Abimana bergeming sesaat untuk meninimbang keputusan. “Perluas pasaran dan berikan diskon 10%.”Segera, keputusan dicatat oleh semua orang yang hadir dalam rapat serta mendapat persetuan dari semua orang. Rapat selesai, Abimana bergegas kembali ke dalam ruangannya diikuti Riana. Pria ini duduk dengan gagah. “Apa hari ini ada pertemuan kolega?”Riana segera memeriksa catatannya. “Tidak ada tuan, hanya rapat saja, anda punya banyak waktu senggang hari ini.”“Baiklah, terimakasih,” tutup Abimana.Namun, Riana belum ingin keluar dari ruangan sang tuan. “Eu, tuan. Anda bisa meminta bantuan saya kapan saja.”“Iya, saya akan memanggil kamu saat memerlukan bantuan.” Datar Abimana. Maka segera Riana keluar dari ruangannya karena merasa tidak dibutuhkan, sedangkan Abimana berleha-leha sejenak. “Saya memiliki masalah rumah tangga yang rumit, dan dalam waktu yang sama saya harus memecahkan masalah perusahaan. Hm ... seperti inilah menjadi pemimpin di perusahaan sekaligus di rumah.”Abimana sangat
Tania mulai merasakan gejala kehamilannya, mual nan pusing sudah mulai merajalera. “Menyebalkan, di saat seperti ini tidak ada suami di samping saya.” Bayangan Abimana mengudara di pikiran, tapi sayangnya Tania belum bisa mendapatkan pria itu hingga hari ini.Panggilan segera mengudara pada Riana. “Bagaimana, kamu sudah mendapatkan kabar Abimana dan Nadia, saya tidak bisa berhenti memikirkan mereka!”“Eu ..., Tania, sabar sebentar ya, tidak perlu terburu-buru seperti ini, jaga saja kesehatan kamu.” Riana akan membuat seribu alasan untuk mengelak supaya perasaannya pada Abimana tidak terbaca oleh Tania.“Iya sudah, initinya jangan lupa kabari saya,” tandas Tania yang segera memutus panggilan.Di sebrang sana Riana menghembus udara lega karena lolos dari kecurigaan Tania. “Tidak sulit!” Bangganya. Bukan hanya taktik licik, wanita ini juga merancang rencana supaya mendapatkan Abimana dengan cepat nan mudah karena Tania hanyalah rintangan kecil untuknya bahkan Nadia juga bukan apa-apa.“M
Nadia digiring oleh Abimana semenjak dari ruangannya hingga menuju mobil. Lagi-lagi bisik-bisik tidak luput mengiringi langkah mereka. Pria ini tidak peduli, tapi Nadia tampak sangat menjadikan hal itu sebagai gangguan. “Lihatlah, gara-gara kamu mengundang saya kesini, saya jadi bahan gossip!”“Biarkan saja, mereka tidak akan berbuat lebih selain berbisik di belakang. Di sini suami kamu adalah penguasa.” Bangga Abimana dengan sikap santai nan seringai kemenengan.“Memangnya kamu tidak risih?”“Awalnya iya, tapi karena nyali mereka sebesar sebutir beras, jadi saya biarkan saja.” Masih seringai kemenangan Abimana.“Ish, tidak ada muka!” ejek Nadia yang mulai merasa penat dengan sikap santai Abimana padahal topik pembahasan dalam bisik-bisik karyawan sama sekali tidak bisa disepelekan, menurutnya.Di balik bisik-bisik tidak sedap, Abimana dan Nadia selalu mendapatkan penghormatan setiap kali berpapasan dengan karyawan. Hal itu membuat pria ini sangat angkuh karena bagaimanapun kondisinya
Bukan hanya perut Nadia saja yang dimanjakan oleh Abimana, tapi juga hati si gadis karena hari ini Nadia tidak bisa melarikan diri dari kenyataan jika Abimana memeng memesona dan membuat khilaf.“Saya sudah menyuruh sopir menjemput kamu, pulang tanpa saya ya sayang, kita akan bertemu lagi sore.” Kecupan hangat nan mesra mendarat di permukaan bibir Nadia setelah Abimana mengangkat dagu si gadis perlahan nan lembut.Abimana tidak sungkan melakukan ini walau di hadapan umum karena dirinya memang tidak ingin kehilangan Nadia sekaligus harus memberikan bukti pada netizen jika hubungannya bersama sang istri baik-baik saja.“Kamu iblis tampan!” Nadia komat-kamit tanpa sadar, tapi sangat jelas di ruang Abimana hingga pria ini tertawa penuh kemenangan di dalam hatinya.“Sayang, mobilnya yang itu, masuklah,” tunjuk Abimana pada salah satu mobil mewah, kemudian seorang sopir keluar dari dalam si kuda besi dan segera menjemput majikannya.“Lalu kamu bagiamana, apa yang akan lakukan setelah ini?”
Malam ini tubuh Nadia dijamah oleh Abimana dengan sengit. "Bisa-bisanya menjadi wanita murahan di hadapan Abimana, padahal Nadia lagi marah!" kesalnya setelah menyelesailan aktibitas halal suami dan istri. Gadis ini memunggungi suaminya karena hatinya dipenuhi rasa kesal.Saat melamun, barulah otaknya memacarkan gelombang notifikasi dadakan. "Hah, gawat. Tadi Nadia lupa minum pilnya!" Segera, tubuh polosnya meninggalkan ranjang, menapaki lantai berlapis karpet. Diraihnya tas kuliah dan dirogoh secara brutal. "Apa sempat ya?" Sebuah pil segera tergelincir ke arah tenggorokannya kamudian menghembus udara lega. "Semoga saja pilnya masih sempat menahan cairan milik Abimana!" harapan besar itu terlontar secara frontal."Apa yang kamu makan?" tanya penuh selidik Abimana kala dirinya baru saja terbangun dan melihat Nadia memasukan sesuatu ke dalam mulutnya.Segera, Nadia terhenyak hingga menoleh cepat ke arah Abimana seiring menyembunyikan deretan pil di belakang tubuhnya. "Eu ..., kamu suda
Mila terduduk lesu setelah mengetahui jika menantunya belum siap memberikan cucu. "Usia Nadia memang masih muda, jauh dengan Abi jadi pasti pemikiran mereka juga berbeda, hanya saja ... kenapa Nadia tidak bilang pada Abi jika tidak ingin cepat-cepat mengandung, mengapa harus sembunyi-sembunyi meminum pil KB?"Kecewa Mila bukan hanya karena Nadia belum siap memberinya cucu, hal ini masih bisa dimaklumi, tapi yang membuatnya sangat kecewa adalah sikap tidak terbuka Nadia pada Abimana yang jelas suaminya.Mila menghampiri Saraswati yang sedang merajut. "Nek ..., apakah Nadia pernah menyembunyikan sesuatu di hadapan nenek? Maaf ya, saya bertanya seperti ini, tujuan saya hanya ingin mengenal Nadia lebih jauh," kekehnya setelah mengatakan alasan masuk akal dan jauh dari kata dicurigai.Saraswati menyimpan kain rajutannya seiring terkekeh, "Nadia anak yang baik dan jujur, Nadia tidak pernah menyembunyikan apapun dari nenek, mungkin hanya hal yang sangat privasi yang tidak akan diceritakan."
Pagi ini Abimana masih belum kembali, maka Nadia masih memiliki ruangan untuk bernapas. Gadis ini sarapan bersama keluarga suaminya sedangkan sang nenek masih di pasar bersama bibi karena wanita tua itu ingin membeli makanan tradisional. "Abi bilang akan pulang siang ini, Nadia tunggu Abi di restoran ya karena Abi sudah menyewanya." Kalimat lembut Mila."Siang ini jam berapa ma, dan di restoran mana?" sahut Nadia di sela-sela menyuap."Mungkin nanti Abi akan menghubungi Nadia, Nadia siap-siap saja."Tarikan napas tipis menjadi penguat hati. "Iya."Setibanya di kampus Nadia tidak segera menemui Amira karena rupanya sahabatnya terserang demam, maka dirinya hanya bersama Devan walau tidak selalu karena Devan punya perkumpulan sendiri, sama hanyanya dengan dirinya. "Sepi deh kalau tidaka ada Amira kan jadinya tidak bisa curhat.""Bisa kok curhat sama Devan yang ganteng. Wkwk.""Apa ya yang harus saya curhat kan sama kamu, sepertinya otak saya tiba-tiba blank deh," kekeh menggemaskan Nadia
Abimana mendesah pelan bersama tatapan sendu, pria ini berbicara dengan volume rendah seiring menatap Nadia yang berusaha mengelabuinya. "Saya tidak keberatan kalau kamu belum mau mengandung anak kita, tapi satu yang saya harapkan dari kamu, terbuka. Hanya itu."Mendengar untaian kalimat Abimana membuat Nadia malu karena kesekian kalinya kebohongannya terbongkar, gadis ini menundukan wajahnya cukup lama, kemudian memberanikan diri menatap Abimana. "Saya memang tidak bisa terbuka sama kamu, apalagi tentang pil itu karena saya yakin kamu tidak akan setuju!""Saya setuju, saya tidak akan memaksa kamu mengandung anak kita kalau kamu belum siap." Suara lembut Abimana di balik kecewa berlipat ganda.Nadia kembali terpaku seiring menurunkan wajahnya perlahan. "Apa kamu tidak mau tahu alasan saya tidak mau hamil sekarang?" Gadis ini tidak menatap lawan bicaranya."Apa?" Abimana sudah menerka-nerka jika Nadia tidak ingin membangun masa depan dengannya, tapi dirinya tetap ingin mendengarkan ala