Share

Taat Suami

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

POV Fauzi

Di sinilah kami berdua. Selesai akad nikah yang baru siang hari menjelang dzuhur tamu-tamu mulai pulang. Ya, masih pesta kecil saja karena yang besarnya baru akan diselenggarakan dua minggu kemudian. Ah, sebenarnya malas pesta, coba saja bisa aku skip, alasan kerja atau apalah, tapi rasanya nanti tidak enak dengan Suci, bukan dengan Ning—istriku yang sekarang ada satu kamar denganku.

Dia duduk diam saja, mungkin berharap aku melakukan sesuatu seperti di film-film barangkali. Yang ada kepalaku sedang sakit karena tadi sempat bersalaman dengan Suci, dan aku jadi kepikiran sampai sekarang, jujur saja hal ini sangat menyesakkan. Membayangkan adik iparku bersalaman, berdekatan, saling melempar senyuman, dan bercanda tawa dengan Alfian. Sungguh aku ingin merebut adik iparku itu dari tangan pacarnya.

“Ehm, Mas—”

“Diam. Saya lagi sakit kepala, jangan ajak bicara dulu.” Aku langsung memotong perkataanku istriku.

Tepat sekali, dia langsung diam karena teguranku. Istri yang baik. Baik untuk diperintah-perintah, bukan untuk dicintai.

“Iya, maaf.” Ah, nggak penting kata maaf dia bagiku.

Aku berbaring di kamar yang sepertinya ini milik Ning. Aku memejamkan mata sebentar, lelah dan pusing karena terlalu banyak beban pikiran. Bagaimana bisa, aku mencintai adiknya yang aku nikahi kakaknya.

Semua ini karena Suci juga, dia bilang dia tidak akan menikah sampai Mbak Ning ada yang mau melamar. Dan tololnya aku malah melamar Ning, kupikir dulu boleh menikahi kakak sekaligus adiknya. Apalagi aku kaya jangankan emas, rumah mewah juga bisa aku berikan.

Ternyata setelah lamaranku pada Ning diterima dengan baik baru aku tahu menikahi kakak sekaligus adik ternyata tidak boleh. Ingin aku batalkan lamaran rasanya malu dan tidak ada alasan yang tepat terutama kata ibuku.

“Kamu mau cari yang gimana lagi, Zi, udah berumur gini, Ning itu memang kurang cantik tapi nggak jelek-jelek amat kok, dan Ibu lihat dia anaknya baik, sopan, agamanya juga bagus. Nah, siapa tahu nanti kamu malah ketularan dia jadi lelaki sholeh.” Masih terngiang ucapan ibuku waktu itu.

“Tapi kalau jelek saya yang malu, Ma. Saya pasti ada pertemuan sama temen dan sama relasi. Bawa istri. Masak perempuan buruk rupa itu saya bawa ke depan orang? Mau ditaruh di mana muka saya, Ma.” Aku masih berusaha mencari pembelaan kala itu.

“Zi, soal penampilan, masih bisa diperbaiki. Kasih uang buat beli skin care. Suruh Bening perawatan ke salon biar cantik, kasih dia outfit yang bagus-bagus. Mama yakin dia nggak kalah cantik sama Suci. Tapi kalau masalah kelakuan, Zi, percaya sama Mama, perempuan ini lebih susah dibentuk. Kelihatannya aja perempuan lemah di luar, aslinya bisa bikin kamu pusing tujuh keliling. Nanti kamu yang repot sendiri kalau dapat perempuan yang perangainya nggak bagus. Buat kasus ini itu, perkara begini begitu. Udah paling cocok kamu sama Bening. Masalah cinta nanti bisa tumbuh belakangan. Karena kamu hidup sama perilakunya bukan lagi sama orangnya. Fisik hanya sekadar cover, Zi. Trust me!”

Skak mat. Aku tidak bisa lagi membantah kata-kata beliau kalau sudah bertitah. Bukan karena aku anak mama, tapi aku tidak mau dicoret sebagai penerus usaha beliau. Ya sudah aku ikuti saja apa mau mamaku. Setelah menikah dengan Bening, aku yakin masih banyak perempuan lain yang mau denganku. Walau harus diam-diam. Laki-laki kawin lagi, kan, tidak perlu izin istri. Tidak ada dosa sama sekali. Yang berdosa itu kalau istri membangkang terhadap perintah suami.

Aku melihat Ning mulai beranjak. Tepatnya aku mengintip sedikti. Dia sepertinya mencari baju ganti di dalam lemari. Kemudian seperti kesusahan membuka baju pengantinnya. Padahal modelnya tidaklah ribet kalau aku lihat.

“Aduh, kok, macet, sih.” Aku dengar dia bicara seperti itu.

Apakah aku mau membantu? Tentu tidak. Hal receh seperti itu harus mandiri. Tugas seorang istri itu mengurangi beban pekerjaan suami. Bukan malah menambah-nambahi dengan rengekan tak menentu. Memang punya dua tangan dan kaki gunanya apa?

Dari dulu aku selalu ingat dengan slogan. Jadilah wanita mandiri agar disayang dan dibanggakan oleh suami. Terlalu sering merepotkan suami, bisa jadi laki-laki yang sudah membantumu lepas dari predikat perawan tua akan mencari hati wanita lain. Toh, jumlah wanita di dunia ini banyak. Tinggal pilih saja, wanita mana yang mau menolak uangku. Hanya Suci, ingat, hanya Suci saja yang menolakku.

Aku ini seorang suami. Bening sudah menjadi hak milikku sepenuhnya, dan rasanya rugi sekali kalau aku tak melihat bagaimana rupa kulit yang tertutup baju serba lebar itu. Setiap kali aku bertemu dengan dia di rumah, entah urusan lamaran, persiapan pernikahan, atau ada saja alasan yang aku cari agar bisa bertemu dengan Suci, Ning selalu saja memakai baju longgar, jilbab besar dan wajahnya ditundukkan. Pantas lama menikah, tidak menarik sama sekali ternyata. Tidak tahu cara memikat lawan jenis. Ibarat bunga, dia ini bunga bangkai.

“Busuk,” ucapku kelepasan bicara. Dia menoleh, mungkin merasa sedang aku bicarakan.

Berbeda dengan Suci, pakaian selalu modis, dandan tipis-tipis. Bibir pink menggoda seolah-olah minta untuk dicoba. Penampilan kakak beradik ini bagaikan bumi dan langit. Yang aku sangat yakin kalau lelaki seluruh dunia ini dikumpulkan jadi satu, termasuk yang berprofesi menjadi ustadz, guru ngaji, ulama, kiyai dan segala macamnya. Maka semua sepakat bahwa Suci yang lebih cantik dari kakaknya. Kalau ada yang bilang tidak, fix matanya kena katarak.

“Apes sekali nasibuku hari ini.” Sengaja aku bicara kuat-kuat biar Ning dengar. Terserah mau tersinggung atau tidak. Bodo amat.

“Jelek, jelek, jelek.” Sengaja aku bicara itu berulang-ulang ketika Ning membersihkan wajahnya.

Memalukan! Aku harus memikirkan bagaimana caranya agar tak malu membawanya ke hadapan orang lain.

Sedikit aku lihat dia menoleh ke arahku. Aku lekas memejamkan mata, lalu mengintip lagi. Dan terlihat dia membuka baju pengantinnya. Aku terus mengintip, ternyata ukuran pinggangnya cukup menggoda hasratku sebagai lelaki juga. Kupikir wanita sejelek dia tak bisa membuatku bernafsu, dan sakit kepala yang aku rasakan tadi semakin menjadi saja.

“Ning. Kamu pasti tahu, kan, kalau istri menolak ajakan suami bisa dilaknat malaikat sampai mendapat ampunan dari suaminya.” Aku harus terus menekannya agar patuh padaku.

“Tahu, Mas.” Dia menjawab sambil memejamkan mata.

“Kalau begitu saya nggak mau ada penolakan ketika sedang ingin. Paham, ya?”

“Paham, Mas.” Nah, ini yang aku suka. Dia menurut sekali di bawah kakiku. Cocok jadi keset kamu, Ning.

Soal ancaman suami masuk ke neraka? Entahlah, aku belum pernah baca. Karena sebelum menikah yang aku pelajaran cara mendidik istri agar menjadi baik. Soal jadi suami baik, gampang, tinggal berikan saja uang pada Bening. Aku bisa memberikannya yang banyak. Bisa, aku orang kaya, aku bukan orang miskin.

Tidak ada ceritanya Ning menemaniku dari nol, aku sudah bernilai 100 saat menikahinya. Dan nanti suka-sukaku saja berlaku seperti apa padanya. Mana ada cerita istri mengatur suami. Aku tak mau seperti bapakku, diceraikan ibu karena terlalu lemah dalam berumah tangga. Harus aku yang memegang kekuasaan.

“Mas, sudah Ashar, nggak sholat.” Aku sedang asyik melamunkan Suci, berani sekali Ning menggangguku.

“Apa, sih?” tanyaku padanya baik-baik sebelum meledak menjadi amarah.

Seorang suami jika tak ridho dengan apa pun perbuatan istrinya, maka semua amalan istri akan dikali 0 tidak bernilai sama sekali. Begitulah nilai amalan istri, sangat bergantung sekali pada suaminya. Mau sebaik dan sesoleha apa pun kalian, kalau suami tak ridho, bagaimana jalan kalian masuk surga?

“Udah 15 menit adzan Ashar selesai, Mas nggak sholat?” Lembut sekali nada bicaranya, berbeda dengan Suci yang agak genit manja.

“Nggak usah sok ngatur kamu. Baru juga hari pertama udah berani merintah suami.” Aku menatapnya serius. Dia terlihat agak terkejut. Beberapa detik kemudian pintu kamar kami diketuk. Yang mengetuk mengeluarkan suara dan itu Suci.

“Mbak aku mau ke masjid, banyak makanan lebih banget, sayang masih bagus-bagus. Ikut nggak?” tanya Suci dari depan pintu kamar. Wah, ini kesempatan aku bisa bersama-sama dengannya.

“Iya, Ci, bentar, Mbak ambil mukena dulu,” jawab istriku. Oh, tidak bisa, dia harus patuh apa kataku.

“Kamu sholat di rumah, nggak usah ikut ke masjid. Bukannya sebaik-baik perempuan itu sholatnya di dalam rumah, ya?” Aku memang pintar, aku ingat semua ajaran untuk perempuan yang harus dikerjakan.

“Iya, Mas, tapi, kan—”

“Nggak usah bantah. Pulang saya dari masjid, kamu siap-siap kita pergi ke hotel. Saya ngga bisa tidur di kamar kamu, sempit!” Kali ini aku jujur memang.

Kamar Bening tidak seluas kamarku. Sekalian saja aku bawa dia ke salah satu hotel atau losmen milikku. Aku yakin anak sekuper, seculun, dan selugu dia tidak pernah tahu rasanya menginap di tempat selain rumah seperti apa.

“Iya, Mas.” Dia mengangguk tanpa bantahan sama sekali. Urusan mengantar makanan ke masjid biar jadi urusanku saja dengan Suci.

Sial sekali! Ternyata Alfian ikut membantu. Aku pikir anak tidak tahu diri ini sudah pulang dari tadi. Ternyata dia ikut obrolan serius dengan bapak mertuaku. Beliau memang tertarik dengan masalah politik dan kemanan negeri ini. Berbeda denganku yang lebih tertarik dengan masalah ekonomi.

“Jadi, Mas, nggak ada kaitannya dengan kasus Sambo, kan?” tanya Suci. Aku hampir menjawab lalu diserobot begitu saja oleh Alfian. Kupikir Mas sapaan untukku.

“Ya, nggak lah, kan beda daerah, beda divisi juga. Mas, kan, mengurus bagian kriminal, kasus pembunuhan, penculikan, ya kejahatan masyarakat, Ci, masak kamu lupa,” jawab Alfian.

Dua orang ini ngobrol seolah-olah menganggapku tak ada saja. Sial, bukan hari keberuntunganku sekarang.

“Ya, kan, itu Sambo sama PC katanya bunuh Brigadir Yosua, kok nggak Mas aja yang menyelediki?”

“Udah ada tim khususnya, mungin Mas ke sana kalau dapat panggilan, tapi kayaknya nggak, sih, tugas di kantor aja udah numpuk. Malam nanti balik ke kantor lagi, habis Ashar Mas langsung pulang.” Begitu kata Alfian.

Cuih! Sok romantis sekali, padahal rata-rata abdi negara apalagi sekelas polisi ini pacarnya di sini satu di sana satu, seperti aku tidak tahu saja perangai mereka.

Beban di tanganku terasa berat membawa kue-kue yang masih sangat enak dan bagus ini. Katanya ini buatan Bening. Wanita jelek yang jadi istriku ini digadang-gadangkan pintar memasak. Apa pun yang diolah oleh tangannya selalu saja enak tidak pernah tidak.

Pernah aku memakan masakannya, memang enak sekali, tapi alasan enak tidak selalu bisa membuat suami jadi cinta. Membayar koki pun aku sanggup untuk dapat masakan yang jauh lebih enak daripada buatan Bening.

Setidaknya aku mendapatkan keuntungan sambil jalan ke masjid. Aku bisa melihat senyum Suci yang terus terkembang, dan terutama pikiranku yang mulai liar. Aku memperhatikan pergerakan pinggul adik iparku yang luar biasa nyaris meruntuhkan pertahananku. Aku jadi penasaran bagaimana gaya berpacaran antara Fian dan Suci. Tidak mungkin hanya tatap-tatapan mata saja.

Aku yakin sudah lebih daripada itu. Tapi, bagaimana pun adik iparku, aku akan sangat senang menerimanya apa adanya. Namanya cinta bisa menerima kekurangan. Kalau tidak cinta, perawan sekelas Ning saja sulit aku terima. Iya kalau dia masih perawan, kalau tidak? Sudah jelek tak tahu jaga diri lagi.

***

Selesai sholat aku kembali ke rumah sendirian, Suci dan Alfian entah pergi ke mana. Sudah kuduga dua anak muda itu pasti lewat dari pengawasan bapak mertuaku. Sampai di dalam kamar, Bening sudah bersiap.

Ya, ampun penampilannya kenapa sederhana sekali. Gamis satu warna gelap pula, lurus tanpa membentuk tubuh, padahal dia punya pinggang yang menggoda. Apa, sih, yang ada dalam pikiran Bening?

“Kamu nggak ada baju lain?” tanyaku padanya.

“Ada, Mas, kenapa, jelek, ya?”

“Yang gaul atau modis, gitu, Ning, pakai. Kenapa kamu jadi seperti ibu-ibu pengajian gini. Jadi kelihatan udah 30 tahun lebih. Coba ganti pakai celana jeans dan baju kaus gitu.” Aku merapikan rambut di depan cermin. Pemampilanku sudah langsung rapi, urusan penampilan lelaki tak banyak cerita.

“Ning, nggak punya baju gitu, Mas. Lagian nggak boleh perempuan pakai baju ketat dan seksi.”

“Oh, kamu ngajarin saya?”

“Nggak, cuma ngasih tahu aja, supaya Mas nggak salah paham.”

“Kalau kamu mau ikut saya ke hotel, ganti baju kamu, pinjam punya Suci kalau perlu. Nggak usah pakai jilbab lebar juga nggak apa-apa. Udah kayak ustazah aja kamu. Saya tunggu kamu di mobil. Ingat, jangan membantah kata suami, ya!” Aku serius dengan perkataanku. Berani Ning membantah, lihat apa yang akan aku lakukan padanya.

Bersambung

Related chapters

  • Suami Egois    Perdebatan

    POV Fauzi Aku melihat Ning keluar dari rumah. Diantar oleh bapak mertua dan Suci. Licik juga perempuan ini. Cuma aku suruh bertukar baju saja susahnya minta ampun. Rasanya tak salah kalau aku meminta istriku tampil lebih cantik. Supaya aku tidak malu di depan orang lain. “Zi, jaga Bening baik-baik, ya. Dia ini anak kesayangan saya.” Bapak mertuaku mengulang lagi kalimat yang sama saat ijab qabul tadi pagi. Ya, tentu saja untuk urusan lahir aku jamin Bening tidak akan kekurangan apa pun. Tapi untuk urusan hati ya tidak bisa dipaksakan. “Iya, Insya Allah, Pak, Ning akan saya jaga sebaik-baiknya.” Aku tersenyum ke arah istriku yang duduk di sebelahku. Dia balas tersenyum juga. Oh, sungguh baik hatimu, Ning, tapi baik saja tidak cukup membuatku jatuh cinta padamu. “Mas, jangan lupa, Mbak Ning alergi sea food. Bisa masuk rumah sakit dia kalau makan yang jenis-jenis itu.” Suci ikut-ikutan memberi nasehat. Apa pun katamu, Ci, akan aku dengarkan.“Baik, Adik Ipar, Mas pergi dulu, ya, sa

  • Suami Egois    Hinaan

    POV FauziNing istriku. Aku tak peduli walau aku tak cinta dengannya. Walau ilmu agamanya lebih tinggi dariku. Dia tetap berada di bawah kendaliku. Aku yakin Ning tahu akan hal itu. Dia akan paham mengapa aku begini dan mengapa aku begitu. Semua karena dia sudah 100% menjadi hakku, mau aku jadikan keset kaki juga tak masalah. “Atur semua baju di dalam lemari,” ucapku padanya ketika sampai di kamar hotel. Setiap hotel yang aku bangun, selalu ada kamar khusus untukku. Memang hotelku bukan bintang 4 atau 5 tapi aku bisa pastikan fasilitas di sini juga sangat baik. Terlebih lagi hotelku memenangkan predikat sebagai hotel syariah. Tidak ada buku nikah atau copiannya, pasangan muda-mudi tidak boleh menginap di hotelku. Ini sudah menjadi bukti bahwa aku lelaki yang paham ilmu agama. Jelas sekali Ning berutung memilikiku dan aku yang sial menikah dengannya. “Tapi, Mas, nggak bawa baju, ke sini,” jawabnya. “Ya baju kamu, Ning, bukan baju saya. Urusan baju saya bisa diurus sama resepsionis

  • Suami Egois    Pengaruh Pergaulan

    Bagian 5 Pengaruh Pergaulan “Eh, iya, iya, maaf, Ning, maaf, Mas nggak bermaksud seperti itu.” Aku berusaha memperbaiki diri, sayang sekali kalau tidak jadi malam pertama. Sudahlah aku keluar mahar sekian gram emas. Masak anak gadis orang tidak jadi aku coba. Terserahlah, mau dia gadis, atau mungkin dulu pernah ehem ehem dengan siapa pun, yang penting malam ini rasa penasaranku terpuaskan. Ini yang paling penting.Aku melihat Ning hanya diam saja, seharusnya hati wanita alim sepertinya seluas samudra. Aku sering melihat kasus seperti ini. Seorang suami sudah selingkuh sampai hubungan badan berkali-kali tetapi masih dimaafkan oleh istrinya. Artinya, kalian para perempuan makluk yang mudah dimanipulasi, dibohongi dan dibodohi. Selingkuh itu cara sembuhnya cuma struk, mati, dan jatuh miskin. “Sayang, maafin, Mas, ya, Mas, memang salah bicara tadi. Ya, siapa tahu dulu kamu pernah nikah, Ning.” “Status saya di buku nikah anak gadis, Mas, bapak saya tahu menjaga saya, saya juga bukan p

  • Suami Egois    Salah Pengajian

    Bagian 6 Salah Pengajian Aku puas sekali tadi malam dengan pelayanan Bening. Tak kusangka dibalik jilbabnya yang lebar itu ternyata dia … ya begitulah. Kupikir dia akan diam seperti batu saja, dan aku yang menguasai permainan. Ternyata hmmm, dia mengesankan sekali. Benar ternyata kata teman-temanku. Kalau perempuan berjilbab lebar itu justru lebih mahir untuk urusan domestik yang satu itu. Alasannya, karena sebenarnya mereka juga sudah lama ingin, tetapi ditahan karena tak ada lawannya. Ya, tepatnya tidak ada yang mau dengan Bening, selain aku tentunya. Maka Ning sudah seharusnya berterima kasih padaku karena telah menaikkan statusnya jauh lebih terhormat, dari perawan tua menjadi seorang istri. Tentu semua orang tahu bagaimana posisi istri, terutama di Indonesia. Negara yang amat sangat menjunjung patriarki. Istilah pepatahnya surgo manut, neroko katut. Suami masuk neraka istri ikut, ke surga pun begitu. Ya, jadi hidup seorang istri memang sangat bergantung pada suaminya. Untun

  • Suami Egois    Tiga Perempuan

    Bagian 7Tiga Perempuan “Nggak apa-apa, Rahma, santai aja. Kayak sama orang lain aja kamu bicara.” Aku melanjutkan laju mobil agar kami lekas sampai ke tujuan. Kemudian kami berdua membisu dalam keheningan. Sesekali kulirik janda berkelas di sebelahku. Heran, padahal sudah sempurna dengan jilbab dililit leher dan cantik jelita, entah kenapa mamaku tak mau menerimanya sebagai menantu. Apakah Mama uderestimate dengan janda? Padahal beliau juga janda. “Mas,” panggil Rahma dengan suara manja. “Iya, kenapa? Gaji kurang?” Aku membelokkan mobil ke tempat tujuan kami. “Bukan itu?” Dia cemberut, lucu sekali. “Terus?”“Rahma perhatikan, Mbak Bening teduh ya wajahnya. Khas ustadzah gitu, Rahma jadi segan sama beliau.” Hah, gak salah kata Rahma. “Rahma, mata kamu rabun atau gimana?” Kemudian kami berdua keluar dari mobil sambil tetap berbincang-bincang. Aku masih menjalankan kebiasaan lamaku, memegang tangan Rahma. Ah, udahlah, hanya pegang tangan saja tanpa ada unsur apa pun. “Loh, mema

  • Suami Egois    Skin Care

    Bagian 8 Skin Care “Ah, nanti saja bahas masalah itu, Rahma. Masih terlalu dini. Mas masih harus mengurus resepsi dua minggu lagi sama Bening. Jadi rasanya kayak mustahil gitu ngomongin nikah lagi sama dia.” Aku mengerti sekali maksud Rahma. Cuman, memang tabu sekali rasanya, bisa-bisa aku dibunuh sama mamaku. “Iya, Mas, nggak apa. Rahma bisa nungguin, kok, asal Rahma jangan dipecat aja. Cari kerja sekarang susah, mana bapaknya anak-anak nggak pernah kasih nafkah. Rahma beneran jadi single parent. Capek, pengen ada yang nafkahin.” Rahma curhat lagi, kasihan aku melihat wanita secantik dia harus menderita. Seharusnya, ya, Rahma diperlakukan sebagai ratu. Bening saja yang muka pas-pasan tidak akan aku izinkan kerja. Apa kata dunia nanti? “Yuk, Rahma.” Aku berdiri lalu membayar tagihan makan siang. Nggak apa-apa sesekali keluar biaya mahal demi mentreate seorang perempuan cantik. Jangankan sea food, isi lautan aku beli supaya Rahma bisa bahagia. “Mau ke mana lagi emangnya, Mas?” “L

  • Suami Egois    Menghayal

    Bagian 9 Menghayal Bener-bener si Bening ninggalin aku meskipun aku berat melepasnya. Sudah punya istri wajah pas-pasan, melawan pula. Apa bagusnya coba? Aku telpon dia setelah dua jam keluar dari kamar hotel. Yang jawab malah Suci. Ya nggak apa-apa, sih. Tapi kenapa dia malah jawab ketus, ya. Harusnya Suci bicara lemah lembut padaku. Katanya Bapak mereka sakit, malah sekarang sedang on the way menunggu taksi mau ke rumah sakit. Kenapa nggak bilang dari tadi? Kan, bisa aku yang ke sana cari muka. “Dek Suci, tunggu, ya. Mas sebentar lagi ke sana.” Aku langsung menutup panggilan. Ngebut aku membawa mobil. Asalkan cepat sampai ke rumah mertuaku. Anggap saja ini perjuangan untuk membawa nama baikku di depan adik ipar. Soal Bening, ah, terserah dia saja mau gimana. Hampir satu jam aku baru sampai di depan rumah mertuaku. Sialnya aku keduluan lagi sama Alfian. Ah, gara-gara Bening. Coba dia jujur kalau bapaknya butuh kendaraan ke rumah sakit. Aku pasti ulurkan bantuan. Dasar, istri p

  • Suami Egois    Akad Nikah

    POV Fauzi “Saya terima nikah dan kawinnya Bening Sari binti Haji Ramadhan, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,” ucapku sebagai lelaki yang detik ini juga telah berubah statusnya. Dari bujangan menjadi seorang suami dari perempuan yang sebenarnya tidak aku inginkan. Selesai akad nikah dibacakan, kemudian pengantin yang sangat tidak aku harapkan, datang dibawa oleh adiknya. Iya, aku sangat menginginkan adiknya—Embun Suci, bukan kakaknya. Kenapa? Sederhana saja alasannya, adiknya lebih cantik dan banyak kelebihan dibandingkan kakaknya. Bukankah wajar kalau seorang laki-laki mapan sepertiku mencari perempuan cantik? Istilahnya sekufu. Kalau istri tidak cantik, kalau mata tidak puas memandang, maka setia hanyalan sebuah isapan jempol saja. “Nak Fauzi, ini putri Bapak, Bapak serahkan padamu.” Bapak mertuaku agak berat melepas anaknya. Dari yang aku dengar, antara Bening Sari dan Embun Suci, beliau ini lebih menyayangi Ning—panggilan dari Bening sendiri. Panggilan dari Embun Suci,

Latest chapter

  • Suami Egois    Menghayal

    Bagian 9 Menghayal Bener-bener si Bening ninggalin aku meskipun aku berat melepasnya. Sudah punya istri wajah pas-pasan, melawan pula. Apa bagusnya coba? Aku telpon dia setelah dua jam keluar dari kamar hotel. Yang jawab malah Suci. Ya nggak apa-apa, sih. Tapi kenapa dia malah jawab ketus, ya. Harusnya Suci bicara lemah lembut padaku. Katanya Bapak mereka sakit, malah sekarang sedang on the way menunggu taksi mau ke rumah sakit. Kenapa nggak bilang dari tadi? Kan, bisa aku yang ke sana cari muka. “Dek Suci, tunggu, ya. Mas sebentar lagi ke sana.” Aku langsung menutup panggilan. Ngebut aku membawa mobil. Asalkan cepat sampai ke rumah mertuaku. Anggap saja ini perjuangan untuk membawa nama baikku di depan adik ipar. Soal Bening, ah, terserah dia saja mau gimana. Hampir satu jam aku baru sampai di depan rumah mertuaku. Sialnya aku keduluan lagi sama Alfian. Ah, gara-gara Bening. Coba dia jujur kalau bapaknya butuh kendaraan ke rumah sakit. Aku pasti ulurkan bantuan. Dasar, istri p

  • Suami Egois    Skin Care

    Bagian 8 Skin Care “Ah, nanti saja bahas masalah itu, Rahma. Masih terlalu dini. Mas masih harus mengurus resepsi dua minggu lagi sama Bening. Jadi rasanya kayak mustahil gitu ngomongin nikah lagi sama dia.” Aku mengerti sekali maksud Rahma. Cuman, memang tabu sekali rasanya, bisa-bisa aku dibunuh sama mamaku. “Iya, Mas, nggak apa. Rahma bisa nungguin, kok, asal Rahma jangan dipecat aja. Cari kerja sekarang susah, mana bapaknya anak-anak nggak pernah kasih nafkah. Rahma beneran jadi single parent. Capek, pengen ada yang nafkahin.” Rahma curhat lagi, kasihan aku melihat wanita secantik dia harus menderita. Seharusnya, ya, Rahma diperlakukan sebagai ratu. Bening saja yang muka pas-pasan tidak akan aku izinkan kerja. Apa kata dunia nanti? “Yuk, Rahma.” Aku berdiri lalu membayar tagihan makan siang. Nggak apa-apa sesekali keluar biaya mahal demi mentreate seorang perempuan cantik. Jangankan sea food, isi lautan aku beli supaya Rahma bisa bahagia. “Mau ke mana lagi emangnya, Mas?” “L

  • Suami Egois    Tiga Perempuan

    Bagian 7Tiga Perempuan “Nggak apa-apa, Rahma, santai aja. Kayak sama orang lain aja kamu bicara.” Aku melanjutkan laju mobil agar kami lekas sampai ke tujuan. Kemudian kami berdua membisu dalam keheningan. Sesekali kulirik janda berkelas di sebelahku. Heran, padahal sudah sempurna dengan jilbab dililit leher dan cantik jelita, entah kenapa mamaku tak mau menerimanya sebagai menantu. Apakah Mama uderestimate dengan janda? Padahal beliau juga janda. “Mas,” panggil Rahma dengan suara manja. “Iya, kenapa? Gaji kurang?” Aku membelokkan mobil ke tempat tujuan kami. “Bukan itu?” Dia cemberut, lucu sekali. “Terus?”“Rahma perhatikan, Mbak Bening teduh ya wajahnya. Khas ustadzah gitu, Rahma jadi segan sama beliau.” Hah, gak salah kata Rahma. “Rahma, mata kamu rabun atau gimana?” Kemudian kami berdua keluar dari mobil sambil tetap berbincang-bincang. Aku masih menjalankan kebiasaan lamaku, memegang tangan Rahma. Ah, udahlah, hanya pegang tangan saja tanpa ada unsur apa pun. “Loh, mema

  • Suami Egois    Salah Pengajian

    Bagian 6 Salah Pengajian Aku puas sekali tadi malam dengan pelayanan Bening. Tak kusangka dibalik jilbabnya yang lebar itu ternyata dia … ya begitulah. Kupikir dia akan diam seperti batu saja, dan aku yang menguasai permainan. Ternyata hmmm, dia mengesankan sekali. Benar ternyata kata teman-temanku. Kalau perempuan berjilbab lebar itu justru lebih mahir untuk urusan domestik yang satu itu. Alasannya, karena sebenarnya mereka juga sudah lama ingin, tetapi ditahan karena tak ada lawannya. Ya, tepatnya tidak ada yang mau dengan Bening, selain aku tentunya. Maka Ning sudah seharusnya berterima kasih padaku karena telah menaikkan statusnya jauh lebih terhormat, dari perawan tua menjadi seorang istri. Tentu semua orang tahu bagaimana posisi istri, terutama di Indonesia. Negara yang amat sangat menjunjung patriarki. Istilah pepatahnya surgo manut, neroko katut. Suami masuk neraka istri ikut, ke surga pun begitu. Ya, jadi hidup seorang istri memang sangat bergantung pada suaminya. Untun

  • Suami Egois    Pengaruh Pergaulan

    Bagian 5 Pengaruh Pergaulan “Eh, iya, iya, maaf, Ning, maaf, Mas nggak bermaksud seperti itu.” Aku berusaha memperbaiki diri, sayang sekali kalau tidak jadi malam pertama. Sudahlah aku keluar mahar sekian gram emas. Masak anak gadis orang tidak jadi aku coba. Terserahlah, mau dia gadis, atau mungkin dulu pernah ehem ehem dengan siapa pun, yang penting malam ini rasa penasaranku terpuaskan. Ini yang paling penting.Aku melihat Ning hanya diam saja, seharusnya hati wanita alim sepertinya seluas samudra. Aku sering melihat kasus seperti ini. Seorang suami sudah selingkuh sampai hubungan badan berkali-kali tetapi masih dimaafkan oleh istrinya. Artinya, kalian para perempuan makluk yang mudah dimanipulasi, dibohongi dan dibodohi. Selingkuh itu cara sembuhnya cuma struk, mati, dan jatuh miskin. “Sayang, maafin, Mas, ya, Mas, memang salah bicara tadi. Ya, siapa tahu dulu kamu pernah nikah, Ning.” “Status saya di buku nikah anak gadis, Mas, bapak saya tahu menjaga saya, saya juga bukan p

  • Suami Egois    Hinaan

    POV FauziNing istriku. Aku tak peduli walau aku tak cinta dengannya. Walau ilmu agamanya lebih tinggi dariku. Dia tetap berada di bawah kendaliku. Aku yakin Ning tahu akan hal itu. Dia akan paham mengapa aku begini dan mengapa aku begitu. Semua karena dia sudah 100% menjadi hakku, mau aku jadikan keset kaki juga tak masalah. “Atur semua baju di dalam lemari,” ucapku padanya ketika sampai di kamar hotel. Setiap hotel yang aku bangun, selalu ada kamar khusus untukku. Memang hotelku bukan bintang 4 atau 5 tapi aku bisa pastikan fasilitas di sini juga sangat baik. Terlebih lagi hotelku memenangkan predikat sebagai hotel syariah. Tidak ada buku nikah atau copiannya, pasangan muda-mudi tidak boleh menginap di hotelku. Ini sudah menjadi bukti bahwa aku lelaki yang paham ilmu agama. Jelas sekali Ning berutung memilikiku dan aku yang sial menikah dengannya. “Tapi, Mas, nggak bawa baju, ke sini,” jawabnya. “Ya baju kamu, Ning, bukan baju saya. Urusan baju saya bisa diurus sama resepsionis

  • Suami Egois    Perdebatan

    POV Fauzi Aku melihat Ning keluar dari rumah. Diantar oleh bapak mertua dan Suci. Licik juga perempuan ini. Cuma aku suruh bertukar baju saja susahnya minta ampun. Rasanya tak salah kalau aku meminta istriku tampil lebih cantik. Supaya aku tidak malu di depan orang lain. “Zi, jaga Bening baik-baik, ya. Dia ini anak kesayangan saya.” Bapak mertuaku mengulang lagi kalimat yang sama saat ijab qabul tadi pagi. Ya, tentu saja untuk urusan lahir aku jamin Bening tidak akan kekurangan apa pun. Tapi untuk urusan hati ya tidak bisa dipaksakan. “Iya, Insya Allah, Pak, Ning akan saya jaga sebaik-baiknya.” Aku tersenyum ke arah istriku yang duduk di sebelahku. Dia balas tersenyum juga. Oh, sungguh baik hatimu, Ning, tapi baik saja tidak cukup membuatku jatuh cinta padamu. “Mas, jangan lupa, Mbak Ning alergi sea food. Bisa masuk rumah sakit dia kalau makan yang jenis-jenis itu.” Suci ikut-ikutan memberi nasehat. Apa pun katamu, Ci, akan aku dengarkan.“Baik, Adik Ipar, Mas pergi dulu, ya, sa

  • Suami Egois    Taat Suami

    POV Fauzi Di sinilah kami berdua. Selesai akad nikah yang baru siang hari menjelang dzuhur tamu-tamu mulai pulang. Ya, masih pesta kecil saja karena yang besarnya baru akan diselenggarakan dua minggu kemudian. Ah, sebenarnya malas pesta, coba saja bisa aku skip, alasan kerja atau apalah, tapi rasanya nanti tidak enak dengan Suci, bukan dengan Ning—istriku yang sekarang ada satu kamar denganku. Dia duduk diam saja, mungkin berharap aku melakukan sesuatu seperti di film-film barangkali. Yang ada kepalaku sedang sakit karena tadi sempat bersalaman dengan Suci, dan aku jadi kepikiran sampai sekarang, jujur saja hal ini sangat menyesakkan. Membayangkan adik iparku bersalaman, berdekatan, saling melempar senyuman, dan bercanda tawa dengan Alfian. Sungguh aku ingin merebut adik iparku itu dari tangan pacarnya. “Ehm, Mas—” “Diam. Saya lagi sakit kepala, jangan ajak bicara dulu.” Aku langsung memotong perkataanku istriku. Tepat sekali, dia langsung diam karena teguranku. Istri yang baik.

  • Suami Egois    Akad Nikah

    POV Fauzi “Saya terima nikah dan kawinnya Bening Sari binti Haji Ramadhan, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,” ucapku sebagai lelaki yang detik ini juga telah berubah statusnya. Dari bujangan menjadi seorang suami dari perempuan yang sebenarnya tidak aku inginkan. Selesai akad nikah dibacakan, kemudian pengantin yang sangat tidak aku harapkan, datang dibawa oleh adiknya. Iya, aku sangat menginginkan adiknya—Embun Suci, bukan kakaknya. Kenapa? Sederhana saja alasannya, adiknya lebih cantik dan banyak kelebihan dibandingkan kakaknya. Bukankah wajar kalau seorang laki-laki mapan sepertiku mencari perempuan cantik? Istilahnya sekufu. Kalau istri tidak cantik, kalau mata tidak puas memandang, maka setia hanyalan sebuah isapan jempol saja. “Nak Fauzi, ini putri Bapak, Bapak serahkan padamu.” Bapak mertuaku agak berat melepas anaknya. Dari yang aku dengar, antara Bening Sari dan Embun Suci, beliau ini lebih menyayangi Ning—panggilan dari Bening sendiri. Panggilan dari Embun Suci,

DMCA.com Protection Status