Hari ini Angga libur sekolah. Romlah ingin masak makanan kesukaan Angga, yaitu sop ayam. Agar masakannya cepat matang, Romlah meminta Angga untuk menjaga dan mengawasi adiknya.
Selesai memasak, mereka makan bersama. Angga makan dengan lahapnya, dan Romlah masih sibuk menyuapi Riska.Pekerjaan rumah dan segala printilannya telah selesai dikerjakan. Romlah merasa suntuk di rumah. Digendongnya Riska dan beranjak ke rumah Dewi.Begitu sampai di depan rumah Dewi, terlihat sebuah sepeda motor terparkir, yang berarti Dewi sedang menerima tamu."Rom, sini!" teriak Dewi ketika melihat Romlah hendak memutar badannya untuk pulang ke rumah.Romlah tersenyum. Wanita berdaster hijau itu berjalan menuju teras rumah Dewi."Ada tamu Dew?" tanya Romlah sambil menurunkan Riska dari gendongannya."Iya, teman ayahnya Fitri," jelas Dewi."Motornya bagus Dew, orang kaya pasti." Perhatian Romlah sedari tadi memang tertuju ke sepeda motor berwarna merah bermerk N-Max itu."Baguslah, keluaran terbaru. Dan kabarnya itu motor termahal di kelasnya. Tapi nggak tau kelas berapa dia," ucap Dewi mengundang tawa."Mahal dong?" tanya Romlah."Mahal, lah! Padahal, kerjaan dia cuma jual bibit cabe, loh," bisik Dewi."Iya, kah? Kok bisa dia kebeli motor sebagus itu?!" Romlah kaget."Bisa, soalnya dia jual bibit cabe sekalian sama kebunnya," kata Dewi.Romlah tertawa mendengar perkataan Dewi yang seakan tak bersalah itu.***Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Namun, mata Romlah masih tak dapat terpejam karena harus mengompres badan Angga yang tiba-tiba saja panas setelah pulang bermain sore tadi.Melihat Angga yang terus menggigil serta mengeluarkan rintihan kecil, membuat Romlah ketar-ketir. Untung saja Riska tak terganggu dan masih tidur dengan lelapnya.Hari sudah pagi, tetapi suhu badan Angga tak juga menurun. Romlah bingung, kegelisahan nampak jelas di wajahnya. Romlah bangkit dari kasurnya, lalu memandikan Riska.Setelah puas menyusu, dibawanya bocah berusia sepuluh bulan itu ke rumah mertuanya. Romlah menitipkan Riska kepada mertuanya, karena akan membawa Angga periksa ke klinik desa.Usai menitipkan Riska, wanita berhidung mancung itu segera lari ke rumah Dewi. Romlah berniat meminjam sepeda motor Dewi. Namun apa daya, ternyata rumah Dewi tertutup rapat.Tak ada pilihan lain, mau tak mau Romlah harus meminjam sepeda motor Yuli. Bergegas Romlah mendatangi rumah Yuli."Mbak," panggil Romlah."Tumben kesini!" ketus Yuli yang baru keluar dari dapur. Raut wajahnya terlihat sinis."Mau pinjam sepeda motornya sebentar, boleh?" ucap Romlah ragu."Mau kemana? Ke pasar? Jalan-jalan?" cecar Yuli."Mau ke klinik, Mbak. Angga panas," jelas Romlah.Sebenarnya ia sudah malas harus berlama-lama berhadapan dengan Yuli. Tapi apa boleh buat? Demi kesembuhan anaknya ia abaikan rasa itu."Gaya amat, panas dikit ke klinik! Orang-orang, tuh, biasanya di kasih obat penurun panas juga sembuh! Ini, mah, kamunya aja yang pengen jalan-jalan!" tuduh Yuli."Enggak, Mbak. Beneran mau ke klinik. Angga panasnya nggak turun dari semalam," jelas Romlah."Yaudah, tapi jangan lama-lama! Nanti aku juga mau pakai!" ujar Yuli.Romlah mengeluarkan sepeda motor yang masih terparkir rapi di dalam rumah Yuli."Jangan lupa bensinnya nanti diisi!" perintah Yuli sebelum akhirnya Romlah meninggalkan rumahnya. Tak dihiraukan ocehan Yuli dan berangkat menuju klinik bersama Angga.Beruntung yang dikhawatirkan Romlah tidak terjadi. Angga hanya demam biasa.Mungkin, Romlah bisa bernapas lega di klinik ini, tetapi tidak ketika di rumah nanti.Sesampainya di rumah, Romlah mengantar Angga ke kamar. Setelah itu, segera ia mengembalikan sepeda motor milik kakak iparnya. Ia tak mau menambah panjang masalahnya dengan wanita berlengsung pipi itu.Di teras rumah Yuli terlihat sepi, hanya ada Reza--anak pertama Yuli-yang sedang bermain telepon genggamnya."Mas Reza, tante mau balikin sepeda motornya ibumu. Makasih ya," ucap Romlah pelan seraya menyerahkan kunci sepeda motor itu ke Reza."Iya, Tan." Reza menerima kunci lalu memasukkan ke kantong celananya."Ibu kemana, Mas? Tumben sepi?" tanya Romlah, sesekali ia celingukan melihat ke dalam rumah."Nggak tahu, Tan. Dari aku bangun tadi rumah udah sepi. Mana belum dibikinin sarapan, untung sekolahku libur," gerutu Reza."Yaudah, Tante pulang, ya. Angga lagi sakit soalnya," pamit Romlah meninggalkan Reza yang kembali sibuk dengan telepon genggamnya.Romlah berjalan menuju rumah mertuanya. Ia teringat jika Riska belum sarapan, segera ia percepat langkahnya.Sampai di depan teras mertuanya, masih terlihat sepi."Bu, Ibu," panggil Romlah."Di dalam, masuk aja!" teriak mertua Romlah.Betapa terkejutnya Romlah ketika melihat Riska sedang disuapi es teh menggunakan sendok oleh mertuanya."Bu, kok, Riska dikasih es, sih? Cuacanya lagi dingin, loh," ucap Romlah segera mengambil Riska dari gendongan mertuanya."Anakmu rewel, ngrengek mulu. Diberi apa-apa nggak mau. Tadi ada yang bawa es, pas dicobain dia anteng. Yaudah Ibu beliin," bantah wanita berusia lima puluh empat tahun itu."Tapi, ini masih pagi, loh, Bu." Romlah masih tak terima."Yaudah, sih. Nggak apa-apa, nggak sering juga, kan," ujar Siti tak merasa salah sedikit pun."Kalau kamu nggak terima, kenapa nggak kamu bawa aja tadi Riskanya!" kata Yuli yang tiba-tiba keluar dari dapur Siti, entah sejak kapan ia berada di situ."Ya nggak bisa, Mbak. Lagian Aku tadi buru-buru, susah bawanya," sanggah Romlah."Halah, kamu ibunya kok gak mau disusahin anakmu! Malah nyusahin orang lain!" tuduh Yuli"Nggak gitu, Mbak," jawab Romlah."Lalu apa? Terus Angga gimana?" tanya Yuli sambil duduk di kursi sebelah ibunya."Nggak kenapa-kenapa, kok, Mbak. Cuma demam biasa," jelas Romlah."Kata aku juga demam biasa, kan. Kamunya aja yang kebanyakan gaya!" ketus Yuli."Nggak gitu, Mbak. Dari semalam panasnya tinggi banget, udah gitu nggak turun padahal udah kukompres." Romlah tak mau disalahkan."Alesan!" ngomong aja biar nggak kutagih utangmu, iya, kan?" cibir Yuli."Aku pulang dulu, kasihan Angga sendirian di rumah. Makasih ya Bu udah mau jagain Riska, makasih Mbak udah minjemin motor, bensin tadi udah kuisi, kok. Jangan khawatir, empat bulan lagi ku bayar utang Mas Agus!" Romlah pergi meninggalkan Yuli dan mertuanya.Sungguh Romlah merasa sakit hati. Ketika anaknya sakit, tak ada satu orangpun yang peduli. Ia berjanji dalam hati untuk segera menyelesaikan urusan utang-piutang dengan kakak iparnya itu.Romlah menuju kamar untuk melihat keadaan Angga yang ternyata masih tidur. Sambil menunggu Angga bangun, ia menyuapi Riska bubur ayam yang tadi sempat ia beli di jalan.Riska lahap sekali makannya, mungkin memang dia sangat lapar."Rom." Terdengar seperti suara Dewi yang memanggilnya."Iya, di dalam," jawab Romlah.Benar saja, Dewi datang membawa kresek kecil dan juga anaknya yang sedang digendong."Tadi ke rumah, ya?" tanya Dewi seraya menurunkan bocah yang usianya tak jauh beda dengan Naura."Iya. Tadi aku mau pinjem sepeda motormu buat bawa Angga ke klinik. Eh, kamunya nggak ada," jelas Romlah."Aku semalam ke rumah mertuaku. Pas mau pulang dari sana, malah hujan gede. Yaudah sekalian aku nginap. Terus, udah diperiksain Angganya?" kata Dewi lalu membuka kresek berisi jajanan yang dibawanya tadi."Udah, tadi pake sepeda motor Mbak Yuli. Ya gitu, ujung-ujungnya ngajak adu argumen," jelas Romlah."Wah, pagi-pagi udah adu argumen. DPR kalah, nih, kayaknya," ledek Dewi.Romlah hanya tertawa saja menanggapi guyonan satire dari temannya itu. Mereka menghabiskan waktu di rumah Romlah hingga siang hari.Ya, pada waktu Romlah kesusahan, nyatanya hanya Dewi yang peduli dengannya. Romlah tersenyum gamang menutupi luka. Di saat anaknya sakit, dia harus berdiri sendiri untuk menapak di tengah keluarga suaminya yang tak peduli. Sementara Agus sendiri berada jauh di sana, merantau ke kota orang demi mencukupi kebutuhan hidup keluarga kecilnya.Semenjak Angga sembuh dari sakitnya kemarin, ia menjadi anak yang pemilih untuk urusan makanan. Romlah harus lebih kreatif dalam memasak menu untuk Angga. Itu pun kadang hanya beberapa suap yang dimakan. Lihat lah! badannya kini menjadi lebih kurus.Juga Riska, ia pun sering rewel saat akan tidur. Di hari biasanya, Riska akan tidur selesai menyusu, tetapi beberapa hari ini berbeda. Entah apa yang diinginkan Riska. Ibunya pun sampai bingung melihat kelakuan mereka.Romlah mulai lelah dengan keadaan ini. Ia terlihat stres membujuk Angga agar mau makan. Beberapa menu makanan ia sebutkan agar Angga dapat memilih sendiri makanan yang diinginkan. Mulai dari sop ayam, soto ayam, sate, dan yang lainnya, tetapi usahanya nihil. Angga tetap saja menggelengkan kepala dan membuat Romlah emosi.Karena merasa lelah, akhirnya Romlah memutuskan membeli saja masakan yang dijual di warung depan gang. Ia membeli beberapa potong ayam bumbu kecap dan beberapa lauk lainnya.Sedang sibuk membujuk Angga agar
"Romlah, kamu hamil lagi!" teriak Siti yang berada tepat di depan Romlah. Karena terlalu buru-buru, ia lupa mengunci pintu rumahnya.Romlah kaget hingga benda yang dipegang terjatuh. Siti mengambil alat tes kehamilan itu dan memastikan yang dilihatnya tidak salah."Astaga, Rom!" Siti kaget begitu melihat hasil dari tes kehamilan itu.Siti terduduk di kursi yang terbuat dari kayu. Romlah merasa bersalah, dan ikut duduk di hadapan mertuanya. Terdengar suara tangisan Riska dari dalam kamar. Segera Romlah menggendong anak perempuan itu. Romlah mendekati mertuanya dan kembali duduk di hadapannya.Terlihat raut sedih di wajah Siti, sesekali ia memijat pelan keningnya. Beberapa kali Siti menarik napas lalu membuangnya. Badannya pun terlihat tak bertenaga.Romlah yang tak enak hati, semakin merasa bersalah melihat sikap mertuanya. "Riska masih kecil, Rom," ucap mertuanya. Pandangannya terlihat kosong. "Iya, Bu." Romlah menatap anak yang digendong lalu menundukkan kepalanya.Saat ini, rumah
Yuli masih kesal dengan kehamilan Romlah yang baru saja ia ketahui. Sebenarnya, bukan karena usia Riska yang menjadi penyebab utama kekesalannya, ada hal lain yang mengganggu pikirannya."Jangan sampai hutangku nggak jadi dibayar gara-gara dia hamil!" gerutu Yuli.Yuli selalu merasa emosi tiap memikirkan utang yang tak kunjung dibayar oleh Romlah. Berkali-kali ia tagih, tetapi berkali-kali pula ia mendapatkan kekecewaan.Ketika dijanjikan Romlah akan membayar utangnya empat bulan lagi, hatinya cukup gembira. Setidaknya, ada setitik harapan uangnya akan kembali. Diambil telepon genggam yang sedari tadi tergeletak di meja. Ditekan nomor yang telah diberi nama Agus itu. Tak berselang lama, panggilan akhirnya tersambung.[Halo, Mbak.][Halo, Gus. Lagi istirahat?][Belum, Mbak. Ada apa?][Udah tahu belum, kalo Romlah hamil lagi?][Hamil? Masa, sih, Mbak?][Aku lihat sendiri Romlah pegang testpack dan hasilnya positif. Lagian, Romlah udah ngakuin, kok, kalau dia emang beneran lagi hamil. E
Dering telepon membuyarkan lamunan Romlah. Senyum merekah di bibirnya ketika melihat nama suaminya yang memanggil. Sedari tadi memang ia menunggu telepon dari Agus. Tak sabar rasanya, segera diusap tombol berwarna hijau itu."Halo, Mas," ucap Romlah sengaja bermanja dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. Banyak hal yang ingin diceritakannya kepada suaminya."Aku nggak nyangka kamu tega sama aku, Rom!" kata Agus pelan. Tersirat kesedihan terdengar dari suaranya."Kenapa, Mas? Ada apa?" Romlah bingung karena tak mengerti yang diucapkan oleh suaminya."Dengan siapa kamu melakukannya?!" Nada bicara Agus mulai meninggi."Apa, sih, Mas? Kamu ngomongin apa?" desak Romlah."Kamu selingkuh, ‘kan, di belakangku! Siapa ayah dari bayi yang kau kandung? Katakan, Romlah!" bentak lelaki berusia tiga puluh enam tahun itu."Aku nggak selingkuh, Mas." Romlah lemas mendengar perkataan suaminya. Seperti ada sesuatu yang menusuk di dada Romlah. Bulir bening pun menetes dari matanya. "Jangan bohong!
Hari terus berlalu, tetapi tidak dengan kebencian Romlah terhadap kakak iparnya. Setelah rumah tangganya dibuat porak poranda, bahkan namanya kini telah menjadi buah bibir oleh warga sekitar. Romlah kini lebih sering menghabiskan waktunya di rumah. Selain untuk menghindar dari Yuli, Romlah juga enggan untuk bertemu ibu-ibu yang selalu menggosip. Hatinya masih terlalu rapuh untuk menjawab pertanyaan para ibu tentang kehamilannya. Berita yang tersebar saat ini adalah kehamilannya dengan pria lain ketika ditinggalkan Agus untuk bekerja.Begitu kejam fitnah yang dibuat oleh kakak iparnya itu. Seperti tak ada puasnya membuat Romlah menderita. Romlah sedang menemani Riska yang tengah tidur di dalam kamar ketika mertuanya memanggil namanya."Rom, Romlah. Ibu mau bicara," ucap mertua Romlah yang langsung duduk di kursi kayu."Iya, Bu." Romlah bergegas keluar. Sebenernya ia sangat malas untuk menemui mertuanya. Namun, dia tidak bisa menolaknya.Romlah duduk di hadapan wanita berusia lima pul
Mempunyai keluarga yang saling mendukung, sejatinya adalah impian setiap orang. Begitu pun dengan Romlah. Namun apa daya, kini dia justru merasa sendiri menghadapi kerasnya dunia.Jika hanya mertua dan kakak iparnya yang membencinya, mungkin ia masih bisa terima. Namun, ketika suaminya sudah tak mempercayainya, apakah mungkin biduk rumah tangganya masih dapat terus berjalan? Bertahan terlalu sakit, tetapi untuk menyerah bukanlah pilihan yang mudah.Demi anak-anaknya dia terus bertahan untuk memperjuangkan keutuhan keluarganya. Walaupun tak terhitung entah berapa banyak tetes air mata yang ia tumpahkan.Ini adalah hari kelima setelah pertengkarannya dengan Yuli. Itu artinya ini hari kelima juga pertengkarannya dengan Agus. Sejak saat itu, Agus tak lagi menghubunginya. Jangankan untuk meminta maaf, untuk menanyakan kabar anak-anaknya pun tidak.Begitu pula dengan Romlah, dia juga tak mau menghubungi suaminya. Rasa sakit hati membuatnya enggan untuk memberi kabar kepada suaminya.Hari in
Teriknya siang ini menambah suhu di kota Jakarta semakin panas. Namun, hal itu tak mengurangi semangat Agus dalam bekerja. Sebagai seorang montir, ia dituntut untuk selalu fokus dalam pekerjaannya. Bapak dari dua orang anak itu tak mau posisinya digantikan oleh orang lain karena pekerjaannya tidak bagus.Sebenarnya, Agus saat ini tengah merasakan keresahan dalam hatinya. Bagaimana tidak? Istri yang amat dicintainya kini tengah hamil padahal Agus telah dua bulan lebih berada di kota Jakarta. Hatinya panas ketika diberitahu oleh kakaknya. Mengapa Romlah begitu tega menduakan cintanya?Segalanya telah Agus berikan kepada Istrinya, hingga seluruh uang gajinya pun dia berikan seluruhnya kepada Romlah setelah dikurangi uang bensin. Sedangkan untuk urusan makan, dia telah mendapatkan jatah dari bengkel tempatnya bekerja.Beberapa hari tak menelpon keluarga kecilnya di kampung, membuat kerinduannya menggunung. Namun, rasa sakit hati yang terlalu dalam kepada istrinya, membuat Agus harus menah
Bagi sebagian orang, mereka akan merasa antusias ketika hendak pulang kampung. Namun, hal itu tidak terjadi pada Agus. Anak kedua dari ibu Siti itu justru merasa bingung harus bersikap seperti apa ketika bertemu dengan istrinya nanti.Rasa tidak tenangnya terlihat sekali ketika Agus beberapa kali merubah posisi duduknya. Bahkan, sepanjang jalan ia tak dapat memejamkan matanya.Setelah menempuh perjalanan kurang lebih sekitar enam belas jam, akhirnya ia tiba di tempat pemberhentian bis terdekat dari desanya. Walaupun ia masih harus memesan ojek untuk sampai ke tempat tinggalnya.Tepat pukul 05.00, Agus menginjakkan kaki di desa tempatnya dilahirkan. Di depan pintu kini lelaki itu berdiri. Ingin sekali rasanya segera masuk ke dalam rumah sederhana yang telah ia bangun bersama istrinya delapan tahun lalu. Di dalam rumah ini juga, perjalanan keluarga kecilnya dimulai."Bapak!" Seorang bocah berumur delapan tahun yang baru saja bangun tidur menghampiri Agus. Entah berapa lama ia termenung
"Mbak Yuli gimana keadaannya, Bu?" tanya Romlah yang sedang menemui mertuanya."Badannya tadi masih panas, Rom. Dia sendiri di rumah, anak-anaknya sekolah. Suaminya juga kerja," jawab Siti sembari menyapu halaman rumah."Kasihan Mbak Yuli, ya, Bu. Aku pengen ke sana tapi takut Mbak Yuli makin marah sama aku.""Nggak, lah. Anak-anakmu tinggal sama Ibu aja kalau kamu mau ke rumah Yuli."Tak lama, Romlah pun bersiap untuk ke rumah Yuli. Romlah membawa sop ayam yang sengaja ia masak untuk Yuli.Tangan Romlah terasa panas dingin, dan juga jantungnya berdetak lebih cepat. Ia berharap Yuli menerima kedatangannya dengan baik.Romlah membuka pelan pintu rumah Yuli. Rumah yang telah di cat dengan warna biru itu terlihat sunyi.Romlah mematung di depan pintu ruang tamu. Ia ingin langsung masuk ke dalam kamar Yuli, tetapi ia takut dianggap lancang dan kurang ajar. Namun, jika ia menunggu Yuli keluar dari kamar, rasanya sedikit mustahil.Akhirnya Romlah memutuskan masuk ke dalam kamar Yuli."Mbak
"Makan malam dulu yuk, Dek! Mas tadi abis Beli makanan di warung yang ada di pertigaan depan," ucap Agus sembari menenteng kantong plastik berisi makanan.Romlah yang baru saja selesai membuat bumbu untuk ia masak malam nanti pun kaget. Ia benar-benar tak menyangka suaminya akan kembali baik padanya."Aku mandi dulu sebentar, ya, Mas. Gerah banget, nih." Tanpa menunggu jawaban Agus, Romlah langsung mengambil handuk dan menuju kamar mandi.Selesai Romlah mandi, mereka pun makan bersama. Rasa rindu akan Kehangatan keluarga kini sedikit terobati, Romlah berharap ini akan selamanya. Romlah sempat menitikkan air matanya karena rasa haru, tetapi ia Segera menghapusnya agar tak ada satu orang pun yang tahu."Bapak nanti tidur di rumah Nenek lagi?" tanya anak lelaki berumur delapan tahun itu."Enggak, lah! Bapak tidur di sini aja bareng Ibu," jawab Agus yang terang saja membuat pipi Romlah memerah menahan malu."Kok, nggak di rumah Nenek lagi?" Angga masih penasaran."Kan, kangen sama nenekny
Sesampainya di rumah, Romlah memarkirkan sepeda motornya di teras rumah. Romlah ingin segera membereskan bekas jualannya tadi pagi. Namun, rasa lelah memaksanya untuk beristirahat sebentar.Romlah meletakkan bokongnya pada kursi kayu kecil yang ia pakai untuk menunggui dagangannya. Ia menyempatkan untuk membuka HP, karena waktu di jalan tadi ia sempat merasakan benda pipihnya itu bergetar.Benar saja, di layar depan handphone-nya terdapat beberapa pesan yang telah masuk. Wanita yang telah memiliki tiga orang anak itu terkejut setelah membuka satu persatu pesan itu yang berisi permintaan untuk segera dikirimkan beberapa bungkus nasi uduk dan nasi kuning jualannya.Romlah segera menyiapkan pesanan itu. Ia tak ingin membuat kecewa pembeli yang terbilang baru saja mencoba barang dagangannya."Ada pesanan lagi, Rom?" tanya mertua Romlah yang baru saja keluar dari rumahnya membawa kedua anak Romlah."Iya, Bu," jawab Romlah dengan senyum sumringah yang terukir dari bibirnya.Siti tersenyum b
Usai beres-beres, Romlah mengecek beberapa bumbu yang harus ia beli nanti siang. Barang-barang yang telah habis itu ia catat di sebuah kertas agar nanti tidak terlewat sewaktu dirinya berbelanja.Tak banyak barang yang akan ia beli nanti, jadi ia bisa lebih menghemat pengeluarannya. Romlah merebahkan dirinya dahulu sebelum ia kembali menyiapkan beberapa bumbu yang akan dipakainya malam nanti.Total pesanan yang masuk ada delapan bungkus nasi uduk dan tujuh bungkus nasi kuning. Walaupun masih sedikit, namun ia sangat bersyukur karena ada pemasukan untuk hari esok.Sedang menikmati waktu luangnya bersama anak-anaknya, terdengar suara tukang sayur yang mulai memanggil para pelanggannya.Romlah segera membawa kedua anaknya untuk berbelanja bumbu dan beberapa sayuran yang ia butuhkan untuk berjualan esok hari. Ia juga tak lupa membawa nasi uduk yang sengaja ia pisahkan untuk diberikan kepada tukang sayur itu."Ini, Pak, cicipin nasi uduk buatanku." Romlah menyerahkan nasi uduknya kepada tu
Mata itu terus saja tertuju pada ibu dari anak-anaknya. Ia merasa bersalah, tak seharusnya ia begitu keras kepada istrinya."Lagi ngapain, Gus?" tanya Siti mengagetkan Agus yang terus menatap Romlah dari jauh.Agus terkejut hingga badannya tersentak, "eh, Ibu! Ngagetin." Agus mengelus dada merasakan jantungnya berdetak lebih kencang."Bantuin sana!" perintah Siti."Aku mau berangkat kerja, Bu," ucap Agus sembari mengambil tas kecil yang tergantung di depan pintu kamar.Siti merasa jika anaknya sebenarnya masih sangat mencintai Romlah, tetapi sepertinya ia gengsi untuk mengakuinya."Bu, aku berangkat, ya. Titip anak-anak," pamit Agus sebelum meninggalkan rumah.Wanita berumur lebih dari setengah abad itu tersenyum melihat tingkah anaknya yang tak lagi muda itu.Saat melewati depan rumahnya, ia tak sanggup menatap Romlah. Lelaki berumur tiga puluh enam tahun itu hanya menunduk dan berdoa dalam hati, semoga jualan istrinya laris sehingga Romlah tak kecewa dengan apa yang diusahakannya se
Hari baru, begitu pun semangat yang baru dari dalam diri Romlah. Rasanya telah lama ia terpuruk dalam penyesalan hidupnya. Kini sudah saatnya Romlah menunjukkan pada dunia bahwa dirinya bukanlah wanita lemah.Walaupun hatinya masih dipenuhi rasa sesak karena kedua anaknya lebih memilih bersama ayahnya. Namun, ia harus cukup terima karena anak ketiganya begitu membutuhkan dirinya.Romlah mengumpulkan tenaga untuk memulai hari. Banyak rencana yang akan dilakukannya hari ini. Setelah memandikan lalu menyusui Naura, Romlah mulai menulis belanjaan yang akan dibeli di tukang sayur keliling langganannya.Ya, Ibu dari tiga orang anak itu sedang berencana untuk berjualan nasi uduk dan nasi kuning di depan rumahnya. Berbekal kemampuan memasaknya yang tak diragukan lagi, ia mencoba membuka usaha untuk menghidupi dirinya sendiri dan juga anak-anaknya.Romlah bertekad, untuk tak lagi menggantungkan hidupnya kepada Agus. Ia harus belajar berdiri dengan kakinya sendiri.Usai mencatat semua kebutuhan
Romlah ke dapur untuk mengambil tali jemuran yang baru ia beli pagi tadi. Wanita itu sengaja membelinya untuk mengganti tali jemuran lama yang sudah usang. Namun, karena ia terlalu sibuk dengan anak-anaknya, sehingga ia lupa Untuk segera memasangnya.Romlah membawa tali itu ke dapur. Wanita berambut hitam itu segera memasang tali ke atas kuda-kuda rumah yang terpasang di dapur. Kondisi atap dapur yang belum terpasang plafon, membuat Romlah lebih cepat untuk menyelesaikan pemasangan talinya.Usai memasang tali, Romlah terduduk memandangi benda menggantung yang akan mengantarkannya meninggalkan semua luka yang dirasakan saat ini.Rasa sakit hati dan kehilangan yang membuat wanita berumur tiga puluh tiga tahun itu nekat. Rasanya tak ada lagi gunanya ia melanjutkan hidupnya. Semua yang dimiliki telah hilang, semuanya telah pergi. Agus yang dulu amat mencintainya, kini tak ada lagi di sisinya. Angga, juga Riska justru memilih ikut bersama ayahnya. Lalu, apa gunanya ia hidup?Romlah menari
"Bu, masak apa?" tanya Yuli setelah masuk rumah ibunya.Yuli segera menuju dapur milik ibunya. Kebetulan sekali ia melihat adik lelakinya sedang sarapan bersama ibu.Teh sifat lagi keinginannya untuk mencari tahu alasan di balik pindahnya Agus ke rumah ini. Yuli sangat yakin rumah tangga adik kandungnya itu sedang ada masalah.Sebuah senyuman terukir di bibir ibu dari dua orang anak itu. Tak ingin membuang kesempatan, ia segera bergabung bersama adik dan ibunya."Wah, sarapannya enak, nih," ucap Yuli sembari duduk di kursi yang masih kosong sebelah Agus."Sarapan bareng sini, Yul," ajak Siti. "Kebetulan tadi aku belum sarapan, Bu. Anak-anak sama bapaknya beli nasi uduk, aku nggak kebagian," jelas Yuli memperlihatkan expresi sedih."Sarapan di sini aja, Mbak. Masih banyak, kok, nasi gorengnya," tawar Agus yang masih terus mengunyah.Yuli mengambil piring dan menuangkan beberapa centong nasi goreng ke atas piringnya."Enakan tinggal di sini, kan, Gus, dari pada tinggal di rumahmu?" tan
Mata agus membulat sempurna begitu yakin jika wanita yang memanggilnya itu benar-benar istrinya."Mas!" teriak Romlah karena sang suami tak juga mendatanginya.Agus bingung harus bagaimana. Ia masih enggan untuk bertemu dengan istrinya, karena rasa kecewa yang begitu besar. Namun, ia juga malu karena Romlah terus saja memanggilnya. Ia merasa tak enak dengan teman-temannya kerjanya.Dengan terpaksa Agus mendatangi istrinya."Ada apa?" tanyanya singkat."Ini, aku bawain buat makan siang buat Mas." Romlah menyodorkan rantang yang berisi beberapa macam makanan.Tak ingin jika sang istri berlama-lama di tempat kerjanya, Agus pun segera menerima rantang pemberian Romlah, dengan harapan wanita yang telah memberinya tiga orang anak itu segera meninggalkan bengkel."Dimakan ya, Mas!""Kamu pulang aja, aku masih banyak kerjaan!" Agus meninggalkan Romlah yang masih berdiri mematung.Agus meletakkan rantang itu di atas kursi berwarna hitam yang biasa digunakan customer menunggu kendaraan mereka s