“Mas ... kok tidak pernah datang ke sini?” Tanya Miranda dengan ponselnya.“Apakah kamu masih punya muka untuk bertanya seperti itu padaku?”“Kenapa? Tentu pantas, kamu itu suamiku Mas, jadi sudah sewajarnya jika kamu bersamaku, Ibu menanyakan kamu terus.”“Bilang sekalian sama Ibu, salamku, aku tidak bisa pergi ke sana, aku akan pergi keluar negeri.”“Apa Mas Wisnu lama di sana?”“Mungkin seminggu.”“Jangan lupa oleh-olehnya ya Mas?”“Kamu bisa minta pada Kinanti, tentu dia lebih paham dengan selera kamu.”“Apa? Kamu akan pergi sama Dia Mas?”“Iya, ada yang salah? Kamu baru meresmikan pernikahan kami, jadi sudah sepantasnya kamu pergi untuk bulan madu bukan?”“Kamu serius ?”“Apa suaraku terdengar bercanda? Aku serius Miranda!”“Nggak , kamu tidak boleh pergi, Mas!”“Apa kamu masih punya hak melarang kami, setelah kamu melakukan semuanya?”“Melakukan apa?” Miranda masih tidak tahu kemana arah pembicaraan Wisnu.“Jika kamu tidak pelupa, maka kamu pasti ingat kamu yang m
“Kinanti, Kin ... kamu dimana?” Wisnu berkeliling ruangan kamar hotel, namun ia tidak menemukan sosok Kinanti.Wisnu terus keluar dari kamar, ia turun ke lantai dasar, di sana ia melihat Kinanti sedang tertawa kecil namun terkesan santai, ia bersama denganmu seorang lelaki asing yang tidak di kenalinya, tapi sepertinya dari Indonesia juga.Ada rasa cemburu menghampiri dadanya, bisa-bisanya sepagi ini ia di tinggalkan begitu saja, apalagi ini bukan Indonesia dan ini adalah hal pertama kali untuk Kinanti datang ke Paris.Wisnu mengulurkan tangannya, dan laki-laki yang sedang asik bercengkerama dengan Kinanti itu terkejut dan langsung menatap Wisnu.Ia membalas jabatan tangan Wisnu yang dirasa kurang bersahabat itu.“Aku Wisnu dari Indonesia, kamu sendiri siapa?”“Aku Willi, teman sekelas Kinanti dulu, senang bertemu dengan Anda di sini.”Kinanti menatap Willi dengan rasa bersalah, kemudian ia memperkenalkan Wisnu.“Dialah suamiku!” Kata Kinanti agak gugup.“Suami? Kamu sudah ni
Segelas air tiba-tiba mendarat di wajah Kinanti, ketika ia menolehkan kepalanya, ia melihat Miranda dengan gelas kosong di tangannya.“Mira!”“Apa? Kurang tegaskah aku peringatkan sama kamu? Aku akan lakukan apapun untuk memisahkan kalian berdua.”“Dan asal kamu tahu, aku tidak akan terpisah meski usaha apapun kamu lakukan!” Sahut Wisnu yang kini ada di sisi Kinanti dan mengeringkan wajah Kinanti dengan sapu tangan dari saku jaketnya.Pemandangan itu kian membuat Miranda sakit hati.“Kamu tega Mas, dalam keadaan seperti ini meninggalkan aku seorang diri di rumah.”“Tapi kamu sudah sehat bukan? Buktinya kamu sudah bisa pergi sendiri ke sini?”“Aku terpaksa!”“Oh ya?” “Aku nggak suka melihat kalian di sini, aku tidak akan membiarkan sesuatu yang tidak diinginkan terjadi, aku tidak mau kamu di sini, cepat pulang atau aku akan tetap di sini, pulanglah!” bentak Miranda.“Pulang? Apa aku tidak salah dengar? Aku tidak akan pulang karena kamu yang minta, aku tidak akan pulang hanya
Uhuk uhuk, suara batuk Wisnu terdengar serak, ia membuka matanya, setelah sekitar tiga puluh menit tidak sadarkan diri.Sudah bermacam cara ia lakukan, mulai menghubungi Mama mertuanya yang sejak tadi tidak tersambung sampai dokter setempat, yang mengatakan jika Wisnu alergi dengan udang.Ini terbukti kini seluruh tubuh Wisnu bengkak karena alergi tersebut, selain membuat Kinanti merasa bersalah juga ingin tertawa melihat wajah Wisnu yang kini terlihat lucu itu. Tapi ia itu terjadi setelah beberapa saat Wisnu tersadar, sebelumnya ia hanya bisa khawatir atas apa yang terjadi pada suaminya itu.“Mas ....” panggil Kinanti.“Kinanti? Ada apa ini? Badanku gatal-gatal semua?”“Maafkan aku Mas ... aku tidak tahu jika Mas Wisnu alergi udang, jadi aku tidak sengaja memasukkan makanan yang mengandung udang di dalamnya, sungguh aku minta maaf.” Tulus Kinanti.“Nggak apa-apa, namanya saja kamu tidak tahu, jadi aku maafin kamu.” Jawab Wisnu sambil tersenyum dengan sudut bibir yang terasa kak
“Tamu-tamu sudah menunggu di luar. Pak Penghulu juga sudah hadir, tapi mempelai prianya tidak kunjung datang.”“Sst. Kinanti sudah coba hubungi sejak tadi, tapi tidak diangkat.”Kinanti tetap mendengar obrolan itu meskipun mereka sudah berbisik-bisik. Namun, iia tidak punya energi untuk menanggapinya karena ia masih mencoba menghubungi calon suaminya.“Ayo mas angkat," gumam Kinanti. Wajahnya yang cantik terlihat tegang, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia khawatir telah terjadi sesuatu dengan Bima, calon suaminya.Soraya, ibunda Kinanti, mengelus pundak putrinya, berusaha untuk menenangkan, meski hatinya pun gundah gulana.“Sayang ... tenanglah, Bima pasti datang, mungkin terjebak macet,” kata sang ibu.“Tapi dia sejak tadi tidak mengangkat teleponku, Ma,” kata Kinanti mulai terisak sedih. “Apa yang sebenarnya terjadi padanya?”“Jangan bicara begitu, Sayang,” sahut Soraya. “Pamali!”Tiba-tiba suara gaduh terdengar dari ruang tengah, menarik perhatian Kinanti dan sang ibu. Wanita yang
“Beliaulah yang akan menikahi kamu. Namun, sebagai istri kedua.” Mata Kinanti terbelalak saat mendengarnya. “Apa!?”“Tidak ada pilihan lain, Kinan,” tukas Pak Darmawan, membuat Kinanti menelan ludah. “Jika tidak, kamu–”“Pak Darmawan.” Tiba-tiba pria asing yang merupakan atasan Pak Darmawan itu berucap. Suaranya dalam dan tatapannya tajam ke arah Kinanti. “Izinkan saya bicara berdua dengan putri Bapak.”Dengan segera, Pak Darmawan mengizinkan hal tersebut. Pria paruh baya itu mengajak istrinya pergi dari sana, meninggalkan Wisnu berdua dengan Kinanti.Hening sejenak. Tidak ada gerakan dari keduanya sebelum kemudian Wisnu menghampiri Kinanti dan mengulurkan tangannya, berniat membantu wanita itu bangun.Ragu, Kinanti menerima uluran tangan tersebut. Sepasang mata Kinanti menatap pria yang yang kini duduk berdampingan dengannya di kursi panjang. Jujur, sosok itu memang tampan, tapi Kinanti tidak yakin bahwa ia adalah pria yang tepat untuknya.Apalagi sorot mata tajam itu–“Nama saya Wi
Mata Kinanti begitu dekat dengan mata Wisnu, mungkin sekitar satu jengkal jarak wajah keduanya, Wisnu mampu menghirup aroma tubuh Kinanti yang begitu wangi. Keduanya saling pandang, saling menelan saliva. Beberapa menit keduanya terlipat saling pandang, wajah Kinanti terlihat begitu merona, dan iapun tak menyadari jika gawai yang ada di tangannya terjatuh begitu saja di atas tempat tidur. Wisnu mendehem, membuat Kinanti segera menarik diri dari pangkuan Wisnu, ia berusaha berdiri dan tentu saja di bantu oleh Wisnu. "Ponselku!, apakah Bapak melihat ponselku?" tanya Kinanti mencari gawainya. Wisnu menoleh ke kiri dan ke kanan, ia melihat gawai yang tergeletak persis di sebelahnya, tangannya mengambil gawai itu, tentu saja ia melihat layar gawai yang masih memperlihatkan gambar yang masih terpampang jelas, gambar Kinanti yang begitu mesra di peluk oleh Bima, Wisnu tersenyum ia jadi merencanakan sesuatu yang sama sekali tidak di sadari oleh Kinanti. "Ini ponselmu, lain kali hati-ha
Kinanti memejamkan matanya saat Wisnu sudah berada persis di hadapannya. Ia kembali menelan salivanya, berulang kali, sungguh ia berada dalam situasi yang tidak menguntungkan. Hembusan nafas Wisnu yang beraroma khas menyapu wajah Kinanti, desiran darah mengalir begitu cepat dalam dada Kinanti. "Masihkah kamu tidak akan menandatangani surat kontrak ini?" "Tergantung!" "Tergantung apa, masih adakah tawaran yang kamu tawarkan untuk kesepakatannya?" "Iya!" "Sayang, saya tidak menerima tawaran apapun, apapun yang tertera dalam surat kontrak ini sudah menjadi keputusan yang tidak dapat di ganggu gugat. "Jadi percuma saja saya menawarkan sesuatu pada Bapak." "Ya, tanda tangani saja sekarang! lebih cepat lebih baik!" Sekali lagi kinanti tidak mampu berbuat apa-apa, ia hanya bisa pasrah, perlahan ia menghembuskan nafasnya yang terasa sesak. "Beri saya ruang untuk bergerak, mana bisa saya menandatangani jika saya berada dalam kungkungan tangan Bapak seperti ini!" desahnya.