POV Fauzi
Ning istriku. Aku tak peduli walau aku tak cinta dengannya. Walau ilmu agamanya lebih tinggi dariku. Dia tetap berada di bawah kendaliku. Aku yakin Ning tahu akan hal itu. Dia akan paham mengapa aku begini dan mengapa aku begitu. Semua karena dia sudah 100% menjadi hakku, mau aku jadikan keset kaki juga tak masalah.“Atur semua baju di dalam lemari,” ucapku padanya ketika sampai di kamar hotel.Setiap hotel yang aku bangun, selalu ada kamar khusus untukku. Memang hotelku bukan bintang 4 atau 5 tapi aku bisa pastikan fasilitas di sini juga sangat baik. Terlebih lagi hotelku memenangkan predikat sebagai hotel syariah.Tidak ada buku nikah atau copiannya, pasangan muda-mudi tidak boleh menginap di hotelku. Ini sudah menjadi bukti bahwa aku lelaki yang paham ilmu agama. Jelas sekali Ning berutung memilikiku dan aku yang sial menikah dengannya.“Tapi, Mas, nggak bawa baju, ke sini,” jawabnya.“Ya baju kamu, Ning, bukan baju saya. Urusan baju saya bisa diurus sama resepsionis.” Menjawab saja kerjanya istriku ini.Kalau aku menikah lagi, aku akan cari yang pribadinya sangat berbeda jauh dengan Ning, tak sudi aku yang sama juga. Bisa pecah kepalaku. Hais, kenapa pula ibuku setuju saja dengan Ning. Padahal penolakannya bisa kau jadikan alasan agar aku membatalkan pernikahan.Untungnya dia diam saja tak menjawab apa kataku lagi. Ning mulai mengemas baju-bajunya yang sudah bisa aku duga tidak ada yang seksi sama sekali. Sepertinya dia tahu kalau aku sedang tidak ingin diganggu.Berapa hari kami menginap di sini? Mungkin sampai rumah baruku selesai di finishing. Tinggal dibersihkan dan dipel saja. Lihat, kan, aku suami yang baik yang tak akan pernah menelantarkan istri apalagi sampai kelaparan.“Ning, kamu mau pesan makan apa?” Aku mengambil telepon di kamar hotel, perutku sudah lapar, jujur saja dari tadi tak kenyang aku memandang wajah Ning.“Apa aja terserah, Mas, Ning nggak ada pantangan,” jawabnya sok polos.Benarkah tidak ada pantangan? Ya sudah jangan salahkan aku kalau begitu.Tak sampai tiga puluh menit kemudian hidangan lezat sampai di kamarku. Nasi satu bakul, lalapan, es teh, es jeruk, dan tentu saja aneka hidangan sea food. Ada udang besar, kepiting, juga cumi-cumi. Makanan ini tersedia di restaurant di dalam hotel milikku. Bisa aku pastikan fasilitas di hotelku sangat lengkap, tak usah sampai ke luar gedung.“Kenapa diem, aja, Ning, ayo makan.” Dia termenung saja melihat hidangan olahan sea food yang pasti rasanya sangat enak ini. Halah, sok-sok-an alergi. Sok imut seperti perempuan cantik di sinetron, seharusnya kalau kurang cantik itu sadar diri dan tak terlalu pemilih.“Ini, Mas—”“Mas Fauzi, selamat ya, atas pernikahannya, aduh maaf tadi Rahma nggak bisa datang, anak Rahma harus diantar ke dokter, demam. Dah, semoga suka, ya, dengan lauk pilihan Rahma.” Rahma, janda anak satu yang menjadi resepsionist di bagian depan.Tumben dia yang mengantar makanan. Aku lihat Ning menatapnya dengan tidak suka. Padahal tidak ada yang salah sama sekali. Rahma menggunakan seragam blazer, juga pakai jilbab, ya, walau dililit ketat di bagian leher dan dadanya sedikit ya begitulah. Tapi aku bisa pastikan kalau ada sidak, semuanya karyawati aku perintahkan tampil layaknya Ning istriku sekarang.“Makan, Ning.” Aku menegurnya yang terus saja memandang Rahma sampai hilang dari pintu kamar.“Ning, nggak bisa makan sea food, Mas, nanti bisa berakhir di UGD.”“Ya, makanya kalau ditanya nggak usah sok dijawab terserah.”“Ya, maaf, Mas. Nggak apa-apa, Ning bisa makan sayuran sama nasinya. Alhamdulilalh hari ini masih bisa diberi nikmat untuk makan.” Ning menyendok nasi untukku, baru untuk dirinya.Dia ini sepertinya terlatih sekali mengurus suami. Ya, baguslah, setidaknya rumah tanggaku nanti tidak seperti kedua orang tuaku. Ibuku keras kepala, bapakku pula tak mau mengalah. Akhirnya cerai dan Ning aku yakin sekali dia akan selalu mengalah dan minta maaf padaku.Aku sengaja makan dengan berisik di depan Ning, menyesap saus yang begitu kental dan rasanya nikmat sekali. Sepiring udang saus padang habis olehku sendiri, ditambah kepiting dan cumi-cumi. Ah rasanya hari ini hidupku penuh berkah. Sudahlah terus-terusan terbayang senyuman Suci, disapa oleh Rahma dan terakhir makan enak tanpa gangguan.Aku cukup baik, aku tidak meminta jatah lalapan, kuberikan saja pada Ning semua karena dia tadi tidak protes dan masih tahu berterima kasih. Ya, begitu memang harusnya jadi istri, tidak boleh banyak menuntut. Sudah tahu suami lelah mencari uang, harus dituntut ini itu. Bisa aku tinggal kawin lagi nanti. Terserah dengan siapa saja, tidak bisa dengan Suci bisa dengan gadis lain, atau Rahma pun boleh.Selesai makan, aku melihat Ning masuk ke kamar mandi. Mungkin dia gerah dan ingin mandi. Beberapa menit kemudian Ning sudah keluar. Dia tidak lagi memakai jilabnya. Terlihat rambut hitam lurus itu begitu halus. Oh, tahu juga dia merawat diri, kupikir cuma tahu belajar agama dan mendikte orang saja.Ragu-ragu Ning ingin ganti baju di depanku. Ya, tak mungkin aku melewatkan pemandangan indah di depan mata, dan kembali akhirnya aku melihat pinggang Ning, bagian tubuh yang paling menarik bahkan jauh lebih memikat hati daripada wajah. Terbentuk melekuk dengan sempurna bagaikan gitar, dan kulitnya masi kencang. Ah, aku lupa, malam ini malam pertama. Tidak boleh ada penolakan sama sekali atau dia akan dilaknat para malaikat dari malam sampai pagi, selamanya kalau perlu.“Ning, saya nggak mau ada penundaan malam pertama.” Aku menegaskan keinginanku. Kata teman-temanku yang sudah menikah, hal terpenting setelah ijab qabul itu ya ritual ini.“Iya, Mas, Ning paham.” Begitu katanya, tapi dia masih saja diam di depan lemari dan pakai baju tidur panjang. Otaknya di mana kira-kira?“Terus kalau kamu paham kamu ke sini di dekat, Mas. Ngerti, nggak?” Apa memang Ning ini harus dikeraskan baru paham.“Tiga menit lagi adzan Maghrib, Mas.”“Terus?”“Ning mau sholat, memangnya Mas nggak sholat?”Sudahlah, pertanyaan ini selalu bisa membuatku mati kutu. Jujur saja sholatku masih suka loncat-loncat. Aku akan rajin kalau dilihat oleh banyak orang terutama di depan teman-temanku. Tapi, kan, tetap saja istri tidak boleh sok pintar di depan suaminya. Suami itu imam.“Oh, iya, Mas lupa.” Aku mengambil handuk dan lanjut mandi, sebentar saja lalu wudhu. Ingin aku ikut sholat di kamar saja. tapi …“Mas, laki-laki itu beratnya sholat di masjid, jama’ah.”“Jangan sok tahu kamu.” Duh, mulai lagi dia jadi ustazah.“Bukannya di lantai bawa ada mushola, ya, Mas. Kalau gitu kita sholat sama-sama di bawah aja, gimana?”“Eh, nggak usah, Mas sendirian aja.” Lekas aku keluar dari kamar.Masih malu aku berjalan berdua dengannya. Memang wajah Ning tidak ada jerawat, flek hitam atau hama pengganggu lainnya, tapi tetap saja kurang cantik. Bisa ditertawakan Rahma aku nanti.Entah kebetulan atau bagaimana. Aku berpapasan lagi dengan janda anak satu ini tepat ketika kami sama-sama mau ke mushola. Dia terlihat malu-malu, wajahnya masih memakai make up. Masih cantik dan menarik sekali untuk wanita berusia di atas 30 tahun sepertinya.Kenapa aku tak memilih dia? Ibuku tidak setuju, bukan karena masalah janda. Ibuku menilai Rahma kurang bisa menjaga diri sendiri. Beda jauh katanya dengan Ning, padahal di mataku mereka berdua sama-sama sudah pakai jilbab.Kami sholat berjamaah setelah security datang mengimami kami. Tak hanya sampai di situ saja, aku dan Rahma saling tukar cerita sebentar sampai Isya masuk. Sekalian daripada bolak-balik ke kamar. Sebagai seorang pemimpin aku harus ramah pada siapa saja termasuk karyawanku sendiri.“Sudah, ya, Mas naik ke atas dulu. Kasihan Ning nunggu lama,” ucapku di depan Rahma.“Hati-hati di jalan, ya, Mas, nanti kalau jatuh panggil Rahma, pasti tak bantuin, kok.” Karyawanku ini tiba-tiba saja cekikikan sambil memukul dadaku. Ya, tak masalah, toh tidak terasa sakit.Aku kemudian berlalu. Saat sudah masuk ke kamar aku lihat Ning masi berdzikir dan dua tangannya terangkat memanjatkan doa. Apa isinya, bukan urusanku juga. Lagi pula sejak kapan aku harus memikirkan Ning terus-terusan.“Sudah selesai?” tanyaku padanya. Ning hanya mengangguk saja. Istriku kemudian melipat mukena dan merapikan dirinya, rambut lurus itu ia sisir rapi, berjalan ke arahku dan duduk di sebelahku. Sepertinya dia sudah siap melayaniku malam ini.“Ada yang mau Mas tanyakan sama kamu, Ning, ini penting.”“Iya, tanya aja, Mas.”“Kamu …” ucapku sambil melirik dari ujung rambut sampai ke kaki. “Masih perawan, kan? Segel kamu masi utuh, kan? Artinya Mas orang pertama yang mencoba kamu malam ini, bukan orang kedua, ketiga dan seterusnya.” Ya, ini penting bagiku. Kemarin saat lamaran aku ingin bertanya, tapi ibuku melarangnya. Katanya nanti Pak Haji selaku bapak mertuaku bisa tersinggung berat.Ning terihat syok dengan pertanyaan itu. Loh, apa salahnya? Kan, aku hanya bertanya. Itu hakku, dan dia tinggal menjawab saja. Masih perawan atau tidak, sudah selesai, tidak perlu dibawa drama segala. Sampai matanya berembun. Itu kuasaku sebagai seorang suami.“Mas, itu bukan pertanyaan, tapi seperti tuduhan bahwa saya pezina. Saya terjaga dari kecil, Mas. Wajah saya yang tidak cantik ini menjadi penyebab sedikit laki-laki yang sudi memandang saya.”Hah, dia marah sepertinya, dari penyebutan Ning berubah menjadi saya. Aku juga bisa kalau begitu.“Baik, kalau malam pertama nanti, saya temukan kamu tidak perawan lagi saya akan kembalikan kamu pada bapak kamu, Ning.”Ah, sudahlah basa-basinya, aku ingin lekas merasakan surga dunia ini, tanganku bergerak memegang pinggangnya, bagian tubuh Ning yang paling bisa membuatku lupa diri.“Memang apa tandanya kalau saya itu tidak perawan lagi, Mas, dan setelah puas akan kamu campakkan? Sungguh kamu keturunan Fir’aun, Mas!” Mulutnya ingin aku tampar dengan sandal. Tahan, tahan, dulu, sampai kamu dapat keperawanannya.“Ya, ada bercak darah di sprei, Ning. Sprei hotel ini putih, pasti jelas nanti tandanya seperti apa.” Aku menyentuh bahu, Ning, ingin segera membaringkannya. Namun, dia malah berdiri.“Kalau begitu sebelum terlambat dan sebelum saya dirugikan, kita ajukan saja pembatalan pernikahan. Dua kali Mas menghina saya, dalam waktu yang berdekatan. Saya bukan pezinah, Mas, dan saya masih perawan ada atau tidak ada bercak di sprei, yang mana cara itu sangat kuno dan tidak manusiawi.” Berani sekali dia bicara gugat cerai? Apa dia tidak tahu kalau istri meminta cerai tidak akan bisa mencium bau surga selama-lamanya?Bersambung …Bagian 5 Pengaruh Pergaulan “Eh, iya, iya, maaf, Ning, maaf, Mas nggak bermaksud seperti itu.” Aku berusaha memperbaiki diri, sayang sekali kalau tidak jadi malam pertama. Sudahlah aku keluar mahar sekian gram emas. Masak anak gadis orang tidak jadi aku coba. Terserahlah, mau dia gadis, atau mungkin dulu pernah ehem ehem dengan siapa pun, yang penting malam ini rasa penasaranku terpuaskan. Ini yang paling penting.Aku melihat Ning hanya diam saja, seharusnya hati wanita alim sepertinya seluas samudra. Aku sering melihat kasus seperti ini. Seorang suami sudah selingkuh sampai hubungan badan berkali-kali tetapi masih dimaafkan oleh istrinya. Artinya, kalian para perempuan makluk yang mudah dimanipulasi, dibohongi dan dibodohi. Selingkuh itu cara sembuhnya cuma struk, mati, dan jatuh miskin. “Sayang, maafin, Mas, ya, Mas, memang salah bicara tadi. Ya, siapa tahu dulu kamu pernah nikah, Ning.” “Status saya di buku nikah anak gadis, Mas, bapak saya tahu menjaga saya, saya juga bukan p
Bagian 6 Salah Pengajian Aku puas sekali tadi malam dengan pelayanan Bening. Tak kusangka dibalik jilbabnya yang lebar itu ternyata dia … ya begitulah. Kupikir dia akan diam seperti batu saja, dan aku yang menguasai permainan. Ternyata hmmm, dia mengesankan sekali. Benar ternyata kata teman-temanku. Kalau perempuan berjilbab lebar itu justru lebih mahir untuk urusan domestik yang satu itu. Alasannya, karena sebenarnya mereka juga sudah lama ingin, tetapi ditahan karena tak ada lawannya. Ya, tepatnya tidak ada yang mau dengan Bening, selain aku tentunya. Maka Ning sudah seharusnya berterima kasih padaku karena telah menaikkan statusnya jauh lebih terhormat, dari perawan tua menjadi seorang istri. Tentu semua orang tahu bagaimana posisi istri, terutama di Indonesia. Negara yang amat sangat menjunjung patriarki. Istilah pepatahnya surgo manut, neroko katut. Suami masuk neraka istri ikut, ke surga pun begitu. Ya, jadi hidup seorang istri memang sangat bergantung pada suaminya. Untun
Bagian 7Tiga Perempuan “Nggak apa-apa, Rahma, santai aja. Kayak sama orang lain aja kamu bicara.” Aku melanjutkan laju mobil agar kami lekas sampai ke tujuan. Kemudian kami berdua membisu dalam keheningan. Sesekali kulirik janda berkelas di sebelahku. Heran, padahal sudah sempurna dengan jilbab dililit leher dan cantik jelita, entah kenapa mamaku tak mau menerimanya sebagai menantu. Apakah Mama uderestimate dengan janda? Padahal beliau juga janda. “Mas,” panggil Rahma dengan suara manja. “Iya, kenapa? Gaji kurang?” Aku membelokkan mobil ke tempat tujuan kami. “Bukan itu?” Dia cemberut, lucu sekali. “Terus?”“Rahma perhatikan, Mbak Bening teduh ya wajahnya. Khas ustadzah gitu, Rahma jadi segan sama beliau.” Hah, gak salah kata Rahma. “Rahma, mata kamu rabun atau gimana?” Kemudian kami berdua keluar dari mobil sambil tetap berbincang-bincang. Aku masih menjalankan kebiasaan lamaku, memegang tangan Rahma. Ah, udahlah, hanya pegang tangan saja tanpa ada unsur apa pun. “Loh, mema
Bagian 8 Skin Care “Ah, nanti saja bahas masalah itu, Rahma. Masih terlalu dini. Mas masih harus mengurus resepsi dua minggu lagi sama Bening. Jadi rasanya kayak mustahil gitu ngomongin nikah lagi sama dia.” Aku mengerti sekali maksud Rahma. Cuman, memang tabu sekali rasanya, bisa-bisa aku dibunuh sama mamaku. “Iya, Mas, nggak apa. Rahma bisa nungguin, kok, asal Rahma jangan dipecat aja. Cari kerja sekarang susah, mana bapaknya anak-anak nggak pernah kasih nafkah. Rahma beneran jadi single parent. Capek, pengen ada yang nafkahin.” Rahma curhat lagi, kasihan aku melihat wanita secantik dia harus menderita. Seharusnya, ya, Rahma diperlakukan sebagai ratu. Bening saja yang muka pas-pasan tidak akan aku izinkan kerja. Apa kata dunia nanti? “Yuk, Rahma.” Aku berdiri lalu membayar tagihan makan siang. Nggak apa-apa sesekali keluar biaya mahal demi mentreate seorang perempuan cantik. Jangankan sea food, isi lautan aku beli supaya Rahma bisa bahagia. “Mau ke mana lagi emangnya, Mas?” “L
Bagian 9 Menghayal Bener-bener si Bening ninggalin aku meskipun aku berat melepasnya. Sudah punya istri wajah pas-pasan, melawan pula. Apa bagusnya coba? Aku telpon dia setelah dua jam keluar dari kamar hotel. Yang jawab malah Suci. Ya nggak apa-apa, sih. Tapi kenapa dia malah jawab ketus, ya. Harusnya Suci bicara lemah lembut padaku. Katanya Bapak mereka sakit, malah sekarang sedang on the way menunggu taksi mau ke rumah sakit. Kenapa nggak bilang dari tadi? Kan, bisa aku yang ke sana cari muka. “Dek Suci, tunggu, ya. Mas sebentar lagi ke sana.” Aku langsung menutup panggilan. Ngebut aku membawa mobil. Asalkan cepat sampai ke rumah mertuaku. Anggap saja ini perjuangan untuk membawa nama baikku di depan adik ipar. Soal Bening, ah, terserah dia saja mau gimana. Hampir satu jam aku baru sampai di depan rumah mertuaku. Sialnya aku keduluan lagi sama Alfian. Ah, gara-gara Bening. Coba dia jujur kalau bapaknya butuh kendaraan ke rumah sakit. Aku pasti ulurkan bantuan. Dasar, istri p
POV Fauzi “Saya terima nikah dan kawinnya Bening Sari binti Haji Ramadhan, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,” ucapku sebagai lelaki yang detik ini juga telah berubah statusnya. Dari bujangan menjadi seorang suami dari perempuan yang sebenarnya tidak aku inginkan. Selesai akad nikah dibacakan, kemudian pengantin yang sangat tidak aku harapkan, datang dibawa oleh adiknya. Iya, aku sangat menginginkan adiknya—Embun Suci, bukan kakaknya. Kenapa? Sederhana saja alasannya, adiknya lebih cantik dan banyak kelebihan dibandingkan kakaknya. Bukankah wajar kalau seorang laki-laki mapan sepertiku mencari perempuan cantik? Istilahnya sekufu. Kalau istri tidak cantik, kalau mata tidak puas memandang, maka setia hanyalan sebuah isapan jempol saja. “Nak Fauzi, ini putri Bapak, Bapak serahkan padamu.” Bapak mertuaku agak berat melepas anaknya. Dari yang aku dengar, antara Bening Sari dan Embun Suci, beliau ini lebih menyayangi Ning—panggilan dari Bening sendiri. Panggilan dari Embun Suci,
POV Fauzi Di sinilah kami berdua. Selesai akad nikah yang baru siang hari menjelang dzuhur tamu-tamu mulai pulang. Ya, masih pesta kecil saja karena yang besarnya baru akan diselenggarakan dua minggu kemudian. Ah, sebenarnya malas pesta, coba saja bisa aku skip, alasan kerja atau apalah, tapi rasanya nanti tidak enak dengan Suci, bukan dengan Ning—istriku yang sekarang ada satu kamar denganku. Dia duduk diam saja, mungkin berharap aku melakukan sesuatu seperti di film-film barangkali. Yang ada kepalaku sedang sakit karena tadi sempat bersalaman dengan Suci, dan aku jadi kepikiran sampai sekarang, jujur saja hal ini sangat menyesakkan. Membayangkan adik iparku bersalaman, berdekatan, saling melempar senyuman, dan bercanda tawa dengan Alfian. Sungguh aku ingin merebut adik iparku itu dari tangan pacarnya. “Ehm, Mas—” “Diam. Saya lagi sakit kepala, jangan ajak bicara dulu.” Aku langsung memotong perkataanku istriku. Tepat sekali, dia langsung diam karena teguranku. Istri yang baik.
POV Fauzi Aku melihat Ning keluar dari rumah. Diantar oleh bapak mertua dan Suci. Licik juga perempuan ini. Cuma aku suruh bertukar baju saja susahnya minta ampun. Rasanya tak salah kalau aku meminta istriku tampil lebih cantik. Supaya aku tidak malu di depan orang lain. “Zi, jaga Bening baik-baik, ya. Dia ini anak kesayangan saya.” Bapak mertuaku mengulang lagi kalimat yang sama saat ijab qabul tadi pagi. Ya, tentu saja untuk urusan lahir aku jamin Bening tidak akan kekurangan apa pun. Tapi untuk urusan hati ya tidak bisa dipaksakan. “Iya, Insya Allah, Pak, Ning akan saya jaga sebaik-baiknya.” Aku tersenyum ke arah istriku yang duduk di sebelahku. Dia balas tersenyum juga. Oh, sungguh baik hatimu, Ning, tapi baik saja tidak cukup membuatku jatuh cinta padamu. “Mas, jangan lupa, Mbak Ning alergi sea food. Bisa masuk rumah sakit dia kalau makan yang jenis-jenis itu.” Suci ikut-ikutan memberi nasehat. Apa pun katamu, Ci, akan aku dengarkan.“Baik, Adik Ipar, Mas pergi dulu, ya, sa