Suara tangisan mengusik tidur Rama. Membuatnya bangun karena risih akan suara tangisan tersebut. Ia segera turun dari kasurnya dan pergi ke kamar Mawar.
“Kamu terbangun karena Dio? Maaf, dia sedang rewel,” ujar Mawar saat melihat Rama mendekat ke arahnya.
Jelas ia merasa tidak enak karena menganggu waktu tidur Rama. Biasanya hanya waktu tidurnya yang terganggu dengan suara tangis Dio.
“Mau kubantu? Mungkin dia bosan, aku akan ajak dia ke balkon dan melihat pemandangan luar,” ujar Rama.
Mawar mengerutkan keningnya. Ia kira Rama akan marah kepadanya karena terganggu dengan tangisan tersebut.
Rama mendekat dan beralih menggendong Dio. “Kamu istirahatlah! Biar aku yang jaga dia, kamu pasti lelah mengurusnya seharian.”
“Seharusnya kamu saja yang istirahat, tidak perlu direpotkan dengan Dio. Kamu bukan siapa-siapanya, kamu tidak wajib mengurusnya,” ucap Mawar.
“Aku sudah menerima bayaran besar untuk peran sebagai suami dan ayah untuk Dio. Jadi, aku akan memainkan peranku dengan baik, sesuai dengan apa yang sudah aku katakan sejak awal,” jelas Rama.
“Apa kamu menyayanginya dari dalam hatimu?” tanya Mawar.
“Aku suka dengan anak kecil,” jawab Rama yang kini berjalan menuju balkon kamar tersebut.
Rama menggendong Dio dan mengajaknya melihat bintang yang bersinar di langit. Ia dengan telaten mengurus Dio seperti anaknya sendiri.
Rama mencoba mengalihkan perhatian Dio pada bintang-bintang di sana. Ia berusaha berkomunikasi dengan Dio agar Dio mau bekerja sama dengannya dan tidak rewel lagi.
Mendengar tangisan Dio yang mulai mereda. Mawar pun menghampiri mereka berdua di balkon.
“Wah, kamu lebih hebat dari yang kubayangkan. Kamu memainkan peran ayah dengan sempurna,” puji Mawar.
Rama memasang wajah tengilnya, tersenyum sombong untuk menggoda Mawar.
“Dasar anak kecil! Baru aku puji segitu saja kamu sudah terbang,” gumam Mawar.
“Padahal sepertinya usia kita tidak terpaut begitu jauh, hanya saja kamu yang sudah lebih dulu mendewasakan diri,” ujar Rama.
“Kurang lebih usia kita berbeda 5 tahun, bagi seorang perempuan rentang itu terpaut jauh. Kamu yang ada di bawahku, maka aku yang semakin terlihat tua jika bersama denganmu,” jelas Mawar.
“Oh ya? Aku tidak melihat perbedaan yang jauh denganmu, mungkin karena make up mu yang selalu terlihat segar dan menutupi usia aslimu,” sahut Rama.
Mawar yang mendengar hal itu langsung tersenyum malu. Wanita mana yang tidak senang jika ada yang mengatakan seperti itu kepadanya? Sama saja Rama mengatakan bahwa ia masih terlihat awet muda.
“Mengapa perempuan selalu berbunga-bunga jika dipuji seperti itu?” tanya Rama.
“Kenapa laki-laki muda sepertimu selalu berhasil dengan kata-kata romantisnya?” Mawar berbalik bertanya pada Rama.
Rama tertawa kecil, lalu ia kembali bermain dengan Dio.
“Papah, ini papah!” Rama mengajarkan Dio untuk mulai berbicara.
Usia Dio sudah 11 bulan, ia sudah bisa berbicara sedikit demi sedikit, walau ucapan yang keluar dari mulutnya belum begitu jelas.
“Pah!” ucap Dio.
Rama langsung tersenyum senang mendengar hal itu. Baru beberapa kali ia membiasakan sebutan itu untuk Dio, ternyata Dio sudah bisa menggunakannya.
“Kenapa dia sangat mudah mengucapkan panggilan itu. Dulu saja dia sangat lambat memanggilku ‘Mamah’ suster dulu yang membantunya menyebutkan panggilanku,” gumam Mawar.
“Anak kecil ini tidak salah, dia masih polos. Mungkin kamu yang terlalu jarang bersamanya, hingga dia merasa asing denganmu,” sahut Rama.
“Sepertinya kamu banyak mengerti tentang tumbuh kembang anak,” ujar Mawar. “Kamu mempelajarinya?”
“Aku bukan ahli dan aku tidak mempelajarinya, aku hanya mengerti sebab aku merasakannya,” sahut Rama.
Rama kini membawa Dio kembali ke dalam kamar, ia tidak ingin terlalu lama membiarkan Dio terkena angin malam.
“Apa kamu sama dengan Dio?” Mawar mengerjar Rama.
“Ada kesamaan di antara kami, maka aku akan berusaha mengertinya,” jawab Rama. “Sebaiknya kamu sekarang berikan susu untuknya. Aku akan tunggu di balkon.”
Rama segera pergi dari kamar tersebut, ia meninggalkan Mawar yang hendak memberikan ASI untuk Dio.
“Dia tidak seburuk yang aku kira, dia cukup menjaga privasiku,” ujar Mawar saat melihat Rama menutup gorden jendela tersebut.
Rama sengaja keluar ke balkon itu lagi, ia akan susah tidur jika sudah bangun, tetapi ia juga tidak mau merusak privasi Mawar saat memberikan susu kepada Dio.
Ia berdiri di balkon tersebut dan memainkan ponselnya. Di sana ia membuka sebuah situs dari perusahaan informatika terkenal di negaranya.
Ia memperhatikan nama-nama pemimpin perusahaan tersebut yang tertera dalam situs itu.
“Reynald Adipati!”
“Franderen Aliano!”
“Tunggu aku!”
Tidak hanya melihat nama-nama tersebut, Rama pun memperhatikan foto-foto mereka yang ada di sana dengan tatapa penuh kebencian.
Langkahnya sudah dimulai, ia akan segera membuat sesara orang-orang yang pernah menyiksa orang-orang yang ia sayangi.
“Perusahaan apa itu?” Mawar datang dan tidak sengaja melihat sekilas situs yang tertampil di ponsel Rama.
Rama yang terkejut langsung menutup ponsel tersebut dan mentap Mawar dengan tatapan bingung. “Dio sudah tidur?”
“Iya, dia sudah tidur. Sepertinya tadi ada sesuatu yang menganggu tidurnya, maka dia kebangun. Padahal dia sendiri masih mengantuk, jadi dia mudah tertidur lagi,” jelas Mawar. “Kamu sendiri kenapa tidak tidur dan malah membuka situs perusahaan lain? Perusahaan mana itu?”
“Aku tidak mengantuk, aku ingin menikmati suasana malam ini saja di sini,” jawab Rama.
“Kamu menjawab pertanyaanku dengan baik, tetapi kenapa pertanyaan terakhirku tidak kamu jawab?” Mawar menatap Rama dengan tatapan tajam.
Rama menggeleng. “Tidak penting, tidak sengaja juga menekan profil perusahaan itu.”
Mawar hanya mengangguk, percaya saja dengan ucapan Rama. Setelah itu mereka berdua sama-sama menikmati pemandangan malam itu dengan diisi oleh keheningan di antara mereka.
“Terima kasih, ya. Terima kasih karena sudah memberikan kasih sayang kepada Dio,” ujar Mawar memecahkan keheningan.
“Biasa saja. Siapa pun orangnya akan meluluh jika melihat Dio yang memiliki wajah lucu dan menggemaskan seperti itu,” sahut Rama.
“Tapi, dia saja diabaikan oleh ayah kandungnya sendiri. Aku tidak menyangka ada yang bisa menyayanginya, aku kira dia akan selamanya hidup dalam abaian semua orang.” Mawar tersenyum tipis.
Rama menoleh dan memperhatikan senyum manis di wajah Mawar. “Dia yang mengabaikan kamu dan Dio adalah orang yang tidak pantas hidup layak di muka bumi ini. Percayalah bahwa takdir buruk akan berbalik kepadanya.”
“Kamu seperti orang yang penuh akan kebencian, apa aku benar?” tanya Mawar.
“Ya, aku bertahan hidup sampai saat ini karena kebencian dalam hatiku. Tujuan hidupku bukan lagi untuk mendapatkan kebahagiaan, tetapi untuk membalaskan sebuah dendam dari ribuan rasa sakit yang aku rasakan sejak dulu,” jelas Rama. “Apa kamu pun akan membenciku karena kebencian dalam diriku ini?”
“Aku bukan orang sebaik itu yang bisa menjauhi orang lain karena kebencian dalam dirinya. Aku pun tidak sempurna, maka aku tidak menuntut kesempurnaan,” sahut Mawar. “Tenang saja, aku tidak semudah itu menilai orang.”
“Kamu ada waktu untuk ke kantor kapan?” tanya Mawar yang kini sedang merias wajahnya.“Pagi sampai siang ini aku bisa ke kantor, sorenya aku pergi kuliah,” jawab Rama.“Baiklah, kita akan ke kantor pagi ini, aku akan memberikan apa yang kamu minta,” ujar Mawar.Rama mengangguk dan tersenyum senang. Di pangkuannya kini sudah ada Dio yang duduk dengan santai.“Kamu akan ajak Dio ke kantor hari ini?” tanya Rama.“Selagi pengasuhnya belum kembali, mau tidak mau aku harus mengajak dia ke kantor. Ada Sarah juga yang bisa bergantian denganku untuk menjaga Dio,” jawab Mawar.“Sepulang kuliah nanti aku akan ke kantor untuk mengajak Dio main, jadi kamu bisa selesaikan pekerjaanmu nanti,” ujar Rama.“Semalam kamu sudah menjaga Dio dan tidak tidur karena kebangun dengan suara tangisnya, sudah cukup. Kamu tidak perlu direpotkan lagi dengan Dio.” Mawar menunjukkan tatapan tidak enak pada Rama.“Tenang saja, aku suka bermain dengan Dio. Aku juga bisa bosan dengan jadwal kuliahku, jadi lebih baik aku
“Aku akan pergi ke kantor dengan taksi, kamu gunakanlah mobil untuk pergi ke kampus nanti,” ujar Mawar.“Bawa saja mobil itu. Teman-temanku akan merasa aneh jika tiba-tiba aku membawa mobil sebagus itu ke kampus, mereka semua mengetahui tentang susahnya hidupku selama ini,” jawab Rama.“Baiklah. Jika kamu butuh kendaraan entah itu motor atau mobil, katakan saja kepadaku, aku akan memenuhinya,” ucap Mawar.Rama mengangguk dan tersenyum mendengar hal itu. Sementara itu Mawar kini mengambil tasnya dan bersiap untuk pergi meninggalkan Rama di kantornya itu.“Aku percayakan perusahaan ini padamu, jadi kelolalah dengan baik,” ucap Mawar sebelum ia meninggalkan ruangan tersebut.“Aku memang punya tujuan dengan perusahaan ini, tetapi akan kupastikan perusahaan ini tidak akan menerima kerugiannya,” sahut Rama.Mawar mengangguk, lalu ia segera keluar dari ruangan tersebut.Rama kini duduk di meja kerjanya, di sana ia langsung membuka laptop yang tersedia di sana. Ia langsung mempelajari beberap
Rama kini sedang sibuk di ruangannya. Ia masih bergelut dengan semua data dan informasi yang ia kumpulkan mengenai perusahaan musuhnya itu.“Permisi, Pak. Bu Mawar tadi mengingatkan saya bahwa hari ini Bapak ada perkuliahan. Jadi, Bu Mawar ingin Bapak segera pergi ke kampus dan meninggalkan pekerjaan ini sementara waktu,” ujar Galih.Rama yang masih fokus dengan pekerjaannya hanya mengangguk. Ia bahkan tidak sadar dengan ucapan sekretarisnya saat itu.“Bapak bisa telat jika Bapak tidak segera pergi,” tambah Galih.“Kamu–”Ucapan Rama terhenti saat menyadari bahwa Galih mengetahui tentang identitasnya yang masih seorang mahasiswa itu.Ia yang tadinya hendak marah karena Galih yang rewel memberitahunya, kini menatap Galih dengan tatapan bingung.“Kamu tau?” tanya Rama.“Iya, Bu Mawar memberitahu saya sebelum dia pergi tadi,” jawab Galih. “Bu Mawar juga meminta saya untuk mengantar Bapak sampai dekat kampus agar Bapak tidak telat. Mari!”Rama masih tidak mengerti dengan hal itu, tetapi s
“Wah! Kami kira orang sepertimu tidak akan sanggup lagi berkuliah! Apa kamu menang lotre sampai kamu bisa membayar semua biaya kuliahmu dengan cepat?” Seorang laki-laki menghadang Rama di depan pintu kelas.Rama yang hendak keluar dari kelas tersebut hanya bisa menggigit bibir bawahnya dan menatap laki-laki itu dengan tatapan kesal.“Kalian tidak perlu mengetahui darimana aku mendapatkan uang, yang jelas aku akan tetap berkuliah!” tegas Rama.“Kita lihat saja, berapa semester lagi kamu akan bertahan di sini sampai kamu kehabisan uang untuk biaya hidupmu itu,” sinis laki-laki itu.Mereka semua adalah teman sekelas Rama yang selalu mengganggu Rama. Lebih tepatnya, mereka iri kepada Rama yang selalu mendapatkan nilai terbaik dan memiliki kepintaran di atas rata-rata.Diam-diam Rama adalah mahasiswa kesayangan dosen. Selama ini jika ia mengalami kesulitan untuk membayar biaya kuliah, dosennya yang selalu membantunya untuk meminta keringanan kepada pihak kampus.Bahkan ia kerap mendapat ba
“Hana! Jaga bicaramu!” Rama menatap adiknya dengan tatapan tajam.“Jika bukan karenanya, Kakak tidak akan mengabaikanku! Kakak yang membawaku dalam kehidupan ini, kenapa sekarang Kakak yang membuangku?” Hana mulai menitihkan air matanya.Saat itu juga Mawar langsung memegang bahu Rama. Dari tatapannya ia meminta Rama untuk lebih lembut dan memberikan perhatian kepada adiknya.“Sebaiknya jelaskan ke dia tentang kita, tidak masalah dia sedikit mengetahui tentang kita. Jangan sampai salah paham ini malah melebar dan akhirnya membuat dia membencimu,” ujar Mawar.Rama menarik napas panjang, menatap adiknya dengan tatapan penuh kesabaran.“Kalau begitu, aku izin pulang dulu ke kosan bersama dengannya. Ada banyak hal yang harus aku jelaskan padanya,” ujar Rama.“Pergilah! Kembali jika kamu dan dia sudah berbaikan. Jangan kembali dengan penuh dendam di antara kalian, aku tidak akan menyukai itu,” sahut Mawar.Rama mengangguk, lalu ia menggandeng tangan Hana dan beranjak membawanya keluar dari
“Bagaimana Hana? Apa dia sudah mau mengerti?” tanya Mawar. Saat ini Rama dan Mawar sedang dalam perjalanan kembali ke rumah mereka. Sebelumnya mereka berdua bertemu di kantor Mawar untuk pulang bersama. Rama langsung menjelaskan tentang apa yang ia katakan kepada adiknya tadi. Ia juga menjelaskan bahwa dirinya tidak akan ada di rumah bersama Mawar saat malam hari. “Kamu tidak keberatan kan jika aku meninggalkanmu dan Dio saat tengah malam?” tanya Rama. “Aku tidak masalah, biasanya juga keluargaku sudah tidur di jam segitu, aku juga bisa mengurus Dio sendiri, jadi kamu pergi saja. Mungkin saat ini memang adikmu yang lebih membutuhkan bantuanmu,” sahut Mawar. “Kamu tidak masalah jika aku tidak menjalankan tugasku dengan baik?” tanya Rama. “Tidak. Tugasmu adalah berpura-pura di depan keluargaku, jika tidak ada mereka, maka tidak masalah jika kamu tidak bersama denganku. Seperti yang tadi aku katakan, adikmu lebih penting daripada diriku dan kerja sama kita,” jelas Mawar. “Terima k
“Apa keluargamu menyayangimu? Aku tidak melihat kasih sayang itu dari mereka.” Rama menatap Mawar dengan tatapan bertanya.“Mereka memberikan kasih sayang dan semua yang aku inginkan sejak kecil, tetapi apa yang mereka lihat saat mereka ke Jakarta membuat mereka menjadi sedikit dingin kepadaku. Tapi tidak masalah, aku sudah menerimanya sebagai resiko dari apa yang aku lakukan sebelumnya,” jawab Mawar.“Jika mereka memang benar-benar menyayangimu, mereka akan membantumu menghadapi semua masalah ini, bukannya malah bersikap dingin kepadamu. Kamu masih menjadi bagian dari keluarganya, kamu masih berhak untuk mendapatkan kasih sayang dari mereka sampai detik ini,” ujar Rama.“Mereka hanya belum menerima keadaan ini. Ketika mereka sudah mau menerima keadaan ini, aku pastikan mereka akan kembali bersikap baik kepadaku,” sahut Mawar.“Kamu sangat percaya diri bahwa mereka menyayangimu, memangnya kasih sayang apa yang mereka berikan sampai akhirnya kamu sepercaya ini dengan mereka?” tanya Ram
“Tuh! Tuh!” Dio berbicara dengan nada bicaranya yang belum jelas, seraya menunjuk ke arah sebuah perosotan yang ada di taman itu.Mawar menghentikan langkahnya dan melihat objek yang ditunjuk oleh putranya.“Kamu tidak bisa main itu, kamu masih kecil. Itu juga kotor, nanti kamu sakit,” ujar Mawar.“Dari mana ajaran yang menunjukkan jika main perosotan akan membuat anak sakit?” Rama menatap Mawar dengan tatapan bingung.“Kamu tidak lihat perosotan itu kotor, sedangkan Dio saat ini sedang hobi menggigit jarinya. Bagaimana kalau setelah main nanti dia memasukan jari ke mulutnya? Itu bisa jadi sarang kuman untuknya!” jelas Mawar dengan tatapan protektif.“Anak kecil itu butuh