Hari senin telah tiba. Sudah tiga hari Marley berusaha menghubungi Edwin. Dari jum'at, sabtu, dan minggu. Namun tidak pernah sekalipun panggilannya terjawab. Dan ketika Marley ke apartemen Edwin, masih tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Diana dan Edwin seperti hilang. Marley hanya mengambil cuti satu hari saja. Maka dari itu, sekarang dirinya sudah mulai bekerja. Sepanjang perjalanan menuju devisi, masih terdengar bisikan yang membuat kepala Marley terasa panas. Sebelum menuju meja miliknya, Marley membelokkan langkah menuju ruang kerja milik Edwin. Namun saat sampai, pintu masih tertutup. Membuat Marley berdecak sebal. Apakah Edwin masih mengambil cuti? "Nyari Mr. Edwin, Ley?" Suara seseorang membuat Marley menoleh. Kemudian dirinya menemukan Andrew. HRD itu tampak lesu dengan segepok dokumen yang berada di kedua tangannya. Marley meringgis melihat tampilannya. Tampak lusuh sekali, batin Marley "Iyaa," balas Marley. Matanya masih menatap dari atas sampai bawah tubuh Andre
Edwan terdiam di atas ranjang rumah sakit sembari menikmati suara jarum jam. Di gelapnya malam, tepat pukul 12 malam dirinya masih belum menutup mata. Bahkan kantuk juga tidak ia rasakan. Edwan menoleh ke arah sofa. Di mana Diana sudah tertidur nyenyak dengan posisi meringkuk serta selimut yang menutupi tubuhnya. Ingin rasanya Edwan terbangun dari ranjang dan tidur dengan memeluk Diana. Namun tubuhnya masih terasa lemas. Helaan nafas terdengar dari bibir Edwan. Ia ingin tertidur. Namun ada rasa takut dalam hatinya. Takut apabila dirinya menutup mata dan membiarkan dirinya lengah satu detik saja, Edwin akan mengambil alih. Dilihat dari sudut manapun, tubuh ini adalah milik Edwin. Jika Edwan tidak cukup kuat, dirinya tidak akan bisa menekan Edwin. Edwan harus benar-benar memusnahkan Edwin. Perlahan Edwan menutup matanya. Berusaha jatuh dalam ruangan yang menjadi asal mulanya. Edwan yakin, Edwin masih terjebak di sana. Dan yang dirinya harus lakukan adalah memusnahkan jiwa tersesat i
Zerkin mengerti dirinya selalu menjadi pusat perhatian. Biasanya dirinya akan acuh dengan itu semua. Tahu bahwa yang menjadi pusat perhatian dari mereka adalah parasnya. Namun sekarang sedikit berbeda. Mereka mengamati Zerkin karena kaki pincangnya. Ya, selasa pagi Zerkin berangkat dengan kaki yang pincang akibat ulah suami wanita incarannya.Zerkin ingin mengambil cuti lebih lama dan membuat Oliver menggantikan pekerjaannya. Setidaknya sampai Zerkin dapat berjalan normal. Namun sayang sekali Zerkin tidak bisa karena Oliver tidak mampu mengatasi tender dengan perusahaan dari Dubai minggu ini. Membuat Zerkin dengan terpaksa masuk. "Pffttt ...." Terdengar tawa tertahan di sampingnya. Berasal dari Oliver. Membuat Zerkin melirik sinis ke arahnya. "Maaf," ujar Oliver meminta maaf. Namun nadanya tidak terdengar bersalah. "Namun melihatmu berjalan pincang benar-benar menghiburku." Zerkin mengabaikannnya. Karena jika dia meladeni ejekan Oliver, itu hanya akan memberikan Oliver kebahagiaan
Diana tahu bahwa suaminya mengatakan kepadanya bahwa mereka akan memulai dari awal. Namun Diana tidak pernah menyangka, bahwa perubahan sifat Edwin akan sangat besar. Dulu saat mencintainya, Edwin bahkan jarang menggodanya. Edwin memang romantis. Namun dirinya selalu menjaga batasan dengan Diana. Maka dari itu, saat suaminya kini mulai terus menghimpit Diana di antara meja dapur dan tubuh kekar itu, membuat Diana dengan refleks menjauh. Memundurkan tubuhnya karena kakinya sudah tidak dapat bergerak. "Diana ... kenapa wajahmu memerah?" Edwan menatap Diana penuh kebingunan palsu sembari lebih mendekatkah tubuhnya. Membuat Diana semakin memundurkan bahu. Tangan Diana bersandar pada meja dapur untuk menjaga keseimbangannya. "A-aku ...." Suara Diana tergagap. Hingga membuat Edwan tidak dapat menahan dirinya. Tawa renyah kemudian terdengar sembari Edwan yang memundurkan tubuhnya kembali. Membuat Diana dengan segera berdiri tegak karena tadinya dia hampir terbaring di atas meja. Suara t
Diana membuka matanya. Dan setelah itu, pandangan pertama yang dirinya lihat adalah wajah suaminya yang masih tertidur. Posisi mereka hampir sama dengan semalam. Tangan Edwan masih memeluk pinggang Diana. Diana hampir saja mengalami serangan jantung. Namun dirinya seketika teringat bahwa sekarang Edwin telah berubah. Dirinya berubah terlalu banyak. Hingga Diana takut bahwa ini semua hanya permainan Edwin kembali. Diana terdiam sembari memandang wajah orang yang telah empat tahun dirinya nikahi. Memandang kelopak mata yang menutupi netra hitam Edwin. Bulu matanya tebal dengan hidung yang mancung. Juga rahang tegas dan bibir tipisnya. Mata Diana pun turun pada pipi Edwin, di mana terdapat luka melitang di sana. Diana tidak tahu bagaimana suaminya mendapatkan bekas itu. Masih sibuk mengamati, tangan suaminya yang berada di pinggang Diana tiba-tiba mengerat dan membawa Diana lebih mendekat. Kemudian suara serak dipadukan dengan lembut terdengar. "Selamat pagi, Diana." Edwan terbangun
"Di mana sopan santunmu? Dan mengapa aku harus menjelaskan hal itu kepadamu, Mrs. Marley?" Suara dan tatapan Edwin begitu tajam. Marley bisa merasakan mata Edwin berkilat dingin menatapnya. Tidak ada senyum ataupun rasa bersalah yang Edwin tunjukan kepadanya setelah menghilang tanpa kabar selama lima hari. Dan Marley juga tidak salah mendengar saat namanya diucapkan dengan awalan Mrs. Panggilan yang begitu formal. Namun walau dirinya sangat kebingungan. Rasa amarah Marley lebih mendominasinya. Sesaat walau dia ragu, dirinya tetap melangkah masuk. Menutup pintu ruangan hingga hanya dirinya dan Edwin saja. "Apa maksudmu, Mas?! Aku pacarmu! Jelas aku punya hak untuk tahu!" sembur Marley. Dirinya membalas tatapan tajam Edwin. Mata Edwin serasa begitu dingin terhadapnya. "Kita putus. Mulai detik ini, bersikaplah sopan kepada diriku. Karena aku bukan lagi kekasihmu namun atasanmu," balas Edwan datar. Kemudian kepalanya mengarah ke pintu, "Keluar sekarang." Marley menatapnya tidak perca
Setelah turun dari mobil, Zerkin tidak menuju ruangan miliknya. Namun lelaki itu memilih ke arah divisi Diana. Zerkin tahu perempuan itu meminta cuti sampai hari rabu. Bersama dengan suaminya. Membuat Zerkin bertanya-tanya apa yang terjadi. Ketika sampai pada devisi Diana, dirinya segera menemukan wanita itu yang tampak berbicara dengan pegawai lain. Zerkin kemudian berjalan mendekat. Walau sudah ada beberapa orang di divisi Diana, mereka tidak berani untuk menatap Zerkin. Mereka mengingat ancaman Zerkin waktu itu. Walau sebenarnya Zerkin tahu, mereka dengan diam-diam melirik ke arahnya. Saat sudah dekat, tidak ada di antara keduanya yang tahu kehadiran Zerkin. Mereka terlalu serius berbicara. Dan Zerkin yang sudah sampai pada kursi mereka sedikit mendengar perkataan wanita itu pada Diana. "Benar, Kak! Mr. Nicasion itu orang yang suka tidur sa—" Mendengar itu, dengan segera Zerkin berbicara. "Suka apa?" Zerkin tahu apa yang sedang wanita itu bicarakan. Semua orang kantor sudah ta
Segera setelah memberikan Diana cincin, Zerkin kembali ke ruangannya. Di sana dia menemukan Oliver yang menunggu sembari membaca dokumen. Saat tahu Zerkin datang, segera Oliver meliriknya."Udah?" tanyanyaZerkin berjalan masuk dan duduk pada kursi miliknya. Kemudian menyenderkan tubuh di sana. "Udah," balas Zerkin kepada Oliver. Oliver menaikkan alisnya ketika melihat raut tidak puas dari Zerkin. "Kenapa? Di tolak?""Selalu ditolak. Setelah di ancam, baru dia menerimanya.""Hah!? Kau mengancamnya?" tanya Oliver tidak percaya. Dirinya yang memberikan ide kepada Zerkin untuk memberikan hadiah kepada Diana. Karena wanita selalu suka akan hadiah. Oliver juga mengatakan untuk memulai pendekatan secara halus dan tidak memaksa. Namun sepertinya sahabatnya ini tidak bisa bahasa manusia."Hm. Aku mengancam akan memecat suami dan temannya jika dia tidak menerima cincin dariku."Benar-benar. Oliver lelah dengan Zerkin."Aku sudah bilang, dekati dia secara halus!"Zerkin memutar matanya bosan.