Kebisuan mereka dipecahkan oleh suara pemuda itu, Sintia dan Nadin terkejut mendengar pemuda itu berbicara, bukan karena dia berbicara tapi ajakan pemuda itu yang cukup membuat Nadin syok
"Menikahlah denganku! Pertimbangkan penawaranku ini."
Nadin membeku mendengar perkataan lelaki asing di depannya, lelaki yang baru ditemuinya dua kali ini. Menikah palak lu! Demi membayar kontrakan dia harus menikah dengan lelaki ini? Miris sek
"Menikah? Kau pikir menikah itu cuma mainan rumah-rumahan kayak bocil? Maaf, aku masih bisa mengusahakan cari kontrakan sendiri, tanpa harus menikah denganmu!"
"Aku yang gak bisa, aku butuh bantuanmu, kalau kita menikah, kita bisa berbagi tempat tinggal tanpa harus digrebek warga."
Pelipis Nadin berdenyut nyeri, kenyataan hidupnya yang sangat melelahkan dan kacau balau ini tidak bisa dia tutupi, dia memang kekurangan uang. Selalu kekurangan, untuk makan sehari tiga kali saja dia kesulitan dan dalam waktu dua puluh empat jam dia harus angkat kaki dari kost-an, ke mana dia akan berteduh? Tidak mungkin dia akan menumpang pada Sintia, gadis itu pernah bilang, dia tidak betah berbagi kamar, Nadin tidak mungkin memaksa sahabatnya itu, Sintia juga sudah membantunya meminjamkan uang saja sudah syukur.
"Berapa nomor HP mu?" tanya lelaki itu sambil mengeluarkan ponsel.
Nadin hanya bergeming, Sintia berinisiatif mengambil HP lelaki itu dan mengetik nomor telpon Nadin.
"Sintia! Kenapa kau beri nomorku?" Nadin berbisik tidak suka.
"Woles saja, siapa tahu ada info apa gitu dari dia?" jawab Sintia santai.
"Kenapa tidak kau kasih saja nomormu?"
"Lah, yang diajak nikah kan dirimu, Bestie. Iya kan?" ujar Sintia sambil tersenyum ke arah pemuda itu.
"Oh ya, kamu sudah main ngajak nikah saja, kita belum kenalan loh, aku Sintia."
"Aku Zaki, ini temanku Fahmi."
"Halo ...." Sintia menyalami mereka berdua.
"Ini?"
Zaki menunjuk Nadin dengan nada penasaran, namun Nadin masih diam saja, gadis itu masih syok mendengar lelaki di depannya mengajaknya menikah.
"Ini, Nadin. Dia sebenarnya yang akan menyewa rumah ini, aku hanya menemani," ujar Sintia
"Baiklah, Nadin. Pikirkan dengan baik, nanti saya hubungi, ya? Aku pergi dulu kalau gitu. Ayo, Mi."
Fahmi yang dari tadi diam saja menganggukkan kepala, sebelum dia pergi dia masih sempat mengucapkan salam.
"Assalamualaikum."
"Walaikumsalam," balas Sintia
Nadin terpaksa mencubit sahabatnya itu yang tiba-tiba senyum sendiri.
"Ih, sakit tahu!"
"Kenapa senyum-senyum? Gak lihat aku lagi galau?"
"Sabar, Nadin. Mungkin ini jawaban Tuhan untuk kesusahanmu selama ini, kau dicampakkan oleh Adam, sekarang tiba-tiba kau dilamar orang. Positif thingking saja, Bestie. Ketampanan Adam gak seberapa dibanding dengan Zaki. Yah, walaupun dia kere, kuharap kau bukan cewek matre ya?"
"Ngomong apa kau, Sintia? Aku hanya syok! Kenal nggak, ketemu baru dua kali, yang pertama itupun gak sengaja, kemarin aku menabraknya di perpustakaan waktu akan menemuimu."
"Yah, mungkin saja sejak pertemuan pertamanya itu dia sudah jatuh cinta pada pandangan pertama denganmu. Lebih baik gitu, sat set singkat aja yang penting jadi nikah, daripada pacaran lama-lama eh, tahunya cuma jagain jodoh orang."
"Gak mungkin bisa sesingkat itu dia jatuh cinta sama aku. Lihat tatapan matanya yang sedingin salju itu? Dia saa sekali tidak punya perasaan sama aku, dia hanya mau memanfaatkan aku agar punya tempat tinggal."
"Yah, sudah kalau gitu, anggap saja hubungan simbiosis mutualisme, dengan kalian menikah, kalian berdua bisa punya tempat tinggal, soal perasaan dan rasa cinta itu urusan belakangan lah, lagi hidup lagi kepepet tuh Din, manfaatkan semua sumber daya, yang penting kita tidak melakukan perbuatan dosa, menikah kan tidak dosa ya, kan? Malah dapat pahala."
Kepala Nadin benar-benar pening mendengar perkataan Sintia. Kenaoa sahabatnya itu malah mendukung pernikahan yang aneh ini?
"Kau kok tega sih, Sin? Menyuruhku menikah dengan pria asing yang gak kukenal sama sekali?"
"Aku gak memaksamu, Bestie. Aku hanya memberi solusi atas permasalahan kalian berdua, pikirkan lagi, tapi jangan terlalu lama, soalnya besok sudah tenggat waktu kau bayar kost."
*****
"Zak, kau yakin mau menikah dengan gadis itu?" tanya Fahmi
Mereka sudah tiba di rumah yang cukup besar, rumah ini juga dipakai untuk kantor, dengan kursi dan meja serta banyaknya perangkat komputer yang ada di rumah itu.
"Yakinlah, memangnya kenapa?"
"Sepertinya dia gadis baik-baik, Zak. Sepertinya kau harus menyelidiki lebih detail lagi."
"Menyelidiki apalagi? Kalung itu sudah jadi bukti yang valid, hanya dengan menikahi gadis itu aku bisa membuat keturunan Purnomo merasakan apa yang mama dan aku rasakan selama ini."
Fahmi hanya menghela napas berat melihat sahabatnya selalu dihantui dendam masa lalu, dendam yang membuatnya terobsesi hingga dia bisa sukses seperti sekarang ini.
"Aku hanya kuatir, kau melampiaskan dendammu pada orang yang salah, Bro."
"Tidak, aku tidak mungkin salah."
*****
"Nadin! Kenapa Wa-mu gak aktif dari tadi?" tanya Sintia yang sudah masuk ke kamar kost Nadin.
"Aku gak punya kuota."
"Tapi kenapa nomormu ditelpon juga tidak aktif?"
"Sengaja, pusing aku lihat HP tapi gak punya kuota."
"Dasar kau ini! Ini, ada telpon dari calon suamimu," Sintia menyodorkan HP nya ke hadapan Nadin.
"Calon suami?" Mata Nadin sukses membulat mendengar perkataan absurb sahabatnya itu.
"Iya, Zaki."
"Mau apa dia?"
"Pakek tanya, ya mau ngajak nikah lah."
Nadin mencubit Sintia, gemas melihat kelakuan sahabatnya yang membuat darahnya naik, tetapi Sintia yang dicubit dengan kuat oleh Nadin malah tertawa melihat tingkah temannya itu.
"Nikah! Nikah! Ini bukan candaan, Rosalinda! Bisa gak sih serius dikit?"
"Siapa yang bercanda, kamu saja yang langsung Heng otaknya cuma diajak nikah ini, sampai manggil namaku saja Rosalinda."
"Sintia!"
"Iya, maaf ... Maaf! Cepat ini diangkat telponnya, kasihan sudah dari tadi."
Sintia masih setia menyodorkan ponsel ke arah Nadin, ponsel itu langsung direbut dan ditempelkan ke daun telinganya.
"Halo!" sapa Nadin ketus.
"Bisa kita ketemu?" ujar suara di seberang telpon dengan nada dingin.
"Buat apa?"
"Ada yang ingin aku bicarakan soal kemarin. Aku tunggu di depan perpustakaan seperti kemarin sejam lagi."
Tuth
Nadin menatap ponsel di tangannya dengan tatapan nanar, apa itu tadi? Lelaki itu memerintahnya dengan seenak hati? Apa seperti itu etika memintanya menikah dengan orang lain.
"Sudah belum? Dia bilang apa?" tanya Sintia.
"Brengsek, dia mematikan telepon begitu saja setelah menyuruhku menemuiny sejam lagi. Belum jadi suami saja sudah arogan begitu, apalagi nanti kalau sudah nikah? Gak kebayang gue!"
"Lah, mungkin dia gak bisa lama-lama nelpon, mungkin juga pulsanya terbatas jadi to the point saja. Tahu sendiri kan, dia nyewa rumah saja gak mampu, apalagi buat beli pulsa, kuota, yah nasibnya samalah kayak lu."
Nadin ingin membantah ucapan Sintia, namun mulutnya hanya menganga, apa yang dibilang sahabatnya itu memang kenyataan, jadi dia hanya bisa bersabar menghadapi temannya yang suka bener dan ceplas-ceplos kalau bicara.
"Nadin! Nadin! Keluar kamu, Nadin!"
"Nadin! Nadin! Keluar kamu, Nadin!"Tiba-tiba ada seseorang yang menggedor pintu sambil memanggil-manggil namanya, Nadin dan Sintia spontan terkejut, Nadin tahu dengan jelas siapa yang menggedor pintu kamarnya, makanya mentalnya kini benar-benar terpukul.Seorang wanita paruh baya dengan tubuh tambun dan bibir bergincu merah membara sudah membuka pintu dengan kasar, karena pintu kamar juga tidak terkunci. "Nadin, ini sudah batas akhir pembayaran kost kamu. Sekarang cepat bereskan semua barangmu. Kau pikir aku tidak butuh makan? Aku darimana lagi punya uang buat makan kalau bukan dari pembayaran kost kalian? Sekarang cepat keluar dari kost ini, kamar ini sudah ada yang menyewa, orang itu bahkan sudah membayar biaya sewa selama satu tahun. Tempat ini bukan tempat tinggal gratisan ya, sekarang kukasih waktu setengah jam untuk membereskan barangmu, sejam lagi yang nyewa mau menempati kamar ini!" Wanita itu berbicara dengan lugas dan sinis, kedua tangannya bahkan bertengger di kedua pingg
"Apa? Kau serius? Jadi kita hanya nikah kontrak? Kau tahu ajaran agama nggak sih? Nikah kontrak itu haram hukumnya!" Nadin menatap lelaki itu dengan serius, tetapi lelaki itu justru menaggapinya dengan acuh tak acuh. "Menikah kontrak itu haram karena mereka tujuannya hanya untuk berhubungan badan, nah hubungan badan itulah yang haram. Kalau kita kan cuma mencari legalitas hidup bersama, kamar kita juga terpisah, kita buat juga surat perjanjian bahwa kita tidak akan berhubungan badan, bagaimana?" Nadin hanya mencebikkan bibir, pernikahan macam apa yang akan dia lalui nanti? Sungguh tidak bisa dia bayangkan. "Mau berhubungan badan atau tidak, setelah pernikahan ini selesai tetap aku yang dirugikan, aku akan menyandang gelar janda, gelar yang sangat kontroversi di kalangan masyarakat." "Bukan cuma kamu saja yang bergelar janda, aku juga bergelar duda. Percayalah, asal kau masih perawan, masih banyak pria yang berminat denganmu." Nadin hanya melirik lelaki itu sekilas dengan muka ma
"Hei, jadi ini kendaraanmu? Apa ini masih bisa jalan?" Di parkiran itu, motor Zaki paling jadul dan paling jelek, sebuah motor merk Legenda yang sudah begitu tua, mungkin usia motor itu lebih tua dari usianya. Lelaki itu mengeluarkan motornya dari parkiran, mengengkol dengan kaki kanannya berulang-ulang, tetapi mesin motor itu belum menyala juga. Lelaki itu turun dari motornya dan memeriksa busi motor, mencabut dan mengelap pakai baju kemejanya, memasangnya kembali. Sekali engkol motor itu menyala dengan suara yang sangat nyaring k inihas motor butut. "Ayo, naik!" ujar lelaki itu dengan gerakan kepalanya. Nadin ragu-ragu duduk di boncengan, dia memegang pegagang besi yang ada di belakangnya dengan kuat, motor itu hanya suaranya yang nyaring, lajunya sangat lambat. Mungkin jika Nadin berlari dapat menyalip motor tersebut, Nadin tidak bisa berkata-kata. Dia hanya bisa mengelus dada, melapangkan hati, biarlah hidup lelaki ini miskin, semoga hatinya tidak miskin. Nadin jadi teringat p
Selesai membersihkan rumput dan semak belukar di halaman rumah depan, belakang dan samping, Zaki memasang tali dan timba di sumur yang terletak di bagian depan, rumah ini tidak memasang air PDAM namun ada sumur yang airnya cukup banyak, namun juga cukup dalam. Lelaki itu menimba air dan mengisinya ke dalam sebuah ember yang didapati di dalam rumah. "Ini airnya, coba di pel rumahnya, disiramkan saja airnya lalu disapu, setelah itu baru dilap pakai kain pel," ujar lelaki itu."Baik," jawab Nadin langsung menyiramkan air tersebut dari ruang kamar.Kemudian Nadin menggosok setiap lantai memakai sapu lantai dan menyapu airnya, sementara Zaki terus menimba air dan menyiramkan air di setiap lantai. Ketika dirasa semua lantai sudah basah terkena genangan air, lelaki itu membersihkan kamar mandi dan mengisi bak dengan air.Hingga siang hari pekerjaan mereka baru selesai, rumah sudah bersih dan siap untuk dihuni, Zaki meminta Nadin menunggu sebentar, sementara dia pergi keluar dengan motornya.
Nadin sudah mengangkut semua barangnya di rumah barunya, barang yang hanya tiga kardus itu dia letakkan di kamar belakang, biarlah kamar depan dipakai oleh Zaki. Zaki yang semula akan mengantarnya menjemput barang-barangnya tidak jadi karena dia tiba-tiba ditelpon oleh Fahmi agar segera ke kantor.Nadin yang tidak tahu menahu dengan urusan Zaki hanya membiarkan lelaki itu pergi setelah mengantar ke kost, Nadin membawa barang-barang itu dengan bantuan ojek. Setelah masuk ke kamarnya dia juga bingun barang-barang ituau disusun di mana, dia tidak memilik lemari ataupun rak, dia juga tidak memiliki alas untuk tempat tidurnya. Dengan tergesa, hari sudah jam empat sore, Nadin keluar dengan jalan kaki, sepertinya di jalan utama yang berjarak tiga ratus meter ada toko kelontong yang menyediakan barang-barang yang dia butuhkan.Benar saja, di toko itu dia bisa membeli tikar plastik dan sebuah bantal dan menghabiskan uang tujuh puluh ribu rupiah, uangnya kini tinggal tersisa seratus delapan pu
"Siapa yang peduli?""Lah itu, kamu membeli semua barang itu untuk gadis itu, kan?""Sembarangan, tentu saja untukku sendiri, siapa yang akan betah tinggal di rumah sejelek itu tanpa fasilitas apapun. Walau sederhana, setidaknya aku harus tinggal di rumah yang layak huni, dengan barang-barang yang masih bisa dipakai."Fahmi hanya menghela napas mendengar alasan lelaki di hadapannya ini, setelah berkunjung ke rumah Nadin tadi siang, lelaki ini dengan arogan menyuruhnya mencari barang-barang kebutuhan rumah tangga bekas yang layak pakai dan harus dibeli dalam waktu dua jam, tentu saja Fahmi yang belum faham daerah ini kelimpungan mencari di setiap sudut pasar, memantengi market place di facebook hingga dia menemukan toko barang-barang bekas tersebut dan meminta pemilik toko mengantarkan ke alamat dan langsung memasangnya."Jadi barang apa yang belum bisa kau dapatkan?" tanya Zaki lagi."Kipas angin dan sofa, di toko itu tidak ada barangnya.""Aish, kenapa pakai kipas angin, ada nggak AC
"Ayah, aku akan menikah. Jadi tolong kewajiban terakhir Anda harus ditunaikan, sebagai wali nikahku. Aku tidak masalah menikah dengan wali hakim, tetapi di sini aku masih memikirkan harga diri dan martabatmu sebagai seorang ayah. Aku tidak ingin Ayah dicap sebagai ayah yang tidak bertanggung jawab, jika ibu pulang, bagaimana rendahnya Ayah dipandangan wanita itu," jawab Nadin dengan nada tegas."Jadi kau mau menikah, Nadin? Menikah sama siapa? Kapan?" ujar Suhendri terkejut sehingga nada suaranya meninggi."Besok jam dua siang aku akan melaksanakan akad nikah di kantor KUA, jika ayah mau menjadi wali segeralah datang, jika tidak bersedia biar hakim saja yang mewakili.""Kau?" Suhendri berhenti sejenak menahan gejolak amarah di dadanya "Kapan kau mengurus surat menyurat di kelurahan? Bukankah nikah di KUA itu berarti nikah resmi?" "Aku sudah mengurusnya di sini, KTP ku sudah pindah domisili, jadi aku warga sini sekarang," jawab Nadin dengan berbohong, biarlah, dia tidak mau menambah
Akhirnya pagi Jumat itu Karina dan beberapa tetangga sibuk memasak di rumah Karina, Nadin menelpon Zaki tentang obrolannya dengan Karina dan lelaki itu meminta Karina tidak perlu meminta sumbangan RT, dia memberi Karina uang dua juta untuk memasak dan mengundang tetangga sekitar untuk syukuran. Nadin merasa heran darimana lelaki itu mendapatkan uang, dia dengan mudah mengeluarkan uang untuk acara pernikahan ini, tetapi kenapa tidak mampu bayar kontrakan yang hanya sejuta setengah. Namun Nadin tidak memiliki kesempatan untuk menanyakan semua itu, barangkali setelah selesai acara pernikahan ini, ada kesempatan setelah satu rumah untuk berbincang dan membahas semua itu. Pagi harinya Nadin datang ke rumah Karina untuk bantu-bantu, namun ibu-ibu di sana melarangnya, mereka sungguh pengertian, bahkan mereka menyarankan agar Nadin istirahat untuk menyambut acara tersebut. "Mbak Nadin pulang saja, istirahat di rumah, biar nanti kalau saat ijab qobul terlihat fresh." "Betul, Mbak. Supaya n
Extra part 2Pagi yang sama, kenapa kebahagiaan rasanya menguap dalam kehidupannya. Paska cerai dengan Chika, dalam waktu dua bulan Adam langsung dijodohkan oleh ibunya dengan wanita dari kampungnya, dulu perempuan itu adalah murid ibunya yang sangat pintar dan cantik. Tetapi pernikahan itu bagai kutukan bagi Adam, dia sama sekali tidak merasa bahagia. Ayuni, istrinya memang sangat cantik, dia juga berprofesi seorang bidan, sudah pegawai negeri pula. Bertugas di rumah sakit di kota yang sama dengan Adam sekarang, hanya saja kehidupan Adam terasa begitu hambar. Ayuni tidak bisa masak seenak masakan Nadin, wanita itu juga perhitungan dengan uangnya, setiap gaji Adam diperhitungkan dengan seksama tanpa mau uangnya dipakai untuk kebutuhan rumah tangga. Ayuni beranggapan, uang istri hanya untuk untuk istri, sedangkan yang suami sepenuhnya uang istri. Ayuni beralasan jika penghasilannya habis dipakai untuk kebutuhan ibu dan adik-adiknya di kampung, hal itu sebenarnya tidak dimasalahkan ole
Extra partKeesokan harinya Nuraini, Andini, Arif beserta Bik Sumi dan Mang Karta mengantar Fahmi belanja untuk hantaran dan seserahan untuk melamar Nabila.Sedang Nadin dan Zaki dilarang ikut, mereka menghabiskan waktu dengan putri kecil mereka, tak menyia-nyiakan waktu yang telah hilang selama ini.Para orang tua itu begitu semangat mengantar Fahmi belanja, pasalnya bagi mereka berlima, momen menyiapkan pernikahan putra mereka tidak akan terjadi lagi. Zaki dan Nadin sudah menikah tanpa sepengetahuan mereka, jadi mereka tidak bisa menyalurkan hasrat mengental putra dan putri mereka ke pelaminan.Nuraini pernah mengusulkan agar Zaki dan Nadin mengadakan resepsi, tetapi tetap ditolak oleh keduanya, pasalnya pernikahan mereka sudah setahun lebih, mereka mengatakan bahwa resepsi itu sudah terasa basi.Sepulang mereka masih tetap heboh, berbagai barang mereka kemas sendiri, terutama bik Sumi yang memang punya keahlian mengemas hantaran, dia juga punya usaha catering serta tenda dan dekora
Bab 181"Apa? Maksud Papa Arif apa? Apa maksudnya ini?!!" Nadin sedikit berteriak mengatakan semua ini."Nadin, Sayang ... Slowly! Tenang, Sayang ... Tenang, nanti Mas ceritakan sama kamu, Sayang. Tetapi syaratnya kamu harus tenang jangan emosi?" ujar Zaki menenangkan."Jangan nanti! Aku minta sekarang juga kamu ceritakan, Mas."Semua orang terdiam, Zaki juga tidak bisa mengatakan apapun, tiba-tiba tenggorokan nya tercekat, seolah-olah ada yang menyumbatnya."Sebaiknya kita masuk ke rumah dulu. Ayo, Sayang ... Kamu pasti lelah. Kita masuk rumah dulu, ya?" ujar Andini dengan lemah lembut sambil mengusap punggung putrinya."Bik Sumi, tolong buatin mereka minuman segar, ya? Mereka pasti lelah diperjalanan.""Baik, Mbak Andin.""Mbak Nura, mari masuk dulu, Mbak ... Fahmi, ayo ... Ayo, Zak, ajak ibu dan istrimu masuk ke rumah dulu," ujar Andini dengan perkataan yang lembut.Nadin hanya bisa mengikuti ibunya yang sudah mengajak masuk ke rumah. Dengan perlahan dia duduk di sofa ruang keluarga
Bab 180"Wow, apakah Bisa Sumi punya bayi? Ya Allah, Alhamdulillah kalau Bi Sumi akhirnya punya anak setelah dua puluh tahun lebih menikah belum diberi buah hati, aku sangat senang!" ujar Nadin dengan wajah sumringah."Nadin!" Biar Sumi langsung memeluk Nadin setelah berlari menyongsongnya. "Bibi! Apa kabar, Bi?" Seru Nadin dengan suasana mengharukan."Baik, Sayang. Bagaimana keadaanmu? Bibi sangat kuatir mendengar kamu ditembak, Nadin. Bibi ingin menjengukmu ke kota provinsi, tetapi Mamang kamu itu, malah darah tingginya kambuh, dia juga terpaksa dirawat, sampai sekarang masih minum obat dari dokter." "Oh ya? Kasihan Mang Karta! Tapi kelihatannya sudah sehat ya, Bi?" Nadin memperhatikan lelaki paruh baya yang tengah menimang-nimang bayi kecil di kedua tangannya."Bibi ... Itu bay____""NADIN! NADIN! NADIIIN!!" Belum juga Nadin menyelesaikan kalimatnya, dari arah pintu namanya dipanggil dengan suara keras menggelar. Seorang wanita berjilbab maroon senada dengan gamisnya berlari ke
Bab 179Jam empat sore mereka baru sampai di gerbang kabupaten, suasana pegunungan yang sejuk dan dingin sudah terasa menusuk kulit, Nadin langsung mengenakan switer-nya agar tidak kedinginan, Nuraini bahkan memakai jaket berbulu agar lebih hangat, sedangkan Zaki yang memang memakai kaos panjang masih bisa menahan hawa dingin, Fahmi mengecilkan AC mobil agar hawa dingin di dalam mobil berkurang, lelaki ini sudah mengenakan jaket Levis dari rumah, jadi tidak begitu merasakan udara sore yang menggigit. "Ini masih lama?" tanya Nuraini dengan nada penasaran. "Masih satu jam lagi sampai ke kampung Nadin," jawab Zaki. "Alamnya sangat indah, sebaiknya kamu pikirin untuk membuat resort di sini, potensinya sangat bagus, Zak," ujar Nuraini lagi. "Kalau itu nanti bicarakan dengan om Arif, aku mau fokus mengembangkan Z-Teknologi saja," jawab Zaki dengan malas-malasan. "Itu tenang saja, Bu. Nanti pembangunan resort-nya memakai jasa Adiguna konstruksi saja, langsung saya ACC nanti," jawab Fahm
Bab 178Berita penangkapan dan penggrebekan tempat judi ilegal dan aplikasi judi online diberitakan secara nasional. Pemiliknya ternyata orang yang sama, Mustofa Kemal. Seorang pria tua berusia enam puluh tujuh tahun. Polisi bergerak cepat setelah Riswan membuat laporan. Bukan main-main, koneksi Riswan ternyata seorang jenderal kepolisian bintang tiga di Humas mabes polri. Jenderal tersebut memiliki hutang Budi yang cukup besar pada Riswan, baru kali ini Riswan meminta tolong padanya, jadi bagaimana mungkin dia tidak melakukannya dengan tuntas. Bahkan antek-antek Mustofa juga ikut ditangkap,. Salah satunya orang kepolisian juga yang menjadi pelindungnya selama ini. Tak lupa juga Respatih dan Farhan ikut juga ditahan. Tidak main-main ancaman hukuman berlapis akan dikenakan, karena mereka juga terlibat human trafficking dan prostitusi.Zaki yang mendengar berita itu dari siaran langsung di layar televisi di kantornya tersenyum lega. Biarlah dia tidak bisa memenjarakan mereka atas kas
Bab 177Situasinya memang tidak terduga. Riswan rupanya gerak cepat untuk membuat pergerakan Mustofa terhenti. Menurut sumber informasi, Mustofa memiliki jaringan mafia yang cukup ganas, bisa membunuh tanpa tersentuh oleh hukum dan Riswan yakin, dalang pembunuhan Rafiq adalah kakak kandungnya sendiri yaitu Mustofa. Dengan persetujuan Nuraini, maka biro travel milik wanita itu juga segera diambil alih oleh Riswan. Semua pegawai bahkan di-rolling, sehingga menejemen berubah besar-besaran, Ahmad segera ditunjuk Riswan untuk menjadi direktur utama, sedangkan Willi di tempatkan di daerah Indonesia timur. Mustofa yang mengetahui hal tersebut sangat marah, dia tidak menyangka jika Nuraini menjual perusahaannya dan pindah ke provinsi selatan bersama putranya. "Bukankah usaha mereka itu berkembang pesat? Kenapa mereka jual," keluh Mustofa. "Menurut informasi yang saya dapatkan, usaha itu dulu sempat bangkrut, dan mereka mendapat suntikan dana yang tidak sedikit untuk bangkit lagi, mer
Bab 176Sudah dua Minggu Riswan dan Ahmad mencari bukti dan cara menjerat Mustofa, tetapi bukti dan saksi tidak bisa dihadirkan. Bahkan Faisal yang sudah dijebloskan ke dalam penjara saja hanya mengakui bahwa dia adalah dalang perampokan rumah Zaki, motifnya iri karena Zaki lebih sukses. Dia tidak satu katapun melibatkan ayahnya dan juga saudara-saudaranya. Zaki yang merasa lelah menghadapi semuanya, hanya menyerahkan semuanya pada pengacaranya dan tim investigasi dari kepolisian yang dipimpin oleh komandan Rusdi. Zaki hanya fokus menemani istrinya yang terguncang, semua diurus oleh Fahmi. Fahmi yang bekerja keras di sini, sementara perkerjaan kantor diurus oleh Riko. Zaki menyerahkan sepenuhnya pada Riko sebagai ketua tim pengembang yang baru, sementara Pak Hadi menempati jabatan general manajer, sedang pak Anwar masih di posisi manajer HRD.Pagi itu Riswan dan Ahmad berkunjung ke rumah Zaki, sudah dua Minggu Riswan tidak bertemu Nuraini, rasanya sangat rindu sekali. Wanita itu jug
Bab 175Hari ini Nadin kembali ke kediaman Zaki, sudah sebulan dia dirawat di rumah sakit dan sekarang sudah dinyatakan sembuh. Nuraini, Shintia dan Nabila ikut menjemputnya, tak lupa Fahmi dan Zaki juga ikut menjemput, sedang Riswan yang masih di luar kota hanya bisa menelponnya saja. "Jadi kapan lelaki itu mau menikahi Mama?" tanya Zaki dengan penasaran, pasalnya ibunya itu sudah bicara dengan begitu mesra di telpon, membuat anak lelakinya itu merasa jengah."Insyaallah nanti, kalau persoalan kita sudah selesai.""Kalau selesainya setahun lagi, dua tahun lagi, atau gak selesai-selesai gimana? Mama dan om Riswan gak bilah-bilah, gitu? Dosa, Ma. Terlalu lama menjalin hubungan gak jelas begitu." Zaki mencebikan bibirnya ke arah ibunya, harusnya sebagai orang tua mereka itu lebih tau mana itu dosa mana itu pahala. "Jadi Mama harus bagaimana?" tanya Nuraini dengan sangsi, dia sebenarnya masih belum yakin menikah dengan lelaki itu.Hingga suatu hari Riswan pernah menanyakan kenapa dia b