Hari terus berlalu, tetapi tidak dengan kebencian Romlah terhadap kakak iparnya. Setelah rumah tangganya dibuat porak poranda, bahkan namanya kini telah menjadi buah bibir oleh warga sekitar.
Romlah kini lebih sering menghabiskan waktunya di rumah. Selain untuk menghindar dari Yuli, Romlah juga enggan untuk bertemu ibu-ibu yang selalu menggosip.Hatinya masih terlalu rapuh untuk menjawab pertanyaan para ibu tentang kehamilannya. Berita yang tersebar saat ini adalah kehamilannya dengan pria lain ketika ditinggalkan Agus untuk bekerja.Begitu kejam fitnah yang dibuat oleh kakak iparnya itu. Seperti tak ada puasnya membuat Romlah menderita.Romlah sedang menemani Riska yang tengah tidur di dalam kamar ketika mertuanya memanggil namanya."Rom, Romlah. Ibu mau bicara," ucap mertua Romlah yang langsung duduk di kursi kayu."Iya, Bu." Romlah bergegas keluar. Sebenernya ia sangat malas untuk menemui mertuanya. Namun, dia tidak bisa menolaknya.Romlah duduk di hadapan wanita berusia lima puluh empat tahun itu."Ada apa, Bu?" Romlah mengawali pembicaraan."Kenapa kamu berantem sama mbakmu? Malu dilihat tetangga, Rom?" Tanya Siti pelan.Romlah diam, mencoba mencerna perkataan Siti. Dadanya akan terasa sesak ketika mengingatkan peristiwa pertengkaran itu."Mbak Yuli bercerita yang tidak-tidak tentang aku kepada Mas Agus, Bu," Menetes bulir bening dari mata Romlah yang sedari tadi sudah ia tahan."Yang tidak-tidak itu apa?" tanya Siti."Mbak Yuli bilang ke Mas Agus kalau aku selingkuh hingga aku hamil seperti sekarang ini," jelas Romlah, tangisnya tertumpah sudah."Kalau kamu nggak selingkuh, harusnya kamu nggak marah, Rom." Tanpa Siti sadari, perkataannya telah menyinggung perasaan Romlah."Jadi, Ibu juga tuduh aku selingkuh?!" Romlah berdiri dari tempat duduknya. Ia tak menyangka jika mertuanya akan berpikir hal yang sama dengan Yuli."Dengerin dulu, Rom." Siti berusaha menenangkan Romlah."Apa karena aku menantu di keluarga ini, jadi nggak ada yang percaya sama aku? Kalau kalian nggak suka sama aku, kenapa nggak kalian larang Mas Agus waktu mau lamar aku? Kenapa?" Tangisan Romlah semakin menjadi."Rom, jangan teriak-teriak ngomongnya, malu didengerin tetangga," Siti bangkit dan berusaha meraih tangan Romlah, tetapi Romlah justru menampik tangan mertuanya."Malu Ibu bilang? Aku ngomong kayak gini Ibu bilang malu? Apa kabar dengan anak Ibu yang udah fitnah aku! Apa nggak lebih memalukan!" emosi Romlah sudah tak bisa lagi dikontrol."Rom-,""Sekarang Ibu pulang aja, aku lagi pengen sendiri. Pulang Bu!" potong Romlah. Mertuanya pergi tanpa meninggalkan sepatah kata pun.Romlah menutup daun pintu dengan kuat, agar tak seorang pun dapat masuk ke dalam rumahnya. Ia juga melempar barang-barang yang ada di depannya. Pikirannya kacau, tak sanggup rasanya ia menanggung masalah ini sendirian.Hatinya kalut, tatapannya tertuju pada sebuah pisau yang tergeletak di atas meja. Diambil pisau itu dan digenggam erat. Terlintas keinginan nekat untuk mengakhiri hidupnya. Bisikan demi bisikan seolah silih berganti menghampirinya.Putus asa dan merasa tak lagi ada yang peduli kepadanya membuat Romlah gelap mata. Namun, niatnya ia urungkan karena teringat anak-anaknya yang masih sangat membutuhkannya.Romlah menangis sejadi-jadinya. Menyesali kekonyolan yang hampir saja ia lakukan. Bisa-bisanya ia berpikir pendek. Ia lari ke kamar, dipeluknya tubuh mungil anak perempuannya***Sudah seminggu ini Romlah tak keluar rumah, dan kini ia merasa rindu dengan sahabatnya, Dewi. Tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, akhirnya ia memutuskan untuk mengunjungi Dewi."Dew," teriak Romlah."Rom, ya ampun. Kangen aku," teriak Dewi. Diletakkan kembali sapu yang baru saja ia ambil.Romlah duduk di bangku yang berada di bawah pohon mangga depan rumah Dewi. Dewi mengambil Riska yang berada di gendongan Romlah."Riska udah makan, Rom?" tanya Dewi."Udah, tadi. Fitri kemana?" Romlah celingukan mencari Fitri."Fitri lagi diajak bapaknya main ke rumah temannya," jawab Dewi."Enak, ya, bisa gantian gitu jagain Fitrinya." Kesedihan tak dapat ditutupi oleh Romlah."Jangan gitu, lah. Jangan sedih terus, kasian Angga sama Riska, Rom," tutur Dewi."Tumben otakmu bener, Dew," ledek Romlah."Iya. Nggak ketemu kamu jadi bikin aku waras. Coba kalau bareng kamu terus, sinting pasti aku," gurau Dewi seraya menurunkan Riska dari gendongan."Tapi kamu cocoknya, sih, tetap sinting, Dew." Mereka berdua tertawa.Sepulang dari Rumah Dewi, ternyata Romlah telah ditunggu oleh mertuanya. Terlihat ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh ibu dari suaminya itu."Rom," panggil Siti."Ada apa, Bu?" ketus Romlah"Ada yang mau Ibu bicarakan," pinta Siti."Mau apa lagi, sih, Bu?" Romlah mulai tengah dengan kehadiran mertuanya."Ibu tahu kamu marah sama Yuli, tapi ada yang harus diluruskan," tegas Siti."Mau dibicarakan di sini atau di dalam?" Romlah membuka pintu.Tanpa menunggu jawaban, Siti pun masuk ke dalam rumah Romlah."Ada apa?" tanya Romlah mengawali pembicaraan."Ibu cuma mau tahu tentang kejelasan bapak dari bayi yang sedang kau kandung," jawab Siti."Kenapa? Mau kujelaskan seribu kali pun, Ibu akan lebih percaya sama Mbak Yuli, kan?" protes Romlah."Nggak gitu, Rom. Ibu cuma mau dengar dari mulut kamu. Ibu nggak mau menebak-nebak. Kalau itu anak Agus, ibu akan terima seperti Ibu menerima Riska dan Angga. Tapi, jika itu anak dari orang lain, lebih baik kamu berpisah dengan Agus," tegas Siti."Bu, dengar ya! Bayi ini anak Mas Agus, aku nggak pernah main curang sama lelaki mana pun. Tapi kalau Ibu masih nggak percaya, aku juga nggak maksa," terang Romlah."Tapi bukannya-,""Sudahlah, Bu. Jangan terlalu ikut campur urusanku dengan Mas Agus. Bukankah biasanya Ibu nggak pernah peduli dengan keadaanku sama anak-anak?" potong Romlah."Jangan gitu, Rom. Ibu hanya ingin yang terbaik buat anak-anak Ibu," Siti merasa tersindir dengan perkataan Romlah."Iya, Ibu hanya peduli dengan anak-anak Ibu, bukan dengan menantu Ibu," hardik Romlah."Ya sudah, jika kamu menganggap Ibu seperti itu, mudah-mudahan masalah ini cepat selesai." Siti beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari rumah Romlah.Romlah memang tak pernah Akur dengan Yuli. Begitu pun dengan mertuanya, ia tak pernah merasa dianggap. Bahkan, ketika dia atau anaknya sakit, mereka tak pernah sekalipun menjenguk.Tak ada pilihan lain untuk Romlah, selain tetap tinggal di rumah itu. Ibu Romlah hanyalah seorang janda dan kini tinggal di rumah kakak Romlah. Keluarga kakak Romlah terbilang cukup berada dan mampu jika harus menanggung biaya hidup Romlah dan anak-anaknya.Romlah enggan untuk meninggalkan suaminya karena cintanya yang begitu besar kepada Agus. Walaupun untuk bertahan, banyak sekali yang harus dikorbankan oleh Romlah.Akan tetapi kali ini Romlah bingung. Sekelilingnya sudah tak mendukung, bahkan suaminya sendiri pun sudah tak mempercayainya. Dalam benaknya terus berkeliling, entah sampai kapan ia sanggup dengan keadaan seperti ini.Mempunyai keluarga yang saling mendukung, sejatinya adalah impian setiap orang. Begitu pun dengan Romlah. Namun apa daya, kini dia justru merasa sendiri menghadapi kerasnya dunia.Jika hanya mertua dan kakak iparnya yang membencinya, mungkin ia masih bisa terima. Namun, ketika suaminya sudah tak mempercayainya, apakah mungkin biduk rumah tangganya masih dapat terus berjalan? Bertahan terlalu sakit, tetapi untuk menyerah bukanlah pilihan yang mudah.Demi anak-anaknya dia terus bertahan untuk memperjuangkan keutuhan keluarganya. Walaupun tak terhitung entah berapa banyak tetes air mata yang ia tumpahkan.Ini adalah hari kelima setelah pertengkarannya dengan Yuli. Itu artinya ini hari kelima juga pertengkarannya dengan Agus. Sejak saat itu, Agus tak lagi menghubunginya. Jangankan untuk meminta maaf, untuk menanyakan kabar anak-anaknya pun tidak.Begitu pula dengan Romlah, dia juga tak mau menghubungi suaminya. Rasa sakit hati membuatnya enggan untuk memberi kabar kepada suaminya.Hari in
Teriknya siang ini menambah suhu di kota Jakarta semakin panas. Namun, hal itu tak mengurangi semangat Agus dalam bekerja. Sebagai seorang montir, ia dituntut untuk selalu fokus dalam pekerjaannya. Bapak dari dua orang anak itu tak mau posisinya digantikan oleh orang lain karena pekerjaannya tidak bagus.Sebenarnya, Agus saat ini tengah merasakan keresahan dalam hatinya. Bagaimana tidak? Istri yang amat dicintainya kini tengah hamil padahal Agus telah dua bulan lebih berada di kota Jakarta. Hatinya panas ketika diberitahu oleh kakaknya. Mengapa Romlah begitu tega menduakan cintanya?Segalanya telah Agus berikan kepada Istrinya, hingga seluruh uang gajinya pun dia berikan seluruhnya kepada Romlah setelah dikurangi uang bensin. Sedangkan untuk urusan makan, dia telah mendapatkan jatah dari bengkel tempatnya bekerja.Beberapa hari tak menelpon keluarga kecilnya di kampung, membuat kerinduannya menggunung. Namun, rasa sakit hati yang terlalu dalam kepada istrinya, membuat Agus harus menah
Bagi sebagian orang, mereka akan merasa antusias ketika hendak pulang kampung. Namun, hal itu tidak terjadi pada Agus. Anak kedua dari ibu Siti itu justru merasa bingung harus bersikap seperti apa ketika bertemu dengan istrinya nanti.Rasa tidak tenangnya terlihat sekali ketika Agus beberapa kali merubah posisi duduknya. Bahkan, sepanjang jalan ia tak dapat memejamkan matanya.Setelah menempuh perjalanan kurang lebih sekitar enam belas jam, akhirnya ia tiba di tempat pemberhentian bis terdekat dari desanya. Walaupun ia masih harus memesan ojek untuk sampai ke tempat tinggalnya.Tepat pukul 05.00, Agus menginjakkan kaki di desa tempatnya dilahirkan. Di depan pintu kini lelaki itu berdiri. Ingin sekali rasanya segera masuk ke dalam rumah sederhana yang telah ia bangun bersama istrinya delapan tahun lalu. Di dalam rumah ini juga, perjalanan keluarga kecilnya dimulai."Bapak!" Seorang bocah berumur delapan tahun yang baru saja bangun tidur menghampiri Agus. Entah berapa lama ia termenung
Agus bangkit dari tempat duduknya lalu menuju rumah Yuli. Siti yang khawatir dan penasaran pun mengekor di belakang Agus. Ia tak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan.Agus hanya butuh penjelasan perihal kebohongan kakak perempuannya itu. Dengan tergopoh-gopoh ia mendatangi rumah Yuli. Namun, begitu begitu sampai, ternyata rumah Yuli tertutup rapat. Tak ada tanda-tanda keberadaan ibu dua anak itu.Agus berbalik dan kembali ke rumahnya. Ibunya masih berada di belakangnya. Terlihat Siti menghela napas lega. Entah apa yang di sembunyikan Siti dan Yuli. Ada banyak pertanyaan yang ingin Agus tanyakan kepada kakaknya."Ibu pulang aja dulu. Aku capek pengen istirahat!" ucap Agus ketika melihat ibunya mengikuti dirinya masuk ke dalam rumah."Ibu kangen sama kamu, Nak!" Siti cemberut. Ia tak terima karena merasa dirinya diusir oleh anaknya sendiri."Iya, Bu, aku ngerti. Nanti, kan, aku ke rumah Ibu." Agus merasa risih karena terus dibuntuti oleh ibunya.Siti pun jengkel, dan meninggalkan rum
Kesehatan Romlah perlahan mulai membaik. Semenjak suaminya pulang, ia benar-benar dapat beristirahat dengan tenang. Agus selalu memanjakan Romlah. Apapun yang diinginkan Romlah pasti akan dilakukan.Sore itu, Yuli sedang mencari Agus, entah ada perlu apa. Begitu masuk ke dalam rumah, ia melihat Angga tengah memainkan tab android barunya."Wah, baru itu tabnya Angga?" tanya Yuli yang langsung duduk di sebelah Angga."Iya, Bi. Baru di beliin bapak," jawab polos bocah delapan tahun itu."Bapakmu uangnya banyak ya, Ngga." Yuli meraih benda berbentuk kotak itu dan mengamatinya."Iya lah, Bi. Bapak, kan, baru pulang dari Jakarta, pasti uangnya banyak." Angga kembali memainkan tab yang baru saja dikembalikan oleh bibinya."Bilangin ibu sama bapak. Kalau punya duit, mendingan buat bayar utang! Bukan buat belanja terus!" Siti sengaja berbicara dengan keras agar didengar oleh Romlah."Emangnya ibu punya utang sama siapa, Bi?" Siswa kelas dua sekolah dasar itu penasaran."Ah udahlah! Kamu nggak
Tak terasa kehamilan Romlah kini telah memasuki perkiraan bulan kelahiran. Berat badan Romlah pun bertambah drastis, tetapi ia tak mempermasalahkan dengan itu. Wanita yang kini memakai daster batik berwarna hijau kombinasi putih itu selalu menikmati setiap proses kehamilannya.Setelah berbelanja aneka sayuran, Romlah segera bergegas ke dapur untuk memasak. Kebetulan Riska juga tengah tidur setelah ia suapi bubur instan yang telah dibelinya dari warung.Di saat ia sedang mengupas bahan sayuran yang akan dimasak, ia merasakan keram di perut bagian bawah. Rasa keram bercampur mulas datang bersamaan. Di saat itu pula Romlah merasakan ada sesuatu yang keluar dari tubuh bagian bawahnya.Romlah meraba daster pada bagian bokong, dan benar saja, kini dasternya dalam keadaan basah. Istri dari Agus ini sesekali mengatur napasnya. Ia berusaha tetap tenang dan tidak panik.Karena rasa keram dan mulasnya hanya datang kadang-kadang saja, ia masih bisa beraktivitas. Walaupun kadang harus berhenti sej
Tiga hari menjalani masa penyembuhan di rumah sakit telah Romlah lewati. Hari ini dokter telah mengijinkan ibu dan bayi perempuan yang diberi nama Naura itu untuk pulang ke rumahnya.Akan tetapi, ada yang berbeda dari Agus. Ia tampak lebih pendiam dari biasanya. Sebenarnya Romlah telah menyadari hal itu, tetapi ia tidak ingin berpikir buruk terhadap suaminya. Ia beranggapan mungkin suaminya kelelahan karena menjaga dia dan bayinya yang baru berumur tiga hari seorang diri.Pagi tadi, Agus telah meminta tetangganya yang mempunyai mobil untuk menjemputnya di rumah sakit. Namun, setelah Romlah tahu jika mobil yang digunakan hanyalah mobil pick up, Romlah pun menolak untuk pulang bersamanya dengan alasan bayinya tidak nyaman.Romlah akan pulang jika mobil yang dipakai untuk menjemputnya adalah mobil yang bagus, minimal memakai ac. Padahal maksud agus juga baik. Walaupun mobil pick up, masih muat jika hanya untuk membawa dirinya, Romlah dan bayinya untuk pulang ke rumah. Apalagi kini ia har
Rasa benci dan dendam Romlah kini semakin dalam. Ia juga merasakan kesedihan yang ia pendam sendiri. Semenjak pulang dari rumah sakit, suami yang harusnya melindunginya kini tak lagi peduli terhadapnya.Romlah kini menjadi pribadi yang pendiam, bahkan seringkali ia terlihat melamun seorang diri. Ibu dari tiga orang anak itu terlihat jauh berbeda jika dibandingkan saat dirinya sebelum melahirkan dulu.Dulu, Romlah termasuk orang yang selalu up to date dalam hal penampilan. Namun, lihatlah ia kini! Jangankan untuk merawat diri. Untuk sekadar menyisir pun terkadang tidak ia lakukan.Stres berlebih membuat nafsu makannya hilang. Selain permasalahan keluarga, Romlah juga cukup terbebani dengan keadaan air susunya yang tak kunjung keluar. Agus yang harusnya mensuport, justru menyalahkan Romlah. Agus menuduh Romlah tak mau berusaha untuk menyusui Naura.Sepanjang waktunya, Romlah habiskan untuk melamun. Keadaannya kini nyaris seperti orang yang tak ingin melanjutkan hidup. Badannya kini tera
"Mbak Yuli gimana keadaannya, Bu?" tanya Romlah yang sedang menemui mertuanya."Badannya tadi masih panas, Rom. Dia sendiri di rumah, anak-anaknya sekolah. Suaminya juga kerja," jawab Siti sembari menyapu halaman rumah."Kasihan Mbak Yuli, ya, Bu. Aku pengen ke sana tapi takut Mbak Yuli makin marah sama aku.""Nggak, lah. Anak-anakmu tinggal sama Ibu aja kalau kamu mau ke rumah Yuli."Tak lama, Romlah pun bersiap untuk ke rumah Yuli. Romlah membawa sop ayam yang sengaja ia masak untuk Yuli.Tangan Romlah terasa panas dingin, dan juga jantungnya berdetak lebih cepat. Ia berharap Yuli menerima kedatangannya dengan baik.Romlah membuka pelan pintu rumah Yuli. Rumah yang telah di cat dengan warna biru itu terlihat sunyi.Romlah mematung di depan pintu ruang tamu. Ia ingin langsung masuk ke dalam kamar Yuli, tetapi ia takut dianggap lancang dan kurang ajar. Namun, jika ia menunggu Yuli keluar dari kamar, rasanya sedikit mustahil.Akhirnya Romlah memutuskan masuk ke dalam kamar Yuli."Mbak
"Makan malam dulu yuk, Dek! Mas tadi abis Beli makanan di warung yang ada di pertigaan depan," ucap Agus sembari menenteng kantong plastik berisi makanan.Romlah yang baru saja selesai membuat bumbu untuk ia masak malam nanti pun kaget. Ia benar-benar tak menyangka suaminya akan kembali baik padanya."Aku mandi dulu sebentar, ya, Mas. Gerah banget, nih." Tanpa menunggu jawaban Agus, Romlah langsung mengambil handuk dan menuju kamar mandi.Selesai Romlah mandi, mereka pun makan bersama. Rasa rindu akan Kehangatan keluarga kini sedikit terobati, Romlah berharap ini akan selamanya. Romlah sempat menitikkan air matanya karena rasa haru, tetapi ia Segera menghapusnya agar tak ada satu orang pun yang tahu."Bapak nanti tidur di rumah Nenek lagi?" tanya anak lelaki berumur delapan tahun itu."Enggak, lah! Bapak tidur di sini aja bareng Ibu," jawab Agus yang terang saja membuat pipi Romlah memerah menahan malu."Kok, nggak di rumah Nenek lagi?" Angga masih penasaran."Kan, kangen sama nenekny
Sesampainya di rumah, Romlah memarkirkan sepeda motornya di teras rumah. Romlah ingin segera membereskan bekas jualannya tadi pagi. Namun, rasa lelah memaksanya untuk beristirahat sebentar.Romlah meletakkan bokongnya pada kursi kayu kecil yang ia pakai untuk menunggui dagangannya. Ia menyempatkan untuk membuka HP, karena waktu di jalan tadi ia sempat merasakan benda pipihnya itu bergetar.Benar saja, di layar depan handphone-nya terdapat beberapa pesan yang telah masuk. Wanita yang telah memiliki tiga orang anak itu terkejut setelah membuka satu persatu pesan itu yang berisi permintaan untuk segera dikirimkan beberapa bungkus nasi uduk dan nasi kuning jualannya.Romlah segera menyiapkan pesanan itu. Ia tak ingin membuat kecewa pembeli yang terbilang baru saja mencoba barang dagangannya."Ada pesanan lagi, Rom?" tanya mertua Romlah yang baru saja keluar dari rumahnya membawa kedua anak Romlah."Iya, Bu," jawab Romlah dengan senyum sumringah yang terukir dari bibirnya.Siti tersenyum b
Usai beres-beres, Romlah mengecek beberapa bumbu yang harus ia beli nanti siang. Barang-barang yang telah habis itu ia catat di sebuah kertas agar nanti tidak terlewat sewaktu dirinya berbelanja.Tak banyak barang yang akan ia beli nanti, jadi ia bisa lebih menghemat pengeluarannya. Romlah merebahkan dirinya dahulu sebelum ia kembali menyiapkan beberapa bumbu yang akan dipakainya malam nanti.Total pesanan yang masuk ada delapan bungkus nasi uduk dan tujuh bungkus nasi kuning. Walaupun masih sedikit, namun ia sangat bersyukur karena ada pemasukan untuk hari esok.Sedang menikmati waktu luangnya bersama anak-anaknya, terdengar suara tukang sayur yang mulai memanggil para pelanggannya.Romlah segera membawa kedua anaknya untuk berbelanja bumbu dan beberapa sayuran yang ia butuhkan untuk berjualan esok hari. Ia juga tak lupa membawa nasi uduk yang sengaja ia pisahkan untuk diberikan kepada tukang sayur itu."Ini, Pak, cicipin nasi uduk buatanku." Romlah menyerahkan nasi uduknya kepada tu
Mata itu terus saja tertuju pada ibu dari anak-anaknya. Ia merasa bersalah, tak seharusnya ia begitu keras kepada istrinya."Lagi ngapain, Gus?" tanya Siti mengagetkan Agus yang terus menatap Romlah dari jauh.Agus terkejut hingga badannya tersentak, "eh, Ibu! Ngagetin." Agus mengelus dada merasakan jantungnya berdetak lebih kencang."Bantuin sana!" perintah Siti."Aku mau berangkat kerja, Bu," ucap Agus sembari mengambil tas kecil yang tergantung di depan pintu kamar.Siti merasa jika anaknya sebenarnya masih sangat mencintai Romlah, tetapi sepertinya ia gengsi untuk mengakuinya."Bu, aku berangkat, ya. Titip anak-anak," pamit Agus sebelum meninggalkan rumah.Wanita berumur lebih dari setengah abad itu tersenyum melihat tingkah anaknya yang tak lagi muda itu.Saat melewati depan rumahnya, ia tak sanggup menatap Romlah. Lelaki berumur tiga puluh enam tahun itu hanya menunduk dan berdoa dalam hati, semoga jualan istrinya laris sehingga Romlah tak kecewa dengan apa yang diusahakannya se
Hari baru, begitu pun semangat yang baru dari dalam diri Romlah. Rasanya telah lama ia terpuruk dalam penyesalan hidupnya. Kini sudah saatnya Romlah menunjukkan pada dunia bahwa dirinya bukanlah wanita lemah.Walaupun hatinya masih dipenuhi rasa sesak karena kedua anaknya lebih memilih bersama ayahnya. Namun, ia harus cukup terima karena anak ketiganya begitu membutuhkan dirinya.Romlah mengumpulkan tenaga untuk memulai hari. Banyak rencana yang akan dilakukannya hari ini. Setelah memandikan lalu menyusui Naura, Romlah mulai menulis belanjaan yang akan dibeli di tukang sayur keliling langganannya.Ya, Ibu dari tiga orang anak itu sedang berencana untuk berjualan nasi uduk dan nasi kuning di depan rumahnya. Berbekal kemampuan memasaknya yang tak diragukan lagi, ia mencoba membuka usaha untuk menghidupi dirinya sendiri dan juga anak-anaknya.Romlah bertekad, untuk tak lagi menggantungkan hidupnya kepada Agus. Ia harus belajar berdiri dengan kakinya sendiri.Usai mencatat semua kebutuhan
Romlah ke dapur untuk mengambil tali jemuran yang baru ia beli pagi tadi. Wanita itu sengaja membelinya untuk mengganti tali jemuran lama yang sudah usang. Namun, karena ia terlalu sibuk dengan anak-anaknya, sehingga ia lupa Untuk segera memasangnya.Romlah membawa tali itu ke dapur. Wanita berambut hitam itu segera memasang tali ke atas kuda-kuda rumah yang terpasang di dapur. Kondisi atap dapur yang belum terpasang plafon, membuat Romlah lebih cepat untuk menyelesaikan pemasangan talinya.Usai memasang tali, Romlah terduduk memandangi benda menggantung yang akan mengantarkannya meninggalkan semua luka yang dirasakan saat ini.Rasa sakit hati dan kehilangan yang membuat wanita berumur tiga puluh tiga tahun itu nekat. Rasanya tak ada lagi gunanya ia melanjutkan hidupnya. Semua yang dimiliki telah hilang, semuanya telah pergi. Agus yang dulu amat mencintainya, kini tak ada lagi di sisinya. Angga, juga Riska justru memilih ikut bersama ayahnya. Lalu, apa gunanya ia hidup?Romlah menari
"Bu, masak apa?" tanya Yuli setelah masuk rumah ibunya.Yuli segera menuju dapur milik ibunya. Kebetulan sekali ia melihat adik lelakinya sedang sarapan bersama ibu.Teh sifat lagi keinginannya untuk mencari tahu alasan di balik pindahnya Agus ke rumah ini. Yuli sangat yakin rumah tangga adik kandungnya itu sedang ada masalah.Sebuah senyuman terukir di bibir ibu dari dua orang anak itu. Tak ingin membuang kesempatan, ia segera bergabung bersama adik dan ibunya."Wah, sarapannya enak, nih," ucap Yuli sembari duduk di kursi yang masih kosong sebelah Agus."Sarapan bareng sini, Yul," ajak Siti. "Kebetulan tadi aku belum sarapan, Bu. Anak-anak sama bapaknya beli nasi uduk, aku nggak kebagian," jelas Yuli memperlihatkan expresi sedih."Sarapan di sini aja, Mbak. Masih banyak, kok, nasi gorengnya," tawar Agus yang masih terus mengunyah.Yuli mengambil piring dan menuangkan beberapa centong nasi goreng ke atas piringnya."Enakan tinggal di sini, kan, Gus, dari pada tinggal di rumahmu?" tan
Mata agus membulat sempurna begitu yakin jika wanita yang memanggilnya itu benar-benar istrinya."Mas!" teriak Romlah karena sang suami tak juga mendatanginya.Agus bingung harus bagaimana. Ia masih enggan untuk bertemu dengan istrinya, karena rasa kecewa yang begitu besar. Namun, ia juga malu karena Romlah terus saja memanggilnya. Ia merasa tak enak dengan teman-temannya kerjanya.Dengan terpaksa Agus mendatangi istrinya."Ada apa?" tanyanya singkat."Ini, aku bawain buat makan siang buat Mas." Romlah menyodorkan rantang yang berisi beberapa macam makanan.Tak ingin jika sang istri berlama-lama di tempat kerjanya, Agus pun segera menerima rantang pemberian Romlah, dengan harapan wanita yang telah memberinya tiga orang anak itu segera meninggalkan bengkel."Dimakan ya, Mas!""Kamu pulang aja, aku masih banyak kerjaan!" Agus meninggalkan Romlah yang masih berdiri mematung.Agus meletakkan rantang itu di atas kursi berwarna hitam yang biasa digunakan customer menunggu kendaraan mereka s