Oliver sudah bersiap untuk pergi tidur. Badannya sangat lelah karena tidak segera beristirahat setelah penerbangan panjang Belanda-Indonesia. Maka dari itu, walau waktu baru menunjukan pukul delapan, dirinya telah membersihkan diri dan berbaring nyaman di kasur. Lampu utama telah dimatikan dan diganti dengan lampu tidur yang memberi cahaya remang-remang. Tidak perlu waktu lama, mata Oliver yang tinggal satu watt sudah tertutup. Baru tidur lima menit, ponsel Oliver berbunyi. Membuat Oliver yang baru saja akan jatuh ke alam mimpi terbangun. Oliver tidak memperdulikan ponselnya yang terus saja berbunyi. Dirinya lebih memilih untuk menutup matanya kembali. Tapi sialnya, orang yang menelfon dirinya tidak menyerah begitu saja. Hingga ponsel Oliver terus menerus berbunyi. Membuat Oiver kesal karena tidak bisa tidur. Oliver segera menyambar ponsel miliknya. Dan decakan sebal segera keluar ketika melihat bahwa Zerkin yang menganggu dirinya. "Apa?!" tanya Oliver setelah memutuskan mengangkat
Diana tidak dapat memproses hal yang telah terjadi dengannya. Dirinya terkejut setengah mati melihat siapa yang berada di sampingnya. Suaminya, yang tidak pernah menyentuh Diana selama dua tahun dan selalu memunggungi Diana ketika tidur, kini berada di sampingnya dalam keadaan telanjang.Ada apa sebenarnya? Diana tidak mengerti dengan ini semua. Apakah dirinya baru saja 'tidur' dengan Edwin? Apakah semua itu bukan imajinasinya? Hati Diana berdebar kencang. Apakah dia harus senang dengan ini? Namun bagaimana Diana bisa senang jika dirinya sudah sangat yakin ingin menceraikan Edwin? Tidak bisa. Diana harus segera pergi dari sini. Maka dari itu Diana segera memegang erat selimutnya, kemudian hendak pergi dari kasur dan ke kamar mandi. Namun saat akan melangkah, bagian bawah Diana sangat sakit hingga Diana terjatuh. "Akh!" Diana tidak bisa menahan jeritannya. Suara Diana membuat Edwan membuka matanya. Melihat Diana yang merintih dan terduduk di lantai membuat dirinya dengan segera m
Sarah panik setengah mati ketika menerima telfon dari Diana dan mengatakan dirinya di rumah sakit. Sarah kira wanita itu kecelakaan. Atau apapun hal menyeramkan lainnya. Hingga membuat Sarah yang sedang dalam perjalanan menuju perusahaan miliknya memilih segera membanting stir ke arah rumah sakit yang dimaksud Diana. "Diana!" Sarah berteriak ketika melihat wanita itu terduduk di depan UGD. Hingga saat Sarah baru saja masuk lewat pintu utama, dirinya segera menemukan Diana. Diana segera menoleh ke arah Sarah. Wanita itu berpakaian acak-acakan serta terdapat bercak darah di kemeja yang dirinya pakai. "Diana, kamu baik-baik saja?!" tanya Sarah khawatir. Diana berdiri dari duduknya. Kemudian menghampiri Sarah dan memeluk wanita itu erat. Diana tidak kuat menahan tangisannya. Sarah yang awalnya ingin bertanya tentang apa yang terjadi mengurungkan niatnya dan mengajak Diana duduk dengan dirinya yang mengelus punggung Diana lembut. "Sa-sarah ...," suara Diana bergetar ketika memanggilny
"Aku akan beli makan dahulu," pamit Sarah kepada Diana. Diana hanya mengangguk sembari terus terduduk di samping ranjang Edwin. Menemani suaminya yang masih belum sadar setelah melakukan operasi. Diana sedikit bernafas lega ketika mengetahui bahwa pisau itu tidak mengenai bagian yang fatal. Sekarang dia sendirian di ruangan tempat di mana Edwin dirawat. Terdiam dan menatap wajah Edwin yang tertidur tenang. Dirinya sangat khawatir hingga hampir saja lupa untuk memberitahu kantor mereka bahwa mereka tidak berangkat. Untung saja Sarah sudah mengatasi segalanya. Sekarang Diana hanya perlu menunggu hingga Edwin sadar.Mengamati wajah Edwin membuat Diana bernostalgia tentang masa kuliah. Empat tahun mereka bersama. Kemudian berakhir dengan Edwin yang melamar Diana. Tidak Diana sadari, bahwa itu sudah bertahun-tahun lalu. Dan Diana juga tidak menyangka, bahwa pernikahan mereka tidak seindah yang Diana bayangkan. "Diana." Diana yang melamun tersentak mendengar namanya di panggil. Segera d
"AKHHH SIAL!" Marley berteriak sekuat tenaga sembari melempar ponselnya. Berulang kali dirinya menghubungi Edwin namun tidak pernah ada balasan. Hingga kemudian nomor Edwin tidak dapat dihubungi lagi. Apakah Edwin memblokirnya?! Marley menatap bayangan dirinya yang berada di cermin. Kemudian tangan Marley menyentuh lehernya sendiri. Sial, bekas tangan Edwin masih tercetak sangat jelas. Marley sampai mengambil cuti karena dirinya bingung dengan apa harus menutupi ini. Lagipula, mentalnya juga sedikit terguncang. Kaki Marley berjalan menjauh dari cermin kemudian menghampiri ponsel yang tadi dirinya banting. Dengan sebal ia duduk di kasur miliknya. Kemudian mencari nomor Via. >> Bilang ke Mas Edwin aku mencarinya. Tidak lama dari itu, ponselnya berdering. Dan segera Marley membuka pesan yang dirinya dapatkan dari Via. >> Maaf Marley. Mr. Edwin tidak berangkat. Marley mengerutkan kening bingung. >> Hah, kenapa?! Via membalas dengan cepat. >> Tidak tahu. Aku kira kau berbohong me
Hari senin telah tiba. Sudah tiga hari Marley berusaha menghubungi Edwin. Dari jum'at, sabtu, dan minggu. Namun tidak pernah sekalipun panggilannya terjawab. Dan ketika Marley ke apartemen Edwin, masih tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Diana dan Edwin seperti hilang. Marley hanya mengambil cuti satu hari saja. Maka dari itu, sekarang dirinya sudah mulai bekerja. Sepanjang perjalanan menuju devisi, masih terdengar bisikan yang membuat kepala Marley terasa panas. Sebelum menuju meja miliknya, Marley membelokkan langkah menuju ruang kerja milik Edwin. Namun saat sampai, pintu masih tertutup. Membuat Marley berdecak sebal. Apakah Edwin masih mengambil cuti? "Nyari Mr. Edwin, Ley?" Suara seseorang membuat Marley menoleh. Kemudian dirinya menemukan Andrew. HRD itu tampak lesu dengan segepok dokumen yang berada di kedua tangannya. Marley meringgis melihat tampilannya. Tampak lusuh sekali, batin Marley "Iyaa," balas Marley. Matanya masih menatap dari atas sampai bawah tubuh Andre
Edwan terdiam di atas ranjang rumah sakit sembari menikmati suara jarum jam. Di gelapnya malam, tepat pukul 12 malam dirinya masih belum menutup mata. Bahkan kantuk juga tidak ia rasakan. Edwan menoleh ke arah sofa. Di mana Diana sudah tertidur nyenyak dengan posisi meringkuk serta selimut yang menutupi tubuhnya. Ingin rasanya Edwan terbangun dari ranjang dan tidur dengan memeluk Diana. Namun tubuhnya masih terasa lemas. Helaan nafas terdengar dari bibir Edwan. Ia ingin tertidur. Namun ada rasa takut dalam hatinya. Takut apabila dirinya menutup mata dan membiarkan dirinya lengah satu detik saja, Edwin akan mengambil alih. Dilihat dari sudut manapun, tubuh ini adalah milik Edwin. Jika Edwan tidak cukup kuat, dirinya tidak akan bisa menekan Edwin. Edwan harus benar-benar memusnahkan Edwin. Perlahan Edwan menutup matanya. Berusaha jatuh dalam ruangan yang menjadi asal mulanya. Edwan yakin, Edwin masih terjebak di sana. Dan yang dirinya harus lakukan adalah memusnahkan jiwa tersesat i
Zerkin mengerti dirinya selalu menjadi pusat perhatian. Biasanya dirinya akan acuh dengan itu semua. Tahu bahwa yang menjadi pusat perhatian dari mereka adalah parasnya. Namun sekarang sedikit berbeda. Mereka mengamati Zerkin karena kaki pincangnya. Ya, selasa pagi Zerkin berangkat dengan kaki yang pincang akibat ulah suami wanita incarannya.Zerkin ingin mengambil cuti lebih lama dan membuat Oliver menggantikan pekerjaannya. Setidaknya sampai Zerkin dapat berjalan normal. Namun sayang sekali Zerkin tidak bisa karena Oliver tidak mampu mengatasi tender dengan perusahaan dari Dubai minggu ini. Membuat Zerkin dengan terpaksa masuk. "Pffttt ...." Terdengar tawa tertahan di sampingnya. Berasal dari Oliver. Membuat Zerkin melirik sinis ke arahnya. "Maaf," ujar Oliver meminta maaf. Namun nadanya tidak terdengar bersalah. "Namun melihatmu berjalan pincang benar-benar menghiburku." Zerkin mengabaikannnya. Karena jika dia meladeni ejekan Oliver, itu hanya akan memberikan Oliver kebahagiaan