"Sintia!" panggil Nadin.
Benarkan, Sintia berada di tempat favorit mereka, di salah satu sudut baca di perpustakaan ini. Mereka menyukai tempat itu karena dari sana, petugas perpustakaan tidak mendengar jika mereka tengah ribut bergosip.
"Nadin! Kenapa ke sini? Kau tidak kerja? Ini sudah sore loh?"
Sintia cukup terkejut sahabatnya ini datang menemuinya di sini, biasanya jam segini Nadin tidak bisa diganggu gugat karena akan pergi mencari nafkah.
"Aku dipecat!"
"Apa? Dipecat? Kok bisa? Kamu melakukan apa sampai dipecat?"
Sintia jelas terkejut, soalnya di cafe tempat Nadin bekerja, gadis itu karyawan paling rajin dan penuh semangat.
"Yah, mau bagaimana lagi. Sejak mbak Marini meninggal dunia, cafe tidak bisa berjalan lagi, semua keuntungan dan modal sudah disetor ke rekening mbak Sintia, jadi cafe terpaksa tutup."
"Kalau gitu, namanya tempat usahanya yang bangkrut, bukan kamu dipecat. Padahal kamu sudah janji sama Bu Rumintang mau bayar kost dua hari lagi kalau gajian," keluh Sintia.
"Eh, tapi kamu tetap gajian kan bulan ini? Harusnya dapat pesangon juga," lanjutnya.
"Siapa yang mau menggaji? Jenazah mbak Marini dibawa pulang kampung, keluarganya siapa juga kami gak tahu, kampungnya di mana juga gak tahu. Apalagi aku cuma pekerja paruh waktu, manalah dapat pesangon."
"Duh, jadi gimana urusannya dengan Bu Rumintang? Bisa-bisa kamu diusir dari kos kalau gak bisa bayar."
"Itulah yang akan kudiskusikan sama kamu, Bestie. Uangku saja tinggal dua puluh ribu buat makan, entah cukup sampai kapan dua puluh ribu, uang sisa gajiku habis semua untuk pulang kampung kemarin. Aku nyesel banget setelah tahu bahwa aku pulang kampung untuk dijadikan tukang masak gratis untuk hari pertunangan Chika sama Adam, si cowok brengsek itu."
"Tenang, Bestie. Istigfar, sabar ya ... Semua akan indah pada waktunya jika bersabar, Allah pasti sudah menyiapkan jodoh yang lebih baik dari Adam."
Sintia memang sudah mengetahui cerita yang menimpa Nadin, karena hanya Sintia yang begitu dekat dengannya saat ini. Nadin tak kuasa menahan tangisnya, dia sudah sering menangis sejak putus dari Adam, tiga bulan yang lalu. Namun rasa sakit itu tak juga hilang begitu saja, semakin hari luka hatinya semakin menganga, walaupun tak berdarah.
"Besok kita cari kost atau kontrakan yang murah untukmu ya? Aku masih ada simpanan lima ratus ribu, kita cari yang sebulannya dua ratusan atau kalau bisa seratusan, ya?"
Nadin hanya mampu mengangguk, tangisnya bukannya reda, malah semakin terisak.
"Terima kasih, Bestie. Aku sangat bersyukur memiliki sahabat sepertimu, yang selalu ada di saat aku senang maupun sedih. Thanks Sintia."
Nadin mengelap kedua matanya dengan ujung jilbab yang dia kenakan, Sintia memeluk dan menenangkan gadis itu, yang lagi-lagi kembali menangis.
Di sudut kursi terhalang rak buku, sebuah bibir tersenyum mendengar pembicaraan dua gadis ini, sudut salah satu bibir terangkat membentuk seringai, sebuah pemikiran melintas di benak di pemilik bibir tersebut.
"Jadi dia dipecat dari pekerjaannya dan terancam tidak memiliki tempat tinggal? Hmm, ini menarik!"
*****
"jadi gimana? Cocok gak yang ini?" tanya Sintia
Ini adalah tempat kost yang sudah ketiga kalinya yang mereka datangi, yang sebelumnya Nadin terkendala dengan dana karena tempat kost itu harus dibayar setahun full, memang harganya murah tetapi untuk membayar setahun full dia tidak sanggup.
"Boleh bayar bulanan, sebulan dua ratus lima puluh ribu," ujar pemilik kost.
Nadin memperhatikan sekelilingnya, harganya memang cukup murah, cuma lingkungan dan fasilitasnya?
"Di sini ada berapa kamar, Pak?" tanya Nadin.
"Ada sepuluh kamar, tinggal kamar ini yang kosong. Tiga bulan yang lalu penghuni kamar ini bunuh diri di kamar ini."
"Apa?"
Tanpa memikirkan apapun, Nadin dan Shintia langsung pergi dari tempat itu.
"Kau kalau nyari kamar kost yang bener dong, Sin. Kost-an tadi terlalu bebas, penghuninya cowok cewek campur, bahkan ada pasangan yang Kumbul kebo, apalagi kamar tadi bekas penghuni yang bunuh diri, ih ... Kau tahu darimana sih info kost murah seperti itu?" gerutu Nadin setelah mereka berjalan kembali dari kost-an yang ketiga tadi.
"Dari grup whatshap mahasiswa sekampung denganku. Mereka tahu informasi kost-an dari yang mahal sampai yang paling murah."
"Jadi sekarang kita ke mana lagi?"
"Sebentar, ini ada informasi lagi, tapi bukan tempat kost, ini rumah yang disewakan, lokasinya komplek BTN, masih seputaran kampus kok, kamu masih bisa jalan kaki kalau mau ke kampus, bisa ngirit ongkos."
"Rumah? Kalau sewa rumah pasti mahal."
"Kita lihat aja dulu."
Mereka sudah tiba di lokasi, sebuah rumah BTN tipe 36, rumah RSS subsidi. Keadaannya terlihat sangat tidak terawat, luas tanah yang hanya seratus meter persegi itu sudah ditumbuhi rumput liar, beratap seng, tanpa flatpon dan berdinding batu bata yang belum di plester dan berlantai semen.
Sintia mendekati rumah tersebut, setelah memegang handle pintu ternyata tidak dikunci.
"Wah, rumahnya hancur banget, mana masih melompong gini."
Nadin melihat-lihat isi rumah, terdapat dua kamar yang berukuran 2x2 meter, satu ruang tamu, ruang keluarga dan satu kamar mandi tidak ada ruang dapur, ruang keluarga nanti bisa dijadikan ruang dapur sekaligus.
"Ini rumah masih asli banget seperti awal angkat kredit, lihat rumah tetangga kanan kiri, rumah mereka sudah direnovasi jadi bagus dan layak huni," ujar Sintia.
"Rumah ini juga layak huni jika dibersihkan, aku suka sebenarnya, cuma berapa harga sewanya ya?"
"Sebentar, ini ada no hp pemiliknya," ujar Sintia setelah melihat di depan rumah, di sana ada nomor hp pemiliknya yang ditulis di sebilah papan.
Sintia langsung menelpon pemiliknya, tidak berapa lama panggilan diangkat, Sintia berusaha bernegosiasi dengan pemilik rumah.
"Gimana?" tanya Nadin tidak sabar ketika Sintia selesai dengan panggilannya.
"Yang punya minta sejuta setengah setahun. Sebenarnya murah banget, cuma dia gak mau bulanan. Aku minta setengah tahun dulu, pemiliknya mau ke sini sebentar lagi, rumahnya dekat dari sini, sambil nyerahkan kunci rumah."
"Sebenarnya murah, cuma uang sejuta setengah, aku dapat dari mana? Uangku saja cuma lima ratus ribu dari kamu," keluh Nadin.
"Kalau bisa setengah tahun saja, nanti kuusahakan sisanya, aku pinjamkan nanti dari ayahku, dia pasti mau menolong, kan tinggal nambahin dua setengah lagi."
"Makasih, ya."
"Sudah, stop. Gak usah lagi bilang makasih, kayak sama siapa. Aku ini sahabatmu, sudah kewajiban ku menolongmu."
"Iya, deh."
Tak berapa lama pemilik rumah datang, seorang lelaki paruh baya berusia lima puluhan, lelaki itu mengendarai motor, dia menemui Sintia dan Nadin dengan senyum yang ramah.
"Kalian berdua yang akan menyewa rumah saya?"
"Benar, Pak. Tepatnya teman saya ini, saya sudah kost di daerah Utara kampus. Jadi berapa sewanya, Pak?" jawab Sintia.
"Rumah ini saya beli cuma untuk investasi, siapa tahu anak saya nanti mau tinggal di sini, cuma anak saya malah sudah beli rumah baru, makanya tidak saya renovasi. Saya menyewakan hanya agar rumah ini tidak rusak saja, jadi saya kasih harga murah saja sejuta setengah setahun."
"Bisa kurang lagi gak pak? Saya benar-benar tidak ada uang segitu, Pak," ujar Nadin
"Gak bisa lagi, Dek. Ini sudah paling murah, mana ada jaman sekarang sewa rumah cuma seharga sejuta setengah. Tadi saya juga dapat telepon, ada yang akan melihat rumah ini juga, saya akan melepas sama yang cepat saja."
"Kalau saya sewa setengah tahun dulu, gimana Pak?"
"Saya nyewainnya setahun, Dek. Nanti kita lihat saja, orang yang akan menawar rumah ini bagaimana___"
"Permisi!"
"Nah, itu mereka datang."
Bapak pemilik rumah langsung ke luar menyambut calon penyewa lain, Nadin dan Sintia hanya saling tatap, mereka benar-benar kuatir jika bapak penyewa itu melepas rumah ini pada orang lain, lagipula Nadin sudah merasa cocok dengan lingkungan di sini.
Nadin dan Sintia buru-buru mengikuti bapak penyewa, melihat siapa yang akan menyewa rumah ini selain mereka. Sampai di luar, Nadin tercengang melihat siapa orang yang datang, ada dua orang pemuda, salah satunya Nadin pernah bertemu dengan pemuda itu kemarin, pemuda yang ditabraknya di tangga perpustakaan.
"Oh, kalian juga mau menyewa rumah ini?" tanya pemuda itu.
"Iya, Mas. Kalian sudah saling kenal?" tanya bapak penyewa.
"Iya."
"Tidak."
Nadin dan pemuda itu menjawab serentak, tetapi jawaban mereka berbeda, pemuda itu menyatakan iya, Nadin mengatakan tidak.
"Wah, kalian kompak banget," ujar bapak penyewa itu sambil tertawa.
Kompak darimananya? Jelas-jelas jawaban kami berbeda, gerutu Nadin dalam hati.
"Jadi rumah ini akan disewakan sejuta setengah setahunnya, Pak?"
"Benar, Mas."
"Bisa kurang lagi, Pak?"
"Ini sudah paling murah, Mas."
"Bisa nyewa setengah tahun saja?"
"Nggak bisa, Mas."
Nadin dan Sintia saling menatap, dia sangat tidak percaya, pemuda yang terlihat tampan dan berkulit bersih itu juga ternyata kekurangan uang, bukan hanya dia saja yang kekurangan uang rupanya, Nadin cukup menikmati wajah gusar pemuda itu dihadapannya.
"Nah, Adek ini juga menawar untuk menyewa setengah tahun, sementara Masnya juga hanya mampu menyewa setengah tahun, bagaimana kalau kalian berbagi tempat saja, rumah saya ini ada dua kamar loh, cuma ya itu tadi___"
"Itu apa, Pak?" tanya pemuda itu ketika suara bapak penyewa menjeda cukup lama.
"Di lingkungan sini dilarang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, bisa-bisa digrebek warga dan dikenai denda yang cukup fantastik."
Yah, Nadin menghela napas, pasrah. Sepertinya dia juga bakalan gagal mendapat tempat tinggal kali ini.
"Nah, pikirkan baik-baik ya, anak muda. Saya harus pergi ada urusan kerjaan, nanti kalau sudah mantap, hubungi saya."
Setelah bapak penyewa pergi, keadaan keempat orang itu menjadi sangat canggung. Andai saja Nadin memiliki uang atau memiliki pekerjaan, dia sudah bayarin cash rumah ini walaupun uangnya minjam, kalau sekarang kondisinya yang tidak memiliki pekerjaan, tentu dia tidak berani berhutang banyak, dipinjami lima ratus ribu dari Sintia saja dia sudah cukup bersyukur.
"Ayo, kita menikah! Jika kau bersamaku, kau bisa mengurangi sedikit kesulitanmu, lumayan kan bisa patungan uang kontrakan."
"Apa?"
Kebisuan mereka dipecahkan oleh suara pemuda itu, Sintia dan Nadin terkejut mendengar pemuda itu berbicara, bukan karena dia berbicara tapi ajakan pemuda itu yang cukup membuat Nadin syok "Menikahlah denganku! Pertimbangkan penawaranku ini." Nadin membeku mendengar perkataan lelaki asing di depannya, lelaki yang baru ditemuinya dua kali ini. Menikah palak lu! Demi membayar kontrakan dia harus menikah dengan lelaki ini? Miris sek "Menikah? Kau pikir menikah itu cuma mainan rumah-rumahan kayak bocil? Maaf, aku masih bisa mengusahakan cari kontrakan sendiri, tanpa harus menikah denganmu!" "Aku yang gak bisa, aku butuh bantuanmu, kalau kita menikah, kita bisa berbagi tempat tinggal tanpa harus digrebek warga." Pelipis Nadin berdenyut nyeri, kenyataan hidupnya yang sangat melelahkan dan kacau balau ini tidak bisa dia tutupi, dia memang kekurangan uang. Selalu kekurangan, untuk makan sehari tiga kali saja dia kesulitan dan dalam waktu dua puluh empat jam dia harus angkat kaki dari kost
"Nadin! Nadin! Keluar kamu, Nadin!"Tiba-tiba ada seseorang yang menggedor pintu sambil memanggil-manggil namanya, Nadin dan Sintia spontan terkejut, Nadin tahu dengan jelas siapa yang menggedor pintu kamarnya, makanya mentalnya kini benar-benar terpukul.Seorang wanita paruh baya dengan tubuh tambun dan bibir bergincu merah membara sudah membuka pintu dengan kasar, karena pintu kamar juga tidak terkunci. "Nadin, ini sudah batas akhir pembayaran kost kamu. Sekarang cepat bereskan semua barangmu. Kau pikir aku tidak butuh makan? Aku darimana lagi punya uang buat makan kalau bukan dari pembayaran kost kalian? Sekarang cepat keluar dari kost ini, kamar ini sudah ada yang menyewa, orang itu bahkan sudah membayar biaya sewa selama satu tahun. Tempat ini bukan tempat tinggal gratisan ya, sekarang kukasih waktu setengah jam untuk membereskan barangmu, sejam lagi yang nyewa mau menempati kamar ini!" Wanita itu berbicara dengan lugas dan sinis, kedua tangannya bahkan bertengger di kedua pingg
"Apa? Kau serius? Jadi kita hanya nikah kontrak? Kau tahu ajaran agama nggak sih? Nikah kontrak itu haram hukumnya!" Nadin menatap lelaki itu dengan serius, tetapi lelaki itu justru menaggapinya dengan acuh tak acuh. "Menikah kontrak itu haram karena mereka tujuannya hanya untuk berhubungan badan, nah hubungan badan itulah yang haram. Kalau kita kan cuma mencari legalitas hidup bersama, kamar kita juga terpisah, kita buat juga surat perjanjian bahwa kita tidak akan berhubungan badan, bagaimana?" Nadin hanya mencebikkan bibir, pernikahan macam apa yang akan dia lalui nanti? Sungguh tidak bisa dia bayangkan. "Mau berhubungan badan atau tidak, setelah pernikahan ini selesai tetap aku yang dirugikan, aku akan menyandang gelar janda, gelar yang sangat kontroversi di kalangan masyarakat." "Bukan cuma kamu saja yang bergelar janda, aku juga bergelar duda. Percayalah, asal kau masih perawan, masih banyak pria yang berminat denganmu." Nadin hanya melirik lelaki itu sekilas dengan muka ma
"Hei, jadi ini kendaraanmu? Apa ini masih bisa jalan?" Di parkiran itu, motor Zaki paling jadul dan paling jelek, sebuah motor merk Legenda yang sudah begitu tua, mungkin usia motor itu lebih tua dari usianya. Lelaki itu mengeluarkan motornya dari parkiran, mengengkol dengan kaki kanannya berulang-ulang, tetapi mesin motor itu belum menyala juga. Lelaki itu turun dari motornya dan memeriksa busi motor, mencabut dan mengelap pakai baju kemejanya, memasangnya kembali. Sekali engkol motor itu menyala dengan suara yang sangat nyaring k inihas motor butut. "Ayo, naik!" ujar lelaki itu dengan gerakan kepalanya. Nadin ragu-ragu duduk di boncengan, dia memegang pegagang besi yang ada di belakangnya dengan kuat, motor itu hanya suaranya yang nyaring, lajunya sangat lambat. Mungkin jika Nadin berlari dapat menyalip motor tersebut, Nadin tidak bisa berkata-kata. Dia hanya bisa mengelus dada, melapangkan hati, biarlah hidup lelaki ini miskin, semoga hatinya tidak miskin. Nadin jadi teringat p
Selesai membersihkan rumput dan semak belukar di halaman rumah depan, belakang dan samping, Zaki memasang tali dan timba di sumur yang terletak di bagian depan, rumah ini tidak memasang air PDAM namun ada sumur yang airnya cukup banyak, namun juga cukup dalam. Lelaki itu menimba air dan mengisinya ke dalam sebuah ember yang didapati di dalam rumah. "Ini airnya, coba di pel rumahnya, disiramkan saja airnya lalu disapu, setelah itu baru dilap pakai kain pel," ujar lelaki itu."Baik," jawab Nadin langsung menyiramkan air tersebut dari ruang kamar.Kemudian Nadin menggosok setiap lantai memakai sapu lantai dan menyapu airnya, sementara Zaki terus menimba air dan menyiramkan air di setiap lantai. Ketika dirasa semua lantai sudah basah terkena genangan air, lelaki itu membersihkan kamar mandi dan mengisi bak dengan air.Hingga siang hari pekerjaan mereka baru selesai, rumah sudah bersih dan siap untuk dihuni, Zaki meminta Nadin menunggu sebentar, sementara dia pergi keluar dengan motornya.
Nadin sudah mengangkut semua barangnya di rumah barunya, barang yang hanya tiga kardus itu dia letakkan di kamar belakang, biarlah kamar depan dipakai oleh Zaki. Zaki yang semula akan mengantarnya menjemput barang-barangnya tidak jadi karena dia tiba-tiba ditelpon oleh Fahmi agar segera ke kantor.Nadin yang tidak tahu menahu dengan urusan Zaki hanya membiarkan lelaki itu pergi setelah mengantar ke kost, Nadin membawa barang-barang itu dengan bantuan ojek. Setelah masuk ke kamarnya dia juga bingun barang-barang ituau disusun di mana, dia tidak memilik lemari ataupun rak, dia juga tidak memiliki alas untuk tempat tidurnya. Dengan tergesa, hari sudah jam empat sore, Nadin keluar dengan jalan kaki, sepertinya di jalan utama yang berjarak tiga ratus meter ada toko kelontong yang menyediakan barang-barang yang dia butuhkan.Benar saja, di toko itu dia bisa membeli tikar plastik dan sebuah bantal dan menghabiskan uang tujuh puluh ribu rupiah, uangnya kini tinggal tersisa seratus delapan pu
"Siapa yang peduli?""Lah itu, kamu membeli semua barang itu untuk gadis itu, kan?""Sembarangan, tentu saja untukku sendiri, siapa yang akan betah tinggal di rumah sejelek itu tanpa fasilitas apapun. Walau sederhana, setidaknya aku harus tinggal di rumah yang layak huni, dengan barang-barang yang masih bisa dipakai."Fahmi hanya menghela napas mendengar alasan lelaki di hadapannya ini, setelah berkunjung ke rumah Nadin tadi siang, lelaki ini dengan arogan menyuruhnya mencari barang-barang kebutuhan rumah tangga bekas yang layak pakai dan harus dibeli dalam waktu dua jam, tentu saja Fahmi yang belum faham daerah ini kelimpungan mencari di setiap sudut pasar, memantengi market place di facebook hingga dia menemukan toko barang-barang bekas tersebut dan meminta pemilik toko mengantarkan ke alamat dan langsung memasangnya."Jadi barang apa yang belum bisa kau dapatkan?" tanya Zaki lagi."Kipas angin dan sofa, di toko itu tidak ada barangnya.""Aish, kenapa pakai kipas angin, ada nggak AC
"Ayah, aku akan menikah. Jadi tolong kewajiban terakhir Anda harus ditunaikan, sebagai wali nikahku. Aku tidak masalah menikah dengan wali hakim, tetapi di sini aku masih memikirkan harga diri dan martabatmu sebagai seorang ayah. Aku tidak ingin Ayah dicap sebagai ayah yang tidak bertanggung jawab, jika ibu pulang, bagaimana rendahnya Ayah dipandangan wanita itu," jawab Nadin dengan nada tegas."Jadi kau mau menikah, Nadin? Menikah sama siapa? Kapan?" ujar Suhendri terkejut sehingga nada suaranya meninggi."Besok jam dua siang aku akan melaksanakan akad nikah di kantor KUA, jika ayah mau menjadi wali segeralah datang, jika tidak bersedia biar hakim saja yang mewakili.""Kau?" Suhendri berhenti sejenak menahan gejolak amarah di dadanya "Kapan kau mengurus surat menyurat di kelurahan? Bukankah nikah di KUA itu berarti nikah resmi?" "Aku sudah mengurusnya di sini, KTP ku sudah pindah domisili, jadi aku warga sini sekarang," jawab Nadin dengan berbohong, biarlah, dia tidak mau menambah
Extra part 2Pagi yang sama, kenapa kebahagiaan rasanya menguap dalam kehidupannya. Paska cerai dengan Chika, dalam waktu dua bulan Adam langsung dijodohkan oleh ibunya dengan wanita dari kampungnya, dulu perempuan itu adalah murid ibunya yang sangat pintar dan cantik. Tetapi pernikahan itu bagai kutukan bagi Adam, dia sama sekali tidak merasa bahagia. Ayuni, istrinya memang sangat cantik, dia juga berprofesi seorang bidan, sudah pegawai negeri pula. Bertugas di rumah sakit di kota yang sama dengan Adam sekarang, hanya saja kehidupan Adam terasa begitu hambar. Ayuni tidak bisa masak seenak masakan Nadin, wanita itu juga perhitungan dengan uangnya, setiap gaji Adam diperhitungkan dengan seksama tanpa mau uangnya dipakai untuk kebutuhan rumah tangga. Ayuni beranggapan, uang istri hanya untuk untuk istri, sedangkan yang suami sepenuhnya uang istri. Ayuni beralasan jika penghasilannya habis dipakai untuk kebutuhan ibu dan adik-adiknya di kampung, hal itu sebenarnya tidak dimasalahkan ole
Extra partKeesokan harinya Nuraini, Andini, Arif beserta Bik Sumi dan Mang Karta mengantar Fahmi belanja untuk hantaran dan seserahan untuk melamar Nabila.Sedang Nadin dan Zaki dilarang ikut, mereka menghabiskan waktu dengan putri kecil mereka, tak menyia-nyiakan waktu yang telah hilang selama ini.Para orang tua itu begitu semangat mengantar Fahmi belanja, pasalnya bagi mereka berlima, momen menyiapkan pernikahan putra mereka tidak akan terjadi lagi. Zaki dan Nadin sudah menikah tanpa sepengetahuan mereka, jadi mereka tidak bisa menyalurkan hasrat mengental putra dan putri mereka ke pelaminan.Nuraini pernah mengusulkan agar Zaki dan Nadin mengadakan resepsi, tetapi tetap ditolak oleh keduanya, pasalnya pernikahan mereka sudah setahun lebih, mereka mengatakan bahwa resepsi itu sudah terasa basi.Sepulang mereka masih tetap heboh, berbagai barang mereka kemas sendiri, terutama bik Sumi yang memang punya keahlian mengemas hantaran, dia juga punya usaha catering serta tenda dan dekora
Bab 181"Apa? Maksud Papa Arif apa? Apa maksudnya ini?!!" Nadin sedikit berteriak mengatakan semua ini."Nadin, Sayang ... Slowly! Tenang, Sayang ... Tenang, nanti Mas ceritakan sama kamu, Sayang. Tetapi syaratnya kamu harus tenang jangan emosi?" ujar Zaki menenangkan."Jangan nanti! Aku minta sekarang juga kamu ceritakan, Mas."Semua orang terdiam, Zaki juga tidak bisa mengatakan apapun, tiba-tiba tenggorokan nya tercekat, seolah-olah ada yang menyumbatnya."Sebaiknya kita masuk ke rumah dulu. Ayo, Sayang ... Kamu pasti lelah. Kita masuk rumah dulu, ya?" ujar Andini dengan lemah lembut sambil mengusap punggung putrinya."Bik Sumi, tolong buatin mereka minuman segar, ya? Mereka pasti lelah diperjalanan.""Baik, Mbak Andin.""Mbak Nura, mari masuk dulu, Mbak ... Fahmi, ayo ... Ayo, Zak, ajak ibu dan istrimu masuk ke rumah dulu," ujar Andini dengan perkataan yang lembut.Nadin hanya bisa mengikuti ibunya yang sudah mengajak masuk ke rumah. Dengan perlahan dia duduk di sofa ruang keluarga
Bab 180"Wow, apakah Bisa Sumi punya bayi? Ya Allah, Alhamdulillah kalau Bi Sumi akhirnya punya anak setelah dua puluh tahun lebih menikah belum diberi buah hati, aku sangat senang!" ujar Nadin dengan wajah sumringah."Nadin!" Biar Sumi langsung memeluk Nadin setelah berlari menyongsongnya. "Bibi! Apa kabar, Bi?" Seru Nadin dengan suasana mengharukan."Baik, Sayang. Bagaimana keadaanmu? Bibi sangat kuatir mendengar kamu ditembak, Nadin. Bibi ingin menjengukmu ke kota provinsi, tetapi Mamang kamu itu, malah darah tingginya kambuh, dia juga terpaksa dirawat, sampai sekarang masih minum obat dari dokter." "Oh ya? Kasihan Mang Karta! Tapi kelihatannya sudah sehat ya, Bi?" Nadin memperhatikan lelaki paruh baya yang tengah menimang-nimang bayi kecil di kedua tangannya."Bibi ... Itu bay____""NADIN! NADIN! NADIIIN!!" Belum juga Nadin menyelesaikan kalimatnya, dari arah pintu namanya dipanggil dengan suara keras menggelar. Seorang wanita berjilbab maroon senada dengan gamisnya berlari ke
Bab 179Jam empat sore mereka baru sampai di gerbang kabupaten, suasana pegunungan yang sejuk dan dingin sudah terasa menusuk kulit, Nadin langsung mengenakan switer-nya agar tidak kedinginan, Nuraini bahkan memakai jaket berbulu agar lebih hangat, sedangkan Zaki yang memang memakai kaos panjang masih bisa menahan hawa dingin, Fahmi mengecilkan AC mobil agar hawa dingin di dalam mobil berkurang, lelaki ini sudah mengenakan jaket Levis dari rumah, jadi tidak begitu merasakan udara sore yang menggigit. "Ini masih lama?" tanya Nuraini dengan nada penasaran. "Masih satu jam lagi sampai ke kampung Nadin," jawab Zaki. "Alamnya sangat indah, sebaiknya kamu pikirin untuk membuat resort di sini, potensinya sangat bagus, Zak," ujar Nuraini lagi. "Kalau itu nanti bicarakan dengan om Arif, aku mau fokus mengembangkan Z-Teknologi saja," jawab Zaki dengan malas-malasan. "Itu tenang saja, Bu. Nanti pembangunan resort-nya memakai jasa Adiguna konstruksi saja, langsung saya ACC nanti," jawab Fahm
Bab 178Berita penangkapan dan penggrebekan tempat judi ilegal dan aplikasi judi online diberitakan secara nasional. Pemiliknya ternyata orang yang sama, Mustofa Kemal. Seorang pria tua berusia enam puluh tujuh tahun. Polisi bergerak cepat setelah Riswan membuat laporan. Bukan main-main, koneksi Riswan ternyata seorang jenderal kepolisian bintang tiga di Humas mabes polri. Jenderal tersebut memiliki hutang Budi yang cukup besar pada Riswan, baru kali ini Riswan meminta tolong padanya, jadi bagaimana mungkin dia tidak melakukannya dengan tuntas. Bahkan antek-antek Mustofa juga ikut ditangkap,. Salah satunya orang kepolisian juga yang menjadi pelindungnya selama ini. Tak lupa juga Respatih dan Farhan ikut juga ditahan. Tidak main-main ancaman hukuman berlapis akan dikenakan, karena mereka juga terlibat human trafficking dan prostitusi.Zaki yang mendengar berita itu dari siaran langsung di layar televisi di kantornya tersenyum lega. Biarlah dia tidak bisa memenjarakan mereka atas kas
Bab 177Situasinya memang tidak terduga. Riswan rupanya gerak cepat untuk membuat pergerakan Mustofa terhenti. Menurut sumber informasi, Mustofa memiliki jaringan mafia yang cukup ganas, bisa membunuh tanpa tersentuh oleh hukum dan Riswan yakin, dalang pembunuhan Rafiq adalah kakak kandungnya sendiri yaitu Mustofa. Dengan persetujuan Nuraini, maka biro travel milik wanita itu juga segera diambil alih oleh Riswan. Semua pegawai bahkan di-rolling, sehingga menejemen berubah besar-besaran, Ahmad segera ditunjuk Riswan untuk menjadi direktur utama, sedangkan Willi di tempatkan di daerah Indonesia timur. Mustofa yang mengetahui hal tersebut sangat marah, dia tidak menyangka jika Nuraini menjual perusahaannya dan pindah ke provinsi selatan bersama putranya. "Bukankah usaha mereka itu berkembang pesat? Kenapa mereka jual," keluh Mustofa. "Menurut informasi yang saya dapatkan, usaha itu dulu sempat bangkrut, dan mereka mendapat suntikan dana yang tidak sedikit untuk bangkit lagi, mer
Bab 176Sudah dua Minggu Riswan dan Ahmad mencari bukti dan cara menjerat Mustofa, tetapi bukti dan saksi tidak bisa dihadirkan. Bahkan Faisal yang sudah dijebloskan ke dalam penjara saja hanya mengakui bahwa dia adalah dalang perampokan rumah Zaki, motifnya iri karena Zaki lebih sukses. Dia tidak satu katapun melibatkan ayahnya dan juga saudara-saudaranya. Zaki yang merasa lelah menghadapi semuanya, hanya menyerahkan semuanya pada pengacaranya dan tim investigasi dari kepolisian yang dipimpin oleh komandan Rusdi. Zaki hanya fokus menemani istrinya yang terguncang, semua diurus oleh Fahmi. Fahmi yang bekerja keras di sini, sementara perkerjaan kantor diurus oleh Riko. Zaki menyerahkan sepenuhnya pada Riko sebagai ketua tim pengembang yang baru, sementara Pak Hadi menempati jabatan general manajer, sedang pak Anwar masih di posisi manajer HRD.Pagi itu Riswan dan Ahmad berkunjung ke rumah Zaki, sudah dua Minggu Riswan tidak bertemu Nuraini, rasanya sangat rindu sekali. Wanita itu jug
Bab 175Hari ini Nadin kembali ke kediaman Zaki, sudah sebulan dia dirawat di rumah sakit dan sekarang sudah dinyatakan sembuh. Nuraini, Shintia dan Nabila ikut menjemputnya, tak lupa Fahmi dan Zaki juga ikut menjemput, sedang Riswan yang masih di luar kota hanya bisa menelponnya saja. "Jadi kapan lelaki itu mau menikahi Mama?" tanya Zaki dengan penasaran, pasalnya ibunya itu sudah bicara dengan begitu mesra di telpon, membuat anak lelakinya itu merasa jengah."Insyaallah nanti, kalau persoalan kita sudah selesai.""Kalau selesainya setahun lagi, dua tahun lagi, atau gak selesai-selesai gimana? Mama dan om Riswan gak bilah-bilah, gitu? Dosa, Ma. Terlalu lama menjalin hubungan gak jelas begitu." Zaki mencebikan bibirnya ke arah ibunya, harusnya sebagai orang tua mereka itu lebih tau mana itu dosa mana itu pahala. "Jadi Mama harus bagaimana?" tanya Nuraini dengan sangsi, dia sebenarnya masih belum yakin menikah dengan lelaki itu.Hingga suatu hari Riswan pernah menanyakan kenapa dia b