"Enak, ya, belanja terus! Utang dipikir juga, dong!" sindir Yuli ketika ada kurir mengantarkan paket ke rumah Romlah.
"Makasih, Pak," ucap Romlah kepada si kurir sembari menerima paket."Belanja online bisa tapi bayar utang gak bisa. Aneh!" oceh Yuli sambil menjemur baju yang telah dicuci tadi pagi."Iya, Mbak, nanti kubayar," jawab Romlah. Padahal dalam hatinya juga tak tahu kapan ia akan membayar utang kepada kakak iparnya itu."Halah, dari beberapa tahun yang lalu juga ngomong kayak gitu, tapi mana? Sampe sekarang juga gak dibayar!" ketus Yuli.Romlah memilih meninggalkan Yuli--kakak iparnya-dengan segala ocehannya. Sindiran itu bukan kali pertama yang ia terima. Namun, Romlah lebih memilih untuk tak meladeninya.Rumah mereka bersebelahan, jadi wajar saja jika Yuli akan mengetahui siapa saja yang bertamu ke rumah Romlah. Termasuk kurir yang akan mengantar paket.Romlah membuka paket yang dilapisi plastik berwarna hijau itu. Diambilnya gunting yang biasa ia simpan di laci bawah. Dengan sekali gunting, terbuka sudah pembungkusnya.Sebuah gamis berwarna coklat kombinasi hitam terpampang di hadapannya. Ia meraih gamis itu, lalu berdiri dan memakainya. Wanita ber-anak dua itu tersenyum puas sambil sesekali putar ke kiri lalu putar ke kanan."Orang-orang di Posyandu bakalan iri melihatku pakai gamis baru. Apalagi, belum ada yang punya model seperti ini. Pasti banyak yang pengen" ucap Romlah bangga.***Pagi-pagi sekali Romlah sudah menyelesaikan pekerjaan dapur. Angga--anak pertama Romlah--sudah berangkat ke sekolah tadi pagi. Setelah memandikan Riska, Romlah pun segera mandi dan bersiap-siap."Rom, posyandu nggak?" Terdengar suara Dewi dari luar rumah. Pintu memang sengaja tidak ditutup, karena biasanya Dewi akan menjemputnya."Iya, sini Dew, aku masih siap-siap!" teriak Romlah yang masih menyapukan bedak ke wajahnya."Cie, baju baru lagi, nih. Dapet dari mana Rom? Beli apa nyuri?" ledek Dewi disertai dengan cengiran khasnya."Beli, lah, enak aja," sahut Romlah sambil menoyor kepala Dewi.Dewi mengambil kaleng berisi kerupuk yang tergeletak di meja. Ia membukanya, dan memberikan satu kepada anaknya."Tapi bukan beli dari hasil pinjam online, kan? Atau hasil ngepet gitu misalnya?" goda Dewi.Romlah hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Dewi yang kadang bisa membuatnya darah tinggi. Namun, walaupun begitu, Romlah merasa sangat beruntung mempunyai sahabat seperti Dewi.Mereka menuju ke posyandu dengan berjalan kaki. Tangan kanan Romlah menggendong Riska tak lupa dompet kecil diselipkan diantara jarinya. Sedangkan tangan kirinya memegang payung.Ketika hendak melewati rumah Yuli, Romlah mendengar gerombolan Para ibu sedang asyik menggosip. Namun, ketika mereka melihatnya, suasana menjadi sunyi. Tak ada satu orang pun yang berbicara. Romlah yakin sekali jika mereka sedang membicarakan dirinya."Dewi, mau posyandu, ya?" Suara Yuli terdengar di antara gerombolan ibu-ibu itu."Iya, Mbak," jawab Dewi singkat."Tolong bilangin yang di sebelahnya, dong, Dew, utangnya dibayar! Gak malu apa punya utang tahun-tahunan?!" sindir Yuli. Terlihat muka Romlah merah padam."Rom, cicillah dikit-dikit utangmu! anakmu udah gede, kapan lunasnya kalau kamu gak mulai nyicil!" Salah seorang Ibu ikut memojokkan Romlah.Merasa dipermalukan di depan orang banyak Romlah tak terima."Kalau aku punya uang, gak perlu ditagih juga kubayar Mbak. Lagian itu utang adikmu! Tagihlah sama adikmu sana!" Romlah mulai terpancing emosi.Dewi yang berada di sebelahnya berusaha menarik tangan Romlah untuk menjauh dari Yuli. Namun agaknya, kekuatan Romlah lebih besar."Agus minjem uang, kan, buat nikahin kamu! Terus sekarang kamu juga udah jadi istrinya Agus, jadi wajar aja aku nagih ke kamu!" Yuli tak mau kalah, ia berdiri dari tempat duduknya dan berkacak pinggang."Salahin adikmu, dong, Mbak! Udah tau nggak punya duit, masih aja ngebet ngadain hajatan gede-gedean!" bantah Romlah. Nada bicaranya pun sudah mulai meninggi. Dadanya terlihat naik-turun dan memburu.Dengan sekuat tenaga Dewi menarik lengan Romlah, dan kali ini berhasil membawa Romlah menjauh dari Yuli."Sabar Rom. Kenapa kamu jadi kepancing sama Nenek sihir itu, sih?" ucap Dewi mengelus pundak Romlah."Kesel aku, Dew. Tiap hari nyindir terus. Orang kayak gitu emang perlu dilawan, Dew, biar nggak ngelunjak," Romlah mengatur napasnya yang hampir putus."Ya udah, tenangin dirimu dulu. Kita mau posyandu loh! Untung aja Riska dan Fitri gak bangun. Kalau sampai kebangun, kupastikan mereka sawan lihat kamu teriak-teriak kayak tadi. Kamu tahu, kan, biaya buat rukiyah itu mahal," celoteh Dewi menghibur Romlah.Benar saja Romlah seketika tersenyum mendengar ocehan Dewi. Setelah Romlah tenang, mereka melanjutkan kembali perjalanan menuju posyandu.***Hari ini hari Sabtu. Seperti biasa, Romlah telah menerima transferan dari Agus-suami Romlah-yang bekerja di kota sebagai mekanik sebuah bengkel.Selesai mengambil uang di ATM terdekat dari rumah, ia mampir ke pasar untuk membeli buah dan jajanan. Lalu jajanan itu dibagi menjadi dua. Satu untuknya, satu lagi untuk Dewi sebagai ucapan terima kasih karena telah meminjamkan sepeda motor kepadanya.Sedang menikmati jajanan di depan televisi bersama Riska, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Begitu pintu dibuka, sosok Siti--mertua Romlah--muncul."Lagi ngapain kamu, Rom?" tanya Siti nyelonong masuk ke dalam rumah."Lagi nonton TV, Bu," jawab Romlah, ia berjalan mengikuti mertuanya."Wah, enak, ya, suami kerja capek-capek, giliran dapet duit, istrinya malah jajan terus," tuduh Siti.Romlah hanya diam tak menyangkal omongan mertuanya. Karena menurutnya, disangkal atau diiyakan hasilnya akan sama. Sama-sama disalahkan."Kamu kapan mau bayar utang ke Yuli? Hutangmu udah lama banget, loh. Mau nunggu kamu punya cucu?!" hardik Siti."Iya, Bu. Nanti kalau sudah ada uang, pasti kubayar hutangku," jawab Romlah pelan. Bagaimana pun juga, ia masih menaruh hormat kepada wanita yang telah melahirkan suaminya itu."Iya-iya terus dari dulu! Tapi nggak dibayar juga! Oiya, lain kali kalau belanja jajanan, bagilah keponakanmu! Jangan pelit jadi orang, ntar sempit kuburanmu!" tuduh Siti. Siti mengambil beberapa jajanan yang akan diberikan kepada Doni-anak Yuli.Setelah dirasa cukup mengambil jajanan Romlah, Siti keluar meninggalkan wanita yang telah dinikahi anaknya hampir sepuluh tahun yang lalu itu.Romlah hanya bisa mengelus dada. Matanya tertuju kepada jajanan yang tergeletak di meja dan hanya tinggal beberapa saja. Padahal Angga juga belum mencicipi jajanan itu sama sekali. Ditahan emosinya karena Ia tak ingin kembali membuat keributan seperti kemarin.Tak lama setelah mertuanya keluar, terdengar suara sepeda motor berhenti di depan rumahnya. Ia baru teringat beberapa hari lalu telah membeli satu pasang sandal untuknya dan satu pasang lagi untung Angga."Paket!”Dugaan Romlah tak salah. Suara kurir berteriak tepat di depan pintu rumah Romlah."Baru saja Ibu protes tentang jajananku, malah paket belanjaan onlineku datang. Pasti bakalan kena omel lagi," gumam Romlah.Melihat Riska sedang asyik bersama jajanannya, Romlah pun berjalan keluar untuk mengambil paket yang dikirimkan Kurir.Benar saja. Begitu Romlah keluar, mertua dan kakak iparnya telah berdiri di depan rumah mereka dengan tatapan sinis. Rumah Romlah memang diapit oleh rumah mertua dan rumah kakak iparnya.Setelah urusan dengan kurir selesai. Segera Romlah masuk rumah dan menutup pintu.Hari ini Angga libur sekolah. Romlah ingin masak makanan kesukaan Angga, yaitu sop ayam. Agar masakannya cepat matang, Romlah meminta Angga untuk menjaga dan mengawasi adiknya.Selesai memasak, mereka makan bersama. Angga makan dengan lahapnya, dan Romlah masih sibuk menyuapi Riska.Pekerjaan rumah dan segala printilannya telah selesai dikerjakan. Romlah merasa suntuk di rumah. Digendongnya Riska dan beranjak ke rumah Dewi.Begitu sampai di depan rumah Dewi, terlihat sebuah sepeda motor terparkir, yang berarti Dewi sedang menerima tamu. "Rom, sini!" teriak Dewi ketika melihat Romlah hendak memutar badannya untuk pulang ke rumah.Romlah tersenyum. Wanita berdaster hijau itu berjalan menuju teras rumah Dewi. "Ada tamu Dew?" tanya Romlah sambil menurunkan Riska dari gendongannya. "Iya, teman ayahnya Fitri," jelas Dewi."Motornya bagus Dew, orang kaya pasti." Perhatian Romlah sedari tadi memang tertuju ke sepeda motor berwarna merah bermerk N-Max itu."Baguslah, keluaran terbaru. Dan k
Semenjak Angga sembuh dari sakitnya kemarin, ia menjadi anak yang pemilih untuk urusan makanan. Romlah harus lebih kreatif dalam memasak menu untuk Angga. Itu pun kadang hanya beberapa suap yang dimakan. Lihat lah! badannya kini menjadi lebih kurus.Juga Riska, ia pun sering rewel saat akan tidur. Di hari biasanya, Riska akan tidur selesai menyusu, tetapi beberapa hari ini berbeda. Entah apa yang diinginkan Riska. Ibunya pun sampai bingung melihat kelakuan mereka.Romlah mulai lelah dengan keadaan ini. Ia terlihat stres membujuk Angga agar mau makan. Beberapa menu makanan ia sebutkan agar Angga dapat memilih sendiri makanan yang diinginkan. Mulai dari sop ayam, soto ayam, sate, dan yang lainnya, tetapi usahanya nihil. Angga tetap saja menggelengkan kepala dan membuat Romlah emosi.Karena merasa lelah, akhirnya Romlah memutuskan membeli saja masakan yang dijual di warung depan gang. Ia membeli beberapa potong ayam bumbu kecap dan beberapa lauk lainnya.Sedang sibuk membujuk Angga agar
"Romlah, kamu hamil lagi!" teriak Siti yang berada tepat di depan Romlah. Karena terlalu buru-buru, ia lupa mengunci pintu rumahnya.Romlah kaget hingga benda yang dipegang terjatuh. Siti mengambil alat tes kehamilan itu dan memastikan yang dilihatnya tidak salah."Astaga, Rom!" Siti kaget begitu melihat hasil dari tes kehamilan itu.Siti terduduk di kursi yang terbuat dari kayu. Romlah merasa bersalah, dan ikut duduk di hadapan mertuanya. Terdengar suara tangisan Riska dari dalam kamar. Segera Romlah menggendong anak perempuan itu. Romlah mendekati mertuanya dan kembali duduk di hadapannya.Terlihat raut sedih di wajah Siti, sesekali ia memijat pelan keningnya. Beberapa kali Siti menarik napas lalu membuangnya. Badannya pun terlihat tak bertenaga.Romlah yang tak enak hati, semakin merasa bersalah melihat sikap mertuanya. "Riska masih kecil, Rom," ucap mertuanya. Pandangannya terlihat kosong. "Iya, Bu." Romlah menatap anak yang digendong lalu menundukkan kepalanya.Saat ini, rumah
Yuli masih kesal dengan kehamilan Romlah yang baru saja ia ketahui. Sebenarnya, bukan karena usia Riska yang menjadi penyebab utama kekesalannya, ada hal lain yang mengganggu pikirannya."Jangan sampai hutangku nggak jadi dibayar gara-gara dia hamil!" gerutu Yuli.Yuli selalu merasa emosi tiap memikirkan utang yang tak kunjung dibayar oleh Romlah. Berkali-kali ia tagih, tetapi berkali-kali pula ia mendapatkan kekecewaan.Ketika dijanjikan Romlah akan membayar utangnya empat bulan lagi, hatinya cukup gembira. Setidaknya, ada setitik harapan uangnya akan kembali. Diambil telepon genggam yang sedari tadi tergeletak di meja. Ditekan nomor yang telah diberi nama Agus itu. Tak berselang lama, panggilan akhirnya tersambung.[Halo, Mbak.][Halo, Gus. Lagi istirahat?][Belum, Mbak. Ada apa?][Udah tahu belum, kalo Romlah hamil lagi?][Hamil? Masa, sih, Mbak?][Aku lihat sendiri Romlah pegang testpack dan hasilnya positif. Lagian, Romlah udah ngakuin, kok, kalau dia emang beneran lagi hamil. E
Dering telepon membuyarkan lamunan Romlah. Senyum merekah di bibirnya ketika melihat nama suaminya yang memanggil. Sedari tadi memang ia menunggu telepon dari Agus. Tak sabar rasanya, segera diusap tombol berwarna hijau itu."Halo, Mas," ucap Romlah sengaja bermanja dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. Banyak hal yang ingin diceritakannya kepada suaminya."Aku nggak nyangka kamu tega sama aku, Rom!" kata Agus pelan. Tersirat kesedihan terdengar dari suaranya."Kenapa, Mas? Ada apa?" Romlah bingung karena tak mengerti yang diucapkan oleh suaminya."Dengan siapa kamu melakukannya?!" Nada bicara Agus mulai meninggi."Apa, sih, Mas? Kamu ngomongin apa?" desak Romlah."Kamu selingkuh, ‘kan, di belakangku! Siapa ayah dari bayi yang kau kandung? Katakan, Romlah!" bentak lelaki berusia tiga puluh enam tahun itu."Aku nggak selingkuh, Mas." Romlah lemas mendengar perkataan suaminya. Seperti ada sesuatu yang menusuk di dada Romlah. Bulir bening pun menetes dari matanya. "Jangan bohong!
Hari terus berlalu, tetapi tidak dengan kebencian Romlah terhadap kakak iparnya. Setelah rumah tangganya dibuat porak poranda, bahkan namanya kini telah menjadi buah bibir oleh warga sekitar. Romlah kini lebih sering menghabiskan waktunya di rumah. Selain untuk menghindar dari Yuli, Romlah juga enggan untuk bertemu ibu-ibu yang selalu menggosip. Hatinya masih terlalu rapuh untuk menjawab pertanyaan para ibu tentang kehamilannya. Berita yang tersebar saat ini adalah kehamilannya dengan pria lain ketika ditinggalkan Agus untuk bekerja.Begitu kejam fitnah yang dibuat oleh kakak iparnya itu. Seperti tak ada puasnya membuat Romlah menderita. Romlah sedang menemani Riska yang tengah tidur di dalam kamar ketika mertuanya memanggil namanya."Rom, Romlah. Ibu mau bicara," ucap mertua Romlah yang langsung duduk di kursi kayu."Iya, Bu." Romlah bergegas keluar. Sebenernya ia sangat malas untuk menemui mertuanya. Namun, dia tidak bisa menolaknya.Romlah duduk di hadapan wanita berusia lima pul
Mempunyai keluarga yang saling mendukung, sejatinya adalah impian setiap orang. Begitu pun dengan Romlah. Namun apa daya, kini dia justru merasa sendiri menghadapi kerasnya dunia.Jika hanya mertua dan kakak iparnya yang membencinya, mungkin ia masih bisa terima. Namun, ketika suaminya sudah tak mempercayainya, apakah mungkin biduk rumah tangganya masih dapat terus berjalan? Bertahan terlalu sakit, tetapi untuk menyerah bukanlah pilihan yang mudah.Demi anak-anaknya dia terus bertahan untuk memperjuangkan keutuhan keluarganya. Walaupun tak terhitung entah berapa banyak tetes air mata yang ia tumpahkan.Ini adalah hari kelima setelah pertengkarannya dengan Yuli. Itu artinya ini hari kelima juga pertengkarannya dengan Agus. Sejak saat itu, Agus tak lagi menghubunginya. Jangankan untuk meminta maaf, untuk menanyakan kabar anak-anaknya pun tidak.Begitu pula dengan Romlah, dia juga tak mau menghubungi suaminya. Rasa sakit hati membuatnya enggan untuk memberi kabar kepada suaminya.Hari in
Teriknya siang ini menambah suhu di kota Jakarta semakin panas. Namun, hal itu tak mengurangi semangat Agus dalam bekerja. Sebagai seorang montir, ia dituntut untuk selalu fokus dalam pekerjaannya. Bapak dari dua orang anak itu tak mau posisinya digantikan oleh orang lain karena pekerjaannya tidak bagus.Sebenarnya, Agus saat ini tengah merasakan keresahan dalam hatinya. Bagaimana tidak? Istri yang amat dicintainya kini tengah hamil padahal Agus telah dua bulan lebih berada di kota Jakarta. Hatinya panas ketika diberitahu oleh kakaknya. Mengapa Romlah begitu tega menduakan cintanya?Segalanya telah Agus berikan kepada Istrinya, hingga seluruh uang gajinya pun dia berikan seluruhnya kepada Romlah setelah dikurangi uang bensin. Sedangkan untuk urusan makan, dia telah mendapatkan jatah dari bengkel tempatnya bekerja.Beberapa hari tak menelpon keluarga kecilnya di kampung, membuat kerinduannya menggunung. Namun, rasa sakit hati yang terlalu dalam kepada istrinya, membuat Agus harus menah
"Mbak Yuli gimana keadaannya, Bu?" tanya Romlah yang sedang menemui mertuanya."Badannya tadi masih panas, Rom. Dia sendiri di rumah, anak-anaknya sekolah. Suaminya juga kerja," jawab Siti sembari menyapu halaman rumah."Kasihan Mbak Yuli, ya, Bu. Aku pengen ke sana tapi takut Mbak Yuli makin marah sama aku.""Nggak, lah. Anak-anakmu tinggal sama Ibu aja kalau kamu mau ke rumah Yuli."Tak lama, Romlah pun bersiap untuk ke rumah Yuli. Romlah membawa sop ayam yang sengaja ia masak untuk Yuli.Tangan Romlah terasa panas dingin, dan juga jantungnya berdetak lebih cepat. Ia berharap Yuli menerima kedatangannya dengan baik.Romlah membuka pelan pintu rumah Yuli. Rumah yang telah di cat dengan warna biru itu terlihat sunyi.Romlah mematung di depan pintu ruang tamu. Ia ingin langsung masuk ke dalam kamar Yuli, tetapi ia takut dianggap lancang dan kurang ajar. Namun, jika ia menunggu Yuli keluar dari kamar, rasanya sedikit mustahil.Akhirnya Romlah memutuskan masuk ke dalam kamar Yuli."Mbak
"Makan malam dulu yuk, Dek! Mas tadi abis Beli makanan di warung yang ada di pertigaan depan," ucap Agus sembari menenteng kantong plastik berisi makanan.Romlah yang baru saja selesai membuat bumbu untuk ia masak malam nanti pun kaget. Ia benar-benar tak menyangka suaminya akan kembali baik padanya."Aku mandi dulu sebentar, ya, Mas. Gerah banget, nih." Tanpa menunggu jawaban Agus, Romlah langsung mengambil handuk dan menuju kamar mandi.Selesai Romlah mandi, mereka pun makan bersama. Rasa rindu akan Kehangatan keluarga kini sedikit terobati, Romlah berharap ini akan selamanya. Romlah sempat menitikkan air matanya karena rasa haru, tetapi ia Segera menghapusnya agar tak ada satu orang pun yang tahu."Bapak nanti tidur di rumah Nenek lagi?" tanya anak lelaki berumur delapan tahun itu."Enggak, lah! Bapak tidur di sini aja bareng Ibu," jawab Agus yang terang saja membuat pipi Romlah memerah menahan malu."Kok, nggak di rumah Nenek lagi?" Angga masih penasaran."Kan, kangen sama nenekny
Sesampainya di rumah, Romlah memarkirkan sepeda motornya di teras rumah. Romlah ingin segera membereskan bekas jualannya tadi pagi. Namun, rasa lelah memaksanya untuk beristirahat sebentar.Romlah meletakkan bokongnya pada kursi kayu kecil yang ia pakai untuk menunggui dagangannya. Ia menyempatkan untuk membuka HP, karena waktu di jalan tadi ia sempat merasakan benda pipihnya itu bergetar.Benar saja, di layar depan handphone-nya terdapat beberapa pesan yang telah masuk. Wanita yang telah memiliki tiga orang anak itu terkejut setelah membuka satu persatu pesan itu yang berisi permintaan untuk segera dikirimkan beberapa bungkus nasi uduk dan nasi kuning jualannya.Romlah segera menyiapkan pesanan itu. Ia tak ingin membuat kecewa pembeli yang terbilang baru saja mencoba barang dagangannya."Ada pesanan lagi, Rom?" tanya mertua Romlah yang baru saja keluar dari rumahnya membawa kedua anak Romlah."Iya, Bu," jawab Romlah dengan senyum sumringah yang terukir dari bibirnya.Siti tersenyum b
Usai beres-beres, Romlah mengecek beberapa bumbu yang harus ia beli nanti siang. Barang-barang yang telah habis itu ia catat di sebuah kertas agar nanti tidak terlewat sewaktu dirinya berbelanja.Tak banyak barang yang akan ia beli nanti, jadi ia bisa lebih menghemat pengeluarannya. Romlah merebahkan dirinya dahulu sebelum ia kembali menyiapkan beberapa bumbu yang akan dipakainya malam nanti.Total pesanan yang masuk ada delapan bungkus nasi uduk dan tujuh bungkus nasi kuning. Walaupun masih sedikit, namun ia sangat bersyukur karena ada pemasukan untuk hari esok.Sedang menikmati waktu luangnya bersama anak-anaknya, terdengar suara tukang sayur yang mulai memanggil para pelanggannya.Romlah segera membawa kedua anaknya untuk berbelanja bumbu dan beberapa sayuran yang ia butuhkan untuk berjualan esok hari. Ia juga tak lupa membawa nasi uduk yang sengaja ia pisahkan untuk diberikan kepada tukang sayur itu."Ini, Pak, cicipin nasi uduk buatanku." Romlah menyerahkan nasi uduknya kepada tu
Mata itu terus saja tertuju pada ibu dari anak-anaknya. Ia merasa bersalah, tak seharusnya ia begitu keras kepada istrinya."Lagi ngapain, Gus?" tanya Siti mengagetkan Agus yang terus menatap Romlah dari jauh.Agus terkejut hingga badannya tersentak, "eh, Ibu! Ngagetin." Agus mengelus dada merasakan jantungnya berdetak lebih kencang."Bantuin sana!" perintah Siti."Aku mau berangkat kerja, Bu," ucap Agus sembari mengambil tas kecil yang tergantung di depan pintu kamar.Siti merasa jika anaknya sebenarnya masih sangat mencintai Romlah, tetapi sepertinya ia gengsi untuk mengakuinya."Bu, aku berangkat, ya. Titip anak-anak," pamit Agus sebelum meninggalkan rumah.Wanita berumur lebih dari setengah abad itu tersenyum melihat tingkah anaknya yang tak lagi muda itu.Saat melewati depan rumahnya, ia tak sanggup menatap Romlah. Lelaki berumur tiga puluh enam tahun itu hanya menunduk dan berdoa dalam hati, semoga jualan istrinya laris sehingga Romlah tak kecewa dengan apa yang diusahakannya se
Hari baru, begitu pun semangat yang baru dari dalam diri Romlah. Rasanya telah lama ia terpuruk dalam penyesalan hidupnya. Kini sudah saatnya Romlah menunjukkan pada dunia bahwa dirinya bukanlah wanita lemah.Walaupun hatinya masih dipenuhi rasa sesak karena kedua anaknya lebih memilih bersama ayahnya. Namun, ia harus cukup terima karena anak ketiganya begitu membutuhkan dirinya.Romlah mengumpulkan tenaga untuk memulai hari. Banyak rencana yang akan dilakukannya hari ini. Setelah memandikan lalu menyusui Naura, Romlah mulai menulis belanjaan yang akan dibeli di tukang sayur keliling langganannya.Ya, Ibu dari tiga orang anak itu sedang berencana untuk berjualan nasi uduk dan nasi kuning di depan rumahnya. Berbekal kemampuan memasaknya yang tak diragukan lagi, ia mencoba membuka usaha untuk menghidupi dirinya sendiri dan juga anak-anaknya.Romlah bertekad, untuk tak lagi menggantungkan hidupnya kepada Agus. Ia harus belajar berdiri dengan kakinya sendiri.Usai mencatat semua kebutuhan
Romlah ke dapur untuk mengambil tali jemuran yang baru ia beli pagi tadi. Wanita itu sengaja membelinya untuk mengganti tali jemuran lama yang sudah usang. Namun, karena ia terlalu sibuk dengan anak-anaknya, sehingga ia lupa Untuk segera memasangnya.Romlah membawa tali itu ke dapur. Wanita berambut hitam itu segera memasang tali ke atas kuda-kuda rumah yang terpasang di dapur. Kondisi atap dapur yang belum terpasang plafon, membuat Romlah lebih cepat untuk menyelesaikan pemasangan talinya.Usai memasang tali, Romlah terduduk memandangi benda menggantung yang akan mengantarkannya meninggalkan semua luka yang dirasakan saat ini.Rasa sakit hati dan kehilangan yang membuat wanita berumur tiga puluh tiga tahun itu nekat. Rasanya tak ada lagi gunanya ia melanjutkan hidupnya. Semua yang dimiliki telah hilang, semuanya telah pergi. Agus yang dulu amat mencintainya, kini tak ada lagi di sisinya. Angga, juga Riska justru memilih ikut bersama ayahnya. Lalu, apa gunanya ia hidup?Romlah menari
"Bu, masak apa?" tanya Yuli setelah masuk rumah ibunya.Yuli segera menuju dapur milik ibunya. Kebetulan sekali ia melihat adik lelakinya sedang sarapan bersama ibu.Teh sifat lagi keinginannya untuk mencari tahu alasan di balik pindahnya Agus ke rumah ini. Yuli sangat yakin rumah tangga adik kandungnya itu sedang ada masalah.Sebuah senyuman terukir di bibir ibu dari dua orang anak itu. Tak ingin membuang kesempatan, ia segera bergabung bersama adik dan ibunya."Wah, sarapannya enak, nih," ucap Yuli sembari duduk di kursi yang masih kosong sebelah Agus."Sarapan bareng sini, Yul," ajak Siti. "Kebetulan tadi aku belum sarapan, Bu. Anak-anak sama bapaknya beli nasi uduk, aku nggak kebagian," jelas Yuli memperlihatkan expresi sedih."Sarapan di sini aja, Mbak. Masih banyak, kok, nasi gorengnya," tawar Agus yang masih terus mengunyah.Yuli mengambil piring dan menuangkan beberapa centong nasi goreng ke atas piringnya."Enakan tinggal di sini, kan, Gus, dari pada tinggal di rumahmu?" tan
Mata agus membulat sempurna begitu yakin jika wanita yang memanggilnya itu benar-benar istrinya."Mas!" teriak Romlah karena sang suami tak juga mendatanginya.Agus bingung harus bagaimana. Ia masih enggan untuk bertemu dengan istrinya, karena rasa kecewa yang begitu besar. Namun, ia juga malu karena Romlah terus saja memanggilnya. Ia merasa tak enak dengan teman-temannya kerjanya.Dengan terpaksa Agus mendatangi istrinya."Ada apa?" tanyanya singkat."Ini, aku bawain buat makan siang buat Mas." Romlah menyodorkan rantang yang berisi beberapa macam makanan.Tak ingin jika sang istri berlama-lama di tempat kerjanya, Agus pun segera menerima rantang pemberian Romlah, dengan harapan wanita yang telah memberinya tiga orang anak itu segera meninggalkan bengkel."Dimakan ya, Mas!""Kamu pulang aja, aku masih banyak kerjaan!" Agus meninggalkan Romlah yang masih berdiri mematung.Agus meletakkan rantang itu di atas kursi berwarna hitam yang biasa digunakan customer menunggu kendaraan mereka s