajah gelisah sekarang ini—membuat Marsha membulatkan matanya dengan sempurna. “Kamu serius?” Marsha tidak mendapatkan jawaban. Wanita berusia 3 tahun lebih muda darinya itu hanya diam dan menatapnya dengan gelisah. Ia bangun dari tempat duduknya dan mengambil jas putih yang ia gantung pada gantungan jas di samping mejanya. Valerie mengikuti ke mana Marsha pergi. Berusaha menyusul langkah jenjang dan cepat Marsha. “Ruang operasi berapa?” “Ruang 3, Prof.” “Siapa Dokter yang menanganinya?” “Dokter Dira, Prof. Karena Dokter Tomo juga sedang melakukan operasi, jadi—“ “Kalian membiarkan Dokter baru melakukan operasi? Gegabah sekali kalian!” bentak Marsha. Valerie hanya menundukkan kepalanya dan melihat bebera
“Kau baik-baik saja?” Abri memberikan segelas kopi panas pada Derren dan itu bergabung dengan mereka bertiga. Derren, Abri, Abdul dan Orlan, kini sedang berkumpul di salah satu meja yang ada di kafetaria rumah sakit setelah 3 teman Derren menjenguk Ayah kawan mereka. “Apa aku terlihat baik?” balas Derren, menunjuk ke arah mata Panda yang terlihat semakin parah saat ini. 3 orang teman lelaki yang tadinya hanya niat bergurau, kini malah menertawakan kemalangan temannya dengan sangat menikmatinya. “Tentang Ayahmu—“ Abri mengerutkan keningnya dalam. “Bukankah ada sesuatu yang aneh padanya?” Abdul dan Orlan mengangguk menyetujui hal tersebut. “Sepertinya kita memang harus curiga,” sahut Abdul, tampak memikirkannya dengan serius. “Kamu bilang ada lebam di sekitar tubuhnya, kan?” Derren mengangguk setelah mendengar pertanyaan dari Orlan. Ketiga lelaki di depan Derren terlihat berpikir setelah melihat
Derren mengusap dadanya. Ia bersyukur bisa lari dari amarah Marsha dan kini duduk menemani Ayahnya yang telah dipindahkan ke dalam kamar rawat inap. Perban putih menutup sebagian kepalanya. Tubuh kurus kering yang terlalu banyak mengonsumsi dan faktor kurang gizi, membuat Derren merasa miris melihatnya. “Apa yang terjadi?” Derren bergumam. Ia menatap wajah tenang lelaki tua yang terbaring lemah di depannya dengan kening berkerut samar. “Di mana Mama?” Tok ... tok .... Derren menoleh dan melihat 2 orang yang tak seharusnya datang menjenguk Ayahnya. Lea dan Gama yang tak ada urusannya, kini datang dengan wajah khawatir. Derren membuka pintu dan mempersilahkan masuk. “Bagaimana keadaan Ayahmu?” Lea menatap Dafa dengan tatapan khawatir. Murni karena ia cemas, bukan hanya sekedar akting belaka. “Kamu bisa melihatnya.” Derren menghela napas panjang. “Ia dalam kondisi tidak baik-ba
Gama meletakkan cangkir kopinya di atas piring kecil di meja. Ia menatap Marsha yang juga menikmati hal yang sama. Raut wajah wanita itu masih tenang dan cantik—bahkan semakin cantik karena Gama tidak melihatnya beberapa hari terakhir. “Bagaimana kambar—“ Marsha mengangkat tangannya. Ia menghentikan Gama dengan cara yang cukup dingin. “Aku mengajak bertemu denganmu bukan untuk bertukar kabar, Tuan Gama.” Marsha menatap tajam. “Saya kira Anda memahaminya dengan baik.” “Tapi apa ini? Saya sedikit kecewa karna orang peka seperti Anda tidak memahami maksud kedatangan saya dengan baik.” “Apa saya terlalu menyanjung Anda?” Gama mengerutkan kening. Bahasa formal yang mencuat dari dalam mulut Marsha membuatnya sedikit frustrasi. Ia memejamkan mata dan mengembuskan napas lembut—mencoba bersabar dengan hal ini. “Baiklah. Mari bahas apa yang ingin Anda sampaikan.” Gama melihat jam tangan yang melingkar di
Akhh .... Derren menatap Marsha dengan tatapan terkejut. Wanita itu baru saja menjerit tanpa sebab yang jelas. “Kamu kenapa Marsha?” Derren mencekal kedua bahu istrinya. Ia menatap lekat pada kedua manik mata gelap yang terlihat frustrasi. “Aku mau pulang!” Wanita itu membentak. Tubuhnya mendadak lemas dan ia tidak bisa berdiri dengan benar sampai Derren harus menopangnya. Derren mengembus napas lelah. Ia mengambil ponsel dan menghubungi Iparnya. Setelah menyampaikan perihal kondisi istrinya, Derren segera membawanya ke mobil setelah membantu Marsha membereskan barangnya di kantor. “Aku tidak mau pulang.” Oh apa lagi sekarang? Derren memasangkan sabuk pengaman dan masuk ke dalam ruang pengemudi—tepat di sebelah Marsha. “Lalu, jika kamu tidak mau pulang. Kamu mau ke mana?” Lelaki berusia 21 tahun itu mulai menjalankan mobil dan meninggalkan rumah sakit. Ia