"Ckk sialan! Lelaki miskin itu sok-sokan sekali sih. Oya, lantas setelah Isyana menikah, di mana mereka tinggal?" Pedro mondar-mandir di ruang kerja kediaman Husodo karena dia lebih nyaman tinggal di sana dibanding berada di rumah mertuanya.Alicia masih beristirahat di kamar tidur mereka ditemani beberapa pelayan pribadi. Dia memang berakting tak sehat agar tidak dikirim kembali ke sel tahanan bersama mamanya. Sedikit egois memang, tetapi dalam situasi genting seperti saat ini Alicia memilih cari aman.Setelah menimbang-nimbang, Pedro meraih kunci mobil sedan Mercy putih miliknya dan mengemudi sendirian ke Greenwich Tower, tadinya Isyana menyewa sebuah unit apartemen di sana. Pedro yang dulu berstatus sebagai pacarnya sering bertandang mengapel atau antar jemput Isyana di alamat tersebut.Sesampainya di depan pintu unit sewaan Isyana, dia menekan tombol bel pintu. "TING TONG!"Lama tak ada yang membukakan pintu untuknya. Pedro kalap memencet berulang kali tombol bel itu hingga tetang
"Ini Vihara Sensoji, Sir, Ma'am. Kalau Anda ingin berdoa untuk memohon sesuatu konon kabarnya bisa terwujud!" ujar guide tour yang disediakan oleh hotel kepada Harvey dan Isyana.Harvey yang memayungi Isyana dengan sebuah payung lebar warna hitam menjawab, "Baik, terima kasih informasinya, Kotaro San. Kami ingin berjalan-jalan berdua. Permisi!"Obyek wisata religi yang cukup ternama di Tokyo itu agak sedikit pengunjungnya di musim dingin. Salju masih turun deras dari langit yang putih kelabu tertutup awan tebal. Sebenarnya hari telah mulai siang, tetapi matahari sama sekali tak nampak sehingga suasananya dingin dan seperti di sore hari saja."Isya, apa kamu kedinginan?" tanya Harvey sembari merangkul bahu Isyana dengan protektif di bawah payung. "Iya, aku agak kedinginan nih, Mas. Mungkin ada baiknya kita masuk ke viharanya saja ya?" jawab Isyana yang menggigil sekalipun mengenakan pakaian dobel dan serba tertutup. Harvey mengajak istrinya berjalan lebih cepat agar mereka bisa seger
"Wow, kamu cantik sekali dengan yukata merah itu, Isya!" puji Harvey dengan mata berbinar penuh kekaguman. Mereka berdua memang petang ini berencana menonton teater Kabuki di Kabuki-za (Kabukiza Tower) yang ada di Ginza, Chuo City masih di kota Tokyo. Outfit mereka pun menggunakan pakaian tradisional Jepang yaitu yukata berpasangan untuk suami istri. "Terima kasih, Mas Harvey. Kamu juga nampak gagah dengan pakaian tradisional Jepang. Mirip banget sama aktor famous dari negeri Sakura!" balas Isyana dengan senyuman manis tersungging di bibir merah ranumnya. Penata rias yang disewa Harvey pun berkata, "Nyonya Muda sangat cantik seperti orang asli Jepang. Kulitnya putih dan terawat, tadinya saya mengira beliau asli dari Tokyo!""Ahh ... Anda terlalu memuji, Madam Mameha! Berkat keterampilan tangan Anda, Isyana nampak seperti seorang geisha yang rupawan!" jawab Harvey seraya mengulurkan sebuah amplop berisi bayaran ke make up artist spesialis tradisional Jepang tersebut. Pihak hotel yan
"Hmm ... di mana Isyana?!" gumam Harvey risau sendirian. Dia tak bisa menikmati pertunjukan teater tradisional Jepang yang sebenarnya menarik. Matanya menyapu deretan bangku penonton sekalipun terlalu gelap untuk melihat secara normal. Ketika waktu jeda istirahat pemain kabuki dan lampu ruangan teater dinyalakan, Harvey segera bangkit berdiri dari kursi dan mencari Isyana lagi. Beberapa penonton yang mengenakan yukata merah seperti Isyana diperhatikan khusus oleh Harvey hingga wajah mereka menoleh ke arah yang bisa dia lihat. Ternyata bukan istrinya hingga di barisan bangku VIP terdepan sisi kiri dia menemukan sosok yang dicari-carinya hingga nyaris gila. Tanpa menunggu lagi dan pastinya sebelum lampu utama ruangan dimatikan kembali, Harvey segera berlarian menuruni tangga lorong di antara kursi yang berderet-deret. Dia pun berdiri di hadapan Isyana yang sedang berbincang-bincang dengan seorang pria Jepang berusia muda. "Isya!" panggilnya.Segera Isyana bangkit dari kursinya dan men
"Terima kasih sudah bermalam dan menggunakan fasilitas hotel kami, Tuan Harvey dan Nyonya. Sampai jumpa di kesempatan berikutnya!" ujar petugas resepsionis ramah yang berjaga di konter lobi seraya membungkukkan badan.Harvey hanya mengangguk singkat dengan sebersit senyuman tipis. Baginya wajar dia mendapat ucapan demikian karena telah menghabiskan puluhan juta rupiah dalam tiga malam saja di Four Seasons Hotel Tokyo. Dia pun naik ke mobil hotel bersama Isyana dan para pengawalnya untuk diantar ke stasiun kota. Tujuan liburan mereka selanjutnya adalah Osaka dan Kyoto. "Mas, kita masih berapa hari di Jepang?" tanya Isyana. Dia dirangkul bahunya oleh Harvey dengan protektif sekalipun berada di dalam mobil."Tiga hari, kenapa? Apa kamu sudah bosan?" balas Harvey seraya menaikkan sebelah alisnya.Isyana menggeleng, dia berkata, "Hanya sekadar bertanya kok, Mas. Di Osaka nanti kita mau berkunjung ke mana saja?""Mungkin kamu suka kalau kuajak ke taman kota di sana, namanya Nakanoshima Par
"Mas Pedro, kasihan mamaku. Beliau sudah sepuluh hari ini di sel rutan kepolisian. Pasti menderita sekali!" Alicia menangis tersedu-sedu memohon belas kasihan suaminya.Pedro menghela napas kasar, dia bukannya hanya diam saja mengetahui ibu mertuanya mendekam di sel tahanan sementara. Masalahnya adalah dia tak dapat menemukan jejak Isyana di mana pun. "Mas tuh bukannya tega, Al. Hanya saja mentok kasusnya, polisi lagi ketat monitoring kasus suap di jajaran perwira tingginya. Pengacaraku sudah menawarkan sejumlah besar uang sogokan ke Kompol Indra, dianya nolak mentah-mentah. Aku nggak ngerti lagi mesti gimana!" balas suami Alicia yang baru saja pulang kerja."Coba kutelepon Kak Isya. Jangan-jangan dia blokir nomor Mas Pedro!" tukas Alicia dongkol. Dia segera menekan nomor telepon Isyana di HP dan nada sambung langsung terdengar. "Halo. Ada apa, Alicia?" sapa Isyana dari seberang telepon.Segera adik tirinya itu menyemburkan kata-kata makian kasar kepada Isyana, "Dasar anak tak tahu d
Pesawat yang membawa Harvey dan Isyana kembali dari Jepang mendarat mulus di Bandara Soekarno-Hatta. Mereka dijemput oleh Pak Yono, sopir yang telah lama mengabdi di keluarga Dharmawan."Selamat datang kembali, Tuan Muda dan Nyonya. Kita apa langsung pulang ke rumah?" sambut Pak Yono seraya membukakan pintu mobil untuk majikannya."Iya, Pak. Langsung ke rumah aja, penerbangannya lama jadi capek!" jawab Harvey sembari merangkul bahu Isyana yang duduk di sampingnya di bangku belakang mobil.Sedan Jaguar hitam mengkilap itu meluncur di tengah kemacetan lalu lintas Jakarta. Pak Yono pun berkata, "Nyonya Besar sudah pulang dari rumah sakit kemarin, Tuan Muda Harvey. Beliau nampaknya lebih sehat dibanding sebelumnya!""Baguslah, Pak. Aku ikut senang kalau Oma Widya bisa lekas pulih!" jawab Harvey dengan senyum terkembang di wajahnya lalu dia menoleh ke Isyana sembari mengatakan, "Sayang,
"Pak Harvey, apa Anda akan meninjau langsung proyek mall yang baru di tengah kota?" tanya Brian Teja Kusuma, CEO perusahaan kontraktor yang ditunjuk Harvey untuk mengeksekusi proyek pembangunan mall baru miliknya."Boleh, saya akan turun langsung ke lokasi, Pak Brian. Apa ada helm pengaman dan rompi yang bisa saya pakai?" tanya Harvey sambil melepaskan dasi dan jas mahalnya karena akan menjalankan survey lapangan."Ada di mobil saya, Pak. Mari kita berangkat saja sekarang mumpung masih pagi!" Brian pun bangkit berdiri dan berjalan bersama Harvey menuju lift untuk turun ke lantai parkir basement.Kedua CEO muda berbeda bidang bisnis itu mengobrol seru tentang pembangunan proyek yang melibatkan kedua perusahaan masing-masing. Asisten Brian mengemudikan mobil, sedangkan Bob duduk di sampingnya di bangku depan."Ma