Rasa benci dan dendam Romlah kini semakin dalam. Ia juga merasakan kesedihan yang ia pendam sendiri. Semenjak pulang dari rumah sakit, suami yang harusnya melindunginya kini tak lagi peduli terhadapnya.Romlah kini menjadi pribadi yang pendiam, bahkan seringkali ia terlihat melamun seorang diri. Ibu dari tiga orang anak itu terlihat jauh berbeda jika dibandingkan saat dirinya sebelum melahirkan dulu.Dulu, Romlah termasuk orang yang selalu up to date dalam hal penampilan. Namun, lihatlah ia kini! Jangankan untuk merawat diri. Untuk sekadar menyisir pun terkadang tidak ia lakukan.Stres berlebih membuat nafsu makannya hilang. Selain permasalahan keluarga, Romlah juga cukup terbebani dengan keadaan air susunya yang tak kunjung keluar. Agus yang harusnya mensuport, justru menyalahkan Romlah. Agus menuduh Romlah tak mau berusaha untuk menyusui Naura.Sepanjang waktunya, Romlah habiskan untuk melamun. Keadaannya kini nyaris seperti orang yang tak ingin melanjutkan hidup. Badannya kini tera
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, hati Agus merasa tidak tenang. Rasa menyesal kini tengah menggerogoti hati ayah dari tiga orang anak itu.Begitu sampai di rumah sakit, Agus menggandeng tangan Romlah dan menuntunnya. Setelah daftar dan menunggu beberapa saat, nama sang istri akhirnya dipanggil. Agus menemani Romlah memasuki ruang periksa. Dokter yang bersama seorang perawat mempersilakan sepasang suami istri itu untuk duduk. Setelah menyampaikan keluh kesahnya, wanita berumur tiga puluh empat tahun itu dituntun oleh sang perawat untuk naik ke atas ranjang periksa."Kok, bisa kayak gini, Bu?" tanya sang dokter kepada Romlah."Nggak tahu, Dok." Romlah menarik napas panjang saat lelaki berumur sekitar empat puluh tahunan itu memeriksa bekas luka caesarnya."Ini pasti nggak dirawat bekas lukanya!" terka sang dokter.Romlah hanya diam tak menanggapi ucapan sang dokter. Hanya saja raut wajahnya terlihat sedih.Setelah melewati rangkaian pengecekan, perawat yang memakai seragam biru
Semenjak konsultasi dengan dokter waktu itu, kesehatan Romlah mulai membaik. Hal ini bukan saja dikarenakan khasiat obat-obatan yang ia dapat dari rumah sakit, tetapi dukungan dan kasih sayang dari orang sekelilingnya juga cukup berpengaruh terhadap kesehatannya.Semenjak ibu dan kakak Romlah berada di rumahnya, mertua romlah dan Yuli terlihat sangat baik terhadap Romlah. Entah itu pura-pura atau mungkin mereka memang mulai berubah.Setiap pagi dan sore, luka Romlah selalu diberikan oleh sang suami. Perhatian Agus kini benar-benar dicurahkan kepada Romlah dan bayinya. Air susu Romlah pun perlahan mulai keluar. Tak lupa sang Ibu selalu membuatkan jamu untuk Romlah agar ASInya semakin deras."Rom, sepertinya Ibu udah harus pulang ke rumah mas-mu, deh." Ibu Romlah mengganti popok Naura yang basah terkena ompol."Yah! Kenapa, Bu? Kan, baru sebentar di sini?" Romlah memonyongkan bibirnya."Ibu udah seminggu disini, Rom. Mas Roni juga harus ngurusi usahanya di sana, kan," jelas sang Ibu ya
Hari itu masih sore ketika sang pemilik bengkel memanggil Agus untuk menemuinya. Rasa cemas menyelimuti hati bapak dari tiga orang anak itu. Agus masih berpikir, kesalahan apa yang telah ia perbuat. Ia takut jika akan dikeluarkan dari tempatnya bekerja, padahal dirinya mulai nyaman dengan bengkel ini.Usai menyelesaikan pekerjaannya, Agus memberanikan diri untuk mendatangi rumah sang owner yang letaknya berada di sebelah bengkel. Tangannya terasa dingin, dan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.Setelah mengetuk pintu dan mengucapkan salam, ia dipersilakan duduk oleh seorang lelaki."Maaf, Pak, apa saya ada salah?" tanya Agus kepada lelaki yang baru tiga kali ia temui itu."Salah?" Pak Susilo--pemilik bengkel--mencerna perkataan lelaki yang belum genap satu bulan bekerja kepadanya itu."tentu saja tidak!" imbuhnya disertai dengan senyum."Lalu, kenapa saya dipanggil kesini, Pak?" Agus menundukkan kepala."Aku memanggilmu mau ngasih ini." Lelaki berumur lima puluh tahunan itu m
Sepanjang malam Agus terjaga. Pikirannya menerawang jauh entah kemana. Permintaan sang istri terus saja membayang di otaknya.Sebenarnya ia ingin sekali menolak permintaan istrinya itu. Namun, Agus tak tega jika harus melihat Romlah bersedih. ***Pukul 06.45 Agus berangkat ke bengkel. Rasa kantuk yang terus dirasakan membuat dirinya sedikit tak bersemangat.Setelah bersih-bersih rumah, Romlah menemani anak keduanya bermain di teras depan rumah sambil menggendong Naura. Terdengar suara mesin sepeda motor ketika ia sedang bergurau dengan Riska. Begitu ditengok, ternyata suara itu berasal dari sepeda motor baru Yuli. Tanpa sadar, ada seorang tetangga yang sedang memerhatikannya terus memandangi kakak iparnya itu. "Rom!" Teriakan itu terang saja membuat Romlah kaget."Duh, Bu Susi, bikin kaget aja! Ada apa?" tanya Romlah sembari mengelus dadanya yang masih berdegup kencang."Nggak apa-apa, mau nawarin gamis model baru." Ibu yang memakai gamis berwarna hitam dan menenteng tas besar itu d
Agus kembali ke rumahnya dengan langkah yang gontai. Rasanya ia tak sanggup jika harus menyampaikan kabar kurang baik ini kepada istrinya.Akhirnya Agus memilih menghabiskan waktu di teras depan Rumah dengan ditemani sebungkus rokok.Setelah menghabiskan beberapa puntung rokok, Agus masuk ke dalam rumah. Ia berharap jika Romlah sudah tertidur. Namun, keadaan sedang tak berpihak kepadanya."Kok, baru pulang Mas?" tanya Romlah begitu melihat suaminya masuk ke dalam kamar."Iya, Dek. Mas, langsung tidur, ya. Badan rasanya capek banget." Agus membaringkan tubuhnya di samping Romlah.Melihat wajah sang suami yang lesu, membuat Romlah dapat menebak apa yang terjadi kepadanya. Romlah merasa kasihan pada suaminya, karena permintaannya membuat Agus menjadi tertekan seperti itu."Nggak diizinin ibu buat jual sawahnya, ya, Mas?" Romlah menarik tangan Agus dan menggenggamnya.Agus membuka matanya. Ia melihat sang istri tengah memandanginya. Lelaki berumur tiga puluh enam tahun itu bangkit dan dud
Sore itu, Agus baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Kondisi bengkel yang ramai membuat badannya gerah dan sedikit pegal di beberapa bagian tubuhnya.Selesai merapikan peralatan, Agus segera bersiap pulang. Setelah mengambil tas kecil miliknya, kemudian Agus menyusuri jalan yang selalu ia lewati setiap berangkat ataupun pulang kerja.Waktu telah menunjukkan pukul 16.30. Namun, hawa panas masih saja ia rasakan, maklum namanya juga musim kemarau.Agus meraih tas kecilnya, ia buka resleting depannya. Bapak dari tiga orang anak itu meraba seluruh sudut tasnya mencari rokok. Ah ... Agus baru teringat jika rokoknya baru saja habis.Lelaki berumur tiga puluh enam tahun itu berbelok masuk ke dalam toko kecil yang berada di sisi jalan untuk membeli rokok. Baru saja ia akan keluar dari toko itu, ia merasakan seseorang telah menepuk pundaknya."Gus, pulang kerja?" Agus menengok ke arah pemilik suara itu."Eh, kamu, Rud. Kaget aku!" Agus tersenyum kepada tetangganya itu."Kirain abis tragedi tadi,
Selesai bekerja, biasanya Agus akan langsung menuju rumahnya. Namun, kali ini berbeda, Agus sedang duduk di pos ronda pinggir jalan. Sepertinya ia sedang menunggu seseorang.Agus terlihat celingukan tengok kanan dan kiri secara bergantian. Beberapa kali juga ia berdiri kemudian duduk kembali. Untuk mengusir rasa bosannya, lelaki dengan tinggi 165 centimeter itu mengambil handphone yang ada di dalam tas kecil lalu memainkannya.Setelah menunggu cukup lama, akhirnya datang seorang lelaki yang menghampiri Agus. Sepertinya mereka cukup akrab, hingga tak tampak kecanggungan di antara mereka."Mau motor apa, Gus?" Lelaki yang akrab dipanggil Adul itu mengeluarkan beberapa lembar kertas berisi gambar dan daftar harga sepeda motor."Aku lihat-lihat dulu nggak apa-apa, kan, Dul?" Agus meraih kertas itu dan membacanya satu persatu."Boleh, dong! Aku bawa kesini emang buat dilihat, kan." Adul tertawa menanggapi ucapan Agus.Adul adalah teman sekolah Agus waktu SMP. Ia bekerja sebagai marketing d
"Mbak Yuli gimana keadaannya, Bu?" tanya Romlah yang sedang menemui mertuanya."Badannya tadi masih panas, Rom. Dia sendiri di rumah, anak-anaknya sekolah. Suaminya juga kerja," jawab Siti sembari menyapu halaman rumah."Kasihan Mbak Yuli, ya, Bu. Aku pengen ke sana tapi takut Mbak Yuli makin marah sama aku.""Nggak, lah. Anak-anakmu tinggal sama Ibu aja kalau kamu mau ke rumah Yuli."Tak lama, Romlah pun bersiap untuk ke rumah Yuli. Romlah membawa sop ayam yang sengaja ia masak untuk Yuli.Tangan Romlah terasa panas dingin, dan juga jantungnya berdetak lebih cepat. Ia berharap Yuli menerima kedatangannya dengan baik.Romlah membuka pelan pintu rumah Yuli. Rumah yang telah di cat dengan warna biru itu terlihat sunyi.Romlah mematung di depan pintu ruang tamu. Ia ingin langsung masuk ke dalam kamar Yuli, tetapi ia takut dianggap lancang dan kurang ajar. Namun, jika ia menunggu Yuli keluar dari kamar, rasanya sedikit mustahil.Akhirnya Romlah memutuskan masuk ke dalam kamar Yuli."Mbak
"Makan malam dulu yuk, Dek! Mas tadi abis Beli makanan di warung yang ada di pertigaan depan," ucap Agus sembari menenteng kantong plastik berisi makanan.Romlah yang baru saja selesai membuat bumbu untuk ia masak malam nanti pun kaget. Ia benar-benar tak menyangka suaminya akan kembali baik padanya."Aku mandi dulu sebentar, ya, Mas. Gerah banget, nih." Tanpa menunggu jawaban Agus, Romlah langsung mengambil handuk dan menuju kamar mandi.Selesai Romlah mandi, mereka pun makan bersama. Rasa rindu akan Kehangatan keluarga kini sedikit terobati, Romlah berharap ini akan selamanya. Romlah sempat menitikkan air matanya karena rasa haru, tetapi ia Segera menghapusnya agar tak ada satu orang pun yang tahu."Bapak nanti tidur di rumah Nenek lagi?" tanya anak lelaki berumur delapan tahun itu."Enggak, lah! Bapak tidur di sini aja bareng Ibu," jawab Agus yang terang saja membuat pipi Romlah memerah menahan malu."Kok, nggak di rumah Nenek lagi?" Angga masih penasaran."Kan, kangen sama nenekny
Sesampainya di rumah, Romlah memarkirkan sepeda motornya di teras rumah. Romlah ingin segera membereskan bekas jualannya tadi pagi. Namun, rasa lelah memaksanya untuk beristirahat sebentar.Romlah meletakkan bokongnya pada kursi kayu kecil yang ia pakai untuk menunggui dagangannya. Ia menyempatkan untuk membuka HP, karena waktu di jalan tadi ia sempat merasakan benda pipihnya itu bergetar.Benar saja, di layar depan handphone-nya terdapat beberapa pesan yang telah masuk. Wanita yang telah memiliki tiga orang anak itu terkejut setelah membuka satu persatu pesan itu yang berisi permintaan untuk segera dikirimkan beberapa bungkus nasi uduk dan nasi kuning jualannya.Romlah segera menyiapkan pesanan itu. Ia tak ingin membuat kecewa pembeli yang terbilang baru saja mencoba barang dagangannya."Ada pesanan lagi, Rom?" tanya mertua Romlah yang baru saja keluar dari rumahnya membawa kedua anak Romlah."Iya, Bu," jawab Romlah dengan senyum sumringah yang terukir dari bibirnya.Siti tersenyum b
Usai beres-beres, Romlah mengecek beberapa bumbu yang harus ia beli nanti siang. Barang-barang yang telah habis itu ia catat di sebuah kertas agar nanti tidak terlewat sewaktu dirinya berbelanja.Tak banyak barang yang akan ia beli nanti, jadi ia bisa lebih menghemat pengeluarannya. Romlah merebahkan dirinya dahulu sebelum ia kembali menyiapkan beberapa bumbu yang akan dipakainya malam nanti.Total pesanan yang masuk ada delapan bungkus nasi uduk dan tujuh bungkus nasi kuning. Walaupun masih sedikit, namun ia sangat bersyukur karena ada pemasukan untuk hari esok.Sedang menikmati waktu luangnya bersama anak-anaknya, terdengar suara tukang sayur yang mulai memanggil para pelanggannya.Romlah segera membawa kedua anaknya untuk berbelanja bumbu dan beberapa sayuran yang ia butuhkan untuk berjualan esok hari. Ia juga tak lupa membawa nasi uduk yang sengaja ia pisahkan untuk diberikan kepada tukang sayur itu."Ini, Pak, cicipin nasi uduk buatanku." Romlah menyerahkan nasi uduknya kepada tu
Mata itu terus saja tertuju pada ibu dari anak-anaknya. Ia merasa bersalah, tak seharusnya ia begitu keras kepada istrinya."Lagi ngapain, Gus?" tanya Siti mengagetkan Agus yang terus menatap Romlah dari jauh.Agus terkejut hingga badannya tersentak, "eh, Ibu! Ngagetin." Agus mengelus dada merasakan jantungnya berdetak lebih kencang."Bantuin sana!" perintah Siti."Aku mau berangkat kerja, Bu," ucap Agus sembari mengambil tas kecil yang tergantung di depan pintu kamar.Siti merasa jika anaknya sebenarnya masih sangat mencintai Romlah, tetapi sepertinya ia gengsi untuk mengakuinya."Bu, aku berangkat, ya. Titip anak-anak," pamit Agus sebelum meninggalkan rumah.Wanita berumur lebih dari setengah abad itu tersenyum melihat tingkah anaknya yang tak lagi muda itu.Saat melewati depan rumahnya, ia tak sanggup menatap Romlah. Lelaki berumur tiga puluh enam tahun itu hanya menunduk dan berdoa dalam hati, semoga jualan istrinya laris sehingga Romlah tak kecewa dengan apa yang diusahakannya se
Hari baru, begitu pun semangat yang baru dari dalam diri Romlah. Rasanya telah lama ia terpuruk dalam penyesalan hidupnya. Kini sudah saatnya Romlah menunjukkan pada dunia bahwa dirinya bukanlah wanita lemah.Walaupun hatinya masih dipenuhi rasa sesak karena kedua anaknya lebih memilih bersama ayahnya. Namun, ia harus cukup terima karena anak ketiganya begitu membutuhkan dirinya.Romlah mengumpulkan tenaga untuk memulai hari. Banyak rencana yang akan dilakukannya hari ini. Setelah memandikan lalu menyusui Naura, Romlah mulai menulis belanjaan yang akan dibeli di tukang sayur keliling langganannya.Ya, Ibu dari tiga orang anak itu sedang berencana untuk berjualan nasi uduk dan nasi kuning di depan rumahnya. Berbekal kemampuan memasaknya yang tak diragukan lagi, ia mencoba membuka usaha untuk menghidupi dirinya sendiri dan juga anak-anaknya.Romlah bertekad, untuk tak lagi menggantungkan hidupnya kepada Agus. Ia harus belajar berdiri dengan kakinya sendiri.Usai mencatat semua kebutuhan
Romlah ke dapur untuk mengambil tali jemuran yang baru ia beli pagi tadi. Wanita itu sengaja membelinya untuk mengganti tali jemuran lama yang sudah usang. Namun, karena ia terlalu sibuk dengan anak-anaknya, sehingga ia lupa Untuk segera memasangnya.Romlah membawa tali itu ke dapur. Wanita berambut hitam itu segera memasang tali ke atas kuda-kuda rumah yang terpasang di dapur. Kondisi atap dapur yang belum terpasang plafon, membuat Romlah lebih cepat untuk menyelesaikan pemasangan talinya.Usai memasang tali, Romlah terduduk memandangi benda menggantung yang akan mengantarkannya meninggalkan semua luka yang dirasakan saat ini.Rasa sakit hati dan kehilangan yang membuat wanita berumur tiga puluh tiga tahun itu nekat. Rasanya tak ada lagi gunanya ia melanjutkan hidupnya. Semua yang dimiliki telah hilang, semuanya telah pergi. Agus yang dulu amat mencintainya, kini tak ada lagi di sisinya. Angga, juga Riska justru memilih ikut bersama ayahnya. Lalu, apa gunanya ia hidup?Romlah menari
"Bu, masak apa?" tanya Yuli setelah masuk rumah ibunya.Yuli segera menuju dapur milik ibunya. Kebetulan sekali ia melihat adik lelakinya sedang sarapan bersama ibu.Teh sifat lagi keinginannya untuk mencari tahu alasan di balik pindahnya Agus ke rumah ini. Yuli sangat yakin rumah tangga adik kandungnya itu sedang ada masalah.Sebuah senyuman terukir di bibir ibu dari dua orang anak itu. Tak ingin membuang kesempatan, ia segera bergabung bersama adik dan ibunya."Wah, sarapannya enak, nih," ucap Yuli sembari duduk di kursi yang masih kosong sebelah Agus."Sarapan bareng sini, Yul," ajak Siti. "Kebetulan tadi aku belum sarapan, Bu. Anak-anak sama bapaknya beli nasi uduk, aku nggak kebagian," jelas Yuli memperlihatkan expresi sedih."Sarapan di sini aja, Mbak. Masih banyak, kok, nasi gorengnya," tawar Agus yang masih terus mengunyah.Yuli mengambil piring dan menuangkan beberapa centong nasi goreng ke atas piringnya."Enakan tinggal di sini, kan, Gus, dari pada tinggal di rumahmu?" tan
Mata agus membulat sempurna begitu yakin jika wanita yang memanggilnya itu benar-benar istrinya."Mas!" teriak Romlah karena sang suami tak juga mendatanginya.Agus bingung harus bagaimana. Ia masih enggan untuk bertemu dengan istrinya, karena rasa kecewa yang begitu besar. Namun, ia juga malu karena Romlah terus saja memanggilnya. Ia merasa tak enak dengan teman-temannya kerjanya.Dengan terpaksa Agus mendatangi istrinya."Ada apa?" tanyanya singkat."Ini, aku bawain buat makan siang buat Mas." Romlah menyodorkan rantang yang berisi beberapa macam makanan.Tak ingin jika sang istri berlama-lama di tempat kerjanya, Agus pun segera menerima rantang pemberian Romlah, dengan harapan wanita yang telah memberinya tiga orang anak itu segera meninggalkan bengkel."Dimakan ya, Mas!""Kamu pulang aja, aku masih banyak kerjaan!" Agus meninggalkan Romlah yang masih berdiri mematung.Agus meletakkan rantang itu di atas kursi berwarna hitam yang biasa digunakan customer menunggu kendaraan mereka s