Nadia dan Mila kembali dua jam kemudian. Gadis ini segera menemui Saraswati, menanyakan kabarnya dan apakah Tania mengganggunya. Wanita tua ini tidak mengadukan pristiwa kecil tadi, hingga dirinya memberikan jawaban jika semua baik-baik saja, kemudian menanyakan kondisi cucunya, "Nadia hamil atau masuk angin?""Masuk angin nek, seperti biasanya." Nadia tersipu malu karena mualnya menghebohkan semua anggota keluarga kecuali neneknya."Sudah nenek duga." Belaian lembut tangan kriputnya mengusao punggung Nadia, "bagaimana kata mertua Nadia?""Mama bilang tidak apa dan mama berpesan supaya Nadia lebih banyak beristirat untuk menjaga kesehatan.""Iya sudah kalau begitu. Nadia makan dan minum obat dulu baru beristirahat." Selesai Saraswati berpesan, Mila kembali membawakan menu-menu sehat untuk menantunya."Makan dulu ya, sayang ....""Iya ampun ma, Nadia jadi tidak enak sama mama. Padahal Nadia bisa ke ruang makan.""Tidak apa, mama ingin saja memanjakan Nadia." Senyuman tulus Mila. Jadi,
Esoknya keadaan Nadia mulai membaik, dirinya juga memaksakan diri ke kampus karena tidak ingin berada dalam lingkungan yang sama dengan Tania. Bibir pucatnya dipoles menggunakan lipstik merah yang dipinjamnya dari Saraswati. Kini, Nadia sudah tiba di kampus. Amira segera memberinya pertanyaan, "Kemarin kamu kemana, saya chat tidak dibalas.""Kemarin saya meriang, jadi terlalu malas membalas chat. Maaf ya.""Iya, tidak apa. Saya kira kamu kemana. Kemarin ada Pak Kafka loh datang kesini.""Mau apa?" Nadia mulai merisaukan Kafka karena perkara alat penyadap."Tidak tahu, tapi Pak Kafka mencari kamu. Ada apa sih sama kalian, kok bisa Pak Kafka mencari kamu?" Amira mulai menyelidik walau tidak menyimpan curiga ke arah negatif."Tidak ada apa-apa, mungkin Pak Kafka mau menanyakan Abi. Mereka berteman!" Senyuman lebar Nadia kala membuat alasan asal."Hah yang benar!""Eu-bukan seperti sahabat sih, lebih tepatnya teman bisnis." Senyuman lebar kembali dibuat Nadia."Masa sih, kan kekasihnya ..
Nadia terpaku sendu karena Tania membahas Abraham-ayahnya yang telah tiada, meninggalkannya di depan matanya sendiri. Gadis ini tidak mengatakan apapun, kedua matanya basah, pun sebuah tetesan segera membasahasi pipinya.Tania merasa puas melihat pemandangan kali ini. "Asal kamu tahu ya, Abi tidak akan pernah bisa menjadi papa kamu, Abi itu cuma seorang pria biasa, dia bukan sosok orangtua yang kamu mau. Iya ampun ... kamu memang anak kecil, fantasi kamu masih sangat tinggi, tapi ingat fantasi itu hanya khayalan bukan kenyataan. Jadi, lepaskan Abimana dan biarkan dia menjalani perannya sebagai suami dan ayah dari bayi kami." Perutnya dielus lembut, kemudian menyeringai tipis seiring membidik Nadia yang sedang rapuh. "Sepertinya sampai di sini kamu mengerti." Tania berlalu dengan puas, raut wajah kemenangan menjadi satu-satunya ekspresi yang dipertontonkan.Nadia mematung di hadapan daun pintu. "Pa ..., Nadia tidak pernah mengharapkan siapapun menggantikan papa, karena tidak akan ada y
Tepatnya di depan kampus, kala Nadia keluar dari mobil Abimana, sebuah motor melaju kencang, memepet para mahasiswa dan mahasiswi yang sedang berjalan di depan gerbang, tapi tidak satupun yang terluka hingga suara jeritan Nadia melengking. Gadis itu ambruk setelah kakinya tersambar motor, alhasil Abimana segera melarikannya ke rumah sakit. "Sayang, sabar ya!" paniknya walau kalimatnya sangat berlainan."Sakit," rintih Nadia yang seakan kesadarannya segera lenyap. Team medis segera melakukan perawatan kala Nadia masuk ke dalam ruangan, sedangkan Abimana menunggu di luar."Pemotor sialan, siapa dia!" Pihak kampus segera dihubungi, Abimana meminta rekaman CCTV karena mungkin dirinya bisa mencari identitas si pemotor di sana. Cukup lama, pria ini menunggu kabar dari dokter padahal sekian menit waktunya sudah dipakai untuk menghubungi pihak kampus.Beberapa menit kemudian, dokter kembali. "Kaki pasien mengalami benturan keras jadi bisa dipastikan pasien bernama Nadia tidak akan bisa menggu
Hari baru tiba dengan cerah, tapi Nadia harus mengawalinya dengan berbaring di atas tempat tidur seiring menikmati denyutan yang seakan di mana-mana. "Mau minum." Manjanya pada Abimana yang semalaman menunggunya. Pria ini segera menuangkan segelas air putih ke dalam gelas."Mau buat susu?""Tidak usah, saya mau makan bubur saja sama buah-buahan." Wajah Nadia sangat memelas.Abimana segera mengabulkan permintaan istrinya, dirinya ke luar rumah sakit untuk mencari kedua makanan yang diinginkan Nadia. Namun, pria ini harus meninggalkan istrinya sendiri di dalam kamar rawat. Tania tiba karena ingin menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. "Iya ampun Nadia ..., kenapa kamu bisa seperti ini ...." Akting yang Nadia anggap sangat tidak perlu."Mau apa kesini, kamu senang kan!""Di mana sopan santun kamu sayang, saya lebih tua dari kamu loh, apakah pantas memanggil saya dengan sebutan kamu. Hm ...." Gaya bicara Tania biasa saja, tetapi sangat membuat hati gatal."Memangnya mau dipanggil apa,
Sepulang dari rumah sakit, Amira dan Devan bertemu Kafka yang hendak ke kampus mencari Nadia. Kedua anak ini kembali ke kampus karena Devan memiliki janji dengan kawannya, tapi alih-alih bertemu kawannya justru Kafka yang mereka temui. "Rupanya kalian masih di sini, tapi ... di mana Nadia?" Wajah ramah tidak bosan dipasang Kafka."Jadi bapak belum tahu ya," sendu Amira."Apa yang saya belum tahu?" penasaran Kafka."Nadia kecelakaan, Nadia ditabrak pengendara motor yang ugal-ugalan. Sekarang Nadia dirawat karena kakinya patah.""Apa, Nadia ditabrak!" Kafka terhenyak, "di mana Nadia sekarang?" pertanyaannya segera mendapatkan jawaban alamat rumah sakit dari Amira. Tidak butuh waktu lama Kafka tiba di hadapan kamar rawat si gadis, tulang di jemarinya mengetuk halus daun pintu. Hanya menunggu beberapa detik saja seseorang membukanya."Ck, ada apa? Kehadiran kamu tidak diinginkan sama halnya dengan kehadiran Tania!" ketus dan dingin Abimana kala membuka pintu ruang rawat. Mila dan Saraswat
Abimana tidak memiliki waktu untuk meladeni Tania, lagipula liciknya Tania sudah menjadi rahasia publik, maka dia pikir wanita itu sedang berakting. "Siapa?" tanya Nadia."Tania, dia meminta tolong. Paling hanya bagian dari akting!" Datar nan dingin Abimana karena apapun tentang Tania sangat menyebalkan untuknya."Biarkan saja dia, dia kan di rumah!" Nadia menunjukan kekesalannya, tapi tidak akan melarang Abimana andai suaminya menemui Tania, justru sikap suaminya itu menunjukan isi hati dan pikiran si pria pada ibu dari anaknya.Sementara keadaan Tania semakin genting, wanita ini merasakan denyutan akibat benturan di kepalanya, sedangkan si pria cabul semakin menyeringai. Wanita ini tidak bisa menyerah pada keadaan. "Saya akan memberikan tubuh saya, tapi sebelumnya saya harus memeriksakan kandungan terlebih dahulu untuk memastikan keselamatannya saat kita berhubungan.""Kamu pikir saya bodoh. Paling kamu lari atau mengadu pada orang-orang yang ada.""Saya janji.""Tidak.""Kalau kamu
Hari baru menyapa, Tania dibebaskan karena laporan si pria tidak disertai bukti sama sekali, pun Riana bungkam kala saudaranya meminta supaya Riana buka mulut kala merekomendasikannya pada Tania. Bukan karena wanita ini terlalu tega menyaksikan saudaranya dibui, tapi jika dia mengiyakan, maka dirinya ikut menjadi tersangka dan Abimana akan murka.Kini, Riana dan Tania melakukan pertemuan. "Tania, saya sungguh minta maaf, saya tidak tahu kalau ternyata saudara saya akan berbalik melukai kamu." Wanita ini memasang raut wajah iba dan penyesalan yang tentu saja semuanya adalah akting."Pria itu sangat menyebalkan!" berang Tania, kemudian memasang wajah penuh syukur karena Riana dianggap telah menolongnya. "Terimakasih tidak mengatakan kalau kamu yang membantu saya merekomendasikan pria itu. Karena kalau kamu mengatakannya, habislah saya! Saya akan terciduk karena telah memerintahkan pria cabul itu melukai Nadia.""Tidak apa, toh saya juga mengambil keuntungan dari situ, karena akhirnya sa