Usai melaksanakan sholat Maghrib, Namira memutuskan untuk duduk di ruang tengah, berniat untuk menonton televisi atau serial atau series atau semacam itulah. Sebelum itu, Namira sudah memesan cemilan untuk menemaninya saat nonton. Rencananya ia akan menonton ulang film Korea yang berjudul Descandent of the sun. Masih belum move on dan ada sedikit rasa rindu terhadap bapak-bapak tentara keren itu.
Namun tampaknya rencana menonton dengan tenang tidak akan berjalan dengan lancar, sebab Juna tiba-tiba duduk di sebelahnya tanpa permisi. Mana langsung meraih remot dan mengganti siaran ke siaran tv nasional. Langsung saja, Pak Kemet dan Dadang menjadi tontonan Namira."Kok lo ganti sih?!"Juna menoleh, menatap Namira dengan air muka lugu. "Emangnya kamu mau nonton film apa? Dunia terbalik kan?"Namira menatap Juna kesal. Sejak kapan tontonan Namira dunia terbalik? Tau saja tidak dia kalau ada serial itu di pertelevisian Indonesia. "Gue mau nonton Drakor, Juna! Apaan tuh dunia terbalik.""Drakor? Bagusan dunia terbalik menurut saya, ada pelajarannya, lucu, menghibur.""Drakor juga menghibur," ujar Namira membela."Palingan langsung halu tingkat dewa, padahal udah punya suami," cibir Juna. Ia kerap mendapati karyawannya di kantor berkhayal punya suami seperti Lee Min Ho. Mustahil punya suami seperti Lee min Ho kalau yang dia lakukan hanyalah nonton drakor sembari malas-malasan. Terkadang manusia bermimpi terlalu ekstrim.Namira merotasikan bola matanya malas. Juna mana tau rasanya jadi perempuan. "Ya, ya, terserah lo tapi tolong balikin remotnya. Gue mau nonton drakor."Juna tersenyum miring, lalu menyembunyikan remot di belakang punggungnya. "Ambil kalau kamu bisa.""Ck! Jangan ngajak berantem ya, lo!" Kesal Namira.Juna tersenyum lebar. Bergerak menjauh dari Namira sembari tetap menyembunyikan remot di belakang punggungnya. Ia mendadak punya mood untuk menjaili istri galaknya itu. "Ambil kalau bisa!"Kemudian Juna berlari meninggalkan ruang tengah. Remot tv yang tidak ada duplikatnya itu juga ia bawa berlari. Namira melebarkan mata, tidak terima dengan tindakan Juna yang membawa kabur benda keramat itu. Lantas, ia turut bangkit, berlari mengejar Juna yang entah sudah lari sampai mana."Balikin remotnya, Juna!" Teriak Namira.Juna tersenyum meledek ke arah Namira sembari berlari dengan gerakan mundur. Remot yang berada di genggamannya ia angkat tinggi-tinggi, lalu sengaja di gerakan, memancing emosi Namira.Jelas saja perempuan itu kesal. Ia berlari semakin kencang, mengejar Juna yang malah berlari keluar dari rumah. Mana sudah malam, itu suami laknat ngajak marathon pula. Hadeuh, tampaknya rencana dating dengan Song Jong Ki telah gagal. Ia tidak jadi bertemu dengan para tentara keren itu malam ini karena Juna. Awas saja, Namira akan menghajar laki-laki itu sampai mohon ampun."Juna!""Apa?!""Berhenti lo!"Juna menurut. Ia berhenti berlari secara tiba-tiba. Namira turut berhenti berlari. Kemudian tanpa aba-aba, Juna malah berlari ke arah Namira, membuat perempuan itu reflek berlari. Alhasil, posisinya jadi terbalik. Juna yang seharusnya Namira kejar malah balik mengejar dirinya."Lah, kok gue lari," ucap Namira tersadar. Ia berhenti secara mendadak, membuat Juna yang berada di belakang menubruk punggung Namira. Remnya blong dan mereka jatuh dengan posisinya Namira tertelungkup dan Juna berada di atasnya serta remot tv yang terlempar ke dalam kolam ikan.Di malam yang sunyi, batin Namira berteriak. Remotnya masuk ke kolam ikan. Badannya remuk ditimpa babon macam Juna. Hah, benar-benar kesialan."Maaf, maaf." Juna bangkit setelah melamun selama beberapa detik.Namira ikut berdiri. Matanya tajam, setajam silet. Wajahnya ditekuk, tampak seram. Macam Mak lampir yang siap memukul musuh menggunakan sapu terbang andalan."Juna! Lo ganti remotnya!" Teriak Namira seraya memukul lengan laki-laki itu beberapa kali. Kesal bukan main.Juna mengaduh sembari menjauhkan diri dari Namira. "Iya, nanti saya ganti.""Gue maunya sekarang!""Tapi udah malam.""Bodo amat!""Yaudah.""Kok yaudah?!""Terus?""Beli remot baru! Gue mau nonton film tapi gara-gara lo, semuanya gagal. Remotnya malah nyemplung ke kolam berenang Juna anj--ah, sial!"Juna menaikkan sebelah alisnya. Tanggapan yang sangat tidak serasi dengan ekspetasi Namira. Seharusnya laki-laki itu merasa bersalah dan bergegas membelikan remot baru, bukannya malah melipat dahi macam orang stres. Seharusnya Namira yang stres menghadapi Juna. Tapi--ah, sudahlah. Percuma juga emosi, Yang ada malah darah tinggi."Mau remot baru?" Dan dengan tidak berdosanya Juna malah bertanya, lagi.Namira tidak menjawab. Ia memilih menatap objek lain, ogah menatap ke arah Juna. Lebih ke tidak sudi sih sebetulnya. Anggap saja ia sedang merajuk. Jika Juna laki-laki sejati, ia harus merayu Namira agar tidak ngambek.Namun, bukannya merayu dengan kalimat manis, Juna malah mengangkat tubuh Namira. Membopongnya ala bridal style. Namira jelas terkejut, spontan berteriak dan memukul-mukul dada bidang laki-laki itu. Ia serasa di culik om-om."Lo ngapain sih Arjuna?!""Gendong kamu."Namira berdecak. "Turunin gue!""No!""Arjuna!""Kamu harus ikut saya ke toko elektronik. Kita beli remot baru.""Nggak mau!""Harus mau!""Apaan sih lo?!"Juna tidak menanggapi ucapan Namira. Ia membuka pintu mobil walau agak kesusahan. Lalu mendudukkan Namira di kursi depan. Setelahnya Juna duduk di kursi kemudi. Tak lupa mengunci pintu agar Namira tidak kabur atau melakukan drama ekstrem yang tidak terduga."Juna sialan!" Maki Namira. Emosinya benar-benar diuji setengah mati. Mau tenang kok rasanya begitu susah, heran."Dosa kamu sudah banyak. Awas saja, bakal dibakar sama api di akhirat," balas Juna yang tengah memasang sabuk pengaman."Sotoy!""Itu fakta. Kamu sudah durhaka sama suami sendiri," ujar Juna.Namira semakin kesal. "Terserah.""Nanti saya aduin ke papa.""Aduin aja, gue nggak bakal takut.""Oke."Bruk!Juna menginjak gas secara mendadak, membuat Namira yang tidak siap terdorong ke depan. Mana tidak pakai sabuk pengaman lagi."Kamu mau amnesia? Atau geger otak?" tanya Juna.Namira mendengus. "Bawel lo.""Pasang sabuk pengamannya," titah Juna."Ogah!""Pasang sendiri atau saya pasangin?" Juna menatap Namira tajam.Namira menatap Juna dengan sorot tak kalah tajam. "Gue bisa sendiri.""Baguslah. Soalnya saya nggak jamin kalau--" Namira meletakkan jari telunjuknya di depan mulut Juna."Diam atau gue teriak.""Sorry, mobil saya kedap suara.""Sialan!"Omong kosong jika mereka betulan ke toko elektronik untuk membeli remot tv. Nyatanya, tempat yang mereka kunjungi adalah area street food malam. Membeli aneka jajanan yang entahlah--Namira tidak menduga bahwa Juna yang sok cool itu suka dengan arum manis. Bahkan dia membeli dua bungkus karena saking sukanya.Tak hanya itu, ia juga membeli beberapa makanan asin dan gurih. Dan tampaknya, kegiatan jajan itu sepenuhnya dilakukan oleh Juna. Ia bahkan menghiraukan Namira dan tidak peduli jika Namira tertinggal di belakang. Seharusnya yang sibuk menyapa abang-abang gerobak itu adalah dirinya, bukan Juna.Dan kini, mereka sudah berada di dalam mobil. Setelah menghabiskan setengah isi dompet dan separuh jam hanya untuk menelusuri pinggiran jalan. Wajah Namira masih tertekuk kesal meski sudah disogok dua kotak martabak sultan. Junapun tidak merasa bersalah karena telah mengerjai perempuan itu. Jika Namira memang tidak ingin ada di sini untuk menemaninya, Namira bisa pulang sendiri dengan angkot
"Masak apa Bu?" tanya Namira pada Bi Arum yang sedang asik di dapur. Memotong-motong kentang sembari memperhatikan masakan di wajan. Bi Arum tersenyum kala tau Namira datang ke dapur. "Masak telur dadar sama sop sayur non," jawab Bi Arum. Memang telur dadar ternyata.Namira menganggukkan kepalanya mengerti. "Boleh nggak kalau Mira ikutan masak?"Bi Arum langsung menatap kaget Namira. "Non mau masak?""Iya Bu.""Tapi jangan deh non. Ini bibi mau goreng ayam. Kalau non yang goreng, nanti tangannya kecipratan minyak." Bi Arum tidak mengizinkan. Takut istri dari majikannya itu terluka jika nekat berdekatan dengan wajan.Namira memasang wajah cemberut. "Bolehlah Bu. Mumpung Mira nggak ada kerjaan." Bi Arum masih ragu untuk memberikan izin kepada Namira. Bahaya jika ibu negara itu terluka karena nekat terjun ke dapur. Bisa-bisa sang paduka mengamuk."Biarin aja, bi. Manusia males kayak dia emang harus tau sama dapur." Entah sejak kapan, Juna berdiri di samping kulkas sembari bersedekap da
"Saya pergi dulu," pamit Juna pada Namira kala mendapati perempuan itu sedang duduk di teras. Membaca majalah seraya menikmati secangkir kopi. Namira mendongak, menatap Arjuna yang sudah kece abis. Tubuh dibalut kemeja lengan pendek berwarna hitam, kaki dilindungi sepatu kece yang kerap dipakai orang-orang kantoran, kaca mata minus di atas hidung, celana bahan berwarna hitam, jam tangan, tas tentengan, jas putih yang tersampir di salah satu lengan, hm--ini terlalu rapi untuk keluar rumah mencari angin. Namira menyipitkan matanya, curiga dengan Juna yang tumben-tumbenan ganteng maksimal. "Mau kemana?""Rumah sakit.""Ngapain? Lo sakit?" tanya Namira, heran. Juna menggeleng. "Ada perlu. Kamu kalau butuh apa-apa, bilang aja sama Bi Arum.""Tapi gue juga mau keluar." Namira juga sudah punya rencana untuk menghabiskan waktu luangnya. Juna beroh singkat. "Yaudah. Saya berangkat kalau gitu."Namira menahan Juna yan
Namira berbalik, memunggungi meja administrasi. Ada banyak manusia berpakaian formal berseliweran di lobi. Mereka tampak bersemangat untuk bekerja dan Namira menginginkan hal itu. Ia ingin sibuk seperti orang-orang itu. Duduk sembari menatap layar komputer, ditemani satu cangkir kopi susu. Indah sekali jika dibayangkan.Senyum Namira memudar kala melihat seorang laki-laki berjalan menghampiri meja administrasi. Mata Namira menyipit, merasa kenal dengan manusia yang sudah punya id card sendiri."Regi? Lo Regi kan? Yang waktu itu hampir pingsan karena antrian ngirim surat lamarannya panjang?" Namira langsung menodongkan sebuah pertanyaan.Pria bernama Regi itu menoleh. Cukup lama matanya menatap Namira sebelum akhirnya berseru heboh. "Namira! Lo udah kerja di sini juga?"Namira menggelengkan kepalanya. "Gue ngirim surat lamaran.""Lagi?" Regi terkekeh. Ia sudah hafal berapa kali perempuan yang satu ini datang ke tempat ini untuk mengirim surat lamaran kerja. "Iya. Lo ngirim surat lamar
Juna langsung membawa Namira memasuki kamar. Perempuan itu pasti syok diperlakukan seperti itu oleh laki-laki jahat yang nyatanya adalah mantan kekasih Namira. Juna tidak tau kronologi jelasnya perihal yang dilakukan Sky pada Namira. Ia hanya melihat, Namira di tarik dengan begitu kasar menuju parkiran. Juna cukup bersyukur karena ada yang menolong Namira. Jika tidak ada, mungkin Juna tidak akan tau bagaimana nasib perempuan itu selanjutnya."Kamu nggak papa?" tanya Juna pada Namira yang berada di sebelahnya. Sejak tadi, Namira tak mau bersuara."Gue baik-baik aja," ketus perempuan itu, tidak mau menatap Juna. Ia tidak marah pada laki-laki itu tapi takut jantungnya kembali berdetak tidak normal jika matanya dan mata Juna kembali beradu. Cukup di sepanjang perjalanan pulang Namira kesulitan mengatur detak jantungnya sendiri.Juna tersenyum tipis. "Maaf karena saya membiarkan kamu pergi sendiri.""Bukan salah Lo. Biasanya juga kalau mau kemana-mana kan gue sendiri," ujar Namira."Ya, un
Kening Namira berkerut dengan dahi yang ikut bertaut setelah membaca sebuah pesan yang dikirim oleh Sky. Pesan berisi beberapa foto Juna bersama seorang perempuan di sebuah cafe. Ketika Juna tersenyum menatap perempuan itu, dilanjut dengan wajah salah tingkah perempuan asing itu dan terakhir foto Juna yang menyentuh kepala perempuan itu yang tampaknya dilakukan tanpa paksaan.Lalu? Apa gunanya Sky mengirim foto aneh ini padanya? Berharap Namira cemburu dan berterima kasih pada Sky karena telah memberitahukan keburukan suaminya yang pergi bersama perempuan lain? Kemudian Namira marah pada Juna dan rumah tangga mereka berantakan? Cih! Namira bukan perempuan mudah baper yang sedikit-sedikit langsung sedih, menangis dan marah. Dia mah santai saja. Mau Juna tidur dengan perempuan lain sampai punya anak dia juga tidak peduli. Malahan akan lebih baik biar mereka cepat berpisah."Saya pulang."Pintu kamar terbuka, memperlihatkan Juna yang datang sembari menenteng plastik berisi makanan pesana
Tidak ada rutinitas keren yang mereka lakukan malam ini selain menyaksikan sebuah drama yang di sarankan oleh Namira. Beruntungnya mereka akur. Tidak saling adu mulut dan cukup rukun. Buktinya Juna dan Namira duduk anteng di sofa di depan televisi. Duduk bersebelahan dengan posisi Namira yang duduk cukup dekat dengan laki-laki itu. Di masing-masing pangkuan terdapat cemilan. Di pangkuan Namira ada mangkuk berisi popcorn, Snack kentang dan teh botol. Sedangkan di pangkuan Juna ada permen rasa kopi, dua bungkus makaroni dan air mineral satu liter. Juna tidak memakan ataupun meminumnya. Apa yang ia pangku bak anak sendiri itu adalah kepunyaan Namira. "Ganteng kan dia?" tanya Namira pada Juna sembari menunjuk tokoh pria yang muncul di layar kaca.Juna menatap pemeran pria yang dimaksud, lalu menatap Namira yang tampak antusias dan senang. Dahinya berkerut, bingung dimana letak gantengnya manusia di tv. Jelas Juna lebih ganteng dan tentu lebih nyata."Gantengan saya," jawab Juna akhirnya
Pagi ini, Juna dan Namira menyisihkan waktu untuk sarapan bersama. Tumben, karena biasanya Namira ogah berdekatan dengan Juna atau berhadapan terlalu lama. Tapi entah kerasukan setan apa, pagi ini Namira lain cerita. Ia bangun lebih dulu, memasak sarapan berupa nasi goreng, lalu membangunkan Juna yang masih terlelap. Sewaktu Juna mandi, Namira juga mempersiapkan pakaian yang akan ia kenakan hari ini. Kemeja, jas, celana dan dasi. juna tentu heran dengan perubahan sikap Namira. Dia tidak seperti Namira yang Juna kenal. Ingin rasanya Juna meledek perempuan itu, tapi tak jadi karena sejak tadi, Namira tampak melamun. "Kamu tuh beneran kesurupan ya?" tanya Juna pada akhirnya. Makanan di piring sama sekali tak Namira makan, melainkan ia main-mainkan menggunakan sendok. Kalau begini, Juna jadi risau. Takut Namira betulan kesurupan.Tidak ada sahutan dari perempuan itu. Tatapannya tetap kosong. Lebih seramnya, mata Namira tak berkedip. Juna jadi takut."Namira,"Masih bergeming."WOI!"Nami
Sepasang suami istri itu sama-sama gusar dengan masalah yang mereka hadapi. Lima belas menit berlalu, keduanya sama-sama termenung di depan televisi yang menyala. Tadinya ingin nonton film bareng sembari bercerita perihal bagaimana hari ini. Tapi entah kenapa keduanya sama-sama melayang dengan pikiran masing-masing.Namira dengan masalah tugas baru dan rekan setim yang menjengkelkan, lalu Juna dengan janji ingin menikahi Zahira dalam upaya penyelamatan. Masalah mereka sama-sama rumit.Perihal naik jabatan. Mau bagaimanapun, naik jabatan dan memperoleh karir yang bagus adalah cita-cita Namira sejak lama. Peluang yang ada tidak mungkin dia abaikan. Namun lagi-lagi Namira sangsi karena rekannya adalah Regi. Namira tidak tau bagaimana caranya meminta izin pada Juna. Takut pria itu marah dan tidak mengizinkannya.Kemudian perihal menikahi pasien sendiri. Hal itu tidak pernah ada dalam rencana Juna. Dia tidak berniat menikah lagi karena mencintai Namira sulitnya setengah mati. Namun Juna ti
Juna tau apa yang dia janjikan adalah upaya penyelamatan. Tapi Juna juga mesti tau bahwa janji yang dia ucapkan bukan hanya omong kosong yang bisa dengan mudah dilupakan. Mungkin Juna bisa menyepelekan ucapannya kalau yang mendengarnya bukan remaja delapan belas tahun yang mengaku bercita-cita jadi istrinya. Juna bisa tenang kalau yang dia ajak bicara adalah anak SD yang suka lupa siapa pria idamannya.Kini, Juna harus menanggungnya sendirian. Janji yang dia diserukan disaksikan banyak orang, termasuk Amel yang tau kalau Juna sudah punya istri. Dia juga tidak tau harus bagaimana agar Zahira tidak kembali bunuh diri. Bukan tak mungkin Zahira tak akan mengulangi kejadian tadi. Tapi tak mungkin juga Juna menikahi gadis itu. Yang benar saja? Namira bisa terluka.Juna berada dalam masalah besar. Ah, sialan. Kenapa hidupnya bisa serumit ini?"Kondisinya stabil, dok," ucap Amel yang baru saja memeriksa Zahira.Juna tersadar dari lamunannya. Matanya tertuju pada gadis yang terlelap di atas r
"DOKTER JUNA!"Teriakan maut dari Amelia hampir membuat nyawa Juna tercabut dari tubuhnya karena tersedak kacang hijau yang sedang dia makan. Buru-buru meraih segelas air, lalu meneguknya hingga tandas. Kemudian mata Juna menatap Amel yang berlari mendekati mejanya. Raut wajah perempuan itu tampak gusar, seperti baru saja ditagih hutang oleh debkolektor tidak punya hati."Dokter!" Suaranya masih tinggi disertai napas yang memburu."Apasih, Mel?"Amel tidak langsung menjawab. Terlebih dahulu mengatur napasnya yang berantakan. "Itu, pasien dokter... pasien dokter mau bunuh diri!"Kontan mata Juna melebar karena terkejut. "Pasien saya yang mana?""Itu dok, yang kecil," jawab Amel.Hanya ada satu pasien anak kecil yang Juna tangani. Dia lekas beranjak, menatap Amel yang masih belum usai dengan cemasnya. "Dimana dia?""Di rotroof, dok."Juna bergegas meninggalkan kantin dan bubur kacang hijau yang baru dimakan separuh. Sedangkan Amel menyusul di belakang. "Apa sih yang dipikirkan anak itu
Kembali pada rumah sakit bukan hal yang Zahira syukuri. Sebetulnya dia tidak berharap bisa terbaring lagi di sini. Rasanya semua harapan untuk sembuh sudah habis kala Juna memutuskan untuk tidak menemuinya lagi. Hati Zahira benar-benar patah melihat Juna membencinya tanpa Zahira tau apa yang telah dia lakukan. Zahira juga tidak pernah membayangkan Juna mau menerimanya kembali sebagai pasien. Sedikit egois, seharusnya Juna bersikap profesional sebagai dokter. Terlepas dari masalah mereka yang tidak jelas, mereka adalah dokter dan pasien. Juna mungkin membenci Zahira dan tidak ingin melihatnya lagi, tapi abai pada pasien karena masalah pribadi bukan bagian dari profesional. Terbaring tidak berdaya, mengabaikan pengobatan, enggan makan dan tidak mau bertemu siapapun karena Juna adalah bentuk dari perasaan Zahira yang merasa ditolak. Dia tidak menapik bahwa dia suka pada Juna. Mungkin sudah pada level cinta yang mana rela melakukan apapun agar mereka bisa bersama. Zahira suka pada Juna
Kaki Gamandi bergerak gelisah. Dia mendengar kabar bahwa hubungan Juna dan Namira kian membaik. Dan kabar mengenai Regi yang dibenci oleh Namira menjadi masalah baru yang harus segera dia selesaikan. Gamandi tidak akan merasa puas jika dendamnya tak terbalaskan. Semuanya harus hancur. Baik itu Basri ataupun putrinya. Tidak satupun dari mereka boleh berbahagia.Dia akan menekankan sekali lagi, tujuannya membantu Basri dan menjodohkan anak mereka adalah untuk membalaskan dendam pada Basri. Gamandi tidak datang dengan raut wajah benar-benar senang. Semua yang dia tunjukkan hanyalah sebuah topeng. Tidak ada yang tau dengan rencana dan rasa bencinya. Gamandi bergerak sendiri."Silahkan temui saya nanti sore di caffe seberang. Ada yang ingin saya bicarakan," ucap Gamandi pada seseorang yang berada pada sambungan telvon.Tidak ada cara lain selain melibatkan orang lain. Gamandi tidak ingin rencana yang telah dia susun sejak lama hancur begitu saja.***Zahira benar-benar datang menemui Juna
Regi tidak mampir. Setelah menurunkan Namira dan Sky, dia langsung pulang. Rencananya rusak karena kehadiran Sky. Seharusnya dia bisa berduaan dengan Namira dan memperbaiki hubungan mereka. Namun makhluk sialan itu muncul dan merusak semuanya.Kini, di teras rumah itu ada Namira dan Sky. Dia mengekori Saras, seperti seorang anak yang mengekori ibunya. "Lo ngapain di sini, Sky?" tanya Namira sebelum mendorong pintu rumahnya agar terbuka."Main," jawabnya enteng sembari menggali harta karun dari lubang hidungnya.Namira menghela panjang. "Mending lo balik. Gue mau istirahat.""Kasih gue minum. Haus." Dia mengusap tenggorokannya.Namira mendengus, jengkel. "Habis itu pulang.""Okay.""Jangan ikut ke dalam. Duduk di sini aja," ucap Namira kala Sky mengikutinya ke dalam rumah.Dengan wajah cemberut, Sky kembali mundur, lalu duduk di kursi teras. Tapi tidak apa. Meski diperlakukan kurang baik, Sky telah bertemu Namira. Setidaknya dia berhasil menjauhkan Namira dan Regi.Sky duduk diam semb
Hari ini Namira pulang sedikit terlambat. Yang biasanya pukul enam sudah berada di rumah, kini baru beranjak dari kantor sekitar pukul tujuh malam. Namira pulang sendirian. Juna masih belum pulang dari rumah sakit karena mendadak menolong temannya di IGD. Alhasil, Namira harus pulang sendirian naik bus umum. Usai merapikan berkas-berkas di mejanya, Namira pergi ke toilet untuk merapikan rambut dan pakaiannya. "Hai."Namira terperanjat kaget kala Regi tiba-tiba muncul di balik pintu. Regi tersenyum melihat wajah terkejut Namira. "Sorry kalau gue ngagetin."Namira menarik napas dalam, lalu menghembuskannya pelan. "Nggak papa.""Hm, mau pulang bareng?" tanya Regi.Semenjak kejadian di tepi pantai kala itu, Namira berusaha menjauh dari Regi. Dia selalu merasa bersalah jika kejadian itu kembali membayangi. Dekat dengan Regi membuat Namira merasa menjadi istri yang paling buruk. Dia tidak ingin menyakiti hati Juna."Gue bisa pulang sendiri," jawab Namira dengan nada sedikit ketus.Raut w
Gamandi membenarkan dasinya yang terasa mencekik kala wanita di hadapannya menatap dirinya dengan tajam. Ibu dari pasien Juna yang ternyata adalah teman lama sekaligus manusia yang tak ingin dia temui itu datang untuk meminta tolong sekalian memarahinya karena tidak bisa merawat Juna dengan baik sehingga laki-laki itu dengan mudah menyakiti hati orang lain.Dia tidak berminat meladeni Raisa—ibu Zahira—jikalau saja dia tidak mengancamnya dan berkata akan menyebarkan rahasia Gamandi pada publik. Ancaman yang sangat klise tapi mampu membuat Gamandi ketar-ketir. Dia bisa hancur jika Raisa menyebarkan rahasia itu pada muka umum. Lantas demi dirinya sendiri dan perusahaan yang Gamandi naungi, dia berada di sini. Mendengarkan dengan malas ocehan Raisa perihal masa lalu Gamandi, dirinya dan ibu Namira. Gamandi berkali-kali menghela napas pertanda bosan mendengar Raisa bercerita. Namun naasnya manusia itu tidak peka dan terus berceloteh. Awalnya membahas Juna tapi malah berakhir membalas kisa
Kondisi Zahira semakin menurun sejak Juna tidak lagi ingin menjadi dokter gadis itu. Zahira tidak ingin kontrol ke rumah sakit, tidak ingin minum obat dan sering mengabaikan waktu makan. Dia tampak seperti seorang perempuan yang ditinggal oleh kekasihnya. Benar-benar berantakan.Mama telah menghubungi Juna. Mengatakan apa yang terjadi pada Zahira saat ini dan bertanya kenapa Juna berhenti menjadi dokter gadis itu. Juna tidak memberikan jawaban, tapi malah memberitahukan bahwa dokter yang saat ini menangani Zahira jauh lebih hebat dari dirinya.Mama tentu tidak merasa puas dengan jawaban tidak jelas seperti itu. Dalam waktu dekat, mama ingin bertemu langsung dengan Juna. Dia harus membujuk pria itu untuk kembali merawat Zahira. Demi kebaikan Zahira dan juga demi kesembuhan gadis itu.Sebetulnya mama bisa membawa Zahira berobat di rumah sakit lain dengan dokter ahli yang jelas lebih hebat dari Juna. Namun anak itu tidak ingin berobat dengan dokter manapun kecuali Juna. Hal ini jelas men