"Aku akan beli makan dahulu," pamit Sarah kepada Diana. Diana hanya mengangguk sembari terus terduduk di samping ranjang Edwin. Menemani suaminya yang masih belum sadar setelah melakukan operasi. Diana sedikit bernafas lega ketika mengetahui bahwa pisau itu tidak mengenai bagian yang fatal. Sekarang dia sendirian di ruangan tempat di mana Edwin dirawat. Terdiam dan menatap wajah Edwin yang tertidur tenang. Dirinya sangat khawatir hingga hampir saja lupa untuk memberitahu kantor mereka bahwa mereka tidak berangkat. Untung saja Sarah sudah mengatasi segalanya. Sekarang Diana hanya perlu menunggu hingga Edwin sadar.Mengamati wajah Edwin membuat Diana bernostalgia tentang masa kuliah. Empat tahun mereka bersama. Kemudian berakhir dengan Edwin yang melamar Diana. Tidak Diana sadari, bahwa itu sudah bertahun-tahun lalu. Dan Diana juga tidak menyangka, bahwa pernikahan mereka tidak seindah yang Diana bayangkan. "Diana." Diana yang melamun tersentak mendengar namanya di panggil. Segera d
"AKHHH SIAL!" Marley berteriak sekuat tenaga sembari melempar ponselnya. Berulang kali dirinya menghubungi Edwin namun tidak pernah ada balasan. Hingga kemudian nomor Edwin tidak dapat dihubungi lagi. Apakah Edwin memblokirnya?! Marley menatap bayangan dirinya yang berada di cermin. Kemudian tangan Marley menyentuh lehernya sendiri. Sial, bekas tangan Edwin masih tercetak sangat jelas. Marley sampai mengambil cuti karena dirinya bingung dengan apa harus menutupi ini. Lagipula, mentalnya juga sedikit terguncang. Kaki Marley berjalan menjauh dari cermin kemudian menghampiri ponsel yang tadi dirinya banting. Dengan sebal ia duduk di kasur miliknya. Kemudian mencari nomor Via. >> Bilang ke Mas Edwin aku mencarinya. Tidak lama dari itu, ponselnya berdering. Dan segera Marley membuka pesan yang dirinya dapatkan dari Via. >> Maaf Marley. Mr. Edwin tidak berangkat. Marley mengerutkan kening bingung. >> Hah, kenapa?! Via membalas dengan cepat. >> Tidak tahu. Aku kira kau berbohong me
Hari senin telah tiba. Sudah tiga hari Marley berusaha menghubungi Edwin. Dari jum'at, sabtu, dan minggu. Namun tidak pernah sekalipun panggilannya terjawab. Dan ketika Marley ke apartemen Edwin, masih tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Diana dan Edwin seperti hilang. Marley hanya mengambil cuti satu hari saja. Maka dari itu, sekarang dirinya sudah mulai bekerja. Sepanjang perjalanan menuju devisi, masih terdengar bisikan yang membuat kepala Marley terasa panas. Sebelum menuju meja miliknya, Marley membelokkan langkah menuju ruang kerja milik Edwin. Namun saat sampai, pintu masih tertutup. Membuat Marley berdecak sebal. Apakah Edwin masih mengambil cuti? "Nyari Mr. Edwin, Ley?" Suara seseorang membuat Marley menoleh. Kemudian dirinya menemukan Andrew. HRD itu tampak lesu dengan segepok dokumen yang berada di kedua tangannya. Marley meringgis melihat tampilannya. Tampak lusuh sekali, batin Marley "Iyaa," balas Marley. Matanya masih menatap dari atas sampai bawah tubuh Andre
Edwan terdiam di atas ranjang rumah sakit sembari menikmati suara jarum jam. Di gelapnya malam, tepat pukul 12 malam dirinya masih belum menutup mata. Bahkan kantuk juga tidak ia rasakan. Edwan menoleh ke arah sofa. Di mana Diana sudah tertidur nyenyak dengan posisi meringkuk serta selimut yang menutupi tubuhnya. Ingin rasanya Edwan terbangun dari ranjang dan tidur dengan memeluk Diana. Namun tubuhnya masih terasa lemas. Helaan nafas terdengar dari bibir Edwan. Ia ingin tertidur. Namun ada rasa takut dalam hatinya. Takut apabila dirinya menutup mata dan membiarkan dirinya lengah satu detik saja, Edwin akan mengambil alih. Dilihat dari sudut manapun, tubuh ini adalah milik Edwin. Jika Edwan tidak cukup kuat, dirinya tidak akan bisa menekan Edwin. Edwan harus benar-benar memusnahkan Edwin. Perlahan Edwan menutup matanya. Berusaha jatuh dalam ruangan yang menjadi asal mulanya. Edwan yakin, Edwin masih terjebak di sana. Dan yang dirinya harus lakukan adalah memusnahkan jiwa tersesat i
Zerkin mengerti dirinya selalu menjadi pusat perhatian. Biasanya dirinya akan acuh dengan itu semua. Tahu bahwa yang menjadi pusat perhatian dari mereka adalah parasnya. Namun sekarang sedikit berbeda. Mereka mengamati Zerkin karena kaki pincangnya. Ya, selasa pagi Zerkin berangkat dengan kaki yang pincang akibat ulah suami wanita incarannya.Zerkin ingin mengambil cuti lebih lama dan membuat Oliver menggantikan pekerjaannya. Setidaknya sampai Zerkin dapat berjalan normal. Namun sayang sekali Zerkin tidak bisa karena Oliver tidak mampu mengatasi tender dengan perusahaan dari Dubai minggu ini. Membuat Zerkin dengan terpaksa masuk. "Pffttt ...." Terdengar tawa tertahan di sampingnya. Berasal dari Oliver. Membuat Zerkin melirik sinis ke arahnya. "Maaf," ujar Oliver meminta maaf. Namun nadanya tidak terdengar bersalah. "Namun melihatmu berjalan pincang benar-benar menghiburku." Zerkin mengabaikannnya. Karena jika dia meladeni ejekan Oliver, itu hanya akan memberikan Oliver kebahagiaan
Diana tahu bahwa suaminya mengatakan kepadanya bahwa mereka akan memulai dari awal. Namun Diana tidak pernah menyangka, bahwa perubahan sifat Edwin akan sangat besar. Dulu saat mencintainya, Edwin bahkan jarang menggodanya. Edwin memang romantis. Namun dirinya selalu menjaga batasan dengan Diana. Maka dari itu, saat suaminya kini mulai terus menghimpit Diana di antara meja dapur dan tubuh kekar itu, membuat Diana dengan refleks menjauh. Memundurkan tubuhnya karena kakinya sudah tidak dapat bergerak. "Diana ... kenapa wajahmu memerah?" Edwan menatap Diana penuh kebingunan palsu sembari lebih mendekatkah tubuhnya. Membuat Diana semakin memundurkan bahu. Tangan Diana bersandar pada meja dapur untuk menjaga keseimbangannya. "A-aku ...." Suara Diana tergagap. Hingga membuat Edwan tidak dapat menahan dirinya. Tawa renyah kemudian terdengar sembari Edwan yang memundurkan tubuhnya kembali. Membuat Diana dengan segera berdiri tegak karena tadinya dia hampir terbaring di atas meja. Suara t
Diana membuka matanya. Dan setelah itu, pandangan pertama yang dirinya lihat adalah wajah suaminya yang masih tertidur. Posisi mereka hampir sama dengan semalam. Tangan Edwan masih memeluk pinggang Diana. Diana hampir saja mengalami serangan jantung. Namun dirinya seketika teringat bahwa sekarang Edwin telah berubah. Dirinya berubah terlalu banyak. Hingga Diana takut bahwa ini semua hanya permainan Edwin kembali. Diana terdiam sembari memandang wajah orang yang telah empat tahun dirinya nikahi. Memandang kelopak mata yang menutupi netra hitam Edwin. Bulu matanya tebal dengan hidung yang mancung. Juga rahang tegas dan bibir tipisnya. Mata Diana pun turun pada pipi Edwin, di mana terdapat luka melitang di sana. Diana tidak tahu bagaimana suaminya mendapatkan bekas itu. Masih sibuk mengamati, tangan suaminya yang berada di pinggang Diana tiba-tiba mengerat dan membawa Diana lebih mendekat. Kemudian suara serak dipadukan dengan lembut terdengar. "Selamat pagi, Diana." Edwan terbangun
"Di mana sopan santunmu? Dan mengapa aku harus menjelaskan hal itu kepadamu, Mrs. Marley?" Suara dan tatapan Edwin begitu tajam. Marley bisa merasakan mata Edwin berkilat dingin menatapnya. Tidak ada senyum ataupun rasa bersalah yang Edwin tunjukan kepadanya setelah menghilang tanpa kabar selama lima hari. Dan Marley juga tidak salah mendengar saat namanya diucapkan dengan awalan Mrs. Panggilan yang begitu formal. Namun walau dirinya sangat kebingungan. Rasa amarah Marley lebih mendominasinya. Sesaat walau dia ragu, dirinya tetap melangkah masuk. Menutup pintu ruangan hingga hanya dirinya dan Edwin saja. "Apa maksudmu, Mas?! Aku pacarmu! Jelas aku punya hak untuk tahu!" sembur Marley. Dirinya membalas tatapan tajam Edwin. Mata Edwin serasa begitu dingin terhadapnya. "Kita putus. Mulai detik ini, bersikaplah sopan kepada diriku. Karena aku bukan lagi kekasihmu namun atasanmu," balas Edwan datar. Kemudian kepalanya mengarah ke pintu, "Keluar sekarang." Marley menatapnya tidak perca