Pagi menjelang terlalu cepat. Tak disangka, Juna tertidur pulas sembari memeluk Namira yang juga tidak menyadari posisi mereka. Nampak terlelap begitu nyenyak, membuat Juna yang sudah bangun duluan menjadi deg-degan. Posisi yang berbahaya, membuat darah berdesir dan jantung berdebar-debar. Wah, memang tidak sia-sia dia menikah dengan perempuan itu. Sebenarnya paras tak terlalu diperhitungkan, tapi jika dapat yang hampir sempurna, jelas Juna bersyukur.
"AAAAAAA!"BUGH!Namira terbangun tepat di saat mata Juna menatap dalam wajah perempuan itu. Namira memekik, mendorong Juna yang memeluknya hingga jatuh dari ranjang. Meringis sudah tulung punggung Juna karena terhantuk sudut nakas."Lo ngapain?!"Juna mengerutkan dahi kesakitan. Memegangi pinggangnya yang berkedut. Kemudian tatapannya tertuju pada Namira yang melotot garang. "Kamu kenapa dorong saya?!""Situ ngapain meluk gue?!""Ya mana saya tau."Namira menatap Juna kesal. Ingin ia bejek-bejek rasanya wajah tampan itu. Tapi Namira urungkan dan dia memilih turun dari kasur, berjalan meninggalkan kamar tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.Juna yang melihat hanya bisa geleng-geleng kepala. Perempuan terlalu banyak gaya. Gengsi segede planet sagitarius diperlihara. Juna yakin, Namira senang saat tidur di pelukan Juna. Hanya saja dia terlalu malu untuk mengakui dan mengatakan pelukan Juna nyaman. Memang ya, berurusan dengan perempuan kerap membuat kepala berat sebelah."Saya mandi dulu. Jangan lupa bikin sarapan," ujar Juna seraya melangkah memasuki kamar mandi."Lo pikir gue pembantu?!""Kamu istri saya. Biasanya seorang istri membuatkan suaminya sarapan.""Gue bukan--""Jangan membantah!"***Namira adalah perempuan yang sangat jarang berbaur dengan wajan dan kompor. Dia lebih suka makan makanan cepat saji atau masakan mama. Namira adalah perempuan yang cukup pemalas. Hobinya rebahan, makan, lalu main game dan memikirkan pekerjaan apa yang patut dia tekuni. Namira tamat S1 dengan jurusan yang cukup langka. Namun sulit untuk lulus interview karena Namira kurang percaya diri dalam menjawab pertanyaan dari HRD. Tampaknya dia memang diprofesikan sebagai ibu rumah tangga."Mau masak apa? Mie instan aja kali ya?" Namira bergumam seraya membuka lemari. Tidak ada apa-apa, hanya angin dan kehampaan. Namira berdecak, membanting pintu lemari kuat-kuat. "Mau makan apa nih gue?""Ngapain kamu banting-banting pintu lemari?" Juna datang dari arah belakang Namira. Tubuhnya hanya dibalut handuk berbentuk baju yang namanya masih juga belum tau. Juna lupa jika di apartemen ini tidak ada baju ganti. Tadi dia sudah memesan baju di online shop. Katanya akan segera sampai karena Juna memilih kurir kilat.Namira berbalik, berhadapan dengan Juna. "Lo ngapain pakai baju handuk?""Saya nggak punya baju.""Udah tau nggak punya baju ganti, masih aja mandi," ujar Namira.Juna mengedikkan bahunya. "Badan saya gerah. Butuh mandi.""Tapi ya sadar jugalah, di sini nggak ada baju ganti," omel Namira.Juna tidak terlalu menanggapi ucapan perempuan itu. Ia melihat ke arah kompor, tidak ada yang dimasak. Kemudian melihat ke arah meja makan, tidak juga ada makanan. Mau makan apa dia? Juna lapar. Sangat lapar."Nggak ada yang bisa dimakan?""Nggak. Kosong semua lemarinya. Bahkan mie instan yang selalu ada dimana-mana, di sini nggak ada," jawab Namira. Bisa-bisanya tidak stok bahan makanan."Yaudah, kita makan di luar aja," usul Juna. Perut lapar tidak bisa didiamkan. Cacingnya akan terus bersuara jika asupannya tak terpenuhi.Namira membelalakkan matanya. Arjuna ini bercanda atau bagaimana? Mau makan diluar pakai handuk begitu? Apa tidak malu?"Lo nggak mungkin nyari makan handukan kayak gitu!" ujar Namira dengan nada tidak santai.Juna mendengus. Mulut Namira tampaknya harus di sekolahkan. Bahasanya sangat tidak enak didengar. "Saya udah mesan baju. Palingan bentar lagi datang.""Buat gue juga?""Ya enggaklah.""Kok gitu?""Kamu kan nggak minta," jawab Juna. Untuk apa dia membelikan sesuatu yang tidak diminta Namira? Nanti kalau perempuan itu tidak menginginkan barang tersebut, ujung-ujungnya juga sia-sia.Namira mendengus pelan. "Terserah."Juna merasa bingung. Kalimat keramat itu keluar dari mulut Namira. Seharusnya dia tidak terlalu memusingkan kalimat itu tapi bagi sebagian lelaki itu adalah bahaya. Apakah Juna harus takut? Tapi untuk apa? Dia dan Namira tidak saling cinta. Jadi bukan masalah jika perempuan itu merajuk atau mendiaminya."Kamu mau baju juga?" tanya Juna pada akhirnya.Namira melirik Juna sinis. "Kalau lo beneran suami gue, lo pasti bakal beliin tanpa harus nanya dulu.""Nanti kalau langsung saya beli, takutnya kamu malah nggak mau.""Terserah lo!"Namira berjalan meninggalkan ruang makan. Terlanjur kesal dengan Juna. Baru juga hari pertama jadi suami, sudah menyebalkan sekali. Huh, Namira ingin segera pulang ke rumah rasanya. Menceritakan pada dinding kamar tentang betapa menyedihkannya nasib Namira.Juna mengusap wajahnya, kemudian menyusul Namira. Masa iya di hari pertama mereka sudah saling diam mendiami. Sangat tidak menyenangkan. Padahal Juna punya tekad untuk membuat Namira jatuh cinta padanya."Namira!""Santai dong manggilnya," ketus Namira karena terkejut.Juna tersenyum kecil. Dia mengambil tempat di sebelah Namira. "Kamu marah sama saya?""Dih, ngapain gue marah sama lo?" Tidak punya kerjaan sekali Namira sampai harus marah pada Juna."Saya pikir kamu marah karena nggak saya beliin baju," ujar Juna lagi.Namira menggelengkan kepalanya tidak habis fikir. Kegeeran sekali Arjuna. "Nggak guna gue ngambek. Gue bisa beli baju sendiri. Duit gue banyak.""Sombong," gumam Juna diiringi dengusan pelan.Namira melebarkan matanya. Tentu tidak terima dikatakan sombong oleh Juna. Ia hanya menjawab, bukan mamerkan tentang dirinya yang punya duit banyak. "Nggak ada tuh gue sombong.""Ada tuh barusan.""Mau lo apasih? Jangan nyari perkara ya Arjuna," kesal Namira.Laki-laki itu malah terkekeh tidak berdosa. Ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, lalu menghela nafas panjang seakan punya banyak beban seraya melipat kedua tangan di depan dada. "Saya mau makan."Bahkan Juna tidak sadar dengan pakaiannya yang masih tidak aman. Handuk itu bisa tersapu angin kapan saja. Untungnya disini tidak ada angin, jadi okelah."Ya makan. Ngapain bilang ke gue?" Namira justru menanggapi dengan nada sewot. Juna terlalu banyak tingkah, membuat Namira pusing sendiri.Kepala Juna menggeleng-geleng. Decakan pelan keluar dari mulutnya. "Bahasa kamu bisa diganti tidak sih? Sadar nggak saya ini siapa?""Manusia.""Saya ini suami kamu, Namira. Hargai dan hormati saya--""Lo pikir lo siapa? Bendera?"Juna mengulurkan tangan, mencubit pipi kanan Namira. "Kamu berdosa karena telah tidak sopan dengan suami sendiri.""Terus urusannya sama situ apa?"Juna menoleh, menatap Namira dengan kedua alis terangkat. "Mau banget ya saya sentil itu mulut, hm?""Apaansih?!""Sopan, Namira. SOPAN," ujar Juna. Heran, kasar sekali mulutnya.Namira merotasikan bola matanya malas. Kapan ia akan lepas dari laki-laki menyebalkan ini?"Kamu bisa lepas dari saya kalau saya talak kamu," sahut Juna.Apalagi ini? Jangan katakan Juna bisa membaca pikiran? Namira mendengus kasar, pusing sudah kepalanya. "Juna..""Iya?""Mending lo nyari makan sana. Bisa mati pagi kita kalau nggak sarapan," titah Namira. Tujuannya berkata demikian adalah agar bisa lepas dari Juna. Setidaknya untuk waktu beberapa menit ke depan."Udah saya pesen lewat online." Juna beranjak bangkit kala terdengar bunyi bel kamar di tekan. Dengan style handukan keren, Juna membuka pintu. Ternyata yang datang kurir baju dan kurir makanan. Setelah membayar, Juna kembali ke dalam. Meletakkan makanan di atas meja, kemudian berlalu pergi begitu saja.Namira menatap laki-laki itu dengan dahi berkerut. Kemudian pandangannya jatuh pada makanan di hadapannya. Cukup menggoda karena baunya wangi sekali. Namira menyibak sedikit plastik pembungkusnya. Ada bubur ayam dan sereal serta susu. Bubur ayamnya hanya satu porsi."Buat gue ada nggak?" Seru Namira."Nggak!"Bibir Namira langsung menukik ke bawah, cemberut sekaligus sedih. Dia padahal juga lapar. "Lo jahat!""Beli sendiri! Kamu kan banyak duit!" Balas Juna dengan teriakan yang tak kalah kencang."Suami apaan begitu?""Istri apaan yang begitu?""ARJUNA!""NAMIRA!"Namira menggertakkan giginya, kesal bukan main dengan Juna. Sedangkan pria itu, berusaha menahan tawa karena merasa lucu dengan bayangan wajah cemberut Namira yang berputar-putar di kepalanya."Awas lo! Gue laporin papa!""Palingan papa bela saya," sahut Juna yang sudah berada di ruangan yang sama dengan Namira. Datang dengan begitu tiba-tiba.Namira melirik Juna sinis. "Terserah lo."Juna tersenyum tidak peduli seraya mengedikkan kedua bahunya. Dia mengulurkan tangan, meraih kantong plastik berisi makanan. Tanpa berniat menawarkan Namira, Juna langsung membawa kantong itu ke dapur. Perutnya sudah lapar, butuh untuk segera diisi makanan."Lo beneran nggak ngasih gue makan, Jun?" Namira bertanya tak percaya. Beranjak bangkit, Namira menyusul Juna ke dapur.Tampak di meja makan, Juna menikmati sereal dengan begitu nikmat dan khidmat. Namira seketika tergiur karena sesungguhnya dia juga lapar. "Juna...""Apa?" Juna menoleh, menatap wajah menyedihkan Namira. "Mau makan?""Iya.""Bisa beli sendiri kan?"Namira semakin cemberut. "Tega Lo kalau gue sakit karena nggak makan?""Kamu juga tega berkata tidak sopan pada saya. Kamu harus ingat kalau saya ini suami kamu," jelas Juna serius."Maaf..""Maaf kamu nggak ada gunanya. Paling nanti habis makan kurang ajar lagi.""Juna..""Apa?""Laper.."Juna mendengus kasar. "Tuh, makan bubur ayamnya.""Serius?" Wajah Namira langsung girang.Juna mendengus. Pertanyaan yang tidak seharusnya ditanyakan. "Iya. Lagipula kalau kamu mati, siapa yang bakal saya cintai?""Kita pisah kamar?""Maunya sih gitu.""Alay banget. Serius.""Kok alay?!""Kayak drama. Ini dunia nyata, ngapain tidur pisah kamar. Mending nggak usah nikah.""Kok?!"Juna menaikkan kedua alisnya, menantang Namira untuk lanjut berbicara. Perempuan itu menatap Juna tajam, kemudian berlalu meninggalkan laki-laki itu dengan langkah yang dihentak-hentakkan. Dari belakang, Juna memperhatikan dalam diam. Tidak melepas pandangan hingga perempuan itu hilang di balik tangga. Kemudian ia ikut menyusul sembari menggeleng-gelengkan kepala tidak habis fikir. Lantai atas punya dua kamar. Salah satu pintunya terbuka lebar, memperlihatkan Namira yang sibuk meratapi diri di depan kaca. Tampak frustasi. Mungkin dia menyesal dengan pernikahan ini. Tapi ya bodo amat. Rezal hanya mengedikkan bahunya, tidak mau peduli. Tidak ada gunanya menyesal. Salah dia sendiri, kenapa disaat Juna datang melamar, Namira menerimanya dengan senang hati. Kalau tidak mau ya tolak. Toh, Juna bisa menikah dengan perempuan l
Usai melaksanakan sholat Maghrib, Namira memutuskan untuk duduk di ruang tengah, berniat untuk menonton televisi atau serial atau series atau semacam itulah. Sebelum itu, Namira sudah memesan cemilan untuk menemaninya saat nonton. Rencananya ia akan menonton ulang film Korea yang berjudul Descandent of the sun. Masih belum move on dan ada sedikit rasa rindu terhadap bapak-bapak tentara keren itu.Namun tampaknya rencana menonton dengan tenang tidak akan berjalan dengan lancar, sebab Juna tiba-tiba duduk di sebelahnya tanpa permisi. Mana langsung meraih remot dan mengganti siaran ke siaran tv nasional. Langsung saja, Pak Kemet dan Dadang menjadi tontonan Namira."Kok lo ganti sih?!"Juna menoleh, menatap Namira dengan air muka lugu. "Emangnya kamu mau nonton film apa? Dunia terbalik kan?"Namira menatap Juna kesal. Sejak kapan tontonan Namira dunia terbalik? Tau saja tidak dia kalau ada serial itu di pertelevisian Indonesia. "Gue mau nonton Drakor, Juna! Apaan tuh dunia terbalik.""Dra
Omong kosong jika mereka betulan ke toko elektronik untuk membeli remot tv. Nyatanya, tempat yang mereka kunjungi adalah area street food malam. Membeli aneka jajanan yang entahlah--Namira tidak menduga bahwa Juna yang sok cool itu suka dengan arum manis. Bahkan dia membeli dua bungkus karena saking sukanya.Tak hanya itu, ia juga membeli beberapa makanan asin dan gurih. Dan tampaknya, kegiatan jajan itu sepenuhnya dilakukan oleh Juna. Ia bahkan menghiraukan Namira dan tidak peduli jika Namira tertinggal di belakang. Seharusnya yang sibuk menyapa abang-abang gerobak itu adalah dirinya, bukan Juna.Dan kini, mereka sudah berada di dalam mobil. Setelah menghabiskan setengah isi dompet dan separuh jam hanya untuk menelusuri pinggiran jalan. Wajah Namira masih tertekuk kesal meski sudah disogok dua kotak martabak sultan. Junapun tidak merasa bersalah karena telah mengerjai perempuan itu. Jika Namira memang tidak ingin ada di sini untuk menemaninya, Namira bisa pulang sendiri dengan angkot
"Masak apa Bu?" tanya Namira pada Bi Arum yang sedang asik di dapur. Memotong-motong kentang sembari memperhatikan masakan di wajan. Bi Arum tersenyum kala tau Namira datang ke dapur. "Masak telur dadar sama sop sayur non," jawab Bi Arum. Memang telur dadar ternyata.Namira menganggukkan kepalanya mengerti. "Boleh nggak kalau Mira ikutan masak?"Bi Arum langsung menatap kaget Namira. "Non mau masak?""Iya Bu.""Tapi jangan deh non. Ini bibi mau goreng ayam. Kalau non yang goreng, nanti tangannya kecipratan minyak." Bi Arum tidak mengizinkan. Takut istri dari majikannya itu terluka jika nekat berdekatan dengan wajan.Namira memasang wajah cemberut. "Bolehlah Bu. Mumpung Mira nggak ada kerjaan." Bi Arum masih ragu untuk memberikan izin kepada Namira. Bahaya jika ibu negara itu terluka karena nekat terjun ke dapur. Bisa-bisa sang paduka mengamuk."Biarin aja, bi. Manusia males kayak dia emang harus tau sama dapur." Entah sejak kapan, Juna berdiri di samping kulkas sembari bersedekap da
"Saya pergi dulu," pamit Juna pada Namira kala mendapati perempuan itu sedang duduk di teras. Membaca majalah seraya menikmati secangkir kopi. Namira mendongak, menatap Arjuna yang sudah kece abis. Tubuh dibalut kemeja lengan pendek berwarna hitam, kaki dilindungi sepatu kece yang kerap dipakai orang-orang kantoran, kaca mata minus di atas hidung, celana bahan berwarna hitam, jam tangan, tas tentengan, jas putih yang tersampir di salah satu lengan, hm--ini terlalu rapi untuk keluar rumah mencari angin. Namira menyipitkan matanya, curiga dengan Juna yang tumben-tumbenan ganteng maksimal. "Mau kemana?""Rumah sakit.""Ngapain? Lo sakit?" tanya Namira, heran. Juna menggeleng. "Ada perlu. Kamu kalau butuh apa-apa, bilang aja sama Bi Arum.""Tapi gue juga mau keluar." Namira juga sudah punya rencana untuk menghabiskan waktu luangnya. Juna beroh singkat. "Yaudah. Saya berangkat kalau gitu."Namira menahan Juna yan
Namira berbalik, memunggungi meja administrasi. Ada banyak manusia berpakaian formal berseliweran di lobi. Mereka tampak bersemangat untuk bekerja dan Namira menginginkan hal itu. Ia ingin sibuk seperti orang-orang itu. Duduk sembari menatap layar komputer, ditemani satu cangkir kopi susu. Indah sekali jika dibayangkan.Senyum Namira memudar kala melihat seorang laki-laki berjalan menghampiri meja administrasi. Mata Namira menyipit, merasa kenal dengan manusia yang sudah punya id card sendiri."Regi? Lo Regi kan? Yang waktu itu hampir pingsan karena antrian ngirim surat lamarannya panjang?" Namira langsung menodongkan sebuah pertanyaan.Pria bernama Regi itu menoleh. Cukup lama matanya menatap Namira sebelum akhirnya berseru heboh. "Namira! Lo udah kerja di sini juga?"Namira menggelengkan kepalanya. "Gue ngirim surat lamaran.""Lagi?" Regi terkekeh. Ia sudah hafal berapa kali perempuan yang satu ini datang ke tempat ini untuk mengirim surat lamaran kerja. "Iya. Lo ngirim surat lamar
Juna langsung membawa Namira memasuki kamar. Perempuan itu pasti syok diperlakukan seperti itu oleh laki-laki jahat yang nyatanya adalah mantan kekasih Namira. Juna tidak tau kronologi jelasnya perihal yang dilakukan Sky pada Namira. Ia hanya melihat, Namira di tarik dengan begitu kasar menuju parkiran. Juna cukup bersyukur karena ada yang menolong Namira. Jika tidak ada, mungkin Juna tidak akan tau bagaimana nasib perempuan itu selanjutnya."Kamu nggak papa?" tanya Juna pada Namira yang berada di sebelahnya. Sejak tadi, Namira tak mau bersuara."Gue baik-baik aja," ketus perempuan itu, tidak mau menatap Juna. Ia tidak marah pada laki-laki itu tapi takut jantungnya kembali berdetak tidak normal jika matanya dan mata Juna kembali beradu. Cukup di sepanjang perjalanan pulang Namira kesulitan mengatur detak jantungnya sendiri.Juna tersenyum tipis. "Maaf karena saya membiarkan kamu pergi sendiri.""Bukan salah Lo. Biasanya juga kalau mau kemana-mana kan gue sendiri," ujar Namira."Ya, un
Kening Namira berkerut dengan dahi yang ikut bertaut setelah membaca sebuah pesan yang dikirim oleh Sky. Pesan berisi beberapa foto Juna bersama seorang perempuan di sebuah cafe. Ketika Juna tersenyum menatap perempuan itu, dilanjut dengan wajah salah tingkah perempuan asing itu dan terakhir foto Juna yang menyentuh kepala perempuan itu yang tampaknya dilakukan tanpa paksaan.Lalu? Apa gunanya Sky mengirim foto aneh ini padanya? Berharap Namira cemburu dan berterima kasih pada Sky karena telah memberitahukan keburukan suaminya yang pergi bersama perempuan lain? Kemudian Namira marah pada Juna dan rumah tangga mereka berantakan? Cih! Namira bukan perempuan mudah baper yang sedikit-sedikit langsung sedih, menangis dan marah. Dia mah santai saja. Mau Juna tidur dengan perempuan lain sampai punya anak dia juga tidak peduli. Malahan akan lebih baik biar mereka cepat berpisah."Saya pulang."Pintu kamar terbuka, memperlihatkan Juna yang datang sembari menenteng plastik berisi makanan pesana
Sepasang suami istri itu sama-sama gusar dengan masalah yang mereka hadapi. Lima belas menit berlalu, keduanya sama-sama termenung di depan televisi yang menyala. Tadinya ingin nonton film bareng sembari bercerita perihal bagaimana hari ini. Tapi entah kenapa keduanya sama-sama melayang dengan pikiran masing-masing.Namira dengan masalah tugas baru dan rekan setim yang menjengkelkan, lalu Juna dengan janji ingin menikahi Zahira dalam upaya penyelamatan. Masalah mereka sama-sama rumit.Perihal naik jabatan. Mau bagaimanapun, naik jabatan dan memperoleh karir yang bagus adalah cita-cita Namira sejak lama. Peluang yang ada tidak mungkin dia abaikan. Namun lagi-lagi Namira sangsi karena rekannya adalah Regi. Namira tidak tau bagaimana caranya meminta izin pada Juna. Takut pria itu marah dan tidak mengizinkannya.Kemudian perihal menikahi pasien sendiri. Hal itu tidak pernah ada dalam rencana Juna. Dia tidak berniat menikah lagi karena mencintai Namira sulitnya setengah mati. Namun Juna ti
Juna tau apa yang dia janjikan adalah upaya penyelamatan. Tapi Juna juga mesti tau bahwa janji yang dia ucapkan bukan hanya omong kosong yang bisa dengan mudah dilupakan. Mungkin Juna bisa menyepelekan ucapannya kalau yang mendengarnya bukan remaja delapan belas tahun yang mengaku bercita-cita jadi istrinya. Juna bisa tenang kalau yang dia ajak bicara adalah anak SD yang suka lupa siapa pria idamannya.Kini, Juna harus menanggungnya sendirian. Janji yang dia diserukan disaksikan banyak orang, termasuk Amel yang tau kalau Juna sudah punya istri. Dia juga tidak tau harus bagaimana agar Zahira tidak kembali bunuh diri. Bukan tak mungkin Zahira tak akan mengulangi kejadian tadi. Tapi tak mungkin juga Juna menikahi gadis itu. Yang benar saja? Namira bisa terluka.Juna berada dalam masalah besar. Ah, sialan. Kenapa hidupnya bisa serumit ini?"Kondisinya stabil, dok," ucap Amel yang baru saja memeriksa Zahira.Juna tersadar dari lamunannya. Matanya tertuju pada gadis yang terlelap di atas r
"DOKTER JUNA!"Teriakan maut dari Amelia hampir membuat nyawa Juna tercabut dari tubuhnya karena tersedak kacang hijau yang sedang dia makan. Buru-buru meraih segelas air, lalu meneguknya hingga tandas. Kemudian mata Juna menatap Amel yang berlari mendekati mejanya. Raut wajah perempuan itu tampak gusar, seperti baru saja ditagih hutang oleh debkolektor tidak punya hati."Dokter!" Suaranya masih tinggi disertai napas yang memburu."Apasih, Mel?"Amel tidak langsung menjawab. Terlebih dahulu mengatur napasnya yang berantakan. "Itu, pasien dokter... pasien dokter mau bunuh diri!"Kontan mata Juna melebar karena terkejut. "Pasien saya yang mana?""Itu dok, yang kecil," jawab Amel.Hanya ada satu pasien anak kecil yang Juna tangani. Dia lekas beranjak, menatap Amel yang masih belum usai dengan cemasnya. "Dimana dia?""Di rotroof, dok."Juna bergegas meninggalkan kantin dan bubur kacang hijau yang baru dimakan separuh. Sedangkan Amel menyusul di belakang. "Apa sih yang dipikirkan anak itu
Kembali pada rumah sakit bukan hal yang Zahira syukuri. Sebetulnya dia tidak berharap bisa terbaring lagi di sini. Rasanya semua harapan untuk sembuh sudah habis kala Juna memutuskan untuk tidak menemuinya lagi. Hati Zahira benar-benar patah melihat Juna membencinya tanpa Zahira tau apa yang telah dia lakukan. Zahira juga tidak pernah membayangkan Juna mau menerimanya kembali sebagai pasien. Sedikit egois, seharusnya Juna bersikap profesional sebagai dokter. Terlepas dari masalah mereka yang tidak jelas, mereka adalah dokter dan pasien. Juna mungkin membenci Zahira dan tidak ingin melihatnya lagi, tapi abai pada pasien karena masalah pribadi bukan bagian dari profesional. Terbaring tidak berdaya, mengabaikan pengobatan, enggan makan dan tidak mau bertemu siapapun karena Juna adalah bentuk dari perasaan Zahira yang merasa ditolak. Dia tidak menapik bahwa dia suka pada Juna. Mungkin sudah pada level cinta yang mana rela melakukan apapun agar mereka bisa bersama. Zahira suka pada Juna
Kaki Gamandi bergerak gelisah. Dia mendengar kabar bahwa hubungan Juna dan Namira kian membaik. Dan kabar mengenai Regi yang dibenci oleh Namira menjadi masalah baru yang harus segera dia selesaikan. Gamandi tidak akan merasa puas jika dendamnya tak terbalaskan. Semuanya harus hancur. Baik itu Basri ataupun putrinya. Tidak satupun dari mereka boleh berbahagia.Dia akan menekankan sekali lagi, tujuannya membantu Basri dan menjodohkan anak mereka adalah untuk membalaskan dendam pada Basri. Gamandi tidak datang dengan raut wajah benar-benar senang. Semua yang dia tunjukkan hanyalah sebuah topeng. Tidak ada yang tau dengan rencana dan rasa bencinya. Gamandi bergerak sendiri."Silahkan temui saya nanti sore di caffe seberang. Ada yang ingin saya bicarakan," ucap Gamandi pada seseorang yang berada pada sambungan telvon.Tidak ada cara lain selain melibatkan orang lain. Gamandi tidak ingin rencana yang telah dia susun sejak lama hancur begitu saja.***Zahira benar-benar datang menemui Juna
Regi tidak mampir. Setelah menurunkan Namira dan Sky, dia langsung pulang. Rencananya rusak karena kehadiran Sky. Seharusnya dia bisa berduaan dengan Namira dan memperbaiki hubungan mereka. Namun makhluk sialan itu muncul dan merusak semuanya.Kini, di teras rumah itu ada Namira dan Sky. Dia mengekori Saras, seperti seorang anak yang mengekori ibunya. "Lo ngapain di sini, Sky?" tanya Namira sebelum mendorong pintu rumahnya agar terbuka."Main," jawabnya enteng sembari menggali harta karun dari lubang hidungnya.Namira menghela panjang. "Mending lo balik. Gue mau istirahat.""Kasih gue minum. Haus." Dia mengusap tenggorokannya.Namira mendengus, jengkel. "Habis itu pulang.""Okay.""Jangan ikut ke dalam. Duduk di sini aja," ucap Namira kala Sky mengikutinya ke dalam rumah.Dengan wajah cemberut, Sky kembali mundur, lalu duduk di kursi teras. Tapi tidak apa. Meski diperlakukan kurang baik, Sky telah bertemu Namira. Setidaknya dia berhasil menjauhkan Namira dan Regi.Sky duduk diam semb
Hari ini Namira pulang sedikit terlambat. Yang biasanya pukul enam sudah berada di rumah, kini baru beranjak dari kantor sekitar pukul tujuh malam. Namira pulang sendirian. Juna masih belum pulang dari rumah sakit karena mendadak menolong temannya di IGD. Alhasil, Namira harus pulang sendirian naik bus umum. Usai merapikan berkas-berkas di mejanya, Namira pergi ke toilet untuk merapikan rambut dan pakaiannya. "Hai."Namira terperanjat kaget kala Regi tiba-tiba muncul di balik pintu. Regi tersenyum melihat wajah terkejut Namira. "Sorry kalau gue ngagetin."Namira menarik napas dalam, lalu menghembuskannya pelan. "Nggak papa.""Hm, mau pulang bareng?" tanya Regi.Semenjak kejadian di tepi pantai kala itu, Namira berusaha menjauh dari Regi. Dia selalu merasa bersalah jika kejadian itu kembali membayangi. Dekat dengan Regi membuat Namira merasa menjadi istri yang paling buruk. Dia tidak ingin menyakiti hati Juna."Gue bisa pulang sendiri," jawab Namira dengan nada sedikit ketus.Raut w
Gamandi membenarkan dasinya yang terasa mencekik kala wanita di hadapannya menatap dirinya dengan tajam. Ibu dari pasien Juna yang ternyata adalah teman lama sekaligus manusia yang tak ingin dia temui itu datang untuk meminta tolong sekalian memarahinya karena tidak bisa merawat Juna dengan baik sehingga laki-laki itu dengan mudah menyakiti hati orang lain.Dia tidak berminat meladeni Raisa—ibu Zahira—jikalau saja dia tidak mengancamnya dan berkata akan menyebarkan rahasia Gamandi pada publik. Ancaman yang sangat klise tapi mampu membuat Gamandi ketar-ketir. Dia bisa hancur jika Raisa menyebarkan rahasia itu pada muka umum. Lantas demi dirinya sendiri dan perusahaan yang Gamandi naungi, dia berada di sini. Mendengarkan dengan malas ocehan Raisa perihal masa lalu Gamandi, dirinya dan ibu Namira. Gamandi berkali-kali menghela napas pertanda bosan mendengar Raisa bercerita. Namun naasnya manusia itu tidak peka dan terus berceloteh. Awalnya membahas Juna tapi malah berakhir membalas kisa
Kondisi Zahira semakin menurun sejak Juna tidak lagi ingin menjadi dokter gadis itu. Zahira tidak ingin kontrol ke rumah sakit, tidak ingin minum obat dan sering mengabaikan waktu makan. Dia tampak seperti seorang perempuan yang ditinggal oleh kekasihnya. Benar-benar berantakan.Mama telah menghubungi Juna. Mengatakan apa yang terjadi pada Zahira saat ini dan bertanya kenapa Juna berhenti menjadi dokter gadis itu. Juna tidak memberikan jawaban, tapi malah memberitahukan bahwa dokter yang saat ini menangani Zahira jauh lebih hebat dari dirinya.Mama tentu tidak merasa puas dengan jawaban tidak jelas seperti itu. Dalam waktu dekat, mama ingin bertemu langsung dengan Juna. Dia harus membujuk pria itu untuk kembali merawat Zahira. Demi kebaikan Zahira dan juga demi kesembuhan gadis itu.Sebetulnya mama bisa membawa Zahira berobat di rumah sakit lain dengan dokter ahli yang jelas lebih hebat dari Juna. Namun anak itu tidak ingin berobat dengan dokter manapun kecuali Juna. Hal ini jelas men