Sesi yang paling ditunggu oleh semua tamu undangan akhirnya tiba. Dengan duduk di atas singgasananya, Albert Shawn menyaksikan si pembawa acara sedang mengumumkan bahwa penyerahan hadiah akan segera dimulai.Kado-kado yang dipersiapkan oleh para tamu undangan, saat itu sedang berada di ruangan sebelah dengan dijaga oleh tim keamanan. Setiap kali pembawa acara menyebut nama seorang tamu, maka dari arah pintu akan muncul sekelompok tim keamanan yang membawakan hadiah sesuai dengan nama yang tertera pada bingkisan tersebut.Lalu, salah seorang perwakilan dari keluarga tamu yang dipanggil akan mengenalkan atau mempresentasikan bingkisan apa yang telah keluarganya siapkan. Acara ini menjadi sangat dinanti-nantikan, mendebarkan, sekaligus mengkhawatirkan bagi tiap-tiap tamu undangan.Semakin mewah atau berharga bingkisan yang disiapkan oleh seorang tamu, semakin martabatnya akan terangkat. Sesi tersebut, selain memicu adrenalin para tamu, sekaligus juga membawa kesenangan tersendiri bagi Al
Daisy tersenyum kecut, gadis itu lantas menjinjitkan kakinya untuk bisa menyejajarkan bibirnya dengan telinga Richard. Pelan-pelan Daisy menjawab, “Sesungguhnya nenek selalu membenciku karena ia menilai diriku sebagai gadis cantik yang bodoh. Dalam beberapa kesempatan nenek terobsesi menjual tubuhku pada pria-pria hidung belang kaya raya agar keluarga Miller mendapat keuntungan dari kecantikanku. Karena aku menolak dan terus menolak, aku tak pernah mendapat kasih sayang dari nenekku sendiri.”Richard mengerutkan dahi, antara kasihan dan takjub pada istrinya yang manis dan baik hati. Richard lantas bertanya lagi, “apa yang membuatmu menolak permintaan nenekmu?”Saat itu, Daisy tampak berpikir beberapa waktu sebelum akhirnya tersenyum lalu berbisik lagi pada Richard.“Mungkin karena alam bawah sadarku tahu bahwa suatu hari akan ada pria gembel baik hati yang mau menerimaku apa adanya. Jadi, sebelum pria itu datang, aku tidak menyerahkan tubuhku pada siapapun.”Mendengar itu, Richard mer
Albert Shawn tersenyum puas ketika ia tak lagi merasa menggigil ketakutan atas kemunculan Richard. Dugaan Albert Shawn bahwa Richard adalah sosok dengan Kharisma kuat, seketika luntur sebab Albert lebih senang untuk meyakini bahwa ketakutannya beberapa waktu lalu hanyalah sebuah gejala kesehatannya sedang menurun.Menyadari ia baik-baik saja, Albert Shawn turun dari singgasana lalu berjalan menghampiri Richard. “Anak muda… Bukankah kau adalah menantu dari keluarga Miller?” Albert pura-pura bertanya meski ia sudah tahu dan masih ingat.Richard mengangguk memberi hormat. “Anda benar, Tuan Shawn. Aku, Richard Forger, menantu dari Harris Miller.”“Ha ha ha! Tahun lalu ayah mertuamu menjadi bahan olok-olokan dari seluruh tamu undangan. Itu sebabnya sekarang ia menyerahkan tugas ini kepadamu?” Albert Shawn terkekeh sembari menuding ke arah bingkisan besar yang diletakkan di atas meja.Dengan dahi berkerut, Albert Shawn bertanya pada Richard, “Jadi, rongsokan apa yang ingin kau persembahkan
Ketika Richard membuka bingkisan yang berada di atas meja, orang-orang masih sibuk menertawakan Richard. Mereka semua tak sabar kapan bingkisan itu akan terbuka dan saat itulah mereka lagi-lagi akan mempermalukan Richard Forger.“Tunggu…”Richard menghentikan aktivitasnya, menoleh pada seseorang dari barisan tamu undangan yang berteriak lantang. Karena tak mengenal sosok tersebut, Richard hanya meresponnya dengan kerutan di dahi, sebuah gesture bahwa Richard tak mengerti maksud pria itu.Tamu undangan yang lain pun turut menolehkan kepala pada sosok pria yang berteriak. Itu adalah Jacquie Loid, seorang pengusaha kaya yang dikabarkan baru-baru ini telah membeli seluruh lahan di Fort Regan Avenue.“Jacquie, mengapa kau menahannya?!” Tamu lain memprotes menanyakan alasan Jacquie Loid.Jacquie Loid berjalan maju lalu membungkuk hormat kepada Albert Shawn, ia meminta izin untuk menyampaikan beberapa kalimat sebelum Richard membuka bingkisannya secara penuh.Ketika Albert Shawn menganggukka
Mula-mula, ketika Richard telah membuka separuh bingkisannya dan mempertontonkan sebentuk patung Sphinx kuno, seorang tamu undangan yang memiliki keahlian di bidang Arkeologi berjalan maju ke depan. Hal itu membuat tamu undangan lain berdebar khawatir karena ahli arkeolog tersebut tampak tak bisa berhenti menggelengkan kepala.Mengetahui ada seorang ahli arkeologi yang mengamati patungnya, Richard mengangguk lalu mengelus permukaan patung Sphinx di atas meja.“Ketika kamu mengusapkan telapak tanganmu ke pipinya, sebuah sensasi asing akan menggelayut di kepalamu. Kota bawah laut tertua, Pavlopetri, akan tergambar otomatis bersamaan dengan saat kau menikmati lekuk-lekuk artefak ini.” Richard mulai memperkenalkan kado yang ia persembahkan untuk Albert Shawn.Jika sebelumnya para tamu undangan tak sabar ingin mempermalukan Richard, kali itu mereka semua terpaku diam mendengarkan cerita panjang dari Richard tentang kejayaan kota yang telah tenggelam. Para tamu undangan melamun membayangkan
“Ehm… Maaf, bahkan, tanpa melihat dengan detail pun, kami sudah bisa memastikan bahwa artefak milikmu itu palsu, Tuan Forger!”Laurie bergumam sembari membenarkan tatanan kaca matanya yang sedikit melorot. Tak lupa, ia membungkuk memberi hormat kepada Albert Shawn bersama dengan dua rekannya yang lain.“Nona pakar, sepertinya anda salah mengenakan kaca mata.” Richard masih terlihat cukup tenang meski para hadirin telah gaduh setelah Laurie mengeluarkan statement yang tegas. “Atau, coba kemarikan kaca mata anda, mungkin ada debu atau semut yang menempel di kaca depannya.” Richard yang mulai mencium aroma kelicikan Julius, tampak mulai tak mau diintimidasi oleh tiga pakar.“Ha ha! Ada debu di kaca mataku katamu?! Kaca mataku ini bahkan jauh lebih berharga dari harga dua ginjalmu! Asal kau tahu saja, andai ada ketombe dari rambutmu yang jatuh ke permukaan tuxedomu, aku akan bisa menyaksikannya dari sini!”Richard Forger bertepuk tangan, melihat wajah sinis yang Laurie tunjukkan kepadanya
Petugas keamaan membawa masuk bingkisan dari Julius Maxwell. Karena Julius menyebutkan bahwa arca yang ia hadiahkan untuk Albert Shawn bernilai puluhan juta dollar, maka petugas keamanan memperlakukan bingkisan itu dengan teramat hati-hati. Mereka sadar, harga nyawa mereka sepertinya jauh lebih murah ketimbang harga benda antik tersebut.Menghela napas dalam, seorang petugas keamaan mengusap keringat di keningnya setelah krunya telah berhasil meletakkan bingkisan milik Julius Maxwell di atas meja. “Akhirnya…” ucapnya sembari tersengal-sengal karena gugup. “Tuan Julius, ini bingkisan anda.”Julius Maxwell merapikan dasinya, senyum pongah tergambar jelas di wajah pemuda itu kala ia berjalan mendekati meja tempat bingkisannya diletakkan. Sebagai pemuda arogan yang haus kehormatan, Julius tak bisa menyembunyikan rasa bangganya saat ia menyaksikan para tamu undangan seolah menahan napas demi menanti bingkisannya dibuka.“Richard, aku sudah menghubungi pengawalku untuk berjaga di depan aula
“Julius menang?!! Sudah kuduga!”“Yosh! Apa kataku, pemenangnya pastilah Julius!”“Itu artinya, Richard harus bercerai dari istrinya. Sungguh, ini adalah taruhan yang mengguncang adrenalin! Aku suka pertunjukan ini!”Para tamu undangan tentu saja saling bergembira sebab mereka rata-rata juga turut mengikuti taruhan. Jika Julius Maxwell yang menang, mereka akan mendapat keuntungan dari pembagian aset milik Jacquie Loid.“Tidak semudah itu, Tuan Shawn. Mari kita minta tiga pakar ini untuk mengevaluasi keduanya.” Jacquie Loid tak mau melepaskan asetnya dengan mudah. Ia berjalan menghampiri tiga pakar, Zayn, Hopkins, dan Laurie.“Semuanya… Tenang dulu… Mari kita dengar penjelasan dari para pakar.” Jacquie Loid mengangkat ke dua tangannya ke atas, meminta para tamu undangan untuk menutup mulut mereka.“Tuan Loid, penjelasan apa lagi yang anda harapkan? Rekanku, Hopkins sudah memberi kesimpulan beberapa waktu lalu.” Laurie melipat dua tangan di dada, tatapan sinisnya tertuju pada Jacquie Lo