Semenjak Angga sembuh dari sakitnya kemarin, ia menjadi anak yang pemilih untuk urusan makanan. Romlah harus lebih kreatif dalam memasak menu untuk Angga. Itu pun kadang hanya beberapa suap yang dimakan. Lihat lah! badannya kini menjadi lebih kurus.
Juga Riska, ia pun sering rewel saat akan tidur. Di hari biasanya, Riska akan tidur selesai menyusu, tetapi beberapa hari ini berbeda. Entah apa yang diinginkan Riska. Ibunya pun sampai bingung melihat kelakuan mereka.Romlah mulai lelah dengan keadaan ini. Ia terlihat stres membujuk Angga agar mau makan. Beberapa menu makanan ia sebutkan agar Angga dapat memilih sendiri makanan yang diinginkan. Mulai dari sop ayam, soto ayam, sate, dan yang lainnya, tetapi usahanya nihil. Angga tetap saja menggelengkan kepala dan membuat Romlah emosi.Karena merasa lelah, akhirnya Romlah memutuskan membeli saja masakan yang dijual di warung depan gang. Ia membeli beberapa potong ayam bumbu kecap dan beberapa lauk lainnya.Sedang sibuk membujuk Angga agar mau makan, tak sadar jika mertuanya telah berada di depan meja sambil memperhatikan makanan yang baru saja ia beli."Ini beli di mana, Rom?" tanya Siti."Di warung depan, Bu," jawab Romlah keluar dari kamar Angga."Emang kamu nggak bisa masak? Mentang-mentang abis dikirimi uang sama laki, beli terus!" tuduh Siti menjembreng plastik berisi makanan itu."Engga terus, Bu. Beli juga baru ini, soalnya Angga lagi susah makan," jelas Romlah tak mau disalahkan."Halah, alesan! Kamu jadi ibu jangan boros-boros, lah! Kasian Agus tiap hari kerja tapi gak punya tabungan!" Siti duduk di kursi kayu ruang tamu Romlah.Riska yang berada di gendongan Romlah mulai merengek, mungkin ia lapar. Romlah mengambil nasi dan hendak menyuapi Riska. Dibawanya lauk yang dibeli tadi untuk ditempatkan di piring."Mau nyuapi Riska apa Angga?" tanya Siti."Nyuapi Riska, Bu. Angga nanti abis ini," jelas Romlah."Ambilin nasi buat Angga sana, biar Ibu yang suapi Angga!" perintah Siti. Romlah segera kembali ke dapur untuk mengambil nasi beserta lauknya."Ini, Bu." Romlah menyerahkan piring yang dipegangnya. Lalu memanggil Angga agar duduk di dekat neneknya.Riska terus saja merengek, hingga Romlah membawa Riska ke teras rumah. Beruntung Riska mulai tenang dan mau menerima suapan Romlah. Sebentar saja, makanan di mangkok sudah habis dimakan Riska. Romlah senang dan memeluk putri kecilnya itu."Makanannya abis, pinter anak Ibu. Udah jangan rewel lagi, ya," ucap Romlah kepada Riska. Walaupun Riska belum mengerti yang dibicarakan ibunya, tetapi Romlah cukup bahagia.Begitu masuk ke dalam rumah, Romlah mendapati makanan Angga dimakan oleh neneknya dan hanya tersisa sedikit."Makanan Angga kok dimakan, Bu?!” Romlah terkejut dengan kelakuan mertuanya."Abisnya Angga nggak mau mangap Ibu suapin, ya, udah, daripada mubazir mendingan Ibu makan, kan?" bantah Siti. Ia sama sekali tak merasa bersalah."Tapi, Angga belum makan, Bu. Aku juga lagi nggak masak, makan sama apa dia nanti?" Sebenarnya Romlah geram. Namun, ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya."Tinggal beli lagi apa susahnya, sih, Rom! Jangan pelit-pelit sama orang tua! Baru kayak gini udah marah-marah. Kamu tahu nggak, Ibu yang ngelahirin Agus, Ibu juga yang ngerawat Agus dari kecil, giliran udah gede malah kamu yang dikasih duit!" Siti berdiri dari tempat duduknya.Inilah yang ditakutkan Romlah ketika membuat mertuanya tersinggung. Mertuanya akan mengungkit jasanya sebagai Ibu dari suaminya. Mertuanya seringkali membesar-besarkan masalah."Agus pasti nyesel punya istri kayak kamu!" ketus Siti meninggalkan Romlah.Tak terasa butiran bening meleleh ke pipi Romlah. Matanya memanas dan dadanya terasa sesak.Entah mengapa Siti begitu tega berkata seperti itu kepada menantunya. Tak berpikir kah ia juga wanita, yang pasti akan merasakan kesedihan yang sama jika mertuanya mengeluarkan perkataan yang sama terhadapnya."Ibu, kok, nangis?" tanya anak sulung Romlah ketika melihat ibunya menyeka air mata."Nggak apa-apa, kok, Nak. Ibu cuma kelilipan," bohong Romlah."Ibu dimarahi Nenek gara-gara aku, ya? Maafin aku ya, Bu. Aku janji nggak nakal lagi," kata Angga memeluk ibunya."Iya, Nak." Romlah tersenyum dan membalas dekapan anaknya. Tak terhitung lagi berapa banyak air mata yang ia keluarkan. Ia berharap semua beban yang dipikul luruh bersama tangisannya.***Pukul enam pagi, Romlah dibangunkan oleh suara dering telepon genggamnya. Diraih benda pipih itu. Terlihat jelas nama suaminya yang sedang memanggil. Tak butuh waktu lama, diusapnya gambar telepon berwarna hijau."Assalamualaikum, Mas. Belum berangkat?" tanya Romlah."Waalaikumsalam, Dek. Ini baru siap-siap," jawab Agus di seberang sana."Mas, boleh gak aku minta sesuatu?" tanya Romlah kepada Agus setelah berbasa-basi."Minta apa, Dek?" Suara Agus di telepon terdengar lembut sekali."Kemaren, aku lihat sepeda motor bagus banget di depan rumahnya Dewi. Kalau misalnya aku suatu saat nanti ngidam pengen sepeda motor kayak gitu bakalan Mas turutin, Nggak? Kalo orang ngidam harus dituruti pengennya, kan?" rayu Romlah."Iya, Dek. Kalau Adek ngidam nanti, Masa bakalan turutin pengennya Adek biar gak ngiler anak kita. Tapi, Adek nggak lagi hamil, kan?!" Agus terdengar serius dengan pertanyaannya."Enggak, lah, Mas. Kan, aku cuma berandai-andai. Tapi benar, ya, nanti beliin aku sepeda motor N-Max yang kayak aku lihat kemarin!" tagih Romlah."Iya. Udah dulu, ya, Mas berangkat, assalamualaikum," pamit Agus."Waalaikumsalam," jawab Romlah lalu mematikan sambungan telepon dengan suaminya.Disimpan lagi telepon genggamnya itu ke atas meja dekat tempat tidurnya.Romlah bangkit dari kasurnya karena merasakan mual yang begitu hebat. Sampai di kamar mandi, tak ada apapun yang keluar dari mulutnnya."Seperti orang ngidam aja, pagi-pagi mual," gerutu Romlah, dan di saat itu pula ia tertegun kala menyadari dirinya telat datang bulan."Apa, iya, aku hamil lagi?" Romlah mulai panik. Ia berusaha mengingat kembali kapan ia mendapatkan tamu bulanannya itu, tetapi tetap saja ia tak ingat."Ibu, sakit?" tanya Angga yang telah berdiri di belakang Romlah."Enggak, kok. Kayaknya Ibu masuk angin, soalnya dari tadi mual. Angga mau sarapan apa nanti?" Romlah memaksakan senyum di tengah kekhawatirannya."Sama telur ceplok aja, Bu," jawab Angga.Romlah pun meninggalkan Angga dan membuatkan sarapan untuknya.Selesai sarapan dan bersiap-siap, Angga pamit untuk berangkat sekolah. Angga berangkat bersama teman-temannya berjalan kaki.Romlah beranjak ke rumah Dewi untuk meminjam sepeda motor dan menitipkan Riska kepadanya. Ia beralasan harus ke apotek membeli obat.Usai dari Apotek, ia kembali ke rumah bersama Riska. Tak sabar rasanya ingin memakai alat tes kehamilan yang baru saja ia beli.Setelah memberi cemilan kepada Riska agar anteng, ia langsung menuju ke kamar mandi. Cepat-cepat ia memakai benda kecil itu tanpa membaca petunjuk penggunaannya karena ia masih ingat cara pakainya.Sembari menunggu hasil, Romlah membawa testpack itu ke kursi ruang tamunya.Mata Romlah memanas, jantungnya terasa berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangan panas dingin dan napasnya terasa memburu ketika melihat dua garis merah pada alat tes kehamilan yang dipegangnya."Romlah, kamu hamil lagi!" teriak Siti yang berada tepat di depan Romlah. Karena terlalu buru-buru, ia lupa mengunci pintu rumahnya."Romlah, kamu hamil lagi!" teriak Siti yang berada tepat di depan Romlah. Karena terlalu buru-buru, ia lupa mengunci pintu rumahnya.Romlah kaget hingga benda yang dipegang terjatuh. Siti mengambil alat tes kehamilan itu dan memastikan yang dilihatnya tidak salah."Astaga, Rom!" Siti kaget begitu melihat hasil dari tes kehamilan itu.Siti terduduk di kursi yang terbuat dari kayu. Romlah merasa bersalah, dan ikut duduk di hadapan mertuanya. Terdengar suara tangisan Riska dari dalam kamar. Segera Romlah menggendong anak perempuan itu. Romlah mendekati mertuanya dan kembali duduk di hadapannya.Terlihat raut sedih di wajah Siti, sesekali ia memijat pelan keningnya. Beberapa kali Siti menarik napas lalu membuangnya. Badannya pun terlihat tak bertenaga.Romlah yang tak enak hati, semakin merasa bersalah melihat sikap mertuanya. "Riska masih kecil, Rom," ucap mertuanya. Pandangannya terlihat kosong. "Iya, Bu." Romlah menatap anak yang digendong lalu menundukkan kepalanya.Saat ini, rumah
Yuli masih kesal dengan kehamilan Romlah yang baru saja ia ketahui. Sebenarnya, bukan karena usia Riska yang menjadi penyebab utama kekesalannya, ada hal lain yang mengganggu pikirannya."Jangan sampai hutangku nggak jadi dibayar gara-gara dia hamil!" gerutu Yuli.Yuli selalu merasa emosi tiap memikirkan utang yang tak kunjung dibayar oleh Romlah. Berkali-kali ia tagih, tetapi berkali-kali pula ia mendapatkan kekecewaan.Ketika dijanjikan Romlah akan membayar utangnya empat bulan lagi, hatinya cukup gembira. Setidaknya, ada setitik harapan uangnya akan kembali. Diambil telepon genggam yang sedari tadi tergeletak di meja. Ditekan nomor yang telah diberi nama Agus itu. Tak berselang lama, panggilan akhirnya tersambung.[Halo, Mbak.][Halo, Gus. Lagi istirahat?][Belum, Mbak. Ada apa?][Udah tahu belum, kalo Romlah hamil lagi?][Hamil? Masa, sih, Mbak?][Aku lihat sendiri Romlah pegang testpack dan hasilnya positif. Lagian, Romlah udah ngakuin, kok, kalau dia emang beneran lagi hamil. E
Dering telepon membuyarkan lamunan Romlah. Senyum merekah di bibirnya ketika melihat nama suaminya yang memanggil. Sedari tadi memang ia menunggu telepon dari Agus. Tak sabar rasanya, segera diusap tombol berwarna hijau itu."Halo, Mas," ucap Romlah sengaja bermanja dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. Banyak hal yang ingin diceritakannya kepada suaminya."Aku nggak nyangka kamu tega sama aku, Rom!" kata Agus pelan. Tersirat kesedihan terdengar dari suaranya."Kenapa, Mas? Ada apa?" Romlah bingung karena tak mengerti yang diucapkan oleh suaminya."Dengan siapa kamu melakukannya?!" Nada bicara Agus mulai meninggi."Apa, sih, Mas? Kamu ngomongin apa?" desak Romlah."Kamu selingkuh, ‘kan, di belakangku! Siapa ayah dari bayi yang kau kandung? Katakan, Romlah!" bentak lelaki berusia tiga puluh enam tahun itu."Aku nggak selingkuh, Mas." Romlah lemas mendengar perkataan suaminya. Seperti ada sesuatu yang menusuk di dada Romlah. Bulir bening pun menetes dari matanya. "Jangan bohong!
Hari terus berlalu, tetapi tidak dengan kebencian Romlah terhadap kakak iparnya. Setelah rumah tangganya dibuat porak poranda, bahkan namanya kini telah menjadi buah bibir oleh warga sekitar. Romlah kini lebih sering menghabiskan waktunya di rumah. Selain untuk menghindar dari Yuli, Romlah juga enggan untuk bertemu ibu-ibu yang selalu menggosip. Hatinya masih terlalu rapuh untuk menjawab pertanyaan para ibu tentang kehamilannya. Berita yang tersebar saat ini adalah kehamilannya dengan pria lain ketika ditinggalkan Agus untuk bekerja.Begitu kejam fitnah yang dibuat oleh kakak iparnya itu. Seperti tak ada puasnya membuat Romlah menderita. Romlah sedang menemani Riska yang tengah tidur di dalam kamar ketika mertuanya memanggil namanya."Rom, Romlah. Ibu mau bicara," ucap mertua Romlah yang langsung duduk di kursi kayu."Iya, Bu." Romlah bergegas keluar. Sebenernya ia sangat malas untuk menemui mertuanya. Namun, dia tidak bisa menolaknya.Romlah duduk di hadapan wanita berusia lima pul
Mempunyai keluarga yang saling mendukung, sejatinya adalah impian setiap orang. Begitu pun dengan Romlah. Namun apa daya, kini dia justru merasa sendiri menghadapi kerasnya dunia.Jika hanya mertua dan kakak iparnya yang membencinya, mungkin ia masih bisa terima. Namun, ketika suaminya sudah tak mempercayainya, apakah mungkin biduk rumah tangganya masih dapat terus berjalan? Bertahan terlalu sakit, tetapi untuk menyerah bukanlah pilihan yang mudah.Demi anak-anaknya dia terus bertahan untuk memperjuangkan keutuhan keluarganya. Walaupun tak terhitung entah berapa banyak tetes air mata yang ia tumpahkan.Ini adalah hari kelima setelah pertengkarannya dengan Yuli. Itu artinya ini hari kelima juga pertengkarannya dengan Agus. Sejak saat itu, Agus tak lagi menghubunginya. Jangankan untuk meminta maaf, untuk menanyakan kabar anak-anaknya pun tidak.Begitu pula dengan Romlah, dia juga tak mau menghubungi suaminya. Rasa sakit hati membuatnya enggan untuk memberi kabar kepada suaminya.Hari in
Teriknya siang ini menambah suhu di kota Jakarta semakin panas. Namun, hal itu tak mengurangi semangat Agus dalam bekerja. Sebagai seorang montir, ia dituntut untuk selalu fokus dalam pekerjaannya. Bapak dari dua orang anak itu tak mau posisinya digantikan oleh orang lain karena pekerjaannya tidak bagus.Sebenarnya, Agus saat ini tengah merasakan keresahan dalam hatinya. Bagaimana tidak? Istri yang amat dicintainya kini tengah hamil padahal Agus telah dua bulan lebih berada di kota Jakarta. Hatinya panas ketika diberitahu oleh kakaknya. Mengapa Romlah begitu tega menduakan cintanya?Segalanya telah Agus berikan kepada Istrinya, hingga seluruh uang gajinya pun dia berikan seluruhnya kepada Romlah setelah dikurangi uang bensin. Sedangkan untuk urusan makan, dia telah mendapatkan jatah dari bengkel tempatnya bekerja.Beberapa hari tak menelpon keluarga kecilnya di kampung, membuat kerinduannya menggunung. Namun, rasa sakit hati yang terlalu dalam kepada istrinya, membuat Agus harus menah
Bagi sebagian orang, mereka akan merasa antusias ketika hendak pulang kampung. Namun, hal itu tidak terjadi pada Agus. Anak kedua dari ibu Siti itu justru merasa bingung harus bersikap seperti apa ketika bertemu dengan istrinya nanti.Rasa tidak tenangnya terlihat sekali ketika Agus beberapa kali merubah posisi duduknya. Bahkan, sepanjang jalan ia tak dapat memejamkan matanya.Setelah menempuh perjalanan kurang lebih sekitar enam belas jam, akhirnya ia tiba di tempat pemberhentian bis terdekat dari desanya. Walaupun ia masih harus memesan ojek untuk sampai ke tempat tinggalnya.Tepat pukul 05.00, Agus menginjakkan kaki di desa tempatnya dilahirkan. Di depan pintu kini lelaki itu berdiri. Ingin sekali rasanya segera masuk ke dalam rumah sederhana yang telah ia bangun bersama istrinya delapan tahun lalu. Di dalam rumah ini juga, perjalanan keluarga kecilnya dimulai."Bapak!" Seorang bocah berumur delapan tahun yang baru saja bangun tidur menghampiri Agus. Entah berapa lama ia termenung
Agus bangkit dari tempat duduknya lalu menuju rumah Yuli. Siti yang khawatir dan penasaran pun mengekor di belakang Agus. Ia tak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan.Agus hanya butuh penjelasan perihal kebohongan kakak perempuannya itu. Dengan tergopoh-gopoh ia mendatangi rumah Yuli. Namun, begitu begitu sampai, ternyata rumah Yuli tertutup rapat. Tak ada tanda-tanda keberadaan ibu dua anak itu.Agus berbalik dan kembali ke rumahnya. Ibunya masih berada di belakangnya. Terlihat Siti menghela napas lega. Entah apa yang di sembunyikan Siti dan Yuli. Ada banyak pertanyaan yang ingin Agus tanyakan kepada kakaknya."Ibu pulang aja dulu. Aku capek pengen istirahat!" ucap Agus ketika melihat ibunya mengikuti dirinya masuk ke dalam rumah."Ibu kangen sama kamu, Nak!" Siti cemberut. Ia tak terima karena merasa dirinya diusir oleh anaknya sendiri."Iya, Bu, aku ngerti. Nanti, kan, aku ke rumah Ibu." Agus merasa risih karena terus dibuntuti oleh ibunya.Siti pun jengkel, dan meninggalkan rum
"Mbak Yuli gimana keadaannya, Bu?" tanya Romlah yang sedang menemui mertuanya."Badannya tadi masih panas, Rom. Dia sendiri di rumah, anak-anaknya sekolah. Suaminya juga kerja," jawab Siti sembari menyapu halaman rumah."Kasihan Mbak Yuli, ya, Bu. Aku pengen ke sana tapi takut Mbak Yuli makin marah sama aku.""Nggak, lah. Anak-anakmu tinggal sama Ibu aja kalau kamu mau ke rumah Yuli."Tak lama, Romlah pun bersiap untuk ke rumah Yuli. Romlah membawa sop ayam yang sengaja ia masak untuk Yuli.Tangan Romlah terasa panas dingin, dan juga jantungnya berdetak lebih cepat. Ia berharap Yuli menerima kedatangannya dengan baik.Romlah membuka pelan pintu rumah Yuli. Rumah yang telah di cat dengan warna biru itu terlihat sunyi.Romlah mematung di depan pintu ruang tamu. Ia ingin langsung masuk ke dalam kamar Yuli, tetapi ia takut dianggap lancang dan kurang ajar. Namun, jika ia menunggu Yuli keluar dari kamar, rasanya sedikit mustahil.Akhirnya Romlah memutuskan masuk ke dalam kamar Yuli."Mbak
"Makan malam dulu yuk, Dek! Mas tadi abis Beli makanan di warung yang ada di pertigaan depan," ucap Agus sembari menenteng kantong plastik berisi makanan.Romlah yang baru saja selesai membuat bumbu untuk ia masak malam nanti pun kaget. Ia benar-benar tak menyangka suaminya akan kembali baik padanya."Aku mandi dulu sebentar, ya, Mas. Gerah banget, nih." Tanpa menunggu jawaban Agus, Romlah langsung mengambil handuk dan menuju kamar mandi.Selesai Romlah mandi, mereka pun makan bersama. Rasa rindu akan Kehangatan keluarga kini sedikit terobati, Romlah berharap ini akan selamanya. Romlah sempat menitikkan air matanya karena rasa haru, tetapi ia Segera menghapusnya agar tak ada satu orang pun yang tahu."Bapak nanti tidur di rumah Nenek lagi?" tanya anak lelaki berumur delapan tahun itu."Enggak, lah! Bapak tidur di sini aja bareng Ibu," jawab Agus yang terang saja membuat pipi Romlah memerah menahan malu."Kok, nggak di rumah Nenek lagi?" Angga masih penasaran."Kan, kangen sama nenekny
Sesampainya di rumah, Romlah memarkirkan sepeda motornya di teras rumah. Romlah ingin segera membereskan bekas jualannya tadi pagi. Namun, rasa lelah memaksanya untuk beristirahat sebentar.Romlah meletakkan bokongnya pada kursi kayu kecil yang ia pakai untuk menunggui dagangannya. Ia menyempatkan untuk membuka HP, karena waktu di jalan tadi ia sempat merasakan benda pipihnya itu bergetar.Benar saja, di layar depan handphone-nya terdapat beberapa pesan yang telah masuk. Wanita yang telah memiliki tiga orang anak itu terkejut setelah membuka satu persatu pesan itu yang berisi permintaan untuk segera dikirimkan beberapa bungkus nasi uduk dan nasi kuning jualannya.Romlah segera menyiapkan pesanan itu. Ia tak ingin membuat kecewa pembeli yang terbilang baru saja mencoba barang dagangannya."Ada pesanan lagi, Rom?" tanya mertua Romlah yang baru saja keluar dari rumahnya membawa kedua anak Romlah."Iya, Bu," jawab Romlah dengan senyum sumringah yang terukir dari bibirnya.Siti tersenyum b
Usai beres-beres, Romlah mengecek beberapa bumbu yang harus ia beli nanti siang. Barang-barang yang telah habis itu ia catat di sebuah kertas agar nanti tidak terlewat sewaktu dirinya berbelanja.Tak banyak barang yang akan ia beli nanti, jadi ia bisa lebih menghemat pengeluarannya. Romlah merebahkan dirinya dahulu sebelum ia kembali menyiapkan beberapa bumbu yang akan dipakainya malam nanti.Total pesanan yang masuk ada delapan bungkus nasi uduk dan tujuh bungkus nasi kuning. Walaupun masih sedikit, namun ia sangat bersyukur karena ada pemasukan untuk hari esok.Sedang menikmati waktu luangnya bersama anak-anaknya, terdengar suara tukang sayur yang mulai memanggil para pelanggannya.Romlah segera membawa kedua anaknya untuk berbelanja bumbu dan beberapa sayuran yang ia butuhkan untuk berjualan esok hari. Ia juga tak lupa membawa nasi uduk yang sengaja ia pisahkan untuk diberikan kepada tukang sayur itu."Ini, Pak, cicipin nasi uduk buatanku." Romlah menyerahkan nasi uduknya kepada tu
Mata itu terus saja tertuju pada ibu dari anak-anaknya. Ia merasa bersalah, tak seharusnya ia begitu keras kepada istrinya."Lagi ngapain, Gus?" tanya Siti mengagetkan Agus yang terus menatap Romlah dari jauh.Agus terkejut hingga badannya tersentak, "eh, Ibu! Ngagetin." Agus mengelus dada merasakan jantungnya berdetak lebih kencang."Bantuin sana!" perintah Siti."Aku mau berangkat kerja, Bu," ucap Agus sembari mengambil tas kecil yang tergantung di depan pintu kamar.Siti merasa jika anaknya sebenarnya masih sangat mencintai Romlah, tetapi sepertinya ia gengsi untuk mengakuinya."Bu, aku berangkat, ya. Titip anak-anak," pamit Agus sebelum meninggalkan rumah.Wanita berumur lebih dari setengah abad itu tersenyum melihat tingkah anaknya yang tak lagi muda itu.Saat melewati depan rumahnya, ia tak sanggup menatap Romlah. Lelaki berumur tiga puluh enam tahun itu hanya menunduk dan berdoa dalam hati, semoga jualan istrinya laris sehingga Romlah tak kecewa dengan apa yang diusahakannya se
Hari baru, begitu pun semangat yang baru dari dalam diri Romlah. Rasanya telah lama ia terpuruk dalam penyesalan hidupnya. Kini sudah saatnya Romlah menunjukkan pada dunia bahwa dirinya bukanlah wanita lemah.Walaupun hatinya masih dipenuhi rasa sesak karena kedua anaknya lebih memilih bersama ayahnya. Namun, ia harus cukup terima karena anak ketiganya begitu membutuhkan dirinya.Romlah mengumpulkan tenaga untuk memulai hari. Banyak rencana yang akan dilakukannya hari ini. Setelah memandikan lalu menyusui Naura, Romlah mulai menulis belanjaan yang akan dibeli di tukang sayur keliling langganannya.Ya, Ibu dari tiga orang anak itu sedang berencana untuk berjualan nasi uduk dan nasi kuning di depan rumahnya. Berbekal kemampuan memasaknya yang tak diragukan lagi, ia mencoba membuka usaha untuk menghidupi dirinya sendiri dan juga anak-anaknya.Romlah bertekad, untuk tak lagi menggantungkan hidupnya kepada Agus. Ia harus belajar berdiri dengan kakinya sendiri.Usai mencatat semua kebutuhan
Romlah ke dapur untuk mengambil tali jemuran yang baru ia beli pagi tadi. Wanita itu sengaja membelinya untuk mengganti tali jemuran lama yang sudah usang. Namun, karena ia terlalu sibuk dengan anak-anaknya, sehingga ia lupa Untuk segera memasangnya.Romlah membawa tali itu ke dapur. Wanita berambut hitam itu segera memasang tali ke atas kuda-kuda rumah yang terpasang di dapur. Kondisi atap dapur yang belum terpasang plafon, membuat Romlah lebih cepat untuk menyelesaikan pemasangan talinya.Usai memasang tali, Romlah terduduk memandangi benda menggantung yang akan mengantarkannya meninggalkan semua luka yang dirasakan saat ini.Rasa sakit hati dan kehilangan yang membuat wanita berumur tiga puluh tiga tahun itu nekat. Rasanya tak ada lagi gunanya ia melanjutkan hidupnya. Semua yang dimiliki telah hilang, semuanya telah pergi. Agus yang dulu amat mencintainya, kini tak ada lagi di sisinya. Angga, juga Riska justru memilih ikut bersama ayahnya. Lalu, apa gunanya ia hidup?Romlah menari
"Bu, masak apa?" tanya Yuli setelah masuk rumah ibunya.Yuli segera menuju dapur milik ibunya. Kebetulan sekali ia melihat adik lelakinya sedang sarapan bersama ibu.Teh sifat lagi keinginannya untuk mencari tahu alasan di balik pindahnya Agus ke rumah ini. Yuli sangat yakin rumah tangga adik kandungnya itu sedang ada masalah.Sebuah senyuman terukir di bibir ibu dari dua orang anak itu. Tak ingin membuang kesempatan, ia segera bergabung bersama adik dan ibunya."Wah, sarapannya enak, nih," ucap Yuli sembari duduk di kursi yang masih kosong sebelah Agus."Sarapan bareng sini, Yul," ajak Siti. "Kebetulan tadi aku belum sarapan, Bu. Anak-anak sama bapaknya beli nasi uduk, aku nggak kebagian," jelas Yuli memperlihatkan expresi sedih."Sarapan di sini aja, Mbak. Masih banyak, kok, nasi gorengnya," tawar Agus yang masih terus mengunyah.Yuli mengambil piring dan menuangkan beberapa centong nasi goreng ke atas piringnya."Enakan tinggal di sini, kan, Gus, dari pada tinggal di rumahmu?" tan
Mata agus membulat sempurna begitu yakin jika wanita yang memanggilnya itu benar-benar istrinya."Mas!" teriak Romlah karena sang suami tak juga mendatanginya.Agus bingung harus bagaimana. Ia masih enggan untuk bertemu dengan istrinya, karena rasa kecewa yang begitu besar. Namun, ia juga malu karena Romlah terus saja memanggilnya. Ia merasa tak enak dengan teman-temannya kerjanya.Dengan terpaksa Agus mendatangi istrinya."Ada apa?" tanyanya singkat."Ini, aku bawain buat makan siang buat Mas." Romlah menyodorkan rantang yang berisi beberapa macam makanan.Tak ingin jika sang istri berlama-lama di tempat kerjanya, Agus pun segera menerima rantang pemberian Romlah, dengan harapan wanita yang telah memberinya tiga orang anak itu segera meninggalkan bengkel."Dimakan ya, Mas!""Kamu pulang aja, aku masih banyak kerjaan!" Agus meninggalkan Romlah yang masih berdiri mematung.Agus meletakkan rantang itu di atas kursi berwarna hitam yang biasa digunakan customer menunggu kendaraan mereka s