Edwin mengeryitkan dahinya kala mendengar suara alarm yang menganggu tidurnya. Dengan refleks tangan itu mencari sumber suara. Meraba meja yang berada di samping ranjang dan mengambil ponsel miliknya.Segera ia mematikan alarm. Kemudian melihat jam yang berada di ponsel. Pukul 7 pagi.Tangan itu meletakkan kembali ponsel pada posisi semula. Kemudian dirinya menggosok matanya perlahan. Berusaha menghilangkan kantuk dan mengumpulkan nyawanya yang belum sepenuhnya terkumpul.Saat merasakan adanya sesuatu yang memeluk perutnya, mata Edwin berpaling pada samping ranjang. Dan dia menemukan seseorang yang selama dua tahun ini telah menghabiskan malam panjang bersamanya.Marley Anabelly.Wanita cantik berumur 27 tahun dengan status yang masih lajang. Sangat berbeda dengan Edwin yang sudah memiliki istri. Umur mereka hanya terpaut satu tahun saja.Marley adalah cinta pertama Edwin semasa SMA nya. Mereka telah berpacaran kurang lebih empat tahun. Hingga sampai semester dua perkuliahan Edwin, hu
Semilir angin musim panas tak dapat meredakan rasa dingin yang menimpa Diana. Gugup menyebar membuat jari Diana saling gemetar. Lamarannya diterima. Dan sekarang Diana sedang berdiri di depan perusahaan tempat di mana suaminya bekerja untuk melakukan proses Interview.Diana sebelumnya dengan percaya diri mengatakan akan diterima. Namun saat sudah berada disini, nyali Diana kemarin entah menguap kemana. Perusahaan ini sangat besar. Terdiri dari 40 lantai. Dan terlihat banyak orang yang berlalu lalang meggunakan pakaian formal yang tampak berkelas. Wajah mereka saja seperti manusia cerdas.Diana memang sebelumnya adalah lulusan Cumlaude pada Universitas nomor satu di Jakarta progam studi Akuntansi. Dirinya bekerja hanya satu tahun kemudian menikah dengan Edwin. Diana takut pengalamannya yang kurang akan membuatnya gagal."Ya Tuhan, permudahkanlah urusan hamba." Doa Diana sebelum dengan perlahan melangkah masuk ke dalam gerbang. ***"Terima kasih, Mrs. Diana. Saya akan mengirimkan hasil
"Kamu nginep lagi, 'kan?" Marley bertanya kepada Edwin saat keduanya dalam perjalanan pulang. "Enggak bisa. Aku udah tiga hari nggak pulang." balas Edwin sembari masih fokus pada jalan raya di depannya. Mendengar balasan yang tidak sesuai keinginan Marley, ia mendengus sebal. "Nginep satu hari lagi emang nggak bisa?" bujuknya lagi. Edwin menekan rem saat mereka sampai pada depan Apartemen milik Marley. Lelaki itu kemudian memandang Marley yang saat ini sedang dalam mode marahnya. "Besok lagi, ya." tenangnya sembari mengelus kepada Marley. "Makanya cepat cerai." Mendengar itu Edwin sejenak menghentikan belain pada rambut Marley. Marley yang merasakan adanya perubahan pada raut wajah Edwin ikut memincingkan matanya curiga. "Kenapa?" tanyanya menuntut. "Aku janji secepatnya." Bibir Marley mencibir singkat. Ia melepaskan seatbelt miliknya sembari menggerutu. "Secepatnya, secepatnya. Dari dua tahun lalu juga bilangnya gitu." Setelah itu, Marley keluar dari mobil Edwin dengan mem
Pagi harinya setelah menyiapkan sarapan untuk Edwin dan keperluan untuk berangkat kerja, Diana dengan segera memanggil Sarah untuk memberitahukan perihal berita bahagianya."Hah? Beneran?! Kamu di terima jadi staff akuntan di ASP?!"Suara Sarah menggelegar walau hanya melalui telefon. Membuat Diana harus menjauhkan ponsel miliknya dari kuping agar gendang telinganya tak rusak. Sembari membereskan sarapan yang telah Edwin makan, Diana menjawab, "Aku pun terkejut. Padahal aku hanya mempunyai pengalaman satu tahun saja," "Ini pasti atas kehendak Tuhan. Dia lelah menyaksikan kamu yang tidak melakukan apapun melihat suamimu berselingkuh." Diana tertawa kecil mendengar itu. "Jadi, kapan kamu mulai bekerja?" tanya Sarah. "Besok." "Oh, besok ...," "Hah, besok??!" Suara Sarah kembali melengking keras. Membuat Diana harus menjauhkan ponselnya kembali. "Cepat sekali??!" tanya Sarah tak percaya. Diana kembali mendekatkan ponsel itu pada telinganya, "Entahlah. Mereka sepertinya membutuhka
Hari yang telah di tunggu Diana akhirnya tiba. Wanita itu sekarang sedang berdiri di depan cermin dan menatap penampilanmnya. Memastikan bahwa pakaiannya layak untuk hari pertama bekerja. Ia memakai pakaian yang hampir sama dengan pakaian yang ia kenakan saat interview. Yaitu kemeja berwarna putih dengan rok sepan serta blazer. Namun kali ini bukan blazer warna hitam, Diana memilih warna abu-abu. Rambut Diana sendiri ia ikat rendah daripada tergerai. Menampilkan kesan rapi dan juga elegan.Diana menatap Edwin yang saat ini sedang memakai sepatunya. "Mas, aku berangkat bareng kamu, ya?" tanya Diana. "Berangkat sendiri aja pake taksi. Aku nggak mau hari pertama kamu kerja jadi bahan gosip." tolak Edwin tanpa menatap ke arah Diana. Diana memaksakan senyum, "B-baiklah kalau begitu." Edwin berdiri dan segera mengambil tas kerjanya. Seperti biasa tanpa menoleh ke arah Diana, ia segera pergi meninggalkannya. Tanpa sepatah katapun."Hati-hati." lirih Diana pelan. *** Setelah sampai pada
Lelaki yang bersama Diana mulai melangkah masuk. Namun baru satu langkah dirinya memijakkan kaki pada ruangan mewah milik Zerkin, Zerkin sudah memberikan perintah yang membuat kaki lelaki itu mundur kembali. "Pergilah." Pengusiran. Dengan senyum kaku karena malu, lelaki itu dengan segera berbalik. Meninggalkan Diana yang masih berdiri di depan pintu. Belum melangkah 1 cm pun untuk masuk. Ia membeku. Menatap lelaki misterius yang dulu pernah bangun satu ranjang dan memberikannya tuxedo."Ka-kau?!" Akhirnya setelah terdiam sesaat, mulut Diana terbuka. Kalimat yang ia lontarkan benar-benar di penuhi keterkejutan. Dengan perlahan Zerkin berdiri. Senyum samar terlihat dari raut wajahnya saat dengan pasti, langkah Zerkin mendekati Diana. "Mengapa kau di—Akh!" Kalimat Diana terpotong dengan teriakan saat Zerkin menarik masuk dirinya dan dengan segera menutup pintu. Menimbulkan bunyi bedebum hingga sekretaris Zerkin yang berada di ruangan sebelah terlonjak kaget.Dengan segera Diana te
Marley meremas lembaran yang baru saja keluar dari mesin printer sesaat setelah membaca pesan dari Edwin. Amarah yang sedari kemarin masih bersarang di hatinya kian membara. Umpatan tak dapat Marley tahan. "Wanita j*alang!" sebalnya yang ditunjukan untuk Diana. >> Diana diterima. Pagi tadi ia sudah mulai bekerja. Kita kurangi dulu interaksi kita di kantor. Menyebalkan! Marley kemudian membuang kertas yang sudah berbentuk gumpalan itu. Ia dengan segera mengetikkan jawaban dengan semua tanpa capslock kepada Edwin. Menyiratkan bahwa ia benar-benar marah. >> TERSERAH! "Kenapa Ley?" pertanyaan itu muncul dari meja samping Marley. "Lagi sebel. Istri Mas Edwin keterima kerja di sini," jawab Marley tanpa menoleh ke arah Abely. Dirinya sibuk dengan komputer di depannya. Kembali mencetak dokumen yang sama seperti yang ia remas tadi. Abely melirik sekilas ke arah Marley. Tak ingin terlalu menunjukan keingintahuannya. "Terus gimana?" Marley sudah tidak ingin menjawab lagi. Dirinya hanya
>> Mas, pulang bareng, ya? >> Mas? Sudah satu jam berlalu sejak pesan itu terkirim. Namun sampai sekarang tak kunjung ada jawaban. Diana menghela nafas lelah. Kemudian ia mulai merapikan barang-barang miliknya. Mungkin dia bisa naik taksi atau ojek online saja. "Diana, Selamat tinggal, ya. Semoga kita bisa bertemu lagi."Ucapan perpisahan itu berasal dari Aria. Mulai besok berarti Diana sudah harus sendirian di sini. Diana kemudian memandang wanita yang kini memakai jaket untuk menghangatkan tubuhnya. Ia menundukkan tubuhnya sedikit. "Terima kasih atas bimbinganmu, Aria. Semoga persalinanmu berjalan lancar," ucap Diana. Aria tersenyum ke arahnya. "Semoga kamu betah di sini. Walau Kalyani orangnya ceroboh, kekanak-kanakan, dan sedikit menyebalkan, dia bisa menjadi teman terbaikmu di sini. Dia orang yang tidak akan menusuk orang lain di belakang." "Wah, Kak Aria memujiku!" Kalyani datang ke meja keduanya. Walau suaranya tampak senang, mata gadis itu sudah berarir. Aria adalah ora
Jika kalian pikir dengan semua ancaman Edwin, Marley akan menyerah, kalian semua salah. Setelah dicekik, hampir tertabrak mobil, dan semua kata penuh nada amarah yang telah Edwin lontarkan, Marley masih tetap berani. Jika bertanya apa alasannya, Marley akan dengan keras mengucapkan bahwa dia mencintai Edwin. Dia tidak rela jika Edwin tiba-tiba lepas darinya tanpa alasan yang jelas. Dan Marley tetap yakin bahwa ... bahwa Edwin akan kembali kepadanya. Pasti. "Minumnya, Nona?" Suara seseorang membuyarkan lamunan Marley. Marley segera mengalihkan pandangan yang tadinya terfokus pada Edwin ke seseorang yang berpakaian seperti pelayan. Memegang nampan berisi berbagai alkohol yang ia bawa berkeliling dan ditawarkan pada semua tamu. Marley mengambil satu gelas tanpa mengatakan apapun. Kemudian kembali memandang Edwin sembari meminum minuman itu. Malam ini adalah malam kedua mereka di Bali. Dan saat ini, Marley serta Edwin sedang menghadiri pesta perayaan atas suksesnya pembangunan resort
Sekarang sudah waktunya pulang bekerja. Dan Kalyani benar-benar merasa takjub, kagum, dan tidak percaya dengan apa yang dirinya alami. Karena, semua orang divisi keuangan benar-benar diam membisu! Dari awal Kalyani kembali dari restoran itu, hingga pulang bekerja, mereka benar-benar diam tidak berbicara. Dan sekarang pun, saat membereskan meja dan barang-barang yang akan mereka bawa pulang, situasi masih sama. Merasa terlalu pusing memikirkan hal aneh itu, Kalyani segera membereskan barang-barang miliknya. Sesudah selesai, dirinya segera berjalan ke arah meja Diaa. "Kak Diana ngerasa aneh nggak si?" tanya Kalyani ketika sampai di samping Diana. Menunggu wanita itu membereskan barang-barangnya. Diana menghentikan kegiatannya dan memandang Kalyani bingung. "Aneh kenapa?" "Aku merasa, bukankah divisi kita terlalu sepi, 'Kak? Mereka benar-benar diam dan tidak menggosip seperti biasanya." Kalyani menerangkan pada Diana yang tampak tidak peka dengan keadaan sekitar. Mendengar itu, Dian
Kalyani merasa makanan yang baru saja masuk di perutnya adalah makanan paling enak. Bumbunya begitu terasa pas dan daging itu begitu lembut ketika menyentuh lidah Kalyani. Kalyani akan menambahkan restoran tersebut sebagai restoran favoritnya. Kalyani dan Diana sekarang sedang berjalan kembali ke divisi mereka. Dan seperti hari-hari biasa, karena kalyani berjalan bersama Diana, maka dari itu gosip tidak pernah lepas saat mereka melewati pegawai lain. Namun kali ini Kalyani bisa merasakan tatapa mereka yang menyimpan rasa tidak suka pada Diana. Bahkan mereka dengan terang-terangan melirik sinis Diana. Kalyani dengan segera menggandeng tangan Diana. Membuat Diana menoleh ke arahnya. Dan Kalyani memberikan senyum lebar. Seakan mengisyaratkan, "Aku ada di sini, Kak. Kakak tenang saja." Akhirnya setelah perjalanan horor penuh mata sinis, mereka sampai juga di divisi keuangan. Namun berbeda dengan divisi lain, divisi mereka justru sangat ... sunyi. Diana sepertinya tidak menyadarinya.
Kalyani dan Diana akhirnya sampai pada restoran yang Kalyani katakan menjual kelinci bakar dengan rasa sedap. Segera setelah mereka memesan, mereka memilih tempat duduk di pinggir jendela. Hingga dapat melihat pemandangan padatnya ibu kota dengan orang yang berlalu-lalang. "Maafkan aku karena melibatkanmu, Kalyani." Diana merasa bersalah ketika wanita itu selalu terseret dalam masalahnya. Namun Kalyani sepertinya tidak masalah. Dia justru tersenyum lebar ke arah Diana. "Tidak masalah, Kak. Aku senang bisa membantumu. Karena kau tahu, aku tidak memiliki teman selain Kak Aria." Walau Kalyani mengatakan itu, tetap saja Diana merasa tidak enak. Andai Zerkin sudah tidak mengejarnya lagi. Andai Diana bisa hidup tenang selama ia bekerja. Diana hanya menginginkan itu. Sekarang, Edwin sudah berubah. Rasanya Diana sangat senang. Namun ketika masalah satu selesai, masalah lain justru datang. Suara dering ponsel milik Diana terdengar. Menandakan adanya pesan masuk. Segera Diana mengambil ben
"Terima kasih atas kerjasamanya, Mr. Edwin dan Mrs. Marley. Saya pamit undur diri." Klien yang baru saja Edwan dan Marley temui, Mr. Adipta memberikan ulasan senyum pada keduanya. "Terima kasih juga, Mr. Adipta." Edwan membalas kembali senyum untuk menghormati Mr Adipta. Marley yang berada di sampingnya juga memberikan hal yang sama. Mengulas senyum sopan walau di dalam hatinya masih mengingat momen di mana ia hampir saja terlindas oleh mobil. Mr. Adipta memandang mereka berdua. Kemudian memberikan pertanyaan yang membuat Marley menyunggingkan senyum lebar. "Apakah kalian sepasang kekasih?" tanyanya. Namun segera, Edwan bersuara dengan suara yang tidak suka. "Saya sudah memiliki Istri, Sir. Dan dia bukan orang yang berada di sebelah saya." Mr. Adipta segera merasa tidak enak ketika melihat senyum lawan bicaranya sudah hilang. Segera dirinya meminta maaf. "Ah, maafkan aku, Mr. Edwin." Edwan berusaha memaksakan senyum. Teringat bahwa orang di depannya adalah klien penting. "Tidak m
Maya dan ketiga teman divisinya segera berlari terbirit-birit dari ruangan horor itu. Terlebih setelah di bentak oleh Zerkin, orang yang notabenya jarang menaikkan volume. CEO mereka itu lebih banyak berkata datar. Saat keluar, segera mereka berempat menjadi pusat perhatian. Karena entah sejak kapan, devisi di depan ruangan Oliver manjadi sangat banyak orang. Maya dapat melihat Rebecca yang melakukan copy data di printer pojok. Padahal ruangan dia ada printer tersendiri. Kemudian ada 2 orang OB. Yang satu menyapu hingga lantai sangat mengkilap. Satunya menggosok jendela yang tidak kotor. Banyak juga karyawan yang membereskan dokumen padahal dokumen itu sudah sangat rapi hingga warnanya pun di samakan. Astaga, tidak bisakah mereka lebih pintar berakting? Maya segera melihat kumpulan wanita yang berpura-pura mendiskusikan pekerjaan melambai kepadanya. Menyuruhnya mendekat. Karena tahu mereka pasti penasaran. Maya yang selalu senang menggosip dengan segera mendekati mereka. Diikuti deng
Mimpi indah Rebecca seketika sirna ketika mendengar pintu yang di banting dengan keras. Dirinya sampai terjatuh dari kursi karena terlalu kaget. Mimpi indahnya pun buyar. Padahal dia sedikit lagi akan melakukan malam pertama dengan Oliver setelah dipilih Oliver menjadi permasuirinya. Dengan tertatih-tatih Rebecca berdiri dari jatuhnya. Wanita itu memandang punggung mantan ( sekarang masih tapi Rebecca tahu tidak ada harapan) CEO idamannya yang mulai menjauh. Walau dari belakang, Rebecca bisa melihat semarah apa atasannya itu. Dengan susah payah Rebecca melelan air liur. 'Ada apa dengan CEO tampan itu?! Mengapa dia seperti hendak membunuh orang?!' *** Mata Zerkin menggelap. Tangannya terkepal erat dengan seluruh amarah yang tertahan. Kakinya dengan langkah cepat menuju orang yang membuat pikirannya terasa panas, terasa tidak terima, dan terasa dendam. Mengapa Oliver bisa mengenal Diana? Apakah lelaki itu juga mengincar Diana? Apakah dia ... ingin merebut miliknya? Zerkin mengaba
Kalyani menggeram marah ketika semua teman satu divisi miliknya membicarakan Diana dengan buruk. Namun walau rasanya ingin menarik lidah mereka semua, Kalyani mengurungkan niat itu. Dirinya bisa-bisa dikeroyok. Jadi Kalyani hanya bisa menahan amarah serta mendoakan mereka semua terkena sariawan di lidah. Biar mampus dan tidak gosip lagi! Hal yang menjadi topik gosip mereka akhirnya datang. Mata Kalyani seketika menatap Diana sama seperti mereka semua. Anehnya, ketika devisi lain saat ada Diana tetap membicarakan dia dengan suara besar dan keras, devisi mereka mulai diam. Kemudian melakukan kegiatan masing-masing. Kalyani sampai ternganga melihat mereka.Kalyani segera menghampiri Diana. Terlebih, melihat penampilan Diana yang menurut Kalyani aneh. "Kak Diana, ada apa dengan pakaian kakak?" tanyanya setelah sampai di hadapan Diana.Diana menaruh tas kerja miliknya dan kemudian duduk di kursi. "Bajuku basah. Dan jadi menerawang."Kalyani memandang jas yang menutupi tubuh Diana. Kalyani
Diana tidak tuli. Dirinya mendengar semua hal buruk yang mereka katakan. Namun apa yang harus Diana lakukan? Dia tidak bisa melakukan apapun. Karena memang nyatanya, seperti yang mereka gosipkan.Diana memang menerima cincin dari Zerkin. Itu kebenarannya. Bahkan cincin itu masih bersarang indah di jari manis miliknya. Tanpa suaminya tahu.Namun mereka tidak mengerti alasan mengapa Diana menerima cincin itu. Yang mereka katakan memang benar, Diana berangkat bersama Zerkin Nicasion di saat Diana sudah bersuami.Namun mereka tidak mengerti alasan Diana melakukan itu.Tapi Diana tidak bisa menjelaskan kepada mereka. Apapun yang keluar dari mulut Diana hanya seperti pembelaan saja. Mereka tuli.Jadi daripada Diana berbusa menjelaskan hal yang mereka tidak percayai. Diana memilih diam. Menunggu sampai mereka bosan dan melupakan tentang hal mengenai kehidupan Diana.Diana terus menunduk sepanjang jalan menuju divisi miliknya. Namun karena itu, dirinya tidak sengaja menabrak seseorang. Membu