Tubuh itu masih terlelap dalam mimpi. Walau disediakan kasur yang empuk, si empu justru memilih tergeletak pada lantai marmer putih yang dingin. Bersama selimut berantakan yang tergulung di badannya.
Waktu sudah menunjukan pukul 10 siang. Cahaya matahari mulai merembes dari gorden jendela. Yang akhirnya membuat tubuh di lantai itu bergerak tak nyaman saat merasakan silau pada wajahnya. Akhirnya, Wanita dengan pakaian minim bahan dan juga rambut yang berantakan membuka matanya. Wajahnya sangat sayu dan kucel. Bahkan iler sudah membentuk dari sudut bibirnya yang tertidur dengan mulut terbuka.Sarah menguap lebar dan merenggangkan tangannya ke atas. Matanya mulai terbuka perlahan. Dan otaknya dengan perlahan mengumpulkan nyawanya yang berceceran. Tangan Sarah bergerak ke sudut bibirnya. Kemudian mengelap air liurnya.Setelah selesai merenggangkan tubuhnya. Dan merasakan kesadaran yang mulai kembali. Sarah segera dilanda pusing. Efek tadi malam yang tidak bisa mengontrol dirinya saat meminum minuman haram itu.Mata Sarah berkeliling menatap ruangan. Seingatnya, tadi malam saat berangkat, dia membawa Diana bersamanya. Namun ada yang aneh, mengapa dia justru sendirian disini.Saat merasakan pusing yang mulai menghilang. Sarah berdiri dari lantai yang tadi malam ia gunakan tertidur. Wanita itu mengerutkan keningnya bingung."Perasaan tadi malam aku bareng Diana, deh. Apa cuma mimpi?" paparnya bingung.Sarah berusaha untuk mengingat-ingat. Apakah tadi malam ia sendirian ke sini, atau bersama Diana."Enggak salah deh. Kemaren itu aku berangkat bareng Diana." ujarnya setelah yakin Diana bersamanya.Sarah mengigit bibirnya, "Terus ...." mengerutkan kening kembali.".... Diana mabuk. Setelah itu, aku bawa dia deh kekamar." tuturnya yakin.Sarah tiba-tiba membelalak saat dirinya benar-benar ingat apa yang terjadi semalam, "Pas aku balik, Diana udah hilang! Dan aku justru ketiduran!" Pekiknya panikSarah berlarian keseluruhan penjuru kamar. Dirinya mengobrak-abrik selimut. Berusaha mencari di mana ponselnya. Sangat kalut saat tau Diana hilang dalam pandangannya. Terlebih ini di club! Mampus!Sarah panik mencari kesana-kemari. Namun sama sekali tak terlihat kehadiran ponselnya. Berdecak kesal. Dirinya berusaha mengingat kembali di mana gerangan barang elektronik itu berada.Dan saat Sarah ingat. Dia benar-benar ingin merutuki kepikunannya sendiri, "Aku tinggalin ponselku di mobil!"Setelah itu. Tanpa perlu waktu lama. Sarah berlari keluar. Tanpa memperdulikan bajunya yang sangat berantakan, beserta rambutnya yang mirip sapu ijuk, dan sisa iler yang masih menempel pada wajahnya.***Diana mengerutkan alisnya tak nyaman saat merasakan sinar matahari. Terlebih, entah bagaimana tubuhnya merasa sangat sesak. Seperti ia sedang dililit dengan ular. Membuat Diana dengan perlahan berusa membuka matanya. Dan saat itulah, rasa pusing seketika melandanya.Nyawa Diana belum terkumpul sepenuhnya. Jadi dirinya tak menyadari, bahwa ular yang dia kira adalah sebuah tangan dari seorang pria yang berada di pinggangnya erat.Diana masih terdiam di kasur. Berusaha menunggu agar rasa pusing segera hilang. Dan kesadarannya penuh.Setelah lima menit terdiam. Semua sakit di kepalanya akhirnya hilang. Diana juga dengan refleks melihat sesuatu yang terasa melilit di perut miliknya. Dan saat mengetahui itu tangan, seketika rona merah hadir ada pipinya.'Ed ... Edwin memelukku!' pekiknya dalam hati girangTak sadar, bahwa itu bukan suaminya.Diana dengan gugup berusaha menetralkan nafasnya. Agar Edwin tidak segera bangun dan melepaskan pelukannya pada Diana. Sudah sangat lama ...... untuk Dian dipeluk suaminya sendiri.Dua Tahun. Diana selalu dipunggungi oleh Edwin.Diana mengigit bibirnya. Menahan semua teriakan kebahagian yang ingin dia keluarkan. Dengan takut-takut, tangan Diana menyentuh tangan Edwin yang berada di pinggangnya.Hangat.Diana hendak menutup kembali matanya. Sebelum sebuah suara, yang sangat dekat dengan telinganya terdengar. Berbisik menggunakan suara rendah dan dalam."Nyaman hm?"Itu ... bukan suara EdwinDengan cepat. Diana membuka matanya. Kemudian menolehkan pandangannya ke belakang. Di mana dengan segera wajahnya dihadapkan dengan pria asing yang jelas bukan Edwin.Sesaat, Diana membeku.Dia ... seperti dewa Yunani. Sangat tampan dengan hidungnya yang mancung dan bentuk wajahnya yang bersiku tegas. Terlebih, mata yang tajam namun dengan netra hijau gelap, membuat siapapun merasa tertelan dalam tatapannya. Bulu mata dan alis yang lentik. Semua tampak benar-benar sempurna."Mengagumi diriku?"Dan barulah, Diana sadar dari kekagumannya."Aaaaaaa!"Diana berteriak sekuat tenaga. Wanita itu segera berdiri di atas kasur. Melepaskan pelukan lelaki asing pada pinggangnya. Mata Diana melebar dan menatap horor. Wanita itu menunjuk lelaki yang justru terlihat sangat santai menatap Diana."Kamu! Kamu siapa!?" Diana benar-benar tak bisa menahan volume suaranya. Wanita itu berteriak sekuat tenaga.Zerkin justru membalas dengan senyum kecil."Sudah benar-benar sadar? Bagaimana kalau kita melanjutkan hal yang belum selesai semalam?"Diana melotot horor, "Apa maksudmu!?"Dan setelahnya, tiba-tiba Diana merasakan dingin pada tubuhnya. Segera saja Diana memandang dirinya sendiri. Dan matanya seperti hendak keluar. Benar-benar melotot melihat dirinya yang telanjang dan hanya menggunakan cel*ana d*lamnya.Dengan refleks. Diana menutupi dadanya. Wanita itu dengan terburu-buru turun dari kasur. Dan mengambil selimut untuk menutupi dirinya sendiri."Baj*ngan mesum!" teriak Diana kalut.Diana segera mengambil botol minuman yang terletak pada nakas samping ranjang. Segera saja, wanita itu kembali naik ke ranjang. Dan memukul Zerkin dengan semua tenaga yang ia punya."M*sum! Apa yang kau lakukan pada diriku?!" hardik Diana seraya terus memukul Zerkin menggunakan botol minuman.Zerkin terkejut dengan tindakan Diana. Dengan segera dia membentengi dirinya sendiri dengan tangannya. Berusaha menangkis semua pukulan yang diberikan Diana."H-hei Stop!""Tidak! Kamu jahat! Apakah kamu menyentuhku?! Jahat! Aku tidak rela! Kembalikan apa yang kamu ambil semalam!" pekik Diana. Wanita itu kemudian mengeluarkan air mata dari netranya. Menangis sembari terus memukul Zerkin dengan tangan kanannya. Dan tangan kirinya memegang selimut yang menutupi tubuhnya."H-hei ...! Tunggu dulu. Deng—"Diana tak mendengarkan satupun penjelasan pria yang saat ini ia pukuli, "Suamiku bahkan belum menyentuhku selama dua tahun!""Kembalikan ...! Kamu jahat!"Diana menangis lebih tersedu. Pukulan yang diberikan untuk Zerkin pun semakin tidak bertenaga. Dirinya merasa kecewa dengan dirinya sendiri yang tak bisa menjaga martabatnya untuk suaminya. Diana merasa telah mengkhianatai Edwin."A-aku kotor ...."Greb!Tangan Diana yang memukul Zerkin segera ditangkap olehnya. Lelaki itu dengan segera mendorong Diana kembali ke rajang. Menkungkung wanita yang sejak tadi tak bisa tenang. Menatap Diana yang saat ini menangis dan menatap ketakutan kearahnya."Apa yang kamu lakukan?! Lepas!" berontak Diana. Kakinya mulai bergerak tak beraturan."Diam. Atau aku perk*sa kamu sekarang."" ... "Dengan cepat Diana menutup mulutnya. Namun wanita itu masih sesegukan."Kamu tidak kotor. Tadi malam kita tidak melakukan apapun," Zerkin melirik leher Diana sekilas, "Aku hanya menciummu sebentar. Lalu kamu muntah dan pingsan setelahnya.""Bo-bohong!""Apakah kew*nitaanmu sakit? Tidak bukan? jadi tutup mulutmu sekarang. Aku masih mengantuk."Kemudian pria itu menjauh dari tubuh Diana. Membuat Diana dengan segera mengambil selimut kembali dan segera beranjak dari ranjang. Wanita itu dengan ragu-ragu mencoba berjalan. Dan benar saja, di bawah sana tidak sakit sama sekali.Ah ... Diana juga sadar, bahwa lelaki asing di sana masih berpakaian lengkap. Menggunakan kemeja dengan kancing yang sudah terkoyak.Segera saja, rasa malu menghampiri Diana. Dengan cepat Diana menundukkan tubuhnya, "Aku minta maaf!" teriaknya lagi.Zerkin yang membelakangi Diana menampilkan sedikit senyum melihat betapa konyolnya tingkah wanita itu."Aku benar-benar minta maaf!"Zerkin kemudian berbalik. Namun senyum di bibirnya telah hilang. Dirinya menatap Diana datar. Membuat Diana menelan ludahnya gugup. Dia sangat menyeramkan. Dia seperti rentenir penagih hutang!"Setelah menuduhku, memukul diriku, dan menganggu tidurku, seenaknya saja kau meminta maaf?"Diana menampilkan raut lebih bersalah. Dia kemudian semakin menundukkan kepalanya. Membuat Zerkin menarik kurva bibirnya ke atas melihat itu."A-aku akan membayar kerugianmu!" ujar Diana menawarkan kompensasi.Yang dibalas Zerkin dengan berdecih singkat. Membuat Diana semakin susah menelan ludahnya.'Kerugianku di sini adalah tidak bisa memuaskan nafsuku.' ujar Zerkin dalam hati."Aku terlalu kaya untuk menerima sepersen uangmu." balasnya sombong."La-lalu ... bagaima—"Belum sempat Diana menyelesaikan kalimatnya. Wanita itu sudah membeku kala merasakan Zerkin sudah berdiri di hadapannya dan memegang dagunya hingga mata Diana menatap mata lelaki itu."Tidur denganku."Jawaban yang membuat Diana melepaskan tamparan keras pada pipi Zerkin."Tidurlah denganku."Itu sebenarnya hanya kalimat acak yang Zerkin plih untuk menggoda wanita di depannya. Namun tak Zerkin sangka, respon wanita itu akan sebrutal sekarang. Maksud Zerkin adalah, Diana menamparnya. Sungguh keras hingga suara tamparan itu berdengung dalam kamar yang mereka huni. Wajah Zerkin pun sampai menoleh ke samping. Sial, ini perih."Kau pikir aku apa?!"Dan kemudian, belum cukup dengan tamparan itu. Diana membentak Zerkin dengan amarah yang menggebu-gebu. Wajah Diana memerah, menahan marah juga tangis."Dasar lelaki m*sum!" teriak Diana kembali.Kini dirinya dengan brutal memukul dada Zerkin. Sekuat tenaga disertai lontaran hinaan untuk Zerkin."He-hei tenang! aku hanya bercanda!"Namun Diana seperti tak mendengar kalimat itu. Dirinya tetap terus memukul dada Zerkin. Hingga Zerkin bergerak mundur untuk menghindari tangan Diana yang tanpa henti pada tubuhnya. Namun sayang, dirinya justru tersandung hingga terjatuh dan membuat Diana terduduk di atas tubuhnya."Dasa
"Gila, banyak banget cupangnya!"Setelah menjelaskan semua hal yang terjadi kepada Sarah, wanita itu bukannya merasa bersalah karena telah membiarkan sahabatnya hampir saja diperk*sa. Dia justru nampak berbinar dan antusias melihat semua bekas gigitan yang memerah pada leher Diana. "Diem, deh!" Diana memberenggut sebal.Sarah justru tertawa. Wanita itu kemudian menatap kembali ke arah Diana yang menatapnya sebal. Kemudian Sarah menaikkan satu alisnya, "Ganteng nggak?""Apanya?!" balas Diana menghindari jawaban."Dih, ya mukanya lah!"Diana diam. Tak berniat untuk menjawab. "Woi! Gimana? Ganteng nggak?!" tanya Sarah lagi.Diana berdecak sebal, "Dikit!" tak ingin mengakui ketampanan dari pria menyebalkan itu.Dan dengan segera ingatan Diana kembali di saat dirinya tanpa sengaja mengagumi paras pria itu. Bagaimana dirinya yang membeku sesaat. Bagaimana wajahnya saat berada di atas Diana. Dan bagaimana tubuh kekar itu mengungkungnya di antara pintu.Diana dengan segera menutupi wajahnya
Edwin mengeryitkan dahinya kala mendengar suara alarm yang menganggu tidurnya. Dengan refleks tangan itu mencari sumber suara. Meraba meja yang berada di samping ranjang dan mengambil ponsel miliknya.Segera ia mematikan alarm. Kemudian melihat jam yang berada di ponsel. Pukul 7 pagi.Tangan itu meletakkan kembali ponsel pada posisi semula. Kemudian dirinya menggosok matanya perlahan. Berusaha menghilangkan kantuk dan mengumpulkan nyawanya yang belum sepenuhnya terkumpul.Saat merasakan adanya sesuatu yang memeluk perutnya, mata Edwin berpaling pada samping ranjang. Dan dia menemukan seseorang yang selama dua tahun ini telah menghabiskan malam panjang bersamanya.Marley Anabelly.Wanita cantik berumur 27 tahun dengan status yang masih lajang. Sangat berbeda dengan Edwin yang sudah memiliki istri. Umur mereka hanya terpaut satu tahun saja.Marley adalah cinta pertama Edwin semasa SMA nya. Mereka telah berpacaran kurang lebih empat tahun. Hingga sampai semester dua perkuliahan Edwin, hu
Semilir angin musim panas tak dapat meredakan rasa dingin yang menimpa Diana. Gugup menyebar membuat jari Diana saling gemetar. Lamarannya diterima. Dan sekarang Diana sedang berdiri di depan perusahaan tempat di mana suaminya bekerja untuk melakukan proses Interview.Diana sebelumnya dengan percaya diri mengatakan akan diterima. Namun saat sudah berada disini, nyali Diana kemarin entah menguap kemana. Perusahaan ini sangat besar. Terdiri dari 40 lantai. Dan terlihat banyak orang yang berlalu lalang meggunakan pakaian formal yang tampak berkelas. Wajah mereka saja seperti manusia cerdas.Diana memang sebelumnya adalah lulusan Cumlaude pada Universitas nomor satu di Jakarta progam studi Akuntansi. Dirinya bekerja hanya satu tahun kemudian menikah dengan Edwin. Diana takut pengalamannya yang kurang akan membuatnya gagal."Ya Tuhan, permudahkanlah urusan hamba." Doa Diana sebelum dengan perlahan melangkah masuk ke dalam gerbang. ***"Terima kasih, Mrs. Diana. Saya akan mengirimkan hasil
"Kamu nginep lagi, 'kan?" Marley bertanya kepada Edwin saat keduanya dalam perjalanan pulang. "Enggak bisa. Aku udah tiga hari nggak pulang." balas Edwin sembari masih fokus pada jalan raya di depannya. Mendengar balasan yang tidak sesuai keinginan Marley, ia mendengus sebal. "Nginep satu hari lagi emang nggak bisa?" bujuknya lagi. Edwin menekan rem saat mereka sampai pada depan Apartemen milik Marley. Lelaki itu kemudian memandang Marley yang saat ini sedang dalam mode marahnya. "Besok lagi, ya." tenangnya sembari mengelus kepada Marley. "Makanya cepat cerai." Mendengar itu Edwin sejenak menghentikan belain pada rambut Marley. Marley yang merasakan adanya perubahan pada raut wajah Edwin ikut memincingkan matanya curiga. "Kenapa?" tanyanya menuntut. "Aku janji secepatnya." Bibir Marley mencibir singkat. Ia melepaskan seatbelt miliknya sembari menggerutu. "Secepatnya, secepatnya. Dari dua tahun lalu juga bilangnya gitu." Setelah itu, Marley keluar dari mobil Edwin dengan mem
Pagi harinya setelah menyiapkan sarapan untuk Edwin dan keperluan untuk berangkat kerja, Diana dengan segera memanggil Sarah untuk memberitahukan perihal berita bahagianya."Hah? Beneran?! Kamu di terima jadi staff akuntan di ASP?!"Suara Sarah menggelegar walau hanya melalui telefon. Membuat Diana harus menjauhkan ponsel miliknya dari kuping agar gendang telinganya tak rusak. Sembari membereskan sarapan yang telah Edwin makan, Diana menjawab, "Aku pun terkejut. Padahal aku hanya mempunyai pengalaman satu tahun saja," "Ini pasti atas kehendak Tuhan. Dia lelah menyaksikan kamu yang tidak melakukan apapun melihat suamimu berselingkuh." Diana tertawa kecil mendengar itu. "Jadi, kapan kamu mulai bekerja?" tanya Sarah. "Besok." "Oh, besok ...," "Hah, besok??!" Suara Sarah kembali melengking keras. Membuat Diana harus menjauhkan ponselnya kembali. "Cepat sekali??!" tanya Sarah tak percaya. Diana kembali mendekatkan ponsel itu pada telinganya, "Entahlah. Mereka sepertinya membutuhka
Hari yang telah di tunggu Diana akhirnya tiba. Wanita itu sekarang sedang berdiri di depan cermin dan menatap penampilanmnya. Memastikan bahwa pakaiannya layak untuk hari pertama bekerja. Ia memakai pakaian yang hampir sama dengan pakaian yang ia kenakan saat interview. Yaitu kemeja berwarna putih dengan rok sepan serta blazer. Namun kali ini bukan blazer warna hitam, Diana memilih warna abu-abu. Rambut Diana sendiri ia ikat rendah daripada tergerai. Menampilkan kesan rapi dan juga elegan.Diana menatap Edwin yang saat ini sedang memakai sepatunya. "Mas, aku berangkat bareng kamu, ya?" tanya Diana. "Berangkat sendiri aja pake taksi. Aku nggak mau hari pertama kamu kerja jadi bahan gosip." tolak Edwin tanpa menatap ke arah Diana. Diana memaksakan senyum, "B-baiklah kalau begitu." Edwin berdiri dan segera mengambil tas kerjanya. Seperti biasa tanpa menoleh ke arah Diana, ia segera pergi meninggalkannya. Tanpa sepatah katapun."Hati-hati." lirih Diana pelan. *** Setelah sampai pada
Lelaki yang bersama Diana mulai melangkah masuk. Namun baru satu langkah dirinya memijakkan kaki pada ruangan mewah milik Zerkin, Zerkin sudah memberikan perintah yang membuat kaki lelaki itu mundur kembali. "Pergilah." Pengusiran. Dengan senyum kaku karena malu, lelaki itu dengan segera berbalik. Meninggalkan Diana yang masih berdiri di depan pintu. Belum melangkah 1 cm pun untuk masuk. Ia membeku. Menatap lelaki misterius yang dulu pernah bangun satu ranjang dan memberikannya tuxedo."Ka-kau?!" Akhirnya setelah terdiam sesaat, mulut Diana terbuka. Kalimat yang ia lontarkan benar-benar di penuhi keterkejutan. Dengan perlahan Zerkin berdiri. Senyum samar terlihat dari raut wajahnya saat dengan pasti, langkah Zerkin mendekati Diana. "Mengapa kau di—Akh!" Kalimat Diana terpotong dengan teriakan saat Zerkin menarik masuk dirinya dan dengan segera menutup pintu. Menimbulkan bunyi bedebum hingga sekretaris Zerkin yang berada di ruangan sebelah terlonjak kaget.Dengan segera Diana te
Jika kalian pikir dengan semua ancaman Edwin, Marley akan menyerah, kalian semua salah. Setelah dicekik, hampir tertabrak mobil, dan semua kata penuh nada amarah yang telah Edwin lontarkan, Marley masih tetap berani. Jika bertanya apa alasannya, Marley akan dengan keras mengucapkan bahwa dia mencintai Edwin. Dia tidak rela jika Edwin tiba-tiba lepas darinya tanpa alasan yang jelas. Dan Marley tetap yakin bahwa ... bahwa Edwin akan kembali kepadanya. Pasti. "Minumnya, Nona?" Suara seseorang membuyarkan lamunan Marley. Marley segera mengalihkan pandangan yang tadinya terfokus pada Edwin ke seseorang yang berpakaian seperti pelayan. Memegang nampan berisi berbagai alkohol yang ia bawa berkeliling dan ditawarkan pada semua tamu. Marley mengambil satu gelas tanpa mengatakan apapun. Kemudian kembali memandang Edwin sembari meminum minuman itu. Malam ini adalah malam kedua mereka di Bali. Dan saat ini, Marley serta Edwin sedang menghadiri pesta perayaan atas suksesnya pembangunan resort
Sekarang sudah waktunya pulang bekerja. Dan Kalyani benar-benar merasa takjub, kagum, dan tidak percaya dengan apa yang dirinya alami. Karena, semua orang divisi keuangan benar-benar diam membisu! Dari awal Kalyani kembali dari restoran itu, hingga pulang bekerja, mereka benar-benar diam tidak berbicara. Dan sekarang pun, saat membereskan meja dan barang-barang yang akan mereka bawa pulang, situasi masih sama. Merasa terlalu pusing memikirkan hal aneh itu, Kalyani segera membereskan barang-barang miliknya. Sesudah selesai, dirinya segera berjalan ke arah meja Diaa. "Kak Diana ngerasa aneh nggak si?" tanya Kalyani ketika sampai di samping Diana. Menunggu wanita itu membereskan barang-barangnya. Diana menghentikan kegiatannya dan memandang Kalyani bingung. "Aneh kenapa?" "Aku merasa, bukankah divisi kita terlalu sepi, 'Kak? Mereka benar-benar diam dan tidak menggosip seperti biasanya." Kalyani menerangkan pada Diana yang tampak tidak peka dengan keadaan sekitar. Mendengar itu, Dian
Kalyani merasa makanan yang baru saja masuk di perutnya adalah makanan paling enak. Bumbunya begitu terasa pas dan daging itu begitu lembut ketika menyentuh lidah Kalyani. Kalyani akan menambahkan restoran tersebut sebagai restoran favoritnya. Kalyani dan Diana sekarang sedang berjalan kembali ke divisi mereka. Dan seperti hari-hari biasa, karena kalyani berjalan bersama Diana, maka dari itu gosip tidak pernah lepas saat mereka melewati pegawai lain. Namun kali ini Kalyani bisa merasakan tatapa mereka yang menyimpan rasa tidak suka pada Diana. Bahkan mereka dengan terang-terangan melirik sinis Diana. Kalyani dengan segera menggandeng tangan Diana. Membuat Diana menoleh ke arahnya. Dan Kalyani memberikan senyum lebar. Seakan mengisyaratkan, "Aku ada di sini, Kak. Kakak tenang saja." Akhirnya setelah perjalanan horor penuh mata sinis, mereka sampai juga di divisi keuangan. Namun berbeda dengan divisi lain, divisi mereka justru sangat ... sunyi. Diana sepertinya tidak menyadarinya.
Kalyani dan Diana akhirnya sampai pada restoran yang Kalyani katakan menjual kelinci bakar dengan rasa sedap. Segera setelah mereka memesan, mereka memilih tempat duduk di pinggir jendela. Hingga dapat melihat pemandangan padatnya ibu kota dengan orang yang berlalu-lalang. "Maafkan aku karena melibatkanmu, Kalyani." Diana merasa bersalah ketika wanita itu selalu terseret dalam masalahnya. Namun Kalyani sepertinya tidak masalah. Dia justru tersenyum lebar ke arah Diana. "Tidak masalah, Kak. Aku senang bisa membantumu. Karena kau tahu, aku tidak memiliki teman selain Kak Aria." Walau Kalyani mengatakan itu, tetap saja Diana merasa tidak enak. Andai Zerkin sudah tidak mengejarnya lagi. Andai Diana bisa hidup tenang selama ia bekerja. Diana hanya menginginkan itu. Sekarang, Edwin sudah berubah. Rasanya Diana sangat senang. Namun ketika masalah satu selesai, masalah lain justru datang. Suara dering ponsel milik Diana terdengar. Menandakan adanya pesan masuk. Segera Diana mengambil ben
"Terima kasih atas kerjasamanya, Mr. Edwin dan Mrs. Marley. Saya pamit undur diri." Klien yang baru saja Edwan dan Marley temui, Mr. Adipta memberikan ulasan senyum pada keduanya. "Terima kasih juga, Mr. Adipta." Edwan membalas kembali senyum untuk menghormati Mr Adipta. Marley yang berada di sampingnya juga memberikan hal yang sama. Mengulas senyum sopan walau di dalam hatinya masih mengingat momen di mana ia hampir saja terlindas oleh mobil. Mr. Adipta memandang mereka berdua. Kemudian memberikan pertanyaan yang membuat Marley menyunggingkan senyum lebar. "Apakah kalian sepasang kekasih?" tanyanya. Namun segera, Edwan bersuara dengan suara yang tidak suka. "Saya sudah memiliki Istri, Sir. Dan dia bukan orang yang berada di sebelah saya." Mr. Adipta segera merasa tidak enak ketika melihat senyum lawan bicaranya sudah hilang. Segera dirinya meminta maaf. "Ah, maafkan aku, Mr. Edwin." Edwan berusaha memaksakan senyum. Teringat bahwa orang di depannya adalah klien penting. "Tidak m
Maya dan ketiga teman divisinya segera berlari terbirit-birit dari ruangan horor itu. Terlebih setelah di bentak oleh Zerkin, orang yang notabenya jarang menaikkan volume. CEO mereka itu lebih banyak berkata datar. Saat keluar, segera mereka berempat menjadi pusat perhatian. Karena entah sejak kapan, devisi di depan ruangan Oliver manjadi sangat banyak orang. Maya dapat melihat Rebecca yang melakukan copy data di printer pojok. Padahal ruangan dia ada printer tersendiri. Kemudian ada 2 orang OB. Yang satu menyapu hingga lantai sangat mengkilap. Satunya menggosok jendela yang tidak kotor. Banyak juga karyawan yang membereskan dokumen padahal dokumen itu sudah sangat rapi hingga warnanya pun di samakan. Astaga, tidak bisakah mereka lebih pintar berakting? Maya segera melihat kumpulan wanita yang berpura-pura mendiskusikan pekerjaan melambai kepadanya. Menyuruhnya mendekat. Karena tahu mereka pasti penasaran. Maya yang selalu senang menggosip dengan segera mendekati mereka. Diikuti deng
Mimpi indah Rebecca seketika sirna ketika mendengar pintu yang di banting dengan keras. Dirinya sampai terjatuh dari kursi karena terlalu kaget. Mimpi indahnya pun buyar. Padahal dia sedikit lagi akan melakukan malam pertama dengan Oliver setelah dipilih Oliver menjadi permasuirinya. Dengan tertatih-tatih Rebecca berdiri dari jatuhnya. Wanita itu memandang punggung mantan ( sekarang masih tapi Rebecca tahu tidak ada harapan) CEO idamannya yang mulai menjauh. Walau dari belakang, Rebecca bisa melihat semarah apa atasannya itu. Dengan susah payah Rebecca melelan air liur. 'Ada apa dengan CEO tampan itu?! Mengapa dia seperti hendak membunuh orang?!' *** Mata Zerkin menggelap. Tangannya terkepal erat dengan seluruh amarah yang tertahan. Kakinya dengan langkah cepat menuju orang yang membuat pikirannya terasa panas, terasa tidak terima, dan terasa dendam. Mengapa Oliver bisa mengenal Diana? Apakah lelaki itu juga mengincar Diana? Apakah dia ... ingin merebut miliknya? Zerkin mengaba
Kalyani menggeram marah ketika semua teman satu divisi miliknya membicarakan Diana dengan buruk. Namun walau rasanya ingin menarik lidah mereka semua, Kalyani mengurungkan niat itu. Dirinya bisa-bisa dikeroyok. Jadi Kalyani hanya bisa menahan amarah serta mendoakan mereka semua terkena sariawan di lidah. Biar mampus dan tidak gosip lagi! Hal yang menjadi topik gosip mereka akhirnya datang. Mata Kalyani seketika menatap Diana sama seperti mereka semua. Anehnya, ketika devisi lain saat ada Diana tetap membicarakan dia dengan suara besar dan keras, devisi mereka mulai diam. Kemudian melakukan kegiatan masing-masing. Kalyani sampai ternganga melihat mereka.Kalyani segera menghampiri Diana. Terlebih, melihat penampilan Diana yang menurut Kalyani aneh. "Kak Diana, ada apa dengan pakaian kakak?" tanyanya setelah sampai di hadapan Diana.Diana menaruh tas kerja miliknya dan kemudian duduk di kursi. "Bajuku basah. Dan jadi menerawang."Kalyani memandang jas yang menutupi tubuh Diana. Kalyani
Diana tidak tuli. Dirinya mendengar semua hal buruk yang mereka katakan. Namun apa yang harus Diana lakukan? Dia tidak bisa melakukan apapun. Karena memang nyatanya, seperti yang mereka gosipkan.Diana memang menerima cincin dari Zerkin. Itu kebenarannya. Bahkan cincin itu masih bersarang indah di jari manis miliknya. Tanpa suaminya tahu.Namun mereka tidak mengerti alasan mengapa Diana menerima cincin itu. Yang mereka katakan memang benar, Diana berangkat bersama Zerkin Nicasion di saat Diana sudah bersuami.Namun mereka tidak mengerti alasan Diana melakukan itu.Tapi Diana tidak bisa menjelaskan kepada mereka. Apapun yang keluar dari mulut Diana hanya seperti pembelaan saja. Mereka tuli.Jadi daripada Diana berbusa menjelaskan hal yang mereka tidak percayai. Diana memilih diam. Menunggu sampai mereka bosan dan melupakan tentang hal mengenai kehidupan Diana.Diana terus menunduk sepanjang jalan menuju divisi miliknya. Namun karena itu, dirinya tidak sengaja menabrak seseorang. Membu