"Apa yang kau lakukan, Nadin!" teriak Mala, ibu tiri sekaligus bibinya.
Nadin tidak peduli dengan teriakan semua orang, dia tetap menumpahkan semua makanan ke lantai, sepanci rendang, sambal belut dan gulai kacang panjang sudah tumpah ruah di lantai.
Rasanya lelah hati, perasaan dan tubuh Nadin selama ini hanya dijadikan babu gratisan untuk keluarga ini, tapi apa balasan mereka? Mereka malah menyakitinya terus menerus, sudah waktunya Nadin memberontak, tidak akan dia biarkan ibu tiri dan saudara tirinya itu menginjak-nginjaknya lagi, ayah kandungnya yang selama ini dia harapkan dapat melindunginya ternyata juga lebih membela anak tirinya dari pada dia yang notabene anak kandungnya sendiri.
Plakk
"Dasar anak tidak tahu diri, pergi kau dari sini! Dasar anak durhaka!"
Nadin mengelus pipinya yang merah karena tamparan keras lelaki paruh baya itu, mata Nadin menyalang, dadanya naik turun menahan amarah, begitu juga dengan keadaan lelaki paruh baya itu.
"Jadi ini? Ayah menyuruhku pulang, memasak semua hidangan untuk acara pertunangan Chika dan laki-laki ini? Maaf saja, Yah. Aku tidak Sudi, masakanku dimakan untuk acara ini, lebih baik aku buang saja! Aku memang akan pergi, kalian tidak perlu mengusirku, dan aku pastikan tidak akan kembali lagi!"
Setelah mengatakan itu, Nadin bergegas masuk kamar menyambar tas ranselnya dan berlari pergi dari rumah yang sudah seperti neraka selama sepuluh tahun ini.
"Nadin!"
Gerakan Nadin terhenti tatkala sebuah lengan kekar mencengkeram lengannya dengan kuat.
"Lepaskan!" teriak Nadin menatap lelaki itu dengan nanar, jelas kemarahan dan rasa jijik tidak dapat disembunyikan dari matanya.
"Jangan bertingkah seperti ini, Nadin. Tenanglah ...."
"Siapa kau mau mengatur-ngatur aku? Jangan berani lagi menyentuhku, bajingan!" Nadin berusaha melepaskan lengan lelaki itu sekuat tenaganya.
"Kenapa sekarang kau jadi kasar begini, Nadin?"
"Kenapa? Kau tanya kenapa? Kau lah yang menyebabkan aku begini, sekarang lepaskan aku, brengsek!"
"Abang! Sudah biarin, gara-gara dia, kacau acara kita."
Chika menarik lelaki itu dengan nada geram, tidak tentu tidak terima jika lelaki itu masih saja perhatian pada mantan kekasihnya itu, menyadari ada Chika di sampingnya lelaki itu segera melepaskan genggamannya. Nadin tidak perlu menunggu lama, dia langsung berlari dan pergi dari rumah itu, meninggalkan semua yang seharusnya sudah dia lakukan sejak dulu.
"Sekarang kita harus gimana? Tinggal beberapa jam lagi orang tuamu datang." keluh Chika.
Mata lelaki itu nanar menatap sambal belut kesukaannya berserak di lantai, dulu dia sangat menyukai sambal belut buatan mantan kekasihnya ini, entah kapan lagi dia akan menikmati makanan lezat gadis itu, apalagi Nadin sudah sangat membencinya, yah semua itu memang salahnya, kenapa gampang sekali tergoda oleh saudara tiri kekasihnya ini.
Adam Alamsyah Putra, nama lelaki yang sudah menjadi kekasih Nadin selama tiga tahun lalu. Sejak kecil Nadin sudah kenal dengan Adam, karena mereka meman satu kampung, hanya saja ketika Nadin kuliah, lelaki yang juga merupakan kakak tingkatnya itu menjalin kedekatan dan akhirnya berpacara. Selama menjalin kisah kasih itu, Nadin dan Adam menjaga hubungan mereka agar terhindar dari sentuhan fisik, selain hanya bergandengan tangan. Namun selama tiga tahun itu, hubungan mereka sangatlah indah, Nadin selalu memasak untuk mereka berdua, bertahun-tahun menjadi babu gratisan di rumahnya membuat gadis itu mahir dalam urusan pekerjaan rumah tangga. Hingga Adam lulus dan kembali ke kampung, lelaki itu juga ternyata lulus mengikuti ujian CPNS.
Adam selalu mengatakan jika hubungan fisik akan mereka lakukan di saat nanti sudah menikah, tentu saja Nadin bahagia memiliki kekasih yang begitu menjaganya dari dosa. Namun alangkah kecewanya Nadin yang mendapati kekasihnya itu sedang berbagi Saliva dengan saudara tirinya di ruang tamu rumahnya ketika Nadin baru saja pulang kampung.
"Nadin, ibuku ingin aku segera menikah. Jika menunggumu itu terlalu lama, ibuku sangat menyukai Chika, lagipula Chika sudah lulus dan sudah bekerja di kantorku walaupun sebagai tenaga honorer, tetapi dia sudah bekerja dan siap menikah." Itu alasan Adam waktu mereka kepergok waktu itu.
Mengingat itu hati Nadin sangat sakit, Chika tentu saja tahun jika Adam adalah kekasihnya selama tiga tahun itu, namun dari mereka kecil Chika memang suka merebut semua barang yang dimiliki Nadin, kini dia juga merebut kekasih Nadin. Ketika Nadin marah karena perselingkuhan mereka ayahnya justru mendukung hubungan Chika dan Adam, ayahnya sama sekali tidak membelanya.
Nadin terus mengusap pipinya yang terasa perih, bukan kali ini ayahnya selalu melayangkan tangan kepadanya, sejak lelaki tua itu menikah dengan Kumala, istri almarhum pamannya itu, hidup Nadin sudah seperti di neraka. Pantas saja ibunya dulu selalu bersedih dan menangis diam-diam, ternyata begitu menyakitkan dikhianati pasangan.
"Ibu, kenapa ibu tidak mengajakku pergi bersamamu? kenapa aku yang masih kecil ditinggalkan bersama ibu tiri dan saudara tiri yang selalu memperlakukannya dengan semena-mena? Kenapa, Bu? Di mana ibu sekarang?"
*****
Nadin menundukkan wajahnya, perasaan sedih dan nelangsa kembali meremas jiwanya. Dia tidak tahu mau ke mana lagi melangkah, pulang ke kost-an juga dia tidak berani. Bu Rumintang, pemilik kost sudah menagih uang kost dari seminggu yang lalu, mau bayar pakai apa dia? Sedangkan baru saja dia diberhentikan bekerja di cafe karena Mbak Marini pemilik cafe baru saja meninggal tiga hari yang lalu, cafe tidak bisa dioperasikan dan semua karyawan diberhentikan, tanpa gaji, tanpa pesangon, karena karyawan sendiri tidak tahu harus meminta pada siapa.
Nadin Hanaya Putri, nama gadis yang diberikan oleh ayahnya, namun nasibnya kenapa menjadi seperti ini, dia masih memiliki ayah dan ibu, tetapi kenapa seperti hidup sebatang kara. Sedangkan ayahnya justru lebih sayang pada anak tirinya daripada anak kandungnya sendiri.
"Huh, sekarang aku harus bagaimana? Sekarang aku harus ke mana? Sebaiknya kucari Shintia saja." Nadin menghembuskan napasnya lelah.
Hari menjelang sore, Nadin perlahan melangkahkan kakinya ke kampus di mana dia kuliah, dia tidak ada jadwal kuliah atau kegiatan lain, karena dia sudah memasuki semester akhir, tinggal menggarap skripsi. Namun Nadin hanya ingin berbaur diantara riuhnya suasana kampus untuk menghilangkan kegalauannya. Nadin menuju perpustakaan kampus, tadi pagi Sintia, sahabat sekaligus tetangga kamar kost-nya akan pergi ke perpustakaan untuk mencari bahan referensi skripsinya.
Nadin harus menemui Sintia, selama ini hanya sahabatnya itu yang selalu membantu setiap kesulitan baik itu moril ataupun keuangan, Sintia memang bukan orang kaya, tetapi ayahnya sebagai guru SMA dan ibunya guru SD, hidup dalam harmonis, bersama-sama saling membahu menguliahkan putrinya Sintia dan kakak Sintia, Riko yang kini sudah bekerja. Sintia satu kelas dengan Nadin, selama empat tahun bersama-sama, sehingga ikatan persahabatan mereka semakin erat.
Nadin begitu semangat ingin menemui sahabatnya itu, walaupun perpustakaan ini luas, tetapi Nadin dan Sintia memiliki tempat favorite sendiri jika berada di perpustakaan, sehingga gadis itu tidak akan kesulitan menemui Sintia.
Dugh
"Aaarg"
Nadin terkejut dan berteriak ketika menaiki tangga tubuhnya tertabrak seseorang hingga tubuhnya limbung ke belakang, mata gadis itu memejam, pasrah seandainya dia terjatuh dari tangga ketiga.
"Kalau jalan hati-hati! Kalau jatuh, kepala kamu terbentur, bisa amnesia!"
Suara dingin seseorang itu menyadarkan Nadin, gadis itu spontan membuka matanya, dia merasakan sebuah tangan kekar melingkar pada pinggang membuatnya rikuh dan canggung, buru-buru dia melepaskan diri dari dekapan lelaki di hadapannya.
"Maaf ... Maaf, Mas. Saya tidak sengaja, sekali lagi maaf ya," ujar Nadin dengan gugup.
Lelaki itu tidak menanggapi perkataan Nadin, dia hanya menepuk lengan baju switer wolnya yang tadi menyentuh Nadin, seolah-olah merasa jijik. Nadin hanya tersenyum kecut melihatnya, tanpa membuang waktu, gadis itu berlari ke atas tangga tidak ingin berlama-lama di depan lelaki tak dikenalnya itu.
Melihat gadis yang menabraknya berlari menghindarinya dengan terburu-buru, lelaki yang memakai switer dan celana jeans warna hitam dengan tas selempang di lengannya itu tersenyum penuh misteri, satu sudut bibirnya terangkat.
"Aku menemukanmu!" gumamnya
"Sintia!" panggil Nadin.Benarkan, Sintia berada di tempat favorit mereka, di salah satu sudut baca di perpustakaan ini. Mereka menyukai tempat itu karena dari sana, petugas perpustakaan tidak mendengar jika mereka tengah ribut bergosip."Nadin! Kenapa ke sini? Kau tidak kerja? Ini sudah sore loh?"Sintia cukup terkejut sahabatnya ini datang menemuinya di sini, biasanya jam segini Nadin tidak bisa diganggu gugat karena akan pergi mencari nafkah."Aku dipecat!""Apa? Dipecat? Kok bisa? Kamu melakukan apa sampai dipecat?" Sintia jelas terkejut, soalnya di cafe tempat Nadin bekerja, gadis itu karyawan paling rajin dan penuh semangat."Yah, mau bagaimana lagi. Sejak mbak Marini meninggal dunia, cafe tidak bisa berjalan lagi, semua keuntungan dan modal sudah disetor ke rekening mbak Sintia, jadi cafe terpaksa tutup.""Kalau gitu, namanya tempat usahanya yang bangkrut, bukan kamu dipecat. Padahal kamu sudah janji sama Bu Rumintang mau bayar kost dua hari lagi kalau gajian," keluh Sintia."
Kebisuan mereka dipecahkan oleh suara pemuda itu, Sintia dan Nadin terkejut mendengar pemuda itu berbicara, bukan karena dia berbicara tapi ajakan pemuda itu yang cukup membuat Nadin syok "Menikahlah denganku! Pertimbangkan penawaranku ini." Nadin membeku mendengar perkataan lelaki asing di depannya, lelaki yang baru ditemuinya dua kali ini. Menikah palak lu! Demi membayar kontrakan dia harus menikah dengan lelaki ini? Miris sek "Menikah? Kau pikir menikah itu cuma mainan rumah-rumahan kayak bocil? Maaf, aku masih bisa mengusahakan cari kontrakan sendiri, tanpa harus menikah denganmu!" "Aku yang gak bisa, aku butuh bantuanmu, kalau kita menikah, kita bisa berbagi tempat tinggal tanpa harus digrebek warga." Pelipis Nadin berdenyut nyeri, kenyataan hidupnya yang sangat melelahkan dan kacau balau ini tidak bisa dia tutupi, dia memang kekurangan uang. Selalu kekurangan, untuk makan sehari tiga kali saja dia kesulitan dan dalam waktu dua puluh empat jam dia harus angkat kaki dari kost
"Nadin! Nadin! Keluar kamu, Nadin!"Tiba-tiba ada seseorang yang menggedor pintu sambil memanggil-manggil namanya, Nadin dan Sintia spontan terkejut, Nadin tahu dengan jelas siapa yang menggedor pintu kamarnya, makanya mentalnya kini benar-benar terpukul.Seorang wanita paruh baya dengan tubuh tambun dan bibir bergincu merah membara sudah membuka pintu dengan kasar, karena pintu kamar juga tidak terkunci. "Nadin, ini sudah batas akhir pembayaran kost kamu. Sekarang cepat bereskan semua barangmu. Kau pikir aku tidak butuh makan? Aku darimana lagi punya uang buat makan kalau bukan dari pembayaran kost kalian? Sekarang cepat keluar dari kost ini, kamar ini sudah ada yang menyewa, orang itu bahkan sudah membayar biaya sewa selama satu tahun. Tempat ini bukan tempat tinggal gratisan ya, sekarang kukasih waktu setengah jam untuk membereskan barangmu, sejam lagi yang nyewa mau menempati kamar ini!" Wanita itu berbicara dengan lugas dan sinis, kedua tangannya bahkan bertengger di kedua pingg
"Apa? Kau serius? Jadi kita hanya nikah kontrak? Kau tahu ajaran agama nggak sih? Nikah kontrak itu haram hukumnya!" Nadin menatap lelaki itu dengan serius, tetapi lelaki itu justru menaggapinya dengan acuh tak acuh. "Menikah kontrak itu haram karena mereka tujuannya hanya untuk berhubungan badan, nah hubungan badan itulah yang haram. Kalau kita kan cuma mencari legalitas hidup bersama, kamar kita juga terpisah, kita buat juga surat perjanjian bahwa kita tidak akan berhubungan badan, bagaimana?" Nadin hanya mencebikkan bibir, pernikahan macam apa yang akan dia lalui nanti? Sungguh tidak bisa dia bayangkan. "Mau berhubungan badan atau tidak, setelah pernikahan ini selesai tetap aku yang dirugikan, aku akan menyandang gelar janda, gelar yang sangat kontroversi di kalangan masyarakat." "Bukan cuma kamu saja yang bergelar janda, aku juga bergelar duda. Percayalah, asal kau masih perawan, masih banyak pria yang berminat denganmu." Nadin hanya melirik lelaki itu sekilas dengan muka ma
"Hei, jadi ini kendaraanmu? Apa ini masih bisa jalan?" Di parkiran itu, motor Zaki paling jadul dan paling jelek, sebuah motor merk Legenda yang sudah begitu tua, mungkin usia motor itu lebih tua dari usianya. Lelaki itu mengeluarkan motornya dari parkiran, mengengkol dengan kaki kanannya berulang-ulang, tetapi mesin motor itu belum menyala juga. Lelaki itu turun dari motornya dan memeriksa busi motor, mencabut dan mengelap pakai baju kemejanya, memasangnya kembali. Sekali engkol motor itu menyala dengan suara yang sangat nyaring k inihas motor butut. "Ayo, naik!" ujar lelaki itu dengan gerakan kepalanya. Nadin ragu-ragu duduk di boncengan, dia memegang pegagang besi yang ada di belakangnya dengan kuat, motor itu hanya suaranya yang nyaring, lajunya sangat lambat. Mungkin jika Nadin berlari dapat menyalip motor tersebut, Nadin tidak bisa berkata-kata. Dia hanya bisa mengelus dada, melapangkan hati, biarlah hidup lelaki ini miskin, semoga hatinya tidak miskin. Nadin jadi teringat p
Selesai membersihkan rumput dan semak belukar di halaman rumah depan, belakang dan samping, Zaki memasang tali dan timba di sumur yang terletak di bagian depan, rumah ini tidak memasang air PDAM namun ada sumur yang airnya cukup banyak, namun juga cukup dalam. Lelaki itu menimba air dan mengisinya ke dalam sebuah ember yang didapati di dalam rumah. "Ini airnya, coba di pel rumahnya, disiramkan saja airnya lalu disapu, setelah itu baru dilap pakai kain pel," ujar lelaki itu."Baik," jawab Nadin langsung menyiramkan air tersebut dari ruang kamar.Kemudian Nadin menggosok setiap lantai memakai sapu lantai dan menyapu airnya, sementara Zaki terus menimba air dan menyiramkan air di setiap lantai. Ketika dirasa semua lantai sudah basah terkena genangan air, lelaki itu membersihkan kamar mandi dan mengisi bak dengan air.Hingga siang hari pekerjaan mereka baru selesai, rumah sudah bersih dan siap untuk dihuni, Zaki meminta Nadin menunggu sebentar, sementara dia pergi keluar dengan motornya.
Nadin sudah mengangkut semua barangnya di rumah barunya, barang yang hanya tiga kardus itu dia letakkan di kamar belakang, biarlah kamar depan dipakai oleh Zaki. Zaki yang semula akan mengantarnya menjemput barang-barangnya tidak jadi karena dia tiba-tiba ditelpon oleh Fahmi agar segera ke kantor.Nadin yang tidak tahu menahu dengan urusan Zaki hanya membiarkan lelaki itu pergi setelah mengantar ke kost, Nadin membawa barang-barang itu dengan bantuan ojek. Setelah masuk ke kamarnya dia juga bingun barang-barang ituau disusun di mana, dia tidak memilik lemari ataupun rak, dia juga tidak memiliki alas untuk tempat tidurnya. Dengan tergesa, hari sudah jam empat sore, Nadin keluar dengan jalan kaki, sepertinya di jalan utama yang berjarak tiga ratus meter ada toko kelontong yang menyediakan barang-barang yang dia butuhkan.Benar saja, di toko itu dia bisa membeli tikar plastik dan sebuah bantal dan menghabiskan uang tujuh puluh ribu rupiah, uangnya kini tinggal tersisa seratus delapan pu
"Siapa yang peduli?""Lah itu, kamu membeli semua barang itu untuk gadis itu, kan?""Sembarangan, tentu saja untukku sendiri, siapa yang akan betah tinggal di rumah sejelek itu tanpa fasilitas apapun. Walau sederhana, setidaknya aku harus tinggal di rumah yang layak huni, dengan barang-barang yang masih bisa dipakai."Fahmi hanya menghela napas mendengar alasan lelaki di hadapannya ini, setelah berkunjung ke rumah Nadin tadi siang, lelaki ini dengan arogan menyuruhnya mencari barang-barang kebutuhan rumah tangga bekas yang layak pakai dan harus dibeli dalam waktu dua jam, tentu saja Fahmi yang belum faham daerah ini kelimpungan mencari di setiap sudut pasar, memantengi market place di facebook hingga dia menemukan toko barang-barang bekas tersebut dan meminta pemilik toko mengantarkan ke alamat dan langsung memasangnya."Jadi barang apa yang belum bisa kau dapatkan?" tanya Zaki lagi."Kipas angin dan sofa, di toko itu tidak ada barangnya.""Aish, kenapa pakai kipas angin, ada nggak AC
Extra part 2Pagi yang sama, kenapa kebahagiaan rasanya menguap dalam kehidupannya. Paska cerai dengan Chika, dalam waktu dua bulan Adam langsung dijodohkan oleh ibunya dengan wanita dari kampungnya, dulu perempuan itu adalah murid ibunya yang sangat pintar dan cantik. Tetapi pernikahan itu bagai kutukan bagi Adam, dia sama sekali tidak merasa bahagia. Ayuni, istrinya memang sangat cantik, dia juga berprofesi seorang bidan, sudah pegawai negeri pula. Bertugas di rumah sakit di kota yang sama dengan Adam sekarang, hanya saja kehidupan Adam terasa begitu hambar. Ayuni tidak bisa masak seenak masakan Nadin, wanita itu juga perhitungan dengan uangnya, setiap gaji Adam diperhitungkan dengan seksama tanpa mau uangnya dipakai untuk kebutuhan rumah tangga. Ayuni beranggapan, uang istri hanya untuk untuk istri, sedangkan yang suami sepenuhnya uang istri. Ayuni beralasan jika penghasilannya habis dipakai untuk kebutuhan ibu dan adik-adiknya di kampung, hal itu sebenarnya tidak dimasalahkan ole
Extra partKeesokan harinya Nuraini, Andini, Arif beserta Bik Sumi dan Mang Karta mengantar Fahmi belanja untuk hantaran dan seserahan untuk melamar Nabila.Sedang Nadin dan Zaki dilarang ikut, mereka menghabiskan waktu dengan putri kecil mereka, tak menyia-nyiakan waktu yang telah hilang selama ini.Para orang tua itu begitu semangat mengantar Fahmi belanja, pasalnya bagi mereka berlima, momen menyiapkan pernikahan putra mereka tidak akan terjadi lagi. Zaki dan Nadin sudah menikah tanpa sepengetahuan mereka, jadi mereka tidak bisa menyalurkan hasrat mengental putra dan putri mereka ke pelaminan.Nuraini pernah mengusulkan agar Zaki dan Nadin mengadakan resepsi, tetapi tetap ditolak oleh keduanya, pasalnya pernikahan mereka sudah setahun lebih, mereka mengatakan bahwa resepsi itu sudah terasa basi.Sepulang mereka masih tetap heboh, berbagai barang mereka kemas sendiri, terutama bik Sumi yang memang punya keahlian mengemas hantaran, dia juga punya usaha catering serta tenda dan dekora
Bab 181"Apa? Maksud Papa Arif apa? Apa maksudnya ini?!!" Nadin sedikit berteriak mengatakan semua ini."Nadin, Sayang ... Slowly! Tenang, Sayang ... Tenang, nanti Mas ceritakan sama kamu, Sayang. Tetapi syaratnya kamu harus tenang jangan emosi?" ujar Zaki menenangkan."Jangan nanti! Aku minta sekarang juga kamu ceritakan, Mas."Semua orang terdiam, Zaki juga tidak bisa mengatakan apapun, tiba-tiba tenggorokan nya tercekat, seolah-olah ada yang menyumbatnya."Sebaiknya kita masuk ke rumah dulu. Ayo, Sayang ... Kamu pasti lelah. Kita masuk rumah dulu, ya?" ujar Andini dengan lemah lembut sambil mengusap punggung putrinya."Bik Sumi, tolong buatin mereka minuman segar, ya? Mereka pasti lelah diperjalanan.""Baik, Mbak Andin.""Mbak Nura, mari masuk dulu, Mbak ... Fahmi, ayo ... Ayo, Zak, ajak ibu dan istrimu masuk ke rumah dulu," ujar Andini dengan perkataan yang lembut.Nadin hanya bisa mengikuti ibunya yang sudah mengajak masuk ke rumah. Dengan perlahan dia duduk di sofa ruang keluarga
Bab 180"Wow, apakah Bisa Sumi punya bayi? Ya Allah, Alhamdulillah kalau Bi Sumi akhirnya punya anak setelah dua puluh tahun lebih menikah belum diberi buah hati, aku sangat senang!" ujar Nadin dengan wajah sumringah."Nadin!" Biar Sumi langsung memeluk Nadin setelah berlari menyongsongnya. "Bibi! Apa kabar, Bi?" Seru Nadin dengan suasana mengharukan."Baik, Sayang. Bagaimana keadaanmu? Bibi sangat kuatir mendengar kamu ditembak, Nadin. Bibi ingin menjengukmu ke kota provinsi, tetapi Mamang kamu itu, malah darah tingginya kambuh, dia juga terpaksa dirawat, sampai sekarang masih minum obat dari dokter." "Oh ya? Kasihan Mang Karta! Tapi kelihatannya sudah sehat ya, Bi?" Nadin memperhatikan lelaki paruh baya yang tengah menimang-nimang bayi kecil di kedua tangannya."Bibi ... Itu bay____""NADIN! NADIN! NADIIIN!!" Belum juga Nadin menyelesaikan kalimatnya, dari arah pintu namanya dipanggil dengan suara keras menggelar. Seorang wanita berjilbab maroon senada dengan gamisnya berlari ke
Bab 179Jam empat sore mereka baru sampai di gerbang kabupaten, suasana pegunungan yang sejuk dan dingin sudah terasa menusuk kulit, Nadin langsung mengenakan switer-nya agar tidak kedinginan, Nuraini bahkan memakai jaket berbulu agar lebih hangat, sedangkan Zaki yang memang memakai kaos panjang masih bisa menahan hawa dingin, Fahmi mengecilkan AC mobil agar hawa dingin di dalam mobil berkurang, lelaki ini sudah mengenakan jaket Levis dari rumah, jadi tidak begitu merasakan udara sore yang menggigit. "Ini masih lama?" tanya Nuraini dengan nada penasaran. "Masih satu jam lagi sampai ke kampung Nadin," jawab Zaki. "Alamnya sangat indah, sebaiknya kamu pikirin untuk membuat resort di sini, potensinya sangat bagus, Zak," ujar Nuraini lagi. "Kalau itu nanti bicarakan dengan om Arif, aku mau fokus mengembangkan Z-Teknologi saja," jawab Zaki dengan malas-malasan. "Itu tenang saja, Bu. Nanti pembangunan resort-nya memakai jasa Adiguna konstruksi saja, langsung saya ACC nanti," jawab Fahm
Bab 178Berita penangkapan dan penggrebekan tempat judi ilegal dan aplikasi judi online diberitakan secara nasional. Pemiliknya ternyata orang yang sama, Mustofa Kemal. Seorang pria tua berusia enam puluh tujuh tahun. Polisi bergerak cepat setelah Riswan membuat laporan. Bukan main-main, koneksi Riswan ternyata seorang jenderal kepolisian bintang tiga di Humas mabes polri. Jenderal tersebut memiliki hutang Budi yang cukup besar pada Riswan, baru kali ini Riswan meminta tolong padanya, jadi bagaimana mungkin dia tidak melakukannya dengan tuntas. Bahkan antek-antek Mustofa juga ikut ditangkap,. Salah satunya orang kepolisian juga yang menjadi pelindungnya selama ini. Tak lupa juga Respatih dan Farhan ikut juga ditahan. Tidak main-main ancaman hukuman berlapis akan dikenakan, karena mereka juga terlibat human trafficking dan prostitusi.Zaki yang mendengar berita itu dari siaran langsung di layar televisi di kantornya tersenyum lega. Biarlah dia tidak bisa memenjarakan mereka atas kas
Bab 177Situasinya memang tidak terduga. Riswan rupanya gerak cepat untuk membuat pergerakan Mustofa terhenti. Menurut sumber informasi, Mustofa memiliki jaringan mafia yang cukup ganas, bisa membunuh tanpa tersentuh oleh hukum dan Riswan yakin, dalang pembunuhan Rafiq adalah kakak kandungnya sendiri yaitu Mustofa. Dengan persetujuan Nuraini, maka biro travel milik wanita itu juga segera diambil alih oleh Riswan. Semua pegawai bahkan di-rolling, sehingga menejemen berubah besar-besaran, Ahmad segera ditunjuk Riswan untuk menjadi direktur utama, sedangkan Willi di tempatkan di daerah Indonesia timur. Mustofa yang mengetahui hal tersebut sangat marah, dia tidak menyangka jika Nuraini menjual perusahaannya dan pindah ke provinsi selatan bersama putranya. "Bukankah usaha mereka itu berkembang pesat? Kenapa mereka jual," keluh Mustofa. "Menurut informasi yang saya dapatkan, usaha itu dulu sempat bangkrut, dan mereka mendapat suntikan dana yang tidak sedikit untuk bangkit lagi, mer
Bab 176Sudah dua Minggu Riswan dan Ahmad mencari bukti dan cara menjerat Mustofa, tetapi bukti dan saksi tidak bisa dihadirkan. Bahkan Faisal yang sudah dijebloskan ke dalam penjara saja hanya mengakui bahwa dia adalah dalang perampokan rumah Zaki, motifnya iri karena Zaki lebih sukses. Dia tidak satu katapun melibatkan ayahnya dan juga saudara-saudaranya. Zaki yang merasa lelah menghadapi semuanya, hanya menyerahkan semuanya pada pengacaranya dan tim investigasi dari kepolisian yang dipimpin oleh komandan Rusdi. Zaki hanya fokus menemani istrinya yang terguncang, semua diurus oleh Fahmi. Fahmi yang bekerja keras di sini, sementara perkerjaan kantor diurus oleh Riko. Zaki menyerahkan sepenuhnya pada Riko sebagai ketua tim pengembang yang baru, sementara Pak Hadi menempati jabatan general manajer, sedang pak Anwar masih di posisi manajer HRD.Pagi itu Riswan dan Ahmad berkunjung ke rumah Zaki, sudah dua Minggu Riswan tidak bertemu Nuraini, rasanya sangat rindu sekali. Wanita itu jug
Bab 175Hari ini Nadin kembali ke kediaman Zaki, sudah sebulan dia dirawat di rumah sakit dan sekarang sudah dinyatakan sembuh. Nuraini, Shintia dan Nabila ikut menjemputnya, tak lupa Fahmi dan Zaki juga ikut menjemput, sedang Riswan yang masih di luar kota hanya bisa menelponnya saja. "Jadi kapan lelaki itu mau menikahi Mama?" tanya Zaki dengan penasaran, pasalnya ibunya itu sudah bicara dengan begitu mesra di telpon, membuat anak lelakinya itu merasa jengah."Insyaallah nanti, kalau persoalan kita sudah selesai.""Kalau selesainya setahun lagi, dua tahun lagi, atau gak selesai-selesai gimana? Mama dan om Riswan gak bilah-bilah, gitu? Dosa, Ma. Terlalu lama menjalin hubungan gak jelas begitu." Zaki mencebikan bibirnya ke arah ibunya, harusnya sebagai orang tua mereka itu lebih tau mana itu dosa mana itu pahala. "Jadi Mama harus bagaimana?" tanya Nuraini dengan sangsi, dia sebenarnya masih belum yakin menikah dengan lelaki itu.Hingga suatu hari Riswan pernah menanyakan kenapa dia b