Uhuk uhuk, suara batuk Wisnu terdengar serak, ia membuka matanya, setelah sekitar tiga puluh menit tidak sadarkan diri.Sudah bermacam cara ia lakukan, mulai menghubungi Mama mertuanya yang sejak tadi tidak tersambung sampai dokter setempat, yang mengatakan jika Wisnu alergi dengan udang.Ini terbukti kini seluruh tubuh Wisnu bengkak karena alergi tersebut, selain membuat Kinanti merasa bersalah juga ingin tertawa melihat wajah Wisnu yang kini terlihat lucu itu. Tapi ia itu terjadi setelah beberapa saat Wisnu tersadar, sebelumnya ia hanya bisa khawatir atas apa yang terjadi pada suaminya itu.“Mas ....” panggil Kinanti.“Kinanti? Ada apa ini? Badanku gatal-gatal semua?”“Maafkan aku Mas ... aku tidak tahu jika Mas Wisnu alergi udang, jadi aku tidak sengaja memasukkan makanan yang mengandung udang di dalamnya, sungguh aku minta maaf.” Tulus Kinanti.“Nggak apa-apa, namanya saja kamu tidak tahu, jadi aku maafin kamu.” Jawab Wisnu sambil tersenyum dengan sudut bibir yang terasa kak
“Tamu-tamu sudah menunggu di luar. Pak Penghulu juga sudah hadir, tapi mempelai prianya tidak kunjung datang.”“Sst. Kinanti sudah coba hubungi sejak tadi, tapi tidak diangkat.”Kinanti tetap mendengar obrolan itu meskipun mereka sudah berbisik-bisik. Namun, iia tidak punya energi untuk menanggapinya karena ia masih mencoba menghubungi calon suaminya.“Ayo mas angkat," gumam Kinanti. Wajahnya yang cantik terlihat tegang, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia khawatir telah terjadi sesuatu dengan Bima, calon suaminya.Soraya, ibunda Kinanti, mengelus pundak putrinya, berusaha untuk menenangkan, meski hatinya pun gundah gulana.“Sayang ... tenanglah, Bima pasti datang, mungkin terjebak macet,” kata sang ibu.“Tapi dia sejak tadi tidak mengangkat teleponku, Ma,” kata Kinanti mulai terisak sedih. “Apa yang sebenarnya terjadi padanya?”“Jangan bicara begitu, Sayang,” sahut Soraya. “Pamali!”Tiba-tiba suara gaduh terdengar dari ruang tengah, menarik perhatian Kinanti dan sang ibu. Wanita yang
“Beliaulah yang akan menikahi kamu. Namun, sebagai istri kedua.” Mata Kinanti terbelalak saat mendengarnya. “Apa!?”“Tidak ada pilihan lain, Kinan,” tukas Pak Darmawan, membuat Kinanti menelan ludah. “Jika tidak, kamu–”“Pak Darmawan.” Tiba-tiba pria asing yang merupakan atasan Pak Darmawan itu berucap. Suaranya dalam dan tatapannya tajam ke arah Kinanti. “Izinkan saya bicara berdua dengan putri Bapak.”Dengan segera, Pak Darmawan mengizinkan hal tersebut. Pria paruh baya itu mengajak istrinya pergi dari sana, meninggalkan Wisnu berdua dengan Kinanti.Hening sejenak. Tidak ada gerakan dari keduanya sebelum kemudian Wisnu menghampiri Kinanti dan mengulurkan tangannya, berniat membantu wanita itu bangun.Ragu, Kinanti menerima uluran tangan tersebut. Sepasang mata Kinanti menatap pria yang yang kini duduk berdampingan dengannya di kursi panjang. Jujur, sosok itu memang tampan, tapi Kinanti tidak yakin bahwa ia adalah pria yang tepat untuknya.Apalagi sorot mata tajam itu–“Nama saya Wi
Mata Kinanti begitu dekat dengan mata Wisnu, mungkin sekitar satu jengkal jarak wajah keduanya, Wisnu mampu menghirup aroma tubuh Kinanti yang begitu wangi. Keduanya saling pandang, saling menelan saliva. Beberapa menit keduanya terlipat saling pandang, wajah Kinanti terlihat begitu merona, dan iapun tak menyadari jika gawai yang ada di tangannya terjatuh begitu saja di atas tempat tidur. Wisnu mendehem, membuat Kinanti segera menarik diri dari pangkuan Wisnu, ia berusaha berdiri dan tentu saja di bantu oleh Wisnu. "Ponselku!, apakah Bapak melihat ponselku?" tanya Kinanti mencari gawainya. Wisnu menoleh ke kiri dan ke kanan, ia melihat gawai yang tergeletak persis di sebelahnya, tangannya mengambil gawai itu, tentu saja ia melihat layar gawai yang masih memperlihatkan gambar yang masih terpampang jelas, gambar Kinanti yang begitu mesra di peluk oleh Bima, Wisnu tersenyum ia jadi merencanakan sesuatu yang sama sekali tidak di sadari oleh Kinanti. "Ini ponselmu, lain kali hati-ha
Kinanti memejamkan matanya saat Wisnu sudah berada persis di hadapannya. Ia kembali menelan salivanya, berulang kali, sungguh ia berada dalam situasi yang tidak menguntungkan. Hembusan nafas Wisnu yang beraroma khas menyapu wajah Kinanti, desiran darah mengalir begitu cepat dalam dada Kinanti. "Masihkah kamu tidak akan menandatangani surat kontrak ini?" "Tergantung!" "Tergantung apa, masih adakah tawaran yang kamu tawarkan untuk kesepakatannya?" "Iya!" "Sayang, saya tidak menerima tawaran apapun, apapun yang tertera dalam surat kontrak ini sudah menjadi keputusan yang tidak dapat di ganggu gugat. "Jadi percuma saja saya menawarkan sesuatu pada Bapak." "Ya, tanda tangani saja sekarang! lebih cepat lebih baik!" Sekali lagi kinanti tidak mampu berbuat apa-apa, ia hanya bisa pasrah, perlahan ia menghembuskan nafasnya yang terasa sesak. "Beri saya ruang untuk bergerak, mana bisa saya menandatangani jika saya berada dalam kungkungan tangan Bapak seperti ini!" desahnya.
Perlahan, bibir Wisnu telah menempel di bibirnya yang menawan. Kinanti membuka matanya dan langsung mendorong tubuh Wisnu kuat, hingga Wisnu menjauh beberapa langkah darinya. "Jangan dekat-dekat lagi, aku tidak mau!" "Kenapa, bukankah sah-sah saja aku melakukan itu, aku ini suami kamu, dan kamu sudah berjanji memberikan anak buat aku, lalu di mana salahnya?" "Tidak untuk sekarang!" "Lalu kapan? sudah tiga hari aku berada di rumah ini, aku ingin segera membuktikan jika aku bukan laki-laki mandul!" Begitu pula dengan Kinanti, ia masih ragu untuk melanggengkan dan mendekatkan diri pada Wisnu, meski papanya selalu mengingatkan bahwa bagaimanapun Wisnu tetaplah suaminya meski pada kenyataannya semua mungkin akan berakhir jika ia sudah melahirkan seorang anak. Bukankah terbaik dalam bekerja bukan berarti terbaik dalam hal cinta, begitu menurut Kinanti. *** Hari ini seperti biasanya, Wisnu selalu pulang dari kantor menuju rumah Kinanti, didapatinya Kinanti sedang asyik melihat
“Untuk apa aku terus menangis, bukankah lepas dari laki-laki yang aneh itu adalah salah satu keinginanku? Lalu kenapa aku masih menangis saat tahu dia akan menceraikan aku setelah aku melahirkan seorang anak? Aneh kamu ini Kin, ingin lepas tapi malah menangis, oh kamu bingung masalah anak yang akan kamu lahirkan? Itu mudah Kin, kamu tinggal membawanya pergi bersamamu, apa susahnya sih?” berbagai hal berkecamuk dalam hati Kinanti. Sebagai seorang yang akan menjadi ibu, pastilah akan cemas jika setelah menikah dan melahirkan harus berpisah dengan anaknya sendiri, makanya dia menangis, tapi ... jika ia kembali berpikir, untuk mengakhiri semuanya setelah ia melahirkan seorang anak, bukankah memang itu adalah hal yang memang di inginkannya? "Ah, mungkin ini memang takdir yang harus terjadi dalam hidupku, punya suami sebatas pembuktian jika orang yang menikahiku bukan orang mandul!"Kinanti menyapu wajahnya dengan kedua belah tangannya, ia mencoba menyusut airmata yang mulai berhenti me
Wisnu membuka netranya, ia mendapati Kinanti tengah berjalan ke dekat ranjang, Wisnu berpura-pura memejamkan netranya, padahal ia mengintip setiap gerak Kinanti. Ia melihat Kinanti membaringkan tubuhnya kembali di atas ranjang, kemudian memejamkan netranya dan entah hingga kapan pula ia memperhatikan Kinanti, kini Wisnu akhirnya terlelap juga. Azan subuh mengusik ketenangan Kinanti yang sedang tertidur pulas, padahal baru beberapa jam ia kembali tertidur setelah mengerjakan shalat tahajud tadi. Netra Kinanti terbuka, mulutnya komat-kamit menjawab azan yang ia dengar, meski keluarganya tidak begitu terkenal sebagai keluarga santri, tapi memang keluarga ini adalah keluarga yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Perlahan ia kembali turun dari ranjang, ia kembali ke kamar mandi, ia sengaja mandi, agar seluruh tubuhnya terasa rileks, dan itu sudah menjadi kebiasaan pula bagi Kinanti, meski kadang suasana pagi dingin sekalipun. Suara gemercik air terdengar, Wisnu menarik