Ini waktu yang tepat untuk mengajak Nadia melihat proyek pembangunan rumah masa depan mereka. Abimana menunjukan satu-persatu ruangan dalam rumah besar itu hingga tiba di suatu ruangan yang besarnya sejajar dengan kamar utama. "Ini kamar untuk bayi kita nanti, letaknya sangat strategis karena menghadap langsung ke kamar kita.""Apa ini tidak terlalu besar untuk bayi." Dahi Nadia berkerut."Ini ukuran yang pas, di sini dijadikan area tidurnya, lalu di sana area bermain, di sisinya area membaca cerita, bahkan saat bayi kita sudah belajar makan, masih ada sisa area untuk ruang makan." Abimana menjelaskan seiring menunjuk satu-persatu sudut ruangan yang sudah menggambarkan imajinasinya."Kalau begini ceritanya, bayi kita punya rumah sendiri," ejek kecil Nadia hingga membuat Abimana tertawa kecil."Kamu benar, karena bayi kita juga memiliki kamar mandi sendiri." Pintu dibuka, hingga menunjukan kamar mandi yang setengah jadi."Iya, terserah. Nanti saya dan bayi kita hanya akan menghabiskan
Di waktu sarapan, Nadia hanya mengisi piringnya dengan sedikit makanan hingga menyita perhatian semua anggota keluarga. "Sayang, tambah nasi dan lauknya, makanan Nadia cuma sedikit loh," tawaran lembut Mila."Hari ini Nadia sedang tidak nafsu makan ma," keluhnya.Abimana menyampaikan berita yang akan membuat ambigu keluarganya. "Bangun tidur Nadia langsung mual, tapi tidak mau memeriksa menggunakan testpack.""Testpack!" Antuasias Mila dan Wira, sedangkan Saraswati tersenyum kecil wanita ini sudah mengetahui kebiasaan mual cucunya.Mila segera berdiri dari duduknya. "Sayang, mama punya banyak testpack, Nadia periksa dulu ya!" Semangatnya seakan menembus langit. Abimana mendukung usulan Mila karena dirinya juga ingin tahu alasan di balik mualnya Nadia walau sembilan puluh persen perasaannya mengatakan jika istrinya masuk angin. Dirinya juga hanya menyisakan satu persen kemungkinan Nadia mengandung, sedangkan sembilan persennya hanya harapan kehamilan."Tapi ma, Nadia yakin bukan hamil
Nadia dan Mila kembali dua jam kemudian. Gadis ini segera menemui Saraswati, menanyakan kabarnya dan apakah Tania mengganggunya. Wanita tua ini tidak mengadukan pristiwa kecil tadi, hingga dirinya memberikan jawaban jika semua baik-baik saja, kemudian menanyakan kondisi cucunya, "Nadia hamil atau masuk angin?""Masuk angin nek, seperti biasanya." Nadia tersipu malu karena mualnya menghebohkan semua anggota keluarga kecuali neneknya."Sudah nenek duga." Belaian lembut tangan kriputnya mengusao punggung Nadia, "bagaimana kata mertua Nadia?""Mama bilang tidak apa dan mama berpesan supaya Nadia lebih banyak beristirat untuk menjaga kesehatan.""Iya sudah kalau begitu. Nadia makan dan minum obat dulu baru beristirahat." Selesai Saraswati berpesan, Mila kembali membawakan menu-menu sehat untuk menantunya."Makan dulu ya, sayang ....""Iya ampun ma, Nadia jadi tidak enak sama mama. Padahal Nadia bisa ke ruang makan.""Tidak apa, mama ingin saja memanjakan Nadia." Senyuman tulus Mila. Jadi,
Esoknya keadaan Nadia mulai membaik, dirinya juga memaksakan diri ke kampus karena tidak ingin berada dalam lingkungan yang sama dengan Tania. Bibir pucatnya dipoles menggunakan lipstik merah yang dipinjamnya dari Saraswati. Kini, Nadia sudah tiba di kampus. Amira segera memberinya pertanyaan, "Kemarin kamu kemana, saya chat tidak dibalas.""Kemarin saya meriang, jadi terlalu malas membalas chat. Maaf ya.""Iya, tidak apa. Saya kira kamu kemana. Kemarin ada Pak Kafka loh datang kesini.""Mau apa?" Nadia mulai merisaukan Kafka karena perkara alat penyadap."Tidak tahu, tapi Pak Kafka mencari kamu. Ada apa sih sama kalian, kok bisa Pak Kafka mencari kamu?" Amira mulai menyelidik walau tidak menyimpan curiga ke arah negatif."Tidak ada apa-apa, mungkin Pak Kafka mau menanyakan Abi. Mereka berteman!" Senyuman lebar Nadia kala membuat alasan asal."Hah yang benar!""Eu-bukan seperti sahabat sih, lebih tepatnya teman bisnis." Senyuman lebar kembali dibuat Nadia."Masa sih, kan kekasihnya ..
Nadia terpaku sendu karena Tania membahas Abraham-ayahnya yang telah tiada, meninggalkannya di depan matanya sendiri. Gadis ini tidak mengatakan apapun, kedua matanya basah, pun sebuah tetesan segera membasahasi pipinya.Tania merasa puas melihat pemandangan kali ini. "Asal kamu tahu ya, Abi tidak akan pernah bisa menjadi papa kamu, Abi itu cuma seorang pria biasa, dia bukan sosok orangtua yang kamu mau. Iya ampun ... kamu memang anak kecil, fantasi kamu masih sangat tinggi, tapi ingat fantasi itu hanya khayalan bukan kenyataan. Jadi, lepaskan Abimana dan biarkan dia menjalani perannya sebagai suami dan ayah dari bayi kami." Perutnya dielus lembut, kemudian menyeringai tipis seiring membidik Nadia yang sedang rapuh. "Sepertinya sampai di sini kamu mengerti." Tania berlalu dengan puas, raut wajah kemenangan menjadi satu-satunya ekspresi yang dipertontonkan.Nadia mematung di hadapan daun pintu. "Pa ..., Nadia tidak pernah mengharapkan siapapun menggantikan papa, karena tidak akan ada y
Tepatnya di depan kampus, kala Nadia keluar dari mobil Abimana, sebuah motor melaju kencang, memepet para mahasiswa dan mahasiswi yang sedang berjalan di depan gerbang, tapi tidak satupun yang terluka hingga suara jeritan Nadia melengking. Gadis itu ambruk setelah kakinya tersambar motor, alhasil Abimana segera melarikannya ke rumah sakit. "Sayang, sabar ya!" paniknya walau kalimatnya sangat berlainan."Sakit," rintih Nadia yang seakan kesadarannya segera lenyap. Team medis segera melakukan perawatan kala Nadia masuk ke dalam ruangan, sedangkan Abimana menunggu di luar."Pemotor sialan, siapa dia!" Pihak kampus segera dihubungi, Abimana meminta rekaman CCTV karena mungkin dirinya bisa mencari identitas si pemotor di sana. Cukup lama, pria ini menunggu kabar dari dokter padahal sekian menit waktunya sudah dipakai untuk menghubungi pihak kampus.Beberapa menit kemudian, dokter kembali. "Kaki pasien mengalami benturan keras jadi bisa dipastikan pasien bernama Nadia tidak akan bisa menggu
Hari baru tiba dengan cerah, tapi Nadia harus mengawalinya dengan berbaring di atas tempat tidur seiring menikmati denyutan yang seakan di mana-mana. "Mau minum." Manjanya pada Abimana yang semalaman menunggunya. Pria ini segera menuangkan segelas air putih ke dalam gelas."Mau buat susu?""Tidak usah, saya mau makan bubur saja sama buah-buahan." Wajah Nadia sangat memelas.Abimana segera mengabulkan permintaan istrinya, dirinya ke luar rumah sakit untuk mencari kedua makanan yang diinginkan Nadia. Namun, pria ini harus meninggalkan istrinya sendiri di dalam kamar rawat. Tania tiba karena ingin menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. "Iya ampun Nadia ..., kenapa kamu bisa seperti ini ...." Akting yang Nadia anggap sangat tidak perlu."Mau apa kesini, kamu senang kan!""Di mana sopan santun kamu sayang, saya lebih tua dari kamu loh, apakah pantas memanggil saya dengan sebutan kamu. Hm ...." Gaya bicara Tania biasa saja, tetapi sangat membuat hati gatal."Memangnya mau dipanggil apa,
Sepulang dari rumah sakit, Amira dan Devan bertemu Kafka yang hendak ke kampus mencari Nadia. Kedua anak ini kembali ke kampus karena Devan memiliki janji dengan kawannya, tapi alih-alih bertemu kawannya justru Kafka yang mereka temui. "Rupanya kalian masih di sini, tapi ... di mana Nadia?" Wajah ramah tidak bosan dipasang Kafka."Jadi bapak belum tahu ya," sendu Amira."Apa yang saya belum tahu?" penasaran Kafka."Nadia kecelakaan, Nadia ditabrak pengendara motor yang ugal-ugalan. Sekarang Nadia dirawat karena kakinya patah.""Apa, Nadia ditabrak!" Kafka terhenyak, "di mana Nadia sekarang?" pertanyaannya segera mendapatkan jawaban alamat rumah sakit dari Amira. Tidak butuh waktu lama Kafka tiba di hadapan kamar rawat si gadis, tulang di jemarinya mengetuk halus daun pintu. Hanya menunggu beberapa detik saja seseorang membukanya."Ck, ada apa? Kehadiran kamu tidak diinginkan sama halnya dengan kehadiran Tania!" ketus dan dingin Abimana kala membuka pintu ruang rawat. Mila dan Saraswat
Kafka adalah keponakan pejabat tersebut, pria hebat ini mengajak keponakan membanggakannya karena prestasi gemilangnya di gedung perusahaan milik saudaranya yaitu ayahnya Kafka. Abimana geram mengetahui kenyataan ini bukan karena merasa tersaingi hanya saja di rapat penting ini dirinya harus berjabat tangan dengan Kafka seiring menatap wajahnya terus-menerus."Senang berkerjasama dengan anda." Kalimat Kafka yang salah satunya disampaikan pada Abimana setelah mengucapkannya pada Wira."Begitupun kami." Abimana tetap bersikap propesional walau keadaan hatinya meledak-ledak. Seusai rapat, pria ini berkata pada ayahnya, "Kafka adalah ayah si bayi, tapi Abi yang direpotkan Tania!""Jadi tadi kamu terlambat karena Tania!" kekesalan Wira segera hadir saat mendengarnya."Iya pa, Tania meminta diantar memeriksakan bayinya. Abi turuti saja supaya Tania menjaga bayinya hingga Abi bisa membuktikan pada semua orang.""Wanita ular!" desis geram Wira yang tidak ingin berkata apapun lagi tentang Tani
Nadia dibuat tidak setuju dengan ungkapan yang terdengar frontal itu. "Bayi itu tidak berdosa, Tania yang banyak membuang waktu kamu, bukan bayinya."Abimana mengerjap kecil, kemudian menarik senyuman bangga pada makhluk cantik di hadapannya. "Semakin hari kamu semakin dewasa. Bukan hanya pertambahan usia, tapi pola pikir kamu juga walau ... masih banyak sikap kekanakan." Senyuman lebarnya di akhir."Kamu memuji atau menghina sih? Kalimat kamu sering membuat saya bimbang tahu tidak sih!" Nadia membaringkan tubuhnya dengan malas."Bicara kamu seperti dalam sinetron!" ejek kecil Abimana.***Pagi ini Abimana menemani Tania memeriksakan kandungannya karena ini salah satu cara supaya Tania tetap memibiarkan bayinya sehat dan yang paling penting tetap hidup. Degupan jantung si bayi sangat kencang hingga membuat senyuman manis sekaligus haru ditarik oleh Tania walaupun Abimana tetap bersikap datar. Andai tersenyum pun hanya bagian dari pormalitas saja."Bayinya sangat sehat, perkembangannya
Tidak berapa lama, tepatnya kala Nadia dan Amira sedang asik di salah satu kolam, tiba-tiba saja airnya surut perlahan bahkan semua orang yang berada di sana ikut terheran-heran. "Kok air di sini surut?""Entah, yang lain tidak kok!" Amira melukis wajah heran sama seperti Nadia.Esther berkata santai nan santun, "Maaf nyonya, tapi ini atas perintah Tuan Abimana. Jadi, jika anda berpindah kolam maka kolam itu juga akan dibuat surut.""Apa. Dasar Abi!""Tuan Abi bilang Anda harus segera pulang," tambah Esther masih dengan santun."Abi ...!" teriak Nadia hingga memekak ruang dengar Esther, tetapi justru Amira terkekeh kegelian."Sabar ya ...," goda Amira. Maka, walau sangat keberatan Nadia dipaksa pulang oleh keadaan. Jika tidak begitu maka pengunjung lain akan ikut terganggu."Kok bisa sih Abi memerintahkan seseorang untuk membuat kolamnya surut. Seperti punya dia saja!"Esther memberikan penjelasan secera terperinci, "Tuan Abimana mengenal pemilik kolam ini. Jadi mungkin mudah bagi Tua
Hari sudah berganti, Tania menemui suster yang sudah mendapatkan uangnya. "Bagus kamu masih di sini. Saya kira kamu akan kabur!""Tidak akan nyonya. Ada apa menemui saya?""Saya cuma mau mengingatkan. Jika sekitar tiga bulan lagi saya akan melahirkan."Wanita berpakaian medis ini menampakan senyuman. "Selamat ya nyonya, jagalah kandungan anda dengan baik." Namun, kalimatnya ini tidak digubris oleh Tania."Jangan lupakan tugas kamu setelah bayi ini lahir!"Wanita ini mengangguk kecil. "Saya sangat mengingatnya, nyonya tenang saja." Kalimatnya ini membuat Tania merasa puas, jadi wanita cantik ini segera berlalu. Di lorong, Tania berpapasan dengan Naila yang hendak melakukan pengecekan rutin. Naila tidak pernah melewatkan pemeriksaan tubuhnya.Sejenak, Tania memerhatikan karena wanita yang sedang terbatuk di atas kursi roda memiliki wajah yang mirip dengan Nadia. "Saya harap suatu saat nanti Nadia yang mengalami kondisi seperti wanita itu. Jadi kalau Nadia penyakitan, Abi tidak akan mau
Abimana tiba di sebuah rumah cukup mewah, tetapi sangat sepi, hanya terdapat seorang satpam yang asik memainkan handphone. "Permisi pak, apa benar ini kediaman Nyonya Naila?" Abimana hanya memunculkan wajahnya tanpa keluar dari mobil.Segera, satpam meletakan handphonenya. "Benar tuan. Jika boleh tahu anda siapa dan ada keperluan apa menemui Nyonya Naila?""Saya salah satu kerabat jauhnya.""Akan saya sampaikan. Atas nama siapa?""Abimana-suaminya Nadia." Sengaja perkenalan seperti ini disebutkan karena mungkin keberadaannya akan sangat mudah diterima. Satpam segera menghubungkan panggilan."Tolong katakan pada nyonya, ada seorang pria yang ingin menemuinya. Bernama Abimana suaminya Nadia." Satpam bergeming sesaat kemudian menyimpan gagang telepon di atas meja. "Tunggu sebentar," ucapnya pada Abimana."Iya." Abimana dapat menilai dengan akurat jika memang tidak sembarang manusia bisa menemui Naila bahkan hanya sekedar masuk ke dalam halamannya.Tidak selang berapa lama satpam kembali
Setibanya di rumah, Nadia segera mendapatkan pelukan hangat nan khawatir dari Mila dan Saraswati. Walau Wira dan Abimana tidak mengatakan apapun, tetapi kedua wanita ini mengetahui kabar insiden yang terjadi lewat media layar kaca yang menayangkan secara langsung. "Nadia tidak apa-apa?" Kecemasan wanita tua ini melebihi siapapun."Nadia tidak apa-apa nek ..., tadi Nadia menyelamatkan diri sama Amira walau sempat terpisah." Genggaman tangan Nadia dan Amira saling bertautan."Syukurlah kalian baik-baik saja," ucap Mila.Amira berkata, "Tante, tapi Ami tidak akan lama-lama di sini karena papa mau jemput.""Iya sudah ..., pasti orangtua Ami sangat khawatir. Tapi sekarang minum dulu saja ya, istirahat dulu." Mila menjamu kawan menantunya dengan sayang sama halnya pada Nadia. Tidak berapa lama ayahnya Amira datang. Pria ini berbasa-basi sebentar karena Wira merupakan kawan bisnisnya dan ini pertama kalinya pria ini bertemu dengan anggota keluarga Wira yang lain selain Abimana yang sudah dik
Kali ini Nadia mulai memutuskan jika dirinya akan meminta bantuan Abimana untuk mencari ibunya. "Tolong temukan mama." Tatapannya begitu merindu."Iya, saya akan berusaha maximal mencari mama kamu yang juga adalah mertua saya!" Tekad tegas Abimana, "terimakasih sudah percaya pada saya." Senyuman melengkung bangga karena akhirnya Nadia meminta pertolongan dirinya untuk hal sangat penting ini."Nenek yang memberi saran, nenek juga bilang bisa merasakan kehadiran mama yang katanya masih ada, mama tidak meninggalkan saya, mungkin cuma raga kami saja yang terpisah.""Iya, saya janji. Kamu bisa memegang janji saya ini dan ingatkan saya jika suatu hari saya lalai pada janji saya ini!" Tekad kuat Abimana masih diperlihatkan, kali ini seiring mengusap sebelah pipi Nadia.Malam ini, Nadia memandangi foto ibunya yang diberikan Saraswati. "Ma, cepat temui Nadia ya, jangan buat Nadia gelisah terus-menerus dan bertanya-tanya di mana mama karena Nadia tidak bisa seperti itu terus ...."Abimana memot
"Ma, apa kita harus kembali?" Tania mulai memikirkan ulang melahirkan di negara ini karena dirinya memiliki suster yang sudah disuap di negara asalnya demi mengubah DNA bayinya menjadi milik Abimana."Jangan sayang, lebih baik melahirkan di sini saja, kamu sedang hamil tua, jangan sering bepergian.""Tapi Tania tidak mau melahirkan di sini walau Abi siap datang kesini.""Kenapa ..., ada mama di sisi kamu, mama tidak akan meninggalkan kamu." Nia membelai lembut putrinya."Tapi Tania tetap akan kembali saja bulan depan saat usia kandungan tujuh bulan!" Wanita ini mulai khawatir karena angka kelahiran tidak selalu bulan ke sembilan, sering terjadi kelahiran di bulan ketujuh, maka untuk berjaga-jaga lebih baik dirinya kembali ke negara asal."keputusan ada pada kamu, tapi mama memberi saran saja supaya melahirkan di sini.""Terimakasih ya ma selalu ada di sisi Tania." Pelukannya melingkar dengan penuh rasa syukur karena tanpa ibunya maka dirinya tidak akan bisa bertahan hingga hari ini.*
Malam ini Abimana meninggalkan alat pengaman yang selalu tersedia di dalam laci rahasia yang terkunci supaya tidak seorangpun tahu jika mereka sangat berhati-hati tentang kehamilan. Benda pusakanya sangat bersemangat karena akan mengeluarkan cairan putih di dalam rahim Nadia bersama harapan cairan itu akan menggumpal hingga menghasilkan anak yang sempurna."Abi, kamu yakin tidak akan pakai alat pengaman?" keraguan masih mencambuk hati Nadia."Tidak usah, kita lakukan saja secara alami." Semangat berlipat Abimana."Tapi ..., kalau saya hamil dan melahirkan saat usia kuliah, bagaimana masa depan saya, bagaimana saya bisa menyenangkan nenek dengan prestasi," risaunya."Kamu masih bisa menggapai cita-cita walau hamil dan melahirkan. Tenanglah semuanya akan berjalan dengan mulus, saya jamin!" Abimana berpikir jika uang bisa menyelesaikan segalanya salah satunya saat Nadia hamil, tapi tetap ingin kuliah atau setelah menjadi ibu, tetapi tetap ingin menggapai masa depan, semuanya seolah tingg